Jumat, 01 Juni 2012

Pancasila. by: juventz Ofm Konventual

IV. Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
4.1              Arti Ideologi Terbuka
Ideologi terbuka ialah pandangan hidup bangsa yang mempunyai nilai dasar besifat tetap sepanjang zaman, yaitu pancasila. Pandangan hidup bangsa yang bersifat tetap juga mampu berkembang secara dinamis (nilai instrumental), yang dapat berubah, misalnya; UUD 1945 dan GBHN.[1]
Nilai-nilai yang terkandung di dalam ideologi terbuka, terdiri dari dua bagian yakni;
·                    Nilai-nilai dasar, yakni cita-cita, tujuan, serta lembaga-lembaga penyelenggara Negara, seperti MPR, DPR, Presiden, DPA, MA, BPK, Pemda, dan tata hubungan antar lembaga serta tugas dan wewenangnya. Nilai-nilai dasar itu bersifat tetap sepanjang zaman.[2] Nilai-nilai dasar itu terdapat dalam empat alinea Pembukaan UUD 1945;
·              Alinea I: keyakinan kita kepada kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, kepada perikemanusiaan dan perikeadilan.
·              Alinea II: cita-cita nasional dan kemerdekaan, yaitu suatu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
·              Alinea III: watak aktif dari rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaan, untuk mencapai kehidupan berbangsa yang bebas.
·              Alinea IV: arahan mengenai tujuan negara, susunan negara, system pemerintahan, dan dasr negara yaitu Pancasila.[3]  
·                    Nilai-nilai instrumental berupa arahan, kebijaksanaan, strategi, sasaran, serta lembaga pelaksanaannya, seperti Departemen, Ditjen, Gubernur, dan lain-lain. Nilai-nilai instrument ini dapat berubah dan disesuaikan dengan kehendak zaman.[4]
Ciri khas ideologi terbuka ialah nilai-nilai dan cita-cita itu digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral, dan budaya masyarakat sendiri. Ini berarti bahwa dasar nilai-nilai dan cita-cita tidak diciptakan oleh negara, yang bersifat totaliter dan memaksa untuk diterima secara buta, juga bukan lahir dari monopoli satu golongan saja, tetapi ditemukan di dalam masyarakat yang semua orang yang berada di dalam negara itu sendiri. Dengan demikian, ideologi adalah milik dari semua rakyat dan di dalamnya rakyat menemukan jati diri sebagai warga Negara.[5] Dengan itu, masyarakat dengan usaha bersama menyelenggarakan negara ini secara sadar dan suka rela bersedia menaati dan melaksanakan pedoman-pedoman yang dikandung di dalam kelima Sila dari Pancasila.[6]
Keterbukaan ideologi Pancasila ini, tidak berarti diterimanya segala nilai apa pun termasuk nilai-nilai yang bertentangan, yang akan menggeser nilai-nilai dasar Pancasila. Sebaliknya  nilai-nilai dasar Pancasila harus tetap dipertahankan, sebab nilai-nilai dasar itu akan menjadi acuan serta dasar bagi segala kebijaksanaan dan pelaksanaan kehidupan bangsa dan negara.  Perlu diingat bahwa keterbukaan ideologi Pancasila tidak berlaku pada nilai-nilai dasar Pancasila, melainkan terbuka bagi nilai-nilai instrumentalnya saja, yang memiliki fleksibilitas untuk memelihara relevansinya bagi perkembangan bangsa Indonesia dari masa ke masa.[7]

4.2              Asal-Usul Ideologi terbuka
Asal-usul ideologi terbuka dikemukakan oleh presiden Soekarno pada tanggal 10 November 1986 dalam acara pembukaan Penataran Calon manggala BP-7 Pusat. Selanjutnya, pada tanggal 16 Agustus 1989 dalam pidato kenegaraan, sebagai berikut: “itulah sebabnya, beberapa tahun yang lalu saya kemukakan, bahwa pancasila adalah ideologi terbuka, ,aka kita dalam mengembangkan pemikiran baru yang tegar dan kreatif untuk mengamalkan Pancasila dalam menjawab perubahan dan tantangan zaman yang terus bergerak dinamis, yakni, nilai-nilai dasar Pancasila tidak boleh berubah, sedangkan pelaksanaannya kita sesuaikan dengan kebutuhan dan tantangan nyata yang kita hadapi dalam tiap kurun waktu”.

4.3              Faktor Pendorong Keterbukaan Ideologi Pancasila
Faktor yang mendorong pemikiran mengenai keterbukaan ideologi Pancasila adalah sebagai berikut:
·                    Kenyataan bahwa dalam proses pembangunan nasional berencana, dinamika masyarakat berkembang dengan cepat. Peranan besar tidak lagi dipegang oleh Negara dan pemerintah (Perusahaan Negara, BUMN), melainkan justru dipegang oleh badan usaha swasta.
·                    Kenyataan bangkrutnya ideologi tertutup seperti marxisme, leninisme, dan komunisme.
·                    Pengalaman pengaruh komunisme terhadap sejarah politik di Indonesia pada  masa lalu sangat besar. Akibatnya Pancasila pernah merosot menjadi sebuah dogma yang kaku. Antara aturan pokok dan aturan pelaksanaannya tidak ada perbedaan.
·                    Berdasarkan pengalaman itu, bangsa Indonesia bertekat untuk menjadikan pancasila sebagai asas dasar dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

4.4              Sifat Ideologi
Sifat ideologi Pancasila memiliki tiga dimensi penting, yakni:
·                    Dimensi realitas. Nilai-nilai yang terkandung di dalam dirinya bersumber dari nilai-nilai riil yang hidup, tertanam dan berakar dalam masyarakat. Dengan demikian masyarakat benar-benar merasakan dan menghayatinya sebagai dasar hidup mereka.
·                    Dimensi idealisme mengandung cita-cita yang ingin dicapai dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Cita-cita tersebut berisi harapan yang masuk akal. Sebab dalam suatu ideologi yang kokoh biasanya ada hubungan yang saling mengisi dan memperkuat antara realitas dan ideologi.
·                    Dimensi fleksibilitas. Melalui pemikiran baru tentang dirinya, ideologi itu mempergeser, memelihara, dan memperkuat relevansinya dari waktu ke waktu.

4.5              Pembatasan Ideologi Pancasila
Batas-batas keterbukaan ideologi Pancasila yang tidak boleh dilanggar, yaitu:
·                    Stabilitas nasional yang dinamis
·                    Larangan terhadap ideologi marxisme, leninisme, dan komunisme
·                    Mencegah berkembangnya paham libera
·                    Larangan terhadap pandangan ekstrim yang menggelisahkan kehidupan masyarakat
·                    Penciptaan norma yang baru harus melalui konsensus



[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6] Paulus Wahana, Filsafat Pancasila (Yogakarta: Kanisius, 1993), hlm. 89.
[7] Paulus Wahana, Filsafat …, hlm. 90.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar