1. Melihat situasi kaum muda dewasa ini
Pendampingan kaum muda dewasa ini penting dan mendesak. Kaum muda dewasa ini dihadapkan pada tantangan sosiologis, psikologis dan ruang hidup yang begitu kompleks. Kompleksitas kaum muda ini, terletak tidak sekedar pada segi perkembangan masa transisi secara psikologis, melainkan juga proses kecenderungan tata kehidupan yang begitu sarat dengan sekularisme, pragmatisme dan materialisme. Putaran arus budaya menyebabkan ajang kaum muda mempunyai keterpecahan peta yang sungguh deskriminatif. Mereka yang menengah keatas, akan bergulat dengan segala kecenderunganKebimbangan kaum muda semakin terasa menggila, ketika ruang hidup yang mengawali mereka dari keluarga pun tercabut. Narkoba dan psikotropika menjadi proses pelarian akan kegamangan mereka yang tak terjawab, atau mungkin terjadinya maladative group yang membawa mereka pada gerak gank dan kriminalitas. Ruang komunitas dekat mereka, dari wilayah studi, kampung hingga gereja tak dapat menjawab dengan baik kegamangan mereka. Mereka yang menengah keatas menyalurkan dengan party dan nongkrong, tetapi mereka yang terbelit ekonomi hanya bisa berkutat dengan rasa frustasi. Namun disadari bersama, bahwa ruang studi (masa perkuliahan dan sekolah) menjadi ruang aman kaum muda untuk selalu berkutat dengan kebimbangan mereka. Positifnya, mereka dapat mentranformasikan kegamangan persoalan masa depan dan tantangan global dengan studi, idealisasi, diskusi, dan berbagai kegiatan akademis, atau berbagai kegiatan ekspresi yang disediakan lembaga studi. Begitu juga, kegiatan gereja dapat menjadi ruang aman mereka untuk berekspresi, berkegiatan, berdoa, mentransforamsi berbagai kegamangan mereka persoalan tantangan global dewasa ini, atau membuat coping untuk kepentingan rasa religius atas berbagai permasalaha hidup kaum muda dewasa ini.
Masa kaum muda merupakan masa dimana mereka dihadapkan pada segala pembalikan orientasi berpikir mereka. Pembalikan dari berakhirnya masa anak-anak dan awal mereka melangkah kepada sebuah realitas hidup. Biasanya dalam masa muda ini terjadi pembalikan struktur berpikir , mereka mulai terlibat dalam kehidupan orang lain, dalam diri kaum muda berkembang suatu kemampuan yang semakin besar untuk menghargai pandangan orang lain. Persahabatan dan loyalitas menjadi faktor yang penting dalam berhubungan dengan orang lain. Relasi persahabatan yang mesra(chumrelationship), yaitu pengalaman intim pertama kaum muda di luar lingkungan keluarga. Hal ini dapat membebaskan kaum muda dari segala tekanan dan ketidakmampuan mengungkapkan diri. Sebagai konsekuensinya kaum muda mulai menyadari hal-hal lain di luar kelompok umur kaum muda, tetapi kesadaran ini masih terbatas karena kesan-kesan dari luar seringkali diwarnai gambaran stereotipe. Jadi dapat menyadari adanya ketidakadilan dimana ras atau suku tertentu ditindas, tetapi dalam membicarakan hal tersebut kaum muda masih ikut-ikutan pendapat-pendapat yang ada. Begitu juga pada kaum muda ini otoritas yang berhubungan dengan kaum muda perlu tampil secara ‘tulus’, ‘asli’, dan ‘bisa dipercaya’. Hal ini karena kaum muda terutama di sekolah menengah, biasanya bersikap responsif terhadap pembimbing yang hangat dan terbuka. Meskipun sudah ada daya refleksi kritis dan mulai dapat membentuk sistem nilai sendiri, kaum muda masih membutuhkan orang dewasa untuk bimbingan dan nasihat terutama dalam hal mencari arti dan makna hidup.
Kaum muda yang sudah memasuki masa perkuliahan biasanya menapaki kesadaran tentang identitas diri yang khas dan pembetukan otonomi tersendiri. Relasi sosial yang mulai menyeluruh, walaupun masih ada prasangka kesamaaan ideologi dan minat, namun telah dapat menerima berbagai tradisi diluar dirinya dalam kerangka proses pembentukan identitas diri. Hubungan atau relasi telah dipandang murni dan utuh. Begitu juga terjadi demitologisasi kritis terhadap segala macam simbol-simbol agama) sebagai suatu organisasi yang dipandang konvensional (religious doubt).
Segala kecenderungan kaum muda tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi pendampingan wadah kaum muda Katolik di dalam gereja. Gereja melalui pendampingannya hendaknya mampu memberikan kerinduan dan kegamangan mereka atas tantangan budaya dan proses pembentukan identitas diri mereka. Memang, disadari awalnya adalah “ruang aman” akan kegamanangan mereka, tetapi selanjutnya akan menjadi wadah proses pembetukan identitas diri mereka. Wadah pendampingan kaum muda gereja, hendaknya menjadi tempat relasi persahabatan yang mesra (chumrelationship) bagi mereka, menjadi wadah mereka mencari idealisasi dan berbagai ekspresi pemikiran, begitu juga mengajak mereka memahami religious doubt mereka secara baik, untuk sampai kepada kesadaran berpikir dan proses pembentukan diri menghadapi pergeseran budaya yang sarat dengan tantangan yang berat.
2. Tantangan pendampingan kaum muda yang integratif dan berkesinabungan
Pendampingan kaum muda Katolik dewasa ini yang terjadi biasanya bersifat parsial (sebagian) dan kurang di dalam pengelolaan secara berkelanjutan. Pendampingan hanya memikirkan aspek momet, atau aspek gebyar, maka seakan terkesan seperti sebuah panggung pertunjukan yang hanya memikirkan prosesnya secara sesaat. Proses yang sudah dimulai dengan training para pendamping untuk mengembangkan sebenarnya cukup positif, tetapi hal ini terasa tidak dapat bergerak di tingkat basis terkecil dimana kaum muda itu hidup, baik teritori atau dispora akan minat (kategori) . Hal ini dapat diistilahkan, bahwa pendampingan kaum muda post class memang dirasakan kurang . Pendampingan hanya bersifat tersentral tanpa ada kekuatan penggerak di tingkat basis. Sampai saat ini, berbagai pertanyaan dan refleksi dicoba untuk diwacanakan, mengenai pendampingan yang berkelanjutan di tingkat basis, namun belum ada formula yang tepat untuk menjawabnya.Ketika melihat tantangan budaya dan ruang hidup kaum muda yang sudah kompleks ini, pendampingan tidak dapat hanya sebatas parsial untuk membidik suatu keprihatinan saja. Pendampingan tidak hanya sebatas pada kegiatan liturgi, politik atau seni, melainkan haruslah dapat menjadi satu kesatuan yang utuh atau integratif. Pendampingan juga tidak sekedar memikirkan bagaimana membetuk kader semata, tetapi memproses sampai kepada upaya pengelolaan yang bersifat berkesinambugan dan dihidupi di tingkat basis.
Begitu juga hendaknya pendampingan menjadi peluang yang cukup besar untuk mengenalkan kaum muda kepada proses penemuan makna yang terkait suatu sintesis yang progresif dan koheren antara pengalaman akan Allah (fides qua) dan isi pesan kristiani (fides quae) melalui proses kegiatan yang terus menerus. Kegiatan pendampingan tidak sekedar Katolisitas tetapi terintegrasi dengan pemahaman realitas sosial, aspek-aspek rasa religiositas, keakraban, dan kemandirian. Pendampingan juga harus mampu menjawab kerinduan psikologis dan sosilogis mereka di dalam kancah budaya dewasa ini. Kerinduan tataran psikologis; diri (identitas), relasi dan nilai-nilai hidup. Kerinduan sosiologis; kelompok (komunitas), jaringan dan pusat nilai hidup.
3. Tripolaritas sebagai model pendampingan kaum muda
Relasi atau hubungan manusia selalu terkait dengan hubungan yang bersifat tripolar. Pertama, hubungan dengan diri sendiri (identitas dan otonomi). Kedua, hubungan diri dengan orang lain (sosial) dan ketiga adalah hubungan dengan pusat nilai (religius, ideologi, paradigma) yang mempengaruhi dan merangkai keseluruhan hubungan menjadi lingkaran dalam satu kesatuan. Dalam pendampingan kaum muda, tripolaritas ini dapat menjadi model pendampingan.Pertama, tripolaritas pada proses pendampingan. Pendampingan dimulai dari dimensi personal kaum muda, membidik secara serius kerinduan psikologis meliputi ; identitas diri, perkembangan diri, tacit system, lingkungan basis diri dan pilihan dasar (optio fundamentalis). Kemudian, pendampingan bergerak kepada lingkup relasional, meliputi ; relasional dengan orang lain (chumrelationship) , relasional dengan lingkup realitas sosial (politik, budaya), relasional dengan lingkungan (alam). Bidikan pada dua hal tersebut haruslah menjadi kesatuan proses untuk pusat nilai, yang meliputi; Katolisitas, wawasan kebangsaan (ideologi), demokratisasi, religiositas terbuka, Visi Kristianitas, Teologi, dan berbagai Visi tentang kemanusiaan dan Injil Kehidupan.
Kedua, tripolaritas pada proses pengorganisasian pendampingan. Pengorganisasian awal, yang meliputi ; proses pengorganisasian pendampingan secara sederhana, dengan waktu yang singkat, kapasitas ruang yang sederhana, kuantitas yang sederhana, kualitas seadanya, ruang kegiatan segala waktu. Kemudian adanya pengorganisasian tengah, yang meliputi; proses kaderisasi dan rekrutmen aktivis, pembekalan, pemantapan, evaluasi, refleksi, analisa. Pengorganisasian puncak, merupakan pengorganisasian yang bergerak untuk mengulirkan keseluruhan pengorganisasian pendampingan, meliputi ; pemberdayaan terpadu, pembentukan jaringan, pembentukan kelompok-komunitas, pembentukan ruang-ruang gerak sebagai bagian dari keseluruhan pendampingan.
Ketiga, tripolaritas pada ruang kegiatan pendampingan hidup menggereja. Pengembangan ruang kegiatan sacerdotium yang meliputi ruang liturgis-kultis. Pengembangan ruang pelayanan, ruang gerak dalam realitas dan keprihatinan sosial dan pengembangan ruang berkomunitas sebagai daya gerak keseluruhan proses.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar