DAFTAR ISI
Pendahuluan
|
i
|
Daftar Isi
|
ii
|
BAB PERTAMA
|
|
PENTINGNYA “PEMBAHARUAN”
MORAL SEKSUALITAS DAN PERKAWINAN
|
1
|
1.1. Mengapa Berbicara tentang “Pembaharuan”
|
1
|
1.2. Apa yang Diperbaharui
|
3
|
1.3. Sebuah Moral Seksualitas dan Perkawinan Berdasarkan “Terang
Injil dan
Pengalaman Manusia”
|
3
|
|
|
BAB KEDUA
|
|
SEKSUALITAS DAN
PERKAWINAN:
REALITAS MANUSIAWI
|
5
|
2.1. Konstitusi Eksistensial Manusia (Struktur keber-
ada-an)
|
5
|
2.2. Seksualitas dan Perkawinan: Cara Khas “ada”-nya dan
“ber-ada”
Manusia sebagai Pria dan Wanita
|
6
|
2.3. Arti Seksualitas dan Perkawinan
|
8
|
2.3.1. Aspek Biologis Seksualitas dan Perkawinan
|
6
|
2.3.2. Aspek Psikologis Seksualitas dan Perkawinan
|
17
|
2.3.2.1. Arti dan Struktur Psikologis Seksualitas
|
17
|
2.3.2.2. Perkembangan Seksualitas Menurut Fase-Fase Hidup
|
18
|
2.3.2.3. Psyche Pria dan Wanita
|
22
|
2.3.2.4. Beberapa Gangguan Perkembangan
|
24
|
2.3.2.5. Makna Aspek Psikologis Untuk Pemahaman Yang
Menyeluruh
Tentang
Seksualitas dan Perkawinan
|
25
|
2.3.3. Aspek Ethologis Seksualitas Dan Perkawinan
|
26
|
2.3.3.1. Perbandingan Antara Gejala-Gejala Seksual Hewan
Dan
Manusia
|
26
|
2.3.3.2. Unsur-Unsur Kelakuan Seksual Dan Sosial
|
27
|
2.3.4. Aspek Sosio-Kultural Seksualitas Dan Perkawinan
|
31
|
2.3.4.1. Pelembagaan Hubungan dan Peranan Kelamin
|
31
|
2.3.4.2. Beberapa Gejala di Bidang Seksualitas dan
Perkawinan
Dewasa
Ini
|
33
|
2.3.5. Aspek Filosofis-Teologis Seksualitas dan Perkawinan
|
36
|
2.3.5.1. Arti Personal Dan Sosial Seksualitas dan Perkawinan
|
36
|
2.3.5.2. Segi Religius dan Arti Sakramental Perkawinan
|
47
|
|
|
BAB
KETIGA
|
|
SEKSUALITAS DAN
PERKAWINAN
DALAM KITAB SUCI
|
45
|
|
|
3.1. Seksualitas dan Perkawinan dalam Perjanjian Lama
|
45
|
3.1.1. Seksualitas dan Perkawinan dalam Tata Penciptaan
|
46
|
3.1.2. Seksualitas dan Erotik sebagai Realitas Dunia dalam
Lukisan
Poetis
Kidung Agung
|
52
|
3.1.3. Seksualitas dan Perkawinan dalam Tata Penyelamatan:
Gagasan
Perjanjian
|
53
|
3.1.4. Hukum VI dan IX (X) dalam Dekalog
|
55
|
3.1.5. Ethos Seksual dan Perkawinan di Israel
|
59
|
3.2. Seksualitas dan Perkawinan dalam Perjanjian Baru
|
62
|
3.2.1. Ajaran Yesus tentang Perkawinan dan Perceraian
|
63
|
3.2.2. Seksualitas dan Perkawinan dalam Surat-Surat Paulus
|
72
|
3.2.3. Ethos Seksual dan Perkawinan dalam Perjanjian Baru
|
86
|
|
|
BAB KEEMPAT
|
|
SEKSUALITAS DAN PERKAWINAN |
|
DALAM PERKEMBANGAN SEJARAH/TRADISI |
93
|
|
|
4.1. Seksualitas dan Perkawinn dalam Patristik
|
93
|
4.1.1. Kesulitan untuk Menerima Sifat Orgastis Seksualitas/
|
|
Perkawinan
|
94
|
4.1.2. Ajaran Agustinus
|
97
|
4.1.3. Beberapa Tema Sehubungan dengan
Seksualitas/Perkawinan
|
|
dalam
Patristik
|
100
|
4.2. Seksualitas dan Perkawinan dalam Abad Pertengahan
|
106
|
4.2.1. Unsur Konstitutif Perkawinan
|
107
|
4.2.2. Sakramentalitas Perkawinan
|
111
|
4.2.3. Tujuan Perkawinan sebagai Dasar Moral
|
|
Seksualitas
dan Perkawinan
|
115
|
4.3. Ajaran Reformasi dan Konsili Trente tentang Perkawinan
|
121
|
4.4. Seksualitas dan Perkawinan Abad XX
|
127
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
BAB KELIMA |
|
SOAL NORMA
|
|
DI BIDANG SEKSUALITAS DAN PERKAWINAN
|
135
|
|
|
5.1. Argumen Tradisional
|
135
|
5.1.1. Argumentasi Tradisional di Bidang Moral
|
135
|
5.1.2. Norma-norma Hukum di Bidang Seksualitas dan
Perkawinan
|
139
|
5.2. Beberapa Usaha Pembaharuan
|
141
|
5.2.1. Usaha Pembaharuan di Bidang Moral
|
142
|
5.2.2. Usaha-Usaha Pembaharuan di Bidang Hukum
|
145
|
|
|
BAB KEENAM |
|
BEBERAPA SOAL AKTUAL
|
|
DI BIDANG
SEKSUALITAS DAN PERKAWINAN
|
149
|
|
|
6.1. Kesetiaan dan Perceraian
|
149
|
6.1.1. Kesetiaan dan Perceraian
|
149
|
6.1.2. Soal Cerai dan Kawin lagi
|
154
|
6.2. Keluarga Berencana
|
159
|
6.2.1. Beberapa Data
|
160
|
6.2.2. Penilaian gagasan KB pada umumnya
|
163
|
6.2.3. Metode KB dan Penilaiannya
|
167
|
6.3. Inseminasi Artifisial dan Bayi Tabung
|
181
|
6.3.1. Inseminasi Artifisial
|
181
|
6.3.2. Soal Bayi Tabung
|
185
|
6.4. Hubungan Seksual
sebelum dan di luar Perkawinan
|
193
|
6.4.1. Hubunagn seksual sebelum dan di luar perkawinan
|
|
Menurut
penilaian tradisional
|
193
|
6.4.2. Beberapa Gagasan Dewasa ini
|
198
|
6.5. Hubungan Homoseksual
|
204
|
6.5.1. Beberapa Data Tentang Homoseksualitas
|
204
|
6.5.2. Penilaian terhadap Homoseksualitas/Hubungan
Homoseksual
|
207
|
6.6. Masturbasi dan Pengambilan Sperma
|
213
|
6.7. Pornografi
|
221
|
6.8. Perversi Seksual
|
227
|
6.9. “Ganti” Kelamin
|
234
|
6.10. Pendidikan Seksual
|
240
|
6.11. Kawin dan Tidak Kawin (keperawanan dan selibat)
|
247
|
|
|
Kepustakaan
|
254
|
PENDAHULUAN
“Seksualitas dan Perkawinan” merupakan
salah satu tema yang dibahas selama perkuliahan semester ini. Tema ini akan
dibahas dari sudut pandang/paham moral Gereja Katolik. Pembahasan ini bertujuan
agar para mahasiswa setelah perkuliahan semester ini mampu menganalisa,
mendeskripsikan serta merumuskan arti seksualitas dan perkawinan menurut pahan
moral Gereja Katolik. Dengan demikian, dalam karya pastoral, mereka pun mampu
memecahkan soal-soal moral yang dihadapi, khususnya dalam hubungan dengan masalah
di bidang seksualitas dan perkawinan.
Untuk tujuan tersebut, maka pembahasan tema
ini akan dibagi dalam beberapa topik bahasan.
- Perlunya
“pembaharuan” Moral Seksualitas dan Perkawinan
- Seksualitas
dan Perkawinan: Realitas Manusiawi
- Seksualitas
dan Perkawinan dalam KS
- Seksualitas
dan Perkawian dalam Perkembangan Sejarah/Tradisi
- Soal
Norma di Bidang Seksualitas dan Perkawinan
- Beberapa
Soal Aktual di Bidang Seksualitas dan Perkawinan
Beberapa topik bahasan diambil seluruhnya atau diringkas dari
pembahasan Dr. Piet Go, O.Carm dalam bukunya: Seksualitas dan perkawinan,
seri Teologi Widya Sasana, No. 2, Malang, 1985, dan Dr. Kees Maas, SVD, Teologi Moral
Seksualitas, Nusa Indah, Ende, 1998. Topik bahasan tersebut juga diperkaya
oleh sumber lain yang digunakan. Sumber tersebut dapat dilihat pada catatan
kaki setiap topik bahasan.
Karena seksualitas dan perkawinan merupakan
suatu tema yang sangat luas, maka tidak mungkin dapat dibahas secara menyeluruh
selama perkuliahan semester ini. Topik-topik di atas dipilih dari sekian banyak
topik yang harus dibahas untuk mendalami tema ini. Untuk itu diharapkan agar
para mahasiswa – dibantu oleh literatur mengenai seksualitas dan perkawinan
yang bisa ditemukan – secara aktif mengembangkan dan mendalami topik-topik yang
telah dibahas dan terutama hal-hal yang belum dibahas dalam proses
belajar-mengajar.
BAB PERTAMA
PENTINGNYA “PEMBAHARUAN”
MORAL SEKSUALITAS DAN PERKAWINAN
“Pembaharuan”
moral seksualitas dan perkawinan ditempatkan pada bab pertama dalam pembahasan
tema perkulihan ini karena ada beberapa dasar pemikiran. Pertama, untuk
memberikan suatu semangat yang harus mendasari seluruh pembahasan tentang
seksualitas dan perkawinan. Kedua, dalam semangat dasar itu terungkap suatu
pencarian yang terus-menerus untuk meletakan dasar bagi moral seksualitas dan
perkawinan yang lebih autentik. Sehingga dapat dikatakan bahwa “pembaharuan”
menjadi dasar dan warna serta jiwa bagi seluruh pembahasan tema ini.
1.1.
Mengapa Berbicara tentang “Pembaharuan”?
Kalau kita menelaah secara seksama konsili Vatikan II, maka
kita akan menemukan suatu semangat yang sungguh-sungguh khas, yang menjadi
dasar dan warna (jiwa) dari konsili tersebut. Jika dibandingkan dengan
konsili-konsili sebelumnya, konsili Vatikan II
secara terbuka berbicara tentang “pembaharuan”; bahkan secara tegas
memberikan rangsangan untuk “membuat pembaharuan”. Termin tentang
“pembaharuan”, atau “pemulihan kembali (restaurasi)” dipakai sepuluh kali dalam
Lumen Gentium, sepuluh kali dalam Gaudium et Spes, dan sebelas
kali dalam Unitatis Redintegratio.[1]
Dengan semangat
yang demikian pula, konsili «dalam terang Injil dan pengalaman manusia,
mengarahkan perhatian semua orang kepada berbagai kebutuhan zaman sekarang yang cukup mendesak dan sangat membebani umat
manusia».[2] Konsili menyadari bahwa
ada begitu banyak hal yang «menimbulkan keprihatianan banyak orang»[3], namun «terutama
pokok-pokok berikutlah yang seyogyanya diindahkan: perkawinan dan keluarga,
kebudayaan manusiawi, kehidupan sosial-ekonomi dan politik, perserikatan
keluarga besar para bangsa dan perdamaian»[4].
Di bawah
penyataan tentang «kenyataan manusia di dunia masa kini»[5], konsili Vatikan II secara
eksplisit telah menunjuk kepada suatu periode baru dari sejarah yang
ditandai oleh dalam dan cepatnya perubahan. Berhadapan dengan kenyataan seperti
itu, Gereja menyadari dirinya untuk «selalu wajib menyelidiki tanda-tanda zaman
dan menafsirkannya dalam cahaya Injil. Demikianlah Gereja – dengan cara yang
sesuai dengan setiap angkatan – akan dapat menanggapi pertanyaan-pertanyaan,
yang di segala zaman diajukan oleh orang-orang tentang makna hidup sekarang dan
di masa mendatang, serta tentang hubungan timbal balik antara keduanya. Maka
perlulah dikenal dan dipahami dunia kediaman kita beserta harapan-harapan,
aspirasi-aspirasi dan sifat-sifatnya yang sering dramatis».[6]
Dalam kenyataan
yang demikian, Gereja pada konsili Vatikan II menyadari bahwa «lembaga-lembaga,
hukum-hukum serta cara-cara berpikir dan berperasaan yang diwariskan oleh para
leluhur agaknya memang tidak selalu betul-betul cocok dengan situasi masa kini.
Maka terasalah kekacauan yang besar mengenai cara-cara maupun kaidah-kaidah
bertindak»[7]
Kesadaran tersebut menuntut dan menantang
Gereja untuk senantiasa membaharui dirinya dan apa yang
diwartakannya agar betul-betul cocok dengan situasi zamannya.
Pembaharuan yang berkelanjutan adalah salah satu dari ciri-ciri khas esensial
Gereja yang bersumber pada misteri Kristus sendiri. Melalui inkarnasi, hidup
dan karya, kesengsaraan, wafat dan kebangkitan-Nya, digenapi-Nyalah penebusan
manusia dari perbudakan dosa. Dengan demikian, manusia dipulihkan dan
pembaharuan kembali. Paulus juga berbicara tentang suatu ciptaan baru dalam
Kristus ( 2Kor 5,17), di dalamnya terwujud panggilan kepada kebebasan
yang harus dihayati sebagai pelayanan dalam kasih (Gal 5,13s).
Di hadapan kenyataan zaman ini, Gereja
sungguh-sungguh sadar bahwa problem baru harus selalu dipecahkan dengan
cara-cara baru, sebab seperti dikatakan oleh Yesus : “... tidak seorangpun
mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika
demikian anggur itu akan mengoyakkan kantong itu, sehingga anggur itu dan
kantongnya dua-duanya terbuang. Tetapi anggur yang baru hendaknya disimpan
dalam kantong yang baru pula” (Mrk 2,22; Luk 5, 37). Kesadaran ini juga yang
membuat Gereja mendesak dengan sangat agar vak-vak teologi dan secara khas
teologi moral diperbaharui.[8] Maka tak dapat disangkal
lagi bahwa pembaharuan bagi sebuah moral seksualitas dan perkawinan merupakan
suatu tuntutan mutlak yang menyentuh secara langsung di satu pihak tanda-tanda
zaman ini dan di lain pihak adalah kesadaran Gereja untuk selalu membaharui
diri dan apa yang harus diwartakannya di hadapan kenyataan manusia di dunia
masa kini.
1.2.
Apa yang diperbaharui?
Konsili Vatikan
II, dalam Gaudium et Spes, telah menunjukkan beberapa dari banyak perubahan
yang sedang terjadi dan mencari pembenarannya. Dalam konteks kita, dapatlah
ditunjukkan beberapa perubahan dalam
bidang moral tradisional dan secara khusus perubahan-perubahan dalam moral seksualitas
dan perkawinan. Kita hanya menunjukkan beberapa contoh dari banyak perubahan
yang sedang terjadi:[9]
-
dari
suatu pola pikir yang berdasar pada “efisiensi” dan “utilitas” (hasil
guna/hasil usaha - kegunaan) kepada suatu pola pikir yang berdasar pada suatu
yang bersifat gratis (cuma-cuma, anugerah, pemberian). Dari suatu pola pikir
tentang seksualitas dan perkawinan yang didasarkan pada efisiensi dan
utilitasnya kepada suatu pola pikir yang berdasarkan anugerah, sebagai sebuah
pemberian yang menuntut tanggung jawab.
-
dari
suatu suasana persaingan dan perlawanan (antar jenis kelamin: laki-laki dan
perempuan, suami dan isteri) kepada suatu suasana baru dalam solidaritas yaitu
suatu perubahan dari “dominasi kepada komunio, partisipatif dan kesetaraan.
-
dari
suatu moralitas yang berdasarkan keharusan kepada suatu moralitas yang
berdasarkan “tanggung-jawab”.
-
dari
suatu moralitas yang bersifat menekan (represif) dan tertutup kepada suatu
moralitas yang lebih terbuka.
Perubahan-perubahan ini (dan masih
banyak yang lain) menuntut suatu pembaharuan yang mendalam, baik pada tingkat pembahasaan
(penyampaian) maupun pada tingkat formulasi (perumusan).
S. Pinckaers menujukkan beberapa perubahan penting pada tingkat pembahasaan: [10]
-
dari
suatu pembahasaan yang abstrak kepada suatu pembahasaan yang konkret
-
dari
suatu pembahasaan yang a-historis dan esensialistas kepada suatu pembahasaan
eksistensial dan historis
-
dari
suatu pembahasaan yang impersonal kepada suatu pembahasaan yang lebih personal
dan menyentuh langsung
-
dari
suatu pembahasan ontologis kepada suatu pembahasaan psikologis.
1.3.
Sebuah Moral Seksualitas dan Perkawinan Berdasarkan
“Terang Injil dan Pengalaman Manusia”
Kritik kepada
moral tradisional berarti juga suatu tuntutan pembaharuan untuk mencari dan
menemukan suatu termin yang lebih sah guna mengidentifikasikan suatu moral yang
lebih autentik. Konsekuensi yang diakibatkan oleh pembaharuan ini sangat jelas
yaitu bukan hanya dimaksudkan sebagai perubahan sederhana pada level kata-kata
(perumusan, teori), tetapi lebih mendalam lagi yaitu menyentuh sekaligus
prinsip-prinsipnya melalui kontak yang lebih hidup dengan Misteri Kristus
dan sejarah keselamatan untuk menghasilkan buah dalam cinta
kasih. Untuk itu, Gereja melalui konsili Vatikan II menegaskan: “... hendaklah
vak-vak teologi lainnya diperbaharui melalui kontak yang lebih hidup dengan Misteri
Kristus dan sejarah keselamatan. Secara khas hendaklah
diusahakan penyempurnaan teologi moral. Hendaknya itu diuraikan secara
ilmiah, lebih mengacu kepada ajaran Kitab Suci,
sehingga sungguh menjelaskan keluhuran panggilan umat beriman dalam Kristus
serta kewajiban mereka untuk demi kehidupan dunia menghasilkan buah dalam cinta
kasih”[11].
Dalam semangat pembaharuan ini, jika teologi
moral (moral seksualitas dan perkawinan) ingin memenuhi tugasnya secara jujur
dan bertanggungjawab serta dengan tepat guna (sesuai tantangan/tuntutan zaman)
mencari dan mewartakan “kehendak” Tuhan, maka ia harus mendasarkan dirinya pada
dua hal, yaitu: terang Injil (Misteri Kristus) dan pengalaman manusia
(sejarah keselamatan). Untuk itu, demi pertanggung-jawaban keilmiahannya,
teologia moral harus memperhatikan segi-segi seksualitas dan perkawinan yang
disoroti oleh ilmu-ilmu lain yang menyelidiki manusia, secara khusus biologi,
etnologi, psikologi, antropologi, sosiologi, psikoterapia, dan lain-lainnya.[12] Kelemahan teologi moral
tradisional antara lain terletak pada tiadanya basis ilmiah yang dapat
dipertanggung-jawabkan sewajarnya. Hal ini terjadi karena banyak hal dinyatakan
sebagai baik atau buruk, tepat atau tidak tepat secara moral bukan terutama
berdasarkan argumentasi ilmiah melainkan berdasarkan otoritas (kuasa mengajar
Gereja) dan tradisi.
BAB KEDUA
SEKSUALITAS
DAN PERKAWINAN:
REALITAS MANUSIAWI
Apa
itu seksualitas? Apa itu perkawinan? Bermacam-macam jawaban dapat diberikan.
Variasi jawaban yang diberikan itu menunjukkan bahwa seksualitas dan perkawinan
merupakan suatu realitas yang sangat kompleks. Tetapi hal ini tidak berarti
bahwa kita tidak bisa mengatakan apa-apa tentang seksualitas dan perkawinan.
Justru kenyataan itu menjadi sautu appel bagi kita untuk menggumulinya.
Pada bab ini
kita tidak akan menambah lagi dereten jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi
dengan memberikan teori-teori baru, tetapi lebih melihatnya sebagai suatu
“realitas manusiawi”[13] dengan menguraikan
aspek-aspeknya.
2.1.
Konstitusi Eksistensial Manusia
(Struktur keber-ada-an)
Ada begitu
banyak teori yang merumuskan perihal “apa dan bagaimana” yang menjadi dasar
keber-ada-an manusia sebagai manusia. Namun secara sederhana dapatlah kita
rumuskan sebagai berikut.[14]
w Area Biologis/Fisik:
·
“ In-Sé ”: dalam dirinya
manusia menemukan suatu struktur fenomenologis bahwa ia mempunyai dimensi
“keber-fisik-an”. Dimensi ini mempunyai aspek: kuantitatif dan dapat
diukur.
e keber-tubuh-an
e hidup.
w Area
Meta-biologis/meta-fisik:
·
“ Per-Sé ”: di samping ia menemukan di dalam dirinya
suatu dimensi keber-fisik-an, ia juga menyadari bahwa ia bukan hanya sekedar
mempunyai fisik/tubuh/badan dan hidup, tetapi di dalam dimensi keber-fisik-an
tersebut ada sesuatu yang lebih dari itu. Ia mempunyai dimensi: “meta-fisik”,
yang terarah untuk dirinya. Dimensi ini mempunyai
horizon/cakrawala: kenyataan yang tidak terukur.
e kesadaran/pengetahuan/kepandaian
e kehendak bebas
·
“ Per-altri ”: di dalam
dimensi meta-fisik itu, ia mengalami bahwa ia bukan hanya untuk dirinya, tetapi
juga untuk yang lain, yang mempunyai dimensi “transitifitas”.
Ia mengalami suatu jalinan/jaringan dengan sesamanya: saya – engkau – kita.
Ada tiga unsur di dalam dimensi ini:
e ”Co-Essere” c
(Co-eksistensi): Unsur ini menjadi dasar hidup
bermasyarakat atau pengalaman hidup dalam jalinan komunikasi dengan yang lain.
e “Pro-Essere” c (Pro-eksistensi):
Unsur ini yang mendasari suatu komunitas. Ada pengalaman keterlibatan dalam
membangun jalinan/ikatan-ikatan melalui pelayanan kepada yang lain
(persekutuan).
e “In-Essere” c (In-Eksistensi):
dalam pengalaman persekutuan itu terwujud sikap saling menerima dan memberi
justru dari ketidak-sanggupan dalam kedalamannya.
Demikianlah dapat kita pahami struktur
keber-ada-an manusia sebagai manusia. Tetapi haruslah diingat bahwa “in-sé”,
“per-sé”, “per-altri”, adalah aspek-aspek yang hanya dapat dipisahkan dalam
suatu analisa. Di dalam kenyataan, aspek-aspek tersebut adalah suatu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya.
2.2. Seksualitas dan
Perkawinan: Cara Khas “ada”-nya dan
“ber-ada” Manusia sebagai Pria dan Wanita
Telah
diingatkan bahwa manusia dengan segala aspek totalitas keber-ada-annya diakui
sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam struktur eksistensialnya
sebagai manusia di dunia. Dalam dan melalui struktur eksistensialnya itu
manusia menyatakan dan mewujud-nyatakan cara beradanya yang khas manusia. Di
dalam kenyataan itu pula, setiap manusia “ada” dan “ber-ada” sebagai “pria”
(laki-laki) atau “wanita” (perempuan). Fakta bahwa manusia itu ada dan berada
sebagai pria atau wanita merupakan bagian esensial dari kodrat manusia sebagai
makhluk.[15]
Kenyataan ada
dan ber-ada-nya manusia sebagai pria atau wanita menentukan manusia secara
keseluruhan. Kenyataan tersebut juga
mewarnai segala sikap dan tingkah-laku manusia serta merupakan pengalaman dasar
dan asasi manusia sebagai manusia di dunia. Dengan demikian dapatlah dikatakan
secara singkat bahwa seksualitas merupakan segala sesuatu yang
menentukan seseorang ada dan ber-ada sebagai pria atau wanita.[16] “Segala tindakan manusia,
dalam status apapun (perkawinan, pertunangan, selibat, perceraian, janda-duda,
dll) dan dalam usia apapun (anak, remaja, dewasa, tua) ditentukan oleh
ke-pria-an atau ke-wanita-an itu”.[17] Tetapi, hal ini tidak
berarti bahwa segala sesuatu bersifat seksual (panseksualisme), walaupun
manusia memberi warna, cap seksualitasnya kepada semua tindakannya, khususnya
kepada hubungan antar pribadi. Kenyataan ini disebut seksualitas
eksistensial. Karena seksualitas itu mewarnai dan mempengaruhi seluruh
eksistensi hidup kita, maka tidak mungkin kita melepaskan diri dari seksualitas
itu. Manusia tidak boleh menyangkal atau menyembunyikan hal ini. Kalau toh
menyangkalnya, itu gberarti dia akan mengudungkan diri atau membuat dirinya
tidak manusiawi. Jadi setiap orang, juga orang selibat, adalah makhluk seksual!
Tidak ada manusia netral atau malaikat.[18]
Manusia
merealisasikan panggilannya (panggilan paling dasar yaitu ber-ada sebagai
manusia) berdasarkan realitas kodrat esensialnya sebagai pria atau wanita. Pada
manusia individualitas mendapat keunikan yang serba baru. Keunikan itu
menyangkut aspek totalitas dirinya dalam proses perwujudan diri sebagai pria
atau wanita. Perwujudan diri ini adalah suatu panggilan menuju diri yang
sejati.[19] Untuk mencapai perwujudan
diri yang sejati tersebut, manusia harus taat kepada kodrat esensial dirinya
yang sejati di dalam kesetiaan kepada
dirinya yang unik sebagai pria atau wanita.
Kenyataan
manusia sebagai pria atau wanita tidak berarti bahwa ada dua macam manusia.
Manusia adalah satu kesatuan, hanya mempunyai realitas seksual yang berbeda.
Ada-nya dan ber-ada sebagai pria atau wanita menjadikan manusia itu mempunyai
sifat khas dalam pola berpikir, cita-cita, perasaan, bertindak, reaksi,
tingkah-laku, alun seks, serta selera seks yang berbeda.[20] Tetapi perbedaan realitas
seksual sebagai pria dan wanita bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan.
Justru hal itu menjadi sebuah appel untuk membangun hubungan yang erat di dalam
kesatuan karena berbeda.
Dalam
perkawinan, realitas perbedaan seksual menjadi suatu wahana yang paling dalam
dan intim untuk saling mengisi, melengkapi, dan menyempurnakan kodrat.[21] Di dalam realitas relasi
perkawinan, pria akan semakin menjadi pria bila ia berhadapan dengan wanita,
begitu pula sebaliknya, wanita akan semakin menjadi wanita jika berhadapan
dengan pria. Keduanya saling melengkapi sepenuhnya jiwa dan badan. Dalam
realitas itu, kesempurnaan pribadi seksual pria dan wanita terwujud melalui
perhatian dan cinta kasih serta pemberian diri secara utuh timbal-balik –
ber-ada bagi yang lain – yang terungkap secara utuh total dengan segala
aspeknya untuk saling menyempurnakan.
Dengan
demikian, perkawinan menjadi salah satu wujud relasi eksistensial kebersamaan
manusia. Manusia pria dan wanita dengan segala aspek totalitas dirinya saling
memberi dan menerima dalam persatuan tubuh, jiwa dan roh. Suatu persatuan untuk
saling menyempurnakan dan mengembangkan segala kekayaan manusiawi, yang di
dalamnya kedua partner – pria dan wanita – menemukan, mengakui serta menyatakan
bahwa mereka masing-masing (dengan realitas seksualnya) ada dan ber-ada untuk
yang lain. Kenyataan tersebut menjadi suatu kesadaran dan pengalaman azasi
untuk ada dan berada dalam realitas dirinya sebagai pria dan wanita.
2.3. Arti Seksualitas dan
Perkawinan
Untuk dapat memahami seksualitas dan
perkawinan dari sudut teologi moral serta mencari norma-norma di dalamnya, kita
harus menguraikan lebih dahulu apa arti seksualitas. Karena seksualitas dan
perkawinan itu suatu realitas yang kompleks maka kita perlu memahaminya juga
dari sudut pandang ilmu-ilmu lain seperti biologi, psikologi, sosiologi,
antropologi budaya, dan sebagainya yang menelaah hal tersebut. Pemahaman dari
sudut pandang ilmu-ilmu ini bukan saja membantu suatu pemahaman yang
utuh-menyeluruh melainkan juga menjadi dasar yang bisa dipertanggung-jawabkan
dalam memecahkan persoalan-persoalan yang kita hadapi di dalam bidang
seksualitas dan perkawinan.
2.3.1. Aspek Biologis
Seksualitas dan Perkawinan[22]
Ada beberapa
faktor biologis yang ikut menentukan jenis kelamin seseorang: Chromosom
(kromosom), Gonade (Kelenjar kelamin), ciri-ciri primer kelamin,
ciri-ciri sekunder kelamin, dan pengaturan funsi-fungsi seksual.
1. Kromosom
Kromosom berasal dari kata Yunani chroma
= warna, dan soma = tubuh: bagian-bagian yang dapat diwarnai. Kromosom
adalah struktur dalam inti sel berupa seperti benang-benang berwarna yang
berpasangan terutama pada waktu pembelahan sel. Kromosom adalah pembawa gen
(dari kata Yunani: gennaoo = menurunkan, meneruskan; atau kata gignomai =
menjadi): faktor keturunan yang mengandung DNA (deoxyribonucleic acid)
berbentuk seperti seuntai tangga yang terpilin ganda, yang memuat kode genetis
sifat-sifat yang diturunkan. DNA terdiri atas empat basa: guanin, sitosin,
adenin, dan timin serta gula deoksiribosa dan fosfat.
Di dalam empat basa itu DNA menyimpan sifat yang diturunkan.
Pertama kali,
kromosom ditemukan oleh Arnold, pada tahun 1874. Riset kromosom secara modern
baru dilakukan tahun 1950-an. Sel-sel kulit, darah, dsb. dikultivir dan
diwarnai. Dengan demikian, orang dapat mengetahui jumlah, klasifikasi, struktur
dan pelbagai bentuk kromosom manusia dan juga penyimpangan-penyimpangan yang
menyebabkan penyakit turunan.
Setiap sel dalam organisme memiliki
jumlah kromosom tertentu. Manusia memiliki 46 kromosom atau 23 pasang. Terdiri
dari 22 pasang (44) kromosom autosom (kromosom biasa) dan 1
pasang (2) kromosom seks (gonosom, kromosom kelamin). Kromosom
autosom ialah kromosom yang mengandung gen pembawa sifat tubuh suatu
organisme, antara lain pembawa sifat hidung dan mata. Kromosom seks
ialah kromosom yang mengandung gen pembawa jenis kelamin. Ada satu pasang atau
dua buah kromosom seks yaitu X dan Y. Untuk pembentukan jenis kelamin perempuan
diperlukan 2 kromosom X (XX), sedangkan untuk pembentukan jenis kelamin
laki-laki diperlukan 1 kromosom X dan 1 kromosom Y.
2. Gonade
(kelenjar kelamin)
Perbedaan
kelamin juga dapat dilihat sehubungan dengan kelenjar kelamin.