Minggu, 17 Juni 2012

Moral Sexualitas dan Perkawinan (fr. juventz)

DAFTAR ISI


Pendahuluan
i
Daftar Isi
ii

BAB PERTAMA


PENTINGNYA “PEMBAHARUAN”
MORAL SEKSUALITAS DAN PERKAWINAN

1

1.1. Mengapa Berbicara tentang “Pembaharuan”

1
1.2. Apa yang Diperbaharui
3
1.3. Sebuah Moral Seksualitas dan Perkawinan Berdasarkan “Terang
        Injil dan Pengalaman Manusia”

3


BAB KEDUA


SEKSUALITAS DAN PERKAWINAN:

REALITAS MANUSIAWI

5

2.1. Konstitusi Eksistensial Manusia (Struktur keber- ada-an)

5
2.2. Seksualitas dan Perkawinan: Cara Khas “ada”-nya dan “ber-ada”
        Manusia sebagai Pria dan Wanita

6
2.3. Arti Seksualitas dan Perkawinan
8
2.3.1. Aspek Biologis Seksualitas dan Perkawinan
6
2.3.2. Aspek Psikologis Seksualitas dan Perkawinan
17
2.3.2.1. Arti dan Struktur Psikologis Seksualitas
17
2.3.2.2. Perkembangan Seksualitas Menurut Fase-Fase Hidup
18
2.3.2.3. Psyche Pria dan Wanita
22
2.3.2.4. Beberapa Gangguan Perkembangan
24
2.3.2.5. Makna Aspek Psikologis Untuk Pemahaman Yang Menyeluruh
             Tentang Seksualitas dan Perkawinan

25
2.3.3. Aspek Ethologis Seksualitas Dan Perkawinan
26
2.3.3.1. Perbandingan Antara Gejala-Gejala Seksual Hewan
            Dan Manusia

26
2.3.3.2. Unsur-Unsur Kelakuan Seksual Dan Sosial
27
2.3.4. Aspek Sosio-Kultural Seksualitas Dan Perkawinan
31
2.3.4.1. Pelembagaan Hubungan dan Peranan Kelamin
31
2.3.4.2. Beberapa Gejala di Bidang Seksualitas dan Perkawinan
             Dewasa Ini

33
2.3.5. Aspek Filosofis-Teologis Seksualitas dan Perkawinan
36
2.3.5.1. Arti Personal Dan Sosial Seksualitas dan Perkawinan
36
2.3.5.2. Segi Religius dan Arti Sakramental Perkawinan
47


BAB KETIGA

SEKSUALITAS DAN PERKAWINAN

DALAM KITAB SUCI
45


3.1. Seksualitas dan Perkawinan dalam Perjanjian Lama
45
3.1.1. Seksualitas dan Perkawinan dalam Tata Penciptaan
46
3.1.2. Seksualitas dan Erotik sebagai Realitas Dunia dalam Lukisan
          Poetis Kidung Agung

52
3.1.3. Seksualitas dan Perkawinan dalam Tata Penyelamatan:
          Gagasan Perjanjian

53
3.1.4. Hukum VI dan IX (X) dalam Dekalog
55
3.1.5. Ethos Seksual dan Perkawinan di Israel
59
3.2. Seksualitas dan Perkawinan dalam Perjanjian Baru
62
3.2.1. Ajaran Yesus tentang Perkawinan dan Perceraian
63
3.2.2. Seksualitas dan Perkawinan dalam Surat-Surat Paulus
72
3.2.3. Ethos Seksual dan Perkawinan dalam Perjanjian Baru
86


BAB KEEMPAT

SEKSUALITAS DAN PERKAWINAN

DALAM PERKEMBANGAN SEJARAH/TRADISI
93


4.1. Seksualitas dan Perkawinn dalam Patristik
93
4.1.1. Kesulitan untuk Menerima Sifat Orgastis Seksualitas/

        Perkawinan
94
4.1.2. Ajaran Agustinus
97
4.1.3. Beberapa Tema Sehubungan dengan Seksualitas/Perkawinan

         dalam Patristik
100
4.2. Seksualitas dan Perkawinan dalam Abad Pertengahan
106
4.2.1. Unsur Konstitutif Perkawinan
107
4.2.2. Sakramentalitas Perkawinan
111
4.2.3. Tujuan Perkawinan sebagai Dasar Moral

           Seksualitas dan Perkawinan
115
4.3. Ajaran Reformasi dan Konsili Trente tentang Perkawinan
121
4.4. Seksualitas dan Perkawinan Abad XX
127











BAB KELIMA


SOAL NORMA


DI BIDANG SEKSUALITAS DAN PERKAWINAN
135


5.1. Argumen Tradisional
135
5.1.1. Argumentasi Tradisional di Bidang Moral
135
5.1.2. Norma-norma Hukum di Bidang Seksualitas dan Perkawinan
139
5.2. Beberapa Usaha Pembaharuan
141
5.2.1. Usaha Pembaharuan di Bidang Moral
142
5.2.2. Usaha-Usaha Pembaharuan di Bidang Hukum
145


BAB KEENAM


BEBERAPA SOAL AKTUAL


DI BIDANG SEKSUALITAS DAN PERKAWINAN

149


6.1. Kesetiaan dan Perceraian
149
6.1.1. Kesetiaan dan Perceraian
149
6.1.2. Soal Cerai dan Kawin lagi
154
6.2. Keluarga Berencana
159
6.2.1. Beberapa Data
160
6.2.2. Penilaian gagasan KB pada umumnya
163
6.2.3. Metode KB dan Penilaiannya
167
6.3. Inseminasi Artifisial dan Bayi Tabung
181
6.3.1. Inseminasi Artifisial
181
6.3.2. Soal Bayi Tabung
185
6.4. Hubungan Seksual  sebelum dan di luar Perkawinan
193
6.4.1. Hubunagn seksual sebelum dan di luar perkawinan

         Menurut penilaian tradisional
193
6.4.2. Beberapa Gagasan Dewasa ini
198
6.5. Hubungan Homoseksual
204
6.5.1. Beberapa Data Tentang Homoseksualitas
204
6.5.2. Penilaian terhadap Homoseksualitas/Hubungan Homoseksual
207
6.6. Masturbasi dan Pengambilan Sperma
213
6.7. Pornografi
221
6.8. Perversi Seksual
227
6.9. “Ganti” Kelamin
234
6.10. Pendidikan Seksual
240
6.11. Kawin dan Tidak Kawin (keperawanan dan selibat)
247


Kepustakaan

254




PENDAHULUAN

“Seksualitas dan Perkawinan” merupakan salah satu tema yang dibahas selama perkuliahan semester ini. Tema ini akan dibahas dari sudut pandang/paham moral Gereja Katolik. Pembahasan ini bertujuan agar para mahasiswa setelah perkuliahan semester ini mampu menganalisa, mendeskripsikan serta merumuskan arti seksualitas dan perkawinan menurut pahan moral Gereja Katolik. Dengan demikian, dalam karya pastoral, mereka pun mampu memecahkan soal-soal moral yang dihadapi, khususnya dalam hubungan dengan masalah di bidang seksualitas dan perkawinan.
Untuk tujuan tersebut, maka pembahasan tema ini akan dibagi dalam beberapa topik bahasan.
  1. Perlunya “pembaharuan” Moral Seksualitas dan Perkawinan
  2. Seksualitas dan Perkawinan: Realitas Manusiawi
  3. Seksualitas dan Perkawinan dalam KS
  4. Seksualitas dan Perkawian dalam Perkembangan Sejarah/Tradisi
  5. Soal Norma di Bidang Seksualitas dan Perkawinan
  6. Beberapa Soal Aktual di Bidang Seksualitas dan Perkawinan

Beberapa topik bahasan diambil seluruhnya atau diringkas dari pembahasan Dr. Piet Go, O.Carm dalam bukunya: Seksualitas dan perkawinan, seri Teologi Widya Sasana, No. 2, Malang, 1985, dan  Dr. Kees Maas, SVD, Teologi Moral Seksualitas, Nusa Indah, Ende, 1998. Topik bahasan tersebut juga diperkaya oleh sumber lain yang digunakan. Sumber tersebut dapat dilihat pada catatan kaki setiap topik bahasan.
Karena seksualitas dan perkawinan merupakan suatu tema yang sangat luas, maka tidak mungkin dapat dibahas secara menyeluruh selama perkuliahan semester ini. Topik-topik di atas dipilih dari sekian banyak topik yang harus dibahas untuk mendalami tema ini. Untuk itu diharapkan agar para mahasiswa – dibantu oleh literatur mengenai seksualitas dan perkawinan yang bisa ditemukan – secara aktif mengembangkan dan mendalami topik-topik yang telah dibahas dan terutama hal-hal yang belum dibahas dalam proses belajar-mengajar.







BAB PERTAMA


PENTINGNYA “PEMBAHARUAN”
MORAL SEKSUALITAS DAN PERKAWINAN


          “Pembaharuan” moral seksualitas dan perkawinan ditempatkan pada bab pertama dalam pembahasan tema perkulihan ini karena ada beberapa dasar pemikiran. Pertama, untuk memberikan suatu semangat yang harus mendasari seluruh pembahasan tentang seksualitas dan perkawinan. Kedua, dalam semangat dasar itu terungkap suatu pencarian yang terus-menerus untuk meletakan dasar bagi moral seksualitas dan perkawinan yang lebih autentik. Sehingga dapat dikatakan bahwa “pembaharuan” menjadi dasar dan warna serta jiwa bagi seluruh pembahasan tema ini.

1.1. Mengapa Berbicara tentang “Pembaharuan”?

          Kalau kita menelaah secara seksama konsili Vatikan II, maka kita akan menemukan suatu semangat yang sungguh-sungguh khas, yang menjadi dasar dan warna (jiwa) dari konsili tersebut. Jika dibandingkan dengan konsili-konsili sebelumnya, konsili Vatikan II  secara terbuka berbicara tentang “pembaharuan”; bahkan secara tegas memberikan rangsangan untuk “membuat pembaharuan”. Termin tentang “pembaharuan”, atau “pemulihan kembali (restaurasi)” dipakai sepuluh kali dalam Lumen Gentium, sepuluh kali dalam Gaudium et Spes, dan sebelas kali dalam Unitatis Redintegratio.[1]
          Dengan semangat yang demikian pula, konsili «dalam terang Injil dan pengalaman manusia, mengarahkan perhatian semua orang kepada berbagai kebutuhan zaman sekarang  yang cukup mendesak dan sangat membebani umat manusia».[2] Konsili menyadari bahwa ada begitu banyak hal yang «menimbulkan keprihatianan banyak orang»[3], namun «terutama pokok-pokok berikutlah yang seyogyanya diindahkan: perkawinan dan keluarga, kebudayaan manusiawi, kehidupan sosial-ekonomi dan politik, perserikatan keluarga besar para bangsa dan perdamaian»[4].
          Di bawah penyataan tentang «kenyataan manusia di dunia masa kini»[5], konsili Vatikan II secara eksplisit telah menunjuk kepada suatu periode baru dari sejarah yang ditandai oleh dalam dan cepatnya perubahan. Berhadapan dengan kenyataan seperti itu, Gereja menyadari dirinya untuk «selalu wajib menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam cahaya Injil. Demikianlah Gereja – dengan cara yang sesuai dengan setiap angkatan – akan dapat menanggapi pertanyaan-pertanyaan, yang di segala zaman diajukan oleh orang-orang tentang makna hidup sekarang dan di masa mendatang, serta tentang hubungan timbal balik antara keduanya. Maka perlulah dikenal dan dipahami dunia kediaman kita beserta harapan-harapan, aspirasi-aspirasi dan sifat-sifatnya yang sering dramatis».[6]
          Dalam kenyataan yang demikian, Gereja pada konsili Vatikan II menyadari bahwa «lembaga-lembaga, hukum-hukum serta cara-cara berpikir dan berperasaan yang diwariskan oleh para leluhur agaknya memang tidak selalu betul-betul cocok dengan situasi masa kini. Maka terasalah kekacauan yang besar mengenai cara-cara maupun kaidah-kaidah bertindak»[7]
Kesadaran tersebut menuntut dan menantang Gereja untuk senantiasa membaharui dirinya dan apa yang diwartakannya agar betul-betul cocok dengan situasi zamannya. Pembaharuan yang berkelanjutan adalah salah satu dari ciri-ciri khas esensial Gereja yang bersumber pada misteri Kristus sendiri. Melalui inkarnasi, hidup dan karya, kesengsaraan, wafat dan kebangkitan-Nya, digenapi-Nyalah penebusan manusia dari perbudakan dosa. Dengan demikian, manusia dipulihkan dan pembaharuan kembali. Paulus juga berbicara tentang suatu ciptaan baru dalam Kristus ( 2Kor 5,17), di dalamnya terwujud panggilan kepada kebebasan yang harus dihayati sebagai pelayanan dalam kasih (Gal 5,13s).
Di hadapan kenyataan zaman ini, Gereja sungguh-sungguh sadar bahwa problem baru harus selalu dipecahkan dengan cara-cara baru, sebab seperti dikatakan oleh Yesus : “... tidak seorangpun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian anggur itu akan mengoyakkan kantong itu, sehingga anggur itu dan kantongnya dua-duanya terbuang. Tetapi anggur yang baru hendaknya disimpan dalam kantong yang baru pula” (Mrk 2,22; Luk 5, 37). Kesadaran ini juga yang membuat Gereja mendesak dengan sangat agar vak-vak teologi dan secara khas teologi moral diperbaharui.[8] Maka tak dapat disangkal lagi bahwa pembaharuan bagi sebuah moral seksualitas dan perkawinan merupakan suatu tuntutan mutlak yang menyentuh secara langsung di satu pihak tanda-tanda zaman ini dan di lain pihak adalah kesadaran Gereja untuk selalu membaharui diri dan apa yang harus diwartakannya di hadapan kenyataan manusia di dunia masa kini.
         
1.2. Apa yang diperbaharui?

          Konsili Vatikan II, dalam Gaudium et Spes, telah menunjukkan beberapa dari banyak perubahan yang sedang terjadi dan mencari pembenarannya. Dalam konteks kita, dapatlah ditunjukkan beberapa perubahan  dalam bidang moral tradisional dan secara khusus  perubahan-perubahan dalam moral seksualitas dan perkawinan. Kita hanya menunjukkan beberapa contoh dari banyak perubahan yang sedang terjadi:[9]
-         dari suatu pola pikir yang berdasar pada “efisiensi” dan “utilitas” (hasil guna/hasil usaha - kegunaan) kepada suatu pola pikir yang berdasar pada suatu yang bersifat gratis (cuma-cuma, anugerah, pemberian). Dari suatu pola pikir tentang seksualitas dan perkawinan yang didasarkan pada efisiensi dan utilitasnya kepada suatu pola pikir yang berdasarkan anugerah, sebagai sebuah pemberian yang menuntut tanggung jawab.
-         dari suatu suasana persaingan dan perlawanan (antar jenis kelamin: laki-laki dan perempuan, suami dan isteri) kepada suatu suasana baru dalam solidaritas yaitu suatu perubahan dari “dominasi kepada komunio, partisipatif dan kesetaraan.
-         dari suatu moralitas yang berdasarkan keharusan kepada suatu moralitas yang berdasarkan “tanggung-jawab”.
-         dari suatu moralitas yang bersifat menekan (represif) dan tertutup kepada suatu moralitas yang lebih terbuka.
Perubahan-perubahan ini (dan masih banyak yang lain) menuntut suatu pembaharuan yang mendalam, baik pada tingkat pembahasaan (penyampaian) maupun pada tingkat formulasi (perumusan). S. Pinckaers menujukkan beberapa perubahan penting pada tingkat pembahasaan: [10]
-         dari suatu pembahasaan yang abstrak kepada suatu pembahasaan yang konkret
-         dari suatu pembahasaan yang a-historis dan esensialistas kepada suatu pembahasaan eksistensial dan historis
-         dari suatu pembahasaan yang impersonal kepada suatu pembahasaan yang lebih personal dan menyentuh langsung
-         dari suatu pembahasan ontologis kepada suatu pembahasaan psikologis.

1.3. Sebuah Moral Seksualitas dan Perkawinan Berdasarkan
       “Terang Injil dan Pengalaman Manusia”

          Kritik kepada moral tradisional berarti juga suatu tuntutan pembaharuan untuk mencari dan menemukan suatu termin yang lebih sah guna mengidentifikasikan suatu moral yang lebih autentik. Konsekuensi yang diakibatkan oleh pembaharuan ini sangat jelas yaitu bukan hanya dimaksudkan sebagai perubahan sederhana pada level kata-kata (perumusan, teori), tetapi lebih mendalam lagi yaitu menyentuh sekaligus prinsip-prinsipnya melalui kontak yang lebih hidup dengan Misteri Kristus dan sejarah keselamatan untuk menghasilkan buah dalam cinta kasih. Untuk itu, Gereja melalui konsili Vatikan II menegaskan: “... hendaklah vak-vak teologi lainnya diperbaharui melalui kontak yang lebih hidup dengan Misteri Kristus dan sejarah keselamatan. Secara khas hendaklah diusahakan penyempurnaan teologi moral. Hendaknya itu diuraikan secara ilmiah, lebih mengacu kepada ajaran Kitab Suci, sehingga sungguh menjelaskan keluhuran panggilan umat beriman dalam Kristus serta kewajiban mereka untuk demi kehidupan dunia menghasilkan buah dalam cinta kasih”[11].
 Dalam semangat pembaharuan ini, jika teologi moral (moral seksualitas dan perkawinan) ingin memenuhi tugasnya secara jujur dan bertanggungjawab serta dengan tepat guna (sesuai tantangan/tuntutan zaman) mencari dan mewartakan “kehendak” Tuhan, maka ia harus mendasarkan dirinya pada dua hal, yaitu: terang Injil (Misteri Kristus) dan pengalaman manusia (sejarah keselamatan). Untuk itu, demi pertanggung-jawaban keilmiahannya, teologia moral harus memperhatikan segi-segi seksualitas dan perkawinan yang disoroti oleh ilmu-ilmu lain yang menyelidiki manusia, secara khusus biologi, etnologi, psikologi, antropologi, sosiologi, psikoterapia, dan lain-lainnya.[12] Kelemahan teologi moral tradisional antara lain terletak pada tiadanya basis ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan sewajarnya. Hal ini terjadi karena banyak hal dinyatakan sebagai baik atau buruk, tepat atau tidak tepat secara moral bukan terutama berdasarkan argumentasi ilmiah melainkan berdasarkan otoritas (kuasa mengajar Gereja) dan tradisi.
BAB KEDUA

SEKSUALITAS DAN PERKAWINAN:

REALITAS MANUSIAWI



          Apa itu seksualitas? Apa itu perkawinan? Bermacam-macam jawaban dapat diberikan. Variasi jawaban yang diberikan itu menunjukkan bahwa seksualitas dan perkawinan merupakan suatu realitas yang sangat kompleks. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa kita tidak bisa mengatakan apa-apa tentang seksualitas dan perkawinan. Justru kenyataan itu menjadi sautu appel bagi kita untuk menggumulinya.
          Pada bab ini kita tidak akan menambah lagi dereten jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi dengan memberikan teori-teori baru, tetapi lebih melihatnya sebagai suatu “realitas manusiawi”[13] dengan menguraikan aspek-aspeknya.

2.1. Konstitusi Eksistensial Manusia
      (Struktur keber-ada-an)

          Ada begitu banyak teori yang merumuskan perihal “apa dan bagaimana” yang menjadi dasar keber-ada-an manusia sebagai manusia. Namun secara sederhana dapatlah kita rumuskan sebagai berikut.[14]

w Area Biologis/Fisik:
·    In-Sé ”: dalam dirinya manusia menemukan suatu struktur fenomenologis bahwa ia mempunyai dimensi “keber-fisik-an”. Dimensi ini mempunyai aspek: kuantitatif dan dapat diukur.
           e keber-tubuh-an
                                     e hidup.
w Area Meta-biologis/meta-fisik:
·        Per-Sé ”:  di samping ia menemukan di dalam dirinya suatu dimensi keber-fisik-an, ia juga menyadari bahwa ia bukan hanya sekedar mempunyai fisik/tubuh/badan dan hidup, tetapi di dalam dimensi keber-fisik-an tersebut ada sesuatu yang lebih dari itu. Ia mempunyai dimensi: “meta-fisik”, yang terarah untuk dirinya. Dimensi ini mempunyai horizon/cakrawala: kenyataan yang tidak terukur.
                         e kesadaran/pengetahuan/kepandaian
                         e kehendak bebas
·        Per-altri ”: di dalam dimensi meta-fisik itu, ia mengalami bahwa ia bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk yang lain, yang mempunyai dimensi “transitifitas”. Ia mengalami suatu jalinan/jaringan dengan sesamanya: saya – engkau – kita.
Ada tiga unsur di dalam dimensi ini:
  e Co-Esserec (Co-eksistensi): Unsur ini menjadi dasar hidup bermasyarakat atau pengalaman hidup dalam jalinan komunikasi dengan yang lain.
       ePro-Esserec (Pro-eksistensi): Unsur ini yang mendasari suatu komunitas. Ada pengalaman keterlibatan dalam membangun jalinan/ikatan-ikatan melalui pelayanan kepada yang lain (persekutuan).
  e  In-Esserec (In-Eksistensi): dalam pengalaman persekutuan itu terwujud sikap saling menerima dan memberi justru dari ketidak-sanggupan dalam kedalamannya.
          Demikianlah dapat kita pahami struktur keber-ada-an manusia sebagai manusia. Tetapi haruslah diingat bahwa “in-sé”, “per-sé”, “per-altri”, adalah aspek-aspek yang hanya dapat dipisahkan dalam suatu analisa. Di dalam kenyataan, aspek-aspek tersebut adalah suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya.

2.2. Seksualitas dan Perkawinan: Cara Khas “ada”-nya dan
      “ber-ada” Manusia sebagai Pria dan Wanita
  
Telah diingatkan bahwa manusia dengan segala aspek totalitas keber-ada-annya diakui sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam struktur eksistensialnya sebagai manusia di dunia. Dalam dan melalui struktur eksistensialnya itu manusia menyatakan dan mewujud-nyatakan cara beradanya yang khas manusia. Di dalam kenyataan itu pula, setiap manusia “ada” dan “ber-ada” sebagai “pria” (laki-laki) atau “wanita” (perempuan). Fakta bahwa manusia itu ada dan berada sebagai pria atau wanita merupakan bagian esensial dari kodrat manusia sebagai makhluk.[15]
Kenyataan ada dan ber-ada-nya manusia sebagai pria atau wanita menentukan manusia secara keseluruhan. Kenyataan  tersebut juga mewarnai segala sikap dan tingkah-laku manusia serta merupakan pengalaman dasar dan asasi manusia sebagai manusia di dunia. Dengan demikian dapatlah dikatakan secara singkat bahwa seksualitas merupakan segala sesuatu yang menentukan seseorang ada dan ber-ada sebagai pria atau wanita.[16] “Segala tindakan manusia, dalam status apapun (perkawinan, pertunangan, selibat, perceraian, janda-duda, dll) dan dalam usia apapun (anak, remaja, dewasa, tua) ditentukan oleh ke-pria-an atau ke-wanita-an itu”.[17] Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa segala sesuatu bersifat seksual (panseksualisme), walaupun manusia memberi warna, cap seksualitasnya kepada semua tindakannya, khususnya kepada hubungan antar pribadi. Kenyataan ini disebut seksualitas eksistensial. Karena seksualitas itu mewarnai dan mempengaruhi seluruh eksistensi hidup kita, maka tidak mungkin kita melepaskan diri dari seksualitas itu. Manusia tidak boleh menyangkal atau menyembunyikan hal ini. Kalau toh menyangkalnya, itu gberarti dia akan mengudungkan diri atau membuat dirinya tidak manusiawi. Jadi setiap orang, juga orang selibat, adalah makhluk seksual! Tidak ada manusia netral atau malaikat.[18]
Manusia merealisasikan panggilannya (panggilan paling dasar yaitu ber-ada sebagai manusia) berdasarkan realitas kodrat esensialnya sebagai pria atau wanita. Pada manusia individualitas mendapat keunikan yang serba baru. Keunikan itu menyangkut aspek totalitas dirinya dalam proses perwujudan diri sebagai pria atau wanita. Perwujudan diri ini adalah suatu panggilan menuju diri yang sejati.[19] Untuk mencapai perwujudan diri yang sejati tersebut, manusia harus taat kepada kodrat esensial dirinya yang sejati  di dalam kesetiaan kepada dirinya yang unik sebagai pria atau wanita.
Kenyataan manusia sebagai pria atau wanita tidak berarti bahwa ada dua macam manusia. Manusia adalah satu kesatuan, hanya mempunyai realitas seksual yang berbeda. Ada-nya dan ber-ada sebagai pria atau wanita menjadikan manusia itu mempunyai sifat khas dalam pola berpikir, cita-cita, perasaan, bertindak, reaksi, tingkah-laku, alun seks, serta selera seks yang berbeda.[20] Tetapi perbedaan realitas seksual sebagai pria dan wanita bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan. Justru hal itu menjadi sebuah appel untuk membangun hubungan yang erat di dalam kesatuan karena berbeda.
Dalam perkawinan, realitas perbedaan seksual menjadi suatu wahana yang paling dalam dan intim untuk saling mengisi, melengkapi, dan menyempurnakan kodrat.[21] Di dalam realitas relasi perkawinan, pria akan semakin menjadi pria bila ia berhadapan dengan wanita, begitu pula sebaliknya, wanita akan semakin menjadi wanita jika berhadapan dengan pria. Keduanya saling melengkapi sepenuhnya jiwa dan badan. Dalam realitas itu, kesempurnaan pribadi seksual pria dan wanita terwujud melalui perhatian dan cinta kasih serta pemberian diri secara utuh timbal-balik – ber-ada bagi yang lain – yang terungkap secara utuh total dengan segala aspeknya untuk saling menyempurnakan.
Dengan demikian, perkawinan menjadi salah satu wujud relasi eksistensial kebersamaan manusia. Manusia pria dan wanita dengan segala aspek totalitas dirinya saling memberi dan menerima dalam persatuan tubuh, jiwa dan roh. Suatu persatuan untuk saling menyempurnakan dan mengembangkan segala kekayaan manusiawi, yang di dalamnya kedua partner – pria dan wanita – menemukan, mengakui serta menyatakan bahwa mereka masing-masing (dengan realitas seksualnya) ada dan ber-ada untuk yang lain. Kenyataan tersebut menjadi suatu kesadaran dan pengalaman azasi untuk ada dan berada dalam realitas dirinya sebagai pria dan wanita.



2.3. Arti Seksualitas dan Perkawinan

          Untuk dapat memahami seksualitas dan perkawinan dari sudut teologi moral serta mencari norma-norma di dalamnya, kita harus menguraikan lebih dahulu apa arti seksualitas. Karena seksualitas dan perkawinan itu suatu realitas yang kompleks maka kita perlu memahaminya juga dari sudut pandang ilmu-ilmu lain seperti biologi, psikologi, sosiologi, antropologi budaya, dan sebagainya yang menelaah hal tersebut. Pemahaman dari sudut pandang ilmu-ilmu ini bukan saja membantu suatu pemahaman yang utuh-menyeluruh melainkan juga menjadi dasar yang bisa dipertanggung-jawabkan dalam memecahkan persoalan-persoalan yang kita hadapi di dalam bidang seksualitas dan perkawinan.

2.3.1. Aspek Biologis Seksualitas dan Perkawinan[22]

Ada beberapa faktor biologis yang ikut menentukan jenis kelamin seseorang: Chromosom (kromosom), Gonade (Kelenjar kelamin), ciri-ciri primer kelamin, ciri-ciri sekunder kelamin, dan pengaturan funsi-fungsi seksual.

1. Kromosom
          Kromosom berasal dari kata Yunani chroma = warna, dan soma = tubuh: bagian-bagian yang dapat diwarnai. Kromosom adalah struktur dalam inti sel berupa seperti benang-benang berwarna yang berpasangan terutama pada waktu pembelahan sel. Kromosom adalah pembawa gen (dari kata Yunani: gennaoo = menurunkan, meneruskan; atau kata gignomai = menjadi): faktor keturunan yang mengandung DNA (deoxyribonucleic acid) berbentuk seperti seuntai tangga yang terpilin ganda, yang memuat kode genetis sifat-sifat yang diturunkan. DNA terdiri atas empat basa: guanin, sitosin, adenin, dan timin serta gula deoksiribosa dan fosfat. Di dalam empat basa itu DNA menyimpan sifat yang diturunkan.
Pertama kali, kromosom ditemukan oleh Arnold, pada tahun 1874. Riset kromosom secara modern baru dilakukan tahun 1950-an. Sel-sel kulit, darah, dsb. dikultivir dan diwarnai. Dengan demikian, orang dapat mengetahui jumlah, klasifikasi, struktur dan pelbagai bentuk kromosom manusia dan juga penyimpangan-penyimpangan yang menyebabkan penyakit turunan.
          Setiap sel dalam organisme memiliki jumlah kromosom tertentu. Manusia memiliki 46 kromosom atau 23 pasang. Terdiri dari 22 pasang (44) kromosom autosom (kromosom biasa) dan 1 pasang (2) kromosom seks (gonosom, kromosom kelamin). Kromosom autosom ialah kromosom yang mengandung gen pembawa sifat tubuh suatu organisme, antara lain pembawa sifat hidung dan mata. Kromosom seks ialah kromosom yang mengandung gen pembawa jenis kelamin. Ada satu pasang atau dua buah kromosom seks yaitu X dan Y. Untuk pembentukan jenis kelamin perempuan diperlukan 2 kromosom X (XX), sedangkan untuk pembentukan jenis kelamin laki-laki diperlukan 1 kromosom X dan 1 kromosom Y.

2. Gonade (kelenjar kelamin)
       Perbedaan kelamin juga dapat dilihat sehubungan dengan kelenjar kelamin.