1. Pengantar
1.1 Pengertian[1]
Buruh adalah orang yang
bekerja untuk orang lain dan diganjari dengan upah. Beberapa jenis buruh adalah
sebagai berikut. Buruh harian adalah orang yang menerima upah berdasarkan hari
masuk kerja. Buruh kasar adalah orang yang menggunakan tenaga fisiknya karena
tidak mempunyai keahlian di bidang tertentu. Buruh tani adalah orang yang
menerima upah dengan bekerja di kebun atau di sawah orang lain. Buruh terampil
adalah orang yang bekerja dengan keterampilan tertentu. Buruh terlatih adalah
orang yang bekerja dengan terlebih dahulu dilatih untuk keterampilan tertentu.
Pengertian buruh di sini sesuai dengan UU No. 13/2003 yang menyatakan bahwa
buruh adalah orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain. Jadi pada dasarnya, semua yang
bekerja di ( baik di perusahaan/luar perusahaan ) dan menerima upah
atau imbalan adalah buruh.
Buruh tidak hanya bekerja di
dalam negeri saja, melainkan ada juga bekerja di luar negeri. Mereka
dikategorikan sebagai buruh migran. Kelompok ini akrab kita dengar dengan
sebutan Tenaga Kerja Indonesia. Undang-undang tentang perburuhan di dalam
negara Indonesia tentu ikut juga menjamin hak-hak kaum buruh migran selain
hukum perburuhan di negara mereka sedang bekerja. Jika terjadi sesuatu kepada
kaum buruh migran, negara Indonesia, lewat aparatur pemerintahan harus menjadi
yang pertama bertanggung jawab.
1.2 Situasi Hak Azasi Kaum Buruh[2]
Persoalan buruh migran menjadi salah satu agenda penting dalam WCAR (World
Conference Against Racism, Racial Discrimination, Xenophobia dan Related
Intolerance) yang berlangsung pada tanggal 31 Agustus – 7 September 2001 di
Durban, Afrika Selatan. Oleh masyarakat internasional, buruh migran dianggap sebagai
entitas sosial yang dalam sejarah kemanusiaan senantiasa menghadapi tantangan
rasialisme, perbudakan, diskriminasi dan bentuk-bentuk tindakan intoleransi
lainnya. Sangat
disayangkan sebagai negara yang menjadi daerah asal buruh migran, Indonesia
(terutama pihak Pemerintah RI) tidak pro-aktif dalam perbincangan dan
perdebatan masalah buruh migran di pertemuan tingkat dunia tersebut. Kesempatan
berpidato Menteri Kehakiman dan HAM RI, Prof DR. Yusril Ihza Mahendra, SH
selaku Ketua Delegasi RI di hadapan peserta konferensi, sama sekali tidak
menyinggung masalah buruh migran Indonesia. Seakan bukan persoalan krusial.
Justru Ms. Gabriela Rodriguez, United Nations Special Rapporteur on the Human
Rights of Migrants (Pelapor Khusus PBB mengenai hak-hak buruh migran) memberi
perhatian yang sangat khusus terhadap persoalan-persoalan buruh migran
Indonesia. Ketidaksensitifan pemerintah
Indonesia bukan suatu kecelakaan. Presiden Megawati dalam progress reportnya di depan Sidang Tahunan MPR November 2001 menyatakan
bahwa telah banyak kemajuan yang dialami dalam upaya perlindungan tenaga kerja
Indonesia (buruh migran Indonesia) di luar negeri, hak-hak perempuan dan hak
anak. Pernyataan ini tentu sangat diharapkan jika memang realitasnya demikian.
Apabila pernyataan tersebut dihadapkan pada kondisi sebenarnya dari para buruh
migran Indonesia di luar negeri, khususnya kaum perempuan dan anak-anak,
sangatlah bertolak belakang. Maka pernyataan itu lebih tepat dianggap sebagai
retorika politik belaka. Berdasar data KOPBUMI sepanjang
tahun 2001 terjadi kasus pelanggaran hak asasi buruh migran Indonesia terhadap
2.239.566 orang, dengan perincian 33 orang meninggal, 2 orang menghadapi
ancaman hukuman mati, 107 kasus penganiayaan dan perkosaan, 4.598 orang melarikan
diri dari majikan, 1.101 orang disekap, 1820 orang ditipu, 34.707 orang
ditelantarkan, 24.325 orang hilang kontak, 32.390 orang dipalsukan dokumennya,
1.563.334 orang tidak berdokumen, 14.222 orang dipenjara, 137.866 orang
dipulangkan paksa (deportasi), 222.157 orang di PHK sepihak, 6.427 orang
ditangkap/dirazia, 65.000 orang tidak diasuransikan ,25.004 orang dipotong gaji
sepihak dan 50 orang menghadapi mahkamah syariah. Sementara itu dalam 3 bulan
pertama tahun 2002 ini, terjadi eskalasi pelanggaran HAM buruh migran Indonesia
di Malaysia seperti penangkapan paksa, razia, pemerasan, penyiksaan dalam kamp
tahanan dan pengusiran paksa. Pemerintah Malaysia secara legal akan membatasi
masuknya buruh migran asal Indonesia. Sebagaimana tampak akhir-akhir ini hal
tersebut mendorong terjadinya deportasi besar-besaran buruh migran Indonesia
dari Malaysia yang senantiasa disertai dengan pelanggaran-pelanggaran hak asasi
manusia. Diskriminasi
buruh migran Indonesia tidak mengenal tempat. Di dalam negeri, mereka
diperlakukan sebagai komoditi dan warga negara kelas dua. Mereka mendapatkan
perlakuan yang diskriminatif mulai dari saat perekrutan, di penampungan,
pemberangkatan maupun saat kepulangan. Terminal III Bandara Soekarno Hatta
merupakan tempat nyata dari bentuk diskriminasi terhadap buruh migran
Indonesia; dengan memisahkan mereka dengan penumpang umum lainnya. Sebagai buruh asing di negara tempat
bekerja, buruh-buruh ini juga diberlakukan secara diskriminatif. Mereka
dilarang mendirikan serikat buruh atau masuk dalam serikat buruh setempat.
Buruh migran perempuan yang bekerja di sektor domestik (PRT/Pembantu Rumah
Tangga) memperoleh upah lebih rendah dibanding buruh migran laki-laki. Karena
waktu kerja yang ketat, banyak buruh migran dihalang-halangi untuk menjalankan
ibadah sesuai dengan agamanya. Lebih
dari itu jumlah buruh migran Indonesia yang sebagian besar perempuan dalam
konstruksi masyarakat patriarkis rentan terhadap tindak kekerasan yang berbasis
pada diskriminasi gender. Kasus-kasus pelecehan seksual, kekerasan fisik,
perkosaan yang mengakibatkan kematian masih sering dialami buruh migran
Indonesia. Pemerintah memang
telah meratifikasi beberapa instrumen internasional yang terkait dengan
diskriminasi (misalnya, CEDAW/Konvensi untuk Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan dan berbagai Konvensi ILO). Meskipun demikian
implementasi kebijakan masih mengandung semangat diskriminasi bahkan kebijakan
penempatan buruh migran sudah mengarah pada kebijakan perdagangan manusia. Dalam pembahasan di WCAR, terdapat
kemajuan berupa pengakuan hak-hak buruh migran. Dokumen-dokumen yang dihasilkan
dalam WCAR, yang menjadi landasan program aksi bersama negara-negara, terdapat
klausul-klausul yang mengukuhkan eksistensi buruh migran (termasuk di dalamnya domestic helper) sebagai subyek yang
harus dilindungi hak-hak asasinya. Terdapat pula keharusan untuk menghindari
terjadinya proses trafficking
(perdagangan manusia) serta dihargainya hak-hak keluarga buruh migran untuk
berkumpul kembali di negara tujuan bekerja. Dokumen itu juga sepakat bahwa
buruh migran memiliki hak atas upah yang sama, asuransi sosial, status hukum
yang sama dengan buruh setempat dan menghargai hak-hak ekspresi kultural. Sebagai
komitmen untuk melindungi hak-hak buruh migran dan mencegah berlangsungnya
perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak WCAR juga merekomendasikan
negara-negara anggota meratifikasi International
Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members
of Their Families, 1990 dan United Nations Convention against Transnational
Organized Crime, the Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in
Persons, Especially Women and Children.
Tentunya Indonesia yang merupakan negara anggota PBB dan asal buruh migran
wajib memenuhi rekomendasi-rekomendasi di atas. Bahkan di samping Nepal dan
Bangladesh, Indonesia merupakan negara yang diharapkan akan meratifikasi dalam
waktu cepat mengingat perlindungan yang diberikan konvensi itu juga akan
melindungi kepentingan warga Indonesia. Ratifikasi atas Konvensi Perlindungan
Buruh-buruh Migran dan Keluarganya 1990 akan mempercepat keberlakuannya secara
efektif (dibutuhkan ratifikasi 20 negara untuk itu dan saat ini sudah mencapai
19 negara). Komitmen ini sebenarnya hanya merealisasikan janji ratifikasi
sebagaimana tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun
1998-2003, namun ternyata hingga saat ini inisiatif pemerintah belum ada.
Di tingkat nasional, Indonesia juga harus segera menerbitkan Undang-Undang
Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya dan membuat bilateral Agreement yang melindungi
buruh migran Indonesia di luar negeri. Seiring dengan hal tersebut,
kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap buruh migran Indonesia harus dihapuskan. Sebagai
langkah awal yang konkret, delegasi RI yang mengikuti konferensi tersebut bisa
memulai dengan mensosialisasikan hasil-hasil WCAR dengan melibatkan secara
penuh para pihak dan konstitusi terkait (Departemen Luar Negeri, Departemen
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Kehakiman dan HAM, Kantor Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan, NGO, Pers dan buruh migran).
Di bidang ketenagakerjaan internasional,
penghargaan terhadap hak asasi manusia di tempat kerja dikenal melalui 8 (delapan)
konvensi dasar International Labour
Organization (ILO). Konvensi dasar ini terdiri atas 4 (empat) kelompok yaitu:
- Kebebasan
Berserikat (Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98);
- Diskriminasi
(Konvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111);
- Kerja
Paksa (Konvensi ILO Nomor 29 dan Nomor 105); dan
- Perlindungan
Anak (Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182 ).
Secara hukum, Negara Indonesia sudah
melindungi buruh dengan undang-undang yang ada, di antaranya meratifikasi
konvensi dari International Labour
Organization (ILO) dan dibuatnya UU Ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003
tetapi begitu dalam prakteknya juga harus dilihat apakah hukum Indonesia (UU
Ketenagakerjaan) telah melindungi hak-hak normatif kaum buruh?
2. Hak-Hak Normatif Kaum Buruh
2.1
Bersifat Ekonomis
2.1.1 Upah[3]
Tata cara pengupahan buruh diatur oleh Pemerintah
dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam perundang-undangan tersebut dinyatakan
bahwa setiap buruh berhak memperoleh penghasilan layak bagi kemanusiaan. Penghasilan tersebut meliputi: upah minimum,
upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja karena berhalangan, upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, upah
karena menjalankan hak waktu istirahat kerja, bentuk dan cara pembayaran upah, denda dan potongan upah, struktur dan
skala pengupahan yang proporsional, upah untuk pembayaran pesangon, dan upah untuk perhitungan pajak
penghasilan. Ketapan tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan produktivitas
dan pertumbuhan ekonomi (UU no. 88).
Upah adalah hak buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada buruh
dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan
perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas
suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan (pasal 1). Defenisi
ini tertuang dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang
Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja NOMOR KEP.102/MEN/VI/2004.[4]
Pengaturan upah minimum dilaksanakan berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan sektor
pada wilayah provinsi atau
kabupaten/kota. Upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan
memperhatikan rekomendasi
dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota (UU no. 89). Pengaturan upah minimun tersebut
mengandung pelarangan bagi pengusaha yakni dilarang membayar
upah lebih rendah dari upah minimum dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat
dilakukan penangguhan (UU no. 90).
Dalam mengatur segala hal yang berkaitan dengan upah, pemerintah membentuk Dewan Pengupahan
Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Dewan itu berfungsi memberikan saran dan pertimbangan. Keanggotaan Dewan
Pengupahan terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, perguruan tinggi, dan
pakar. Keanggotaan Dewan
Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan sedangkan keanggotaan Dewan
Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota. Ketentuan
tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan Pengupahan diatur dengan
Keputusan Presiden (UU no.
96).
Pembayaran upah dapat juga
disepakati antara pengusaha dengan buruh dengan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang
ditetapkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Upah yang lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, batal demi hukum dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (UU no. 91). Upah disusun dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi yang ditinjau secara berkala
dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. (UU no.
92).
Pengusaha wajib membayar upah apabila:
- Pekerja/buruh
sakit sehingga tidak
dapat melakukan pekerjaan,
- Pekerja/buruh
perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga
tidak dapat melakukan
pekerjaan,
- Pekerja/buruh
tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan
anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri
atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga
dalam satu rumah meninggal dunia,
- Pekerja/buruh
tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara,
- Pekerja/buruh
tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang
diperintahkan agamanya,
- Pekerja/buruh
bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakanya,
baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha,
- Pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat,
- Pekerja/buruh
melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha, dan
- Pekerja/buruh
melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan. Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh
tidak melakukan pekerjaan (UU no. 93).
Upah yang dibayarkan kepada buruh yang
sakit diatur sebagai berikut.:
v Untuk 4
(empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah,
v Untuk 4
(empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;
v Untuk 4
(empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah;
v Untuk
bulan selanjutnya dibayar 25 % (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum
pemutusan hubungan
kerja dilakukan oleh pengusaha.
Upah yang
dibayarkan kepada buruh yang tidak masuk bekerja diatur sebagai berikut :
Pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3
(tiga) hari;
Menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua)
hari;
Mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2
(dua) hari;
Membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2
(dua) hari;
Isteri melahirkan atau keguguran kandungan,
dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
Suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau
menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal
dunia, buruh dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
Komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan. Besarnya
upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan
tunjangan tetap (UU. no. 94). Pelanggaran
yang dilakukan oleh buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda. Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan
keterlambatan pembayaran upah,
dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh. Pengenaan denda diatur oleh pemerintah kepada
pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah. Jika perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari buruh merupakan utang yang
didahulukan pembayarannya (UU no. 95).Tuntutan
pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja menjadi kadaluarsa
setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak (UU no. 96).
Perhitungan upah
adalah sebagai berikut. Buruh yang diupah secara harian, besarnya upah sebulan
adalah upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima) bagi buruh yang bekerja 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau dikalikan 21 (dua puluh satu) bagi
buruh yang bekerja 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Sedangkan buruh
diupah berdasarkan satuan hasil, maka upah sebulan adalah upah rata-rata 12
(dua belas) bulan terakhir. Dan buruh bekerja kurang dari 12 (dua belas)
bulan maka upah sebulan dihitung berdasarkan upah rata-rata selama bekerja
dengan ketentuan tidak boleh lebih rendah dari upah dari upah minimum setempat (Pasal 9).[5]
Untuk mendukung kesejahteraan buruh, Setiap buruh dan keluarganya berhak untuk
memperoleh jaminan sosial tenaga kerja yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU. No. 99). Untuk itu,
pengusaha wajib menyediakan
fasilitas kesejahteraan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan. Jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan disesuaikan
dengan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan (UU no.100), seperti koperasi dan usaha-usaha produktif di perusahaan
yang ditumbuhkembangkan dengan bekerja sama (UU no. 101).
2.1.2 Upah kerja Lembur[6]
Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari
dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu)
minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada
hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan
Pemerintah. Pengaturan waktu kerja lembur berlaku untuk semua perusahaan,
kecuali bagi perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu. (pasal 2) Waktu kerja lembur
hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14
(empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. (pasal3)
Pengusaha yang mempekerjakan buruh
melebihi waktu kerja, wajib membayar upah lembur. Buruh yang termasuk dalam
golongan jabatan tertentu (mereka yang memiliki tanggung jawab sebagai pemikir,
perencana, pelaksana dan pengendali jalannya perusahaan yang waktu kerjanya
tidak dapat dibatasi menurut waktu kerja yang ditetapkan perusahaan sesuai
denga peraturan perundang-undangan yang berlaku), tidak berhak atas upah kerja
lembur dengan alasan mendapat upah yang lebih tinggi. (pasal 4)
Untuk melakukan
kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan
tertulis dari pekerja/buruh yang bersangkutan.
Perintah tertulis dan persetujuan tertulis dapat dibuat dalam bentuk
daftar pekerja/buruh yang bersedia bekerja lembur yang ditandatangani oleh
pekerja/buruh yang bersangkutan dan pengusaha.
Pengusaha harus membuat daftar pelaksanaan kerja lembur yang memuat nama
pekerja/buruh yang bekerja lembur dan lamanya waktu kerja lembur (pasal 6).
Perusahaan yang mempekerjakan
pekerja/buruh selama waktu kerja lembur berkewajiban :
a. Membayar upah kerja lembur.
b. Memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya.
c. Memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih. Pemberian makan dan minum tidak boleh diganti dengan uang. (pasal 7).
a. Membayar upah kerja lembur.
b. Memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya.
c. Memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih. Pemberian makan dan minum tidak boleh diganti dengan uang. (pasal 7).
Perhitungan upah
lembur didasarkan pada upah bulanan. Cara menghitung upah sejam adalah 1/173
kali upah sebulan. (Pasal 8 )
Jika upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar perhitungan upah lembur adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah. Jika upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap, dan apabila upah pokok tambah tunjangan lebih kecil dari 75 dari keseluruhan upah, maka dasar perhitungan upah lembur 75 % dari keseluruhan upah (Pasal 10).
Jika upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar perhitungan upah lembur adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah. Jika upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap, dan apabila upah pokok tambah tunjangan lebih kecil dari 75 dari keseluruhan upah, maka dasar perhitungan upah lembur 75 % dari keseluruhan upah (Pasal 10).
Cara perhitungan upah kerja lembur sebagai berikut
:
1. Apabila
kerja lembur dilakukan pada hari kerja :a. untuk jam kerja lembur pertama harus
dibayar upah sebesar 1,5 (satu setengah) kali upah sejam; a. untuk setiap jam
kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar 2(dua) kali upah sejam.
2. Apabila
kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan atau hari libur resmi untuk
waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu maka perhitungan
upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam,
dan jam kedelapan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur kesembilan
dan kesepuluh dibayar 4 (empat) kali upah sejam.
3. Apabila
hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan upah lembur 5
(lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam keenam 3(tiga) kali
upah sejam dan jam lembur ketujuh dan kedelapan 4 (empat) kali upah sejam.
4. Apabila
kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi
untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, maka
perhitungan upah kerja lembur untuk 8 (delapan) jam pertama dibayar 2 (dua)
kali upah sejam, jam kesembilan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam
kesepuluh dan kesebelas 4 (empat) kali upah sejam (Pasal 11).
2.2
Bersifat
Politis
Pekerja/buruh sebagai warga negara
mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum. Salah satu hak normatif buruh adalah
hak mengeluarkan pendapat dan aspirasinya sebagai seorang buruh. Wadah konkret
untuk mewujudkan hak ini adalah dengan mendirikan serikat buruh atau menjadi
anggota dari salah satu serikat buruh. Akan tetapi seorang buruh tidak harus
menjadi anggota sebuah serikat buruh tertentu. Ia juga berhak untuk tidak masuk
dalam suatu serikat buruh, apabila ia tidak menghendakinya.[7]
Hak
berserikat bagi buruh telah diatur dalam konvensi ILO (International Labour Organization) no. 87 dan 98 tentang kebebasan
berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. Khusus di negara kita, hak
berserikat dijamin dalam pasal 28 UUD 1945.[8]
Ketentuan ini dijabarkan dalam UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh dan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Beberapa hal yang ditetapkan dalam UU ini akan dicoba dijabarkan berikut ini:
2.2.1 Serikat Buruh
a. Pengertian
Serikat
Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk buruh baik di
perusahaan maupun di luar perusahaan. Serikat buruh haruslah memiliki sifat
yang bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela, melindungi hak dan kepentingan buruh, serta
meningkatkan kesejahteraan buruh dan keluarganya. Buruh diberikan kebebasan
untuk mendirikan, ikut atau tidak ikut dalam sebuah serikat buruh. Ketentuan
mengenai serikat buruh diatur dalam UU No. 21 tahun 2000 tentang serikat
pekerja/serikat buruh.[9]
Organisasi
serikat buruh terbagi dalam berbagai tingkatan[10]
sebagai berikut:
b. Serikat Buruh
Serikat buruh didirikan oleh
minimal 10 orang dengan memiliki azas yang tidak bertentangan dengan Pancasila
dan UUD 1945. Serikat Buruh diwajibkan memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga (AD/ART). Serikat Buruh dianggap sah apabila telah menyerahkan
pemberitahuan kepada dinas tenaga kerja setempat untuk dicatatkan.
Pemberitahuan tersebut dilampiri:
·
Daftar
nama anggota pembentuk
·
Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)
·
Susunan
dan nama pengurus
c.
Federasi
Serikat Buruh
Merupakan
gabungan dari sekurang-kurangnya 5 serikat buruh. Federasi serikat buruh
memiliki anggota sekurang-kurangnya sekitar 50 orang.
d. Konfederasi Serikat Buruh
Merupakan gabungan dari
sekurang-kurangnya 3 federasi serikat buruh. Konfederasi serikat buruh memiliki
anggota sekurang-kurangnya 150 orang.
2.2.2 Fungsi Serikat Buruh
Serikat Buruh sebagai sebuah organisasi merupakan
fasilitator antara buruh dengan majikan. Beberapa fungsi serikat buruh sebagai
berikut:
·
Sebagai
pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan
industrial
·
Sebagai
wakil buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan
tingkatannya
·
Sebagai
sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
·
Sebagai
sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya
·
Sebagai
perencana, pelaksana dan penanggung jawab pemogokan buruh sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
·
Sebagai
wakil buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham dalam perusahaan
·
Mewakili
buruh dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
Dalam penerimaan anggota, serikat
buruh harus terbuka, artinya tidak boleh membedakan aliran politik, agama, suku
bangsa dan jenis kelamin. Seorang buruh tidak dapat menjadi anggota dari 2
serikat buruh sekaligus.
2.2.3 Mogok Kerja
Mogok
Kerja adalah tindakan buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara
bersama-sama oleh serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.[11]
Mogok kerja merupakan hak dasar buruh atau serikat buruh yang dilakukan secara
sah, tertib dan damai sebagai akibat dari gagalnya suatu perundingan.
Pihak-pihak yang menghalangi atau memaksa melakukan sebuah mogok kerja dapat
dikenai sanksi pidana.
Suatu
mogok kerja dikatakan sah apabila:[12]
·
Dilakukan
sebagai akibat dari gagalnya suatu perundingan
·
Diberitahukan
dalam waktu 7 hari kerja sebelum mogok kepada pejabat Disnaker dan pengusaha
Isi pemberitahuan tertulis tersebut
sekurang-kurangnya memuat[13]:
- Rincian
waktu dimulai dan diakhirinya mogok kerja
- Tempat
mogok kerja
- Alasan
melakukan mogok kerja
- Tanda
tangan ketua dan sekretaris, atau masing-masing ketua dan sekretaris
serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja. Bila dalam perusahaan
belum ada serikat buruh maka yang menandatangani adalah perwakilan buruh
yang ditunjuk sebagai koordinator atau penanggung jawab buruh.
Selama
mogok yang sah dilakukan, pengusaha dilarang untuk mengganti buruh yang mogok
dengan buruh yang lain dari luar perusahaan. Selain itu pengusaha dilarang
untuk melakukan tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada buruh dan pengurus
serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
Buruh
yang melakukan mogok tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku (mogok tidak
sah) maka:[14]
- Buruh
dianggap mangkir /tidak masuk kerja. Buruh yang mangkir karena mogok tidak
sah dan telah dipanggil secara patut dan tertulis selama dua kali
berturut-turut, namun buruh tidak masuk bekerja, dianggap mengundurkan
diri
- Pengusaha
dapat melarang buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses
produksi
- Pengusaha
dapat melarang buruh yang melakukan mogok kerja di lokasi perusahaan
2.3
Bersifat Medis
2.3.1 Hak Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Resiko
kecelakaan dalam melakukan pekerjaan pasti akan dialami oleh seseorang, dalam
hal ini kecelakaan bisa dalam bermacam–macam bentuk. Kecelakaan yang dimaksud
di sini yaitu kecelakaan dalam bentuk fisik. Penyebab kecelakaan pun bisa diakibatkan
karena beberapa hal diantaranya: Pertama bisa jadi karena keteledoran dari
pihak perusahaan. Misalnya karena lalai dan kurangnya pengecekkan mesin
industri yang digunakan. Hal lain karena kurangnya atau bahkan tidak adanya
pengarahan dari perusahaan kepada para buruh sebelum mereka bekerja dan
melakukan proses produksi. Penyebab kedua bisa disebabkan karena memang
kelalaian atau kurangnya kehati-hatian dari pihak buruh sendiri pada saat
menjalankan pekerjaanya. Lantas hal lain juga bisa disebabkan karena situasi
lingkungan yang kurang nyaman dan aman.[15]
Kecelakaan
ataupun peristiwa-peristiwa di atas pastilah mendatangkan kerugian baik bagi
perusahaan ataupun buruh sendiri. Oleh karena itu hal yang bisa dilakukan oleh
pihak perusahaan demi dan untuk keselamatan bagi para buruh yaitu dengan
membuat lembaga yang berfungsi memberikan
pengarahan dan penerangan bagi para buruh sebelum mereka melakukan pekerjaan dan proses produksi. Misalnya,
memeriksa kondisi kesehatan buruh yang akan diterima maupun yang akan dipindah
tugaskan, melakukan pemeriksaan kesehatan berkala kepada para buruh melalui
dokter yang ditunjuk perusahaan, menyediakan alat-alat pelindung diri bagi para
buruh, dan melaporkan setiap kecelakaan kepada pejabat dinas tenaga kerja
(Depnaker) setempat. Seandainya, dengan upaya di atas kecelakaan tetap menimpa
buruh di wajibkan bagi pihak perusahaan untuk memberikan pertolongan pertama
yang diberikan kepada buruh sampai dengan penyembuhanya.[16]
Selain
hal-hal di atas kewajiban lain yang harus diperhatikan pihak perusahaan dalam
menjamin kesejahteraan buruhnya, perusahaan wajib mengikutkan para buruhnya
dalam program atau menjadi anggota Jamsostek. Di dalamnya para buruh akan
mendapatkan jaminan-jaminan misalnya:
2.3.2 Jaminan kecelakaan Kerja[17]
Jaminan
Kecelakaan kerja ini berlaku bagi buruh dalam rangka melaksanakan pekerjaan
atau apa yang berhubungan dengan
pekerjaan misalnya, perjalanan pergi pulang dari rumah-perusahaan dan ke rumah
kembali, penyakit atau kecelakaan yang di derita buruh pada saat melakukan
pekerjaan. Jaminan kecelakaan kerja ini meliputi:
1. Biaya pemeriksaan, pengobatan, dan
perawatan.
2. Biaya rehabilitasi.
3. Santunan sementara tidak mampu
kerja, santunan cacat sebagian untuk selama-
lamanya, santunan cacat total untuk selama-lamanya baik fisik maupun
mental, santunan kematian.
Hal lain yang kiranya juga diperhatikan oleh
perusahaan berhubungan dengan kecelakaan kerja ini, perusahaan wajib memberikan
laporan kepada pejabat dinas tenaga kerja setempat sesaat setelah terjadi
kecelakaan kerja. Besarnya iuran jaminan kecelakaan kerja ini sebesar 0,24% -
1,74% dari upah buruh sebulan dan ditanggung perusahaan.
2.3.3 Jaminan Kematian[18]
Jaminan
kematian ini diberikan pada buruh yang meninggal bukan sebagai akibat dari
kecelakaan kerja. Santunan ini diberikan kepada keluarga atau ahli waris buruh.
Jaminan ini meliputi:
- biaya pemakaman
- Santunan berupa uang
Besarnya
iuran jaminan kematian adalah 0,3% dari upah buruh per bulan, dan ditanggung
oleh perusahaan. Besarnya santunan kematian yang diberikan oleh Jaminan Social
Tenaga Kerja adalah sebesar 5.000.000,00. Sedangkan besarnya santunan untuk
biaya pemakaman adalah 1.000.000,00.
2.3.4 Jaminan Pemeliharaan Kesehatan[19]
Jaminan pemeliharaan kesehatan adalah upaya
penanggungan atau pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan,
pengobatan, atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Jaminan
pemeliharaan kesehatan merupakan bentuk pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan buruh dan keluarganya. Jaminan
ini bersifat dasar, maksudnya bahwa jaminan ini meliputi peningkatan kesehatan,
mencegah penyakit, serta pemulihan kesehatan. Hal-hal ini difasilitasi
perusahan dengan kerja sama dengan Rumah Sakit yang ditunjuk oleh perusahaan
yang bersangkutan.
2.4
Bersifat Sosial
2.4.1 Hak Beristirahat
Dalam pasal 79 berisikan tentang hak
beristirahat bagi para buruh. Didalamnya di jelaskan bahwa, pengusaha wajib
memberikan waktu istirahat dan cuti kepada pekerja atau buruh. Waktu istirahat
dan cuti yang dimaksudkan meliputi: istirahat antara jam kerja
sekurang-kurangnya ½ jam setelah bekerja selama 4 jam terus-menerus dan waktu
tersebut tidak termasuk jam kerja. Istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja
dalam 1 minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu. Cuti tahuanan
sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja atau buruh yang bersangkutan
bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus. Istirahat panjang
sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ke-7 dan ke-8
masing-masing 1 bulan bagi pekerja atau buruh yang telah bekerja selama 6 tahun
secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja atau
buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunnya dalam 2 tahun berjalan
dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun.[20]
2.4.1 Pembatasan
Pekerjaan Anak
Dalam
bab X (Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejahteraan) dalam UU No. 13/2003 dalam
pasal 68 dicantumkan larangan
memperkerjakan anak. Sedang dalam pasal 69-73 di cantumkan kekecualian bagi anak yang berumur antara
13-15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak menganggu
perkembangan dan kesehatan fisik atau mental dan social, tentunya dengan
memperhatikan hal-hal berikut: Syarat-syarat yang dimaksudkan ini terdapat
dalam pasal 69 UU perburuhan.
- Izin tertulis dari orang tua atau wali
- Perjanjian kerja dengan orang tua atau wali
- Waktu kerja 3 jam dalam satu hari
- Waktu kerja pada siang hari dan tidak mengganggu aktivitas belajar sekolah
- Jaminan keselamatan dan kesehatan kerja
- Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku
- Adanya hubungan kerja yang jelas.[21]
Sedangkan
dalam pasal 70 dikatakan bahwa, anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja,
ada hubunganya dengan kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh
pejabat yang berwenang. Pasal 71 berbunyi, bahwa anak dapat melakukan pekerjaan
demi dan untuk pengembangan bakat dan minatnya. Sedangkan dalam pasal 72
ditekankan bahwa tempat yang di sediakan bagi anak-anak haruslah dipisahkan
dengan para pekerja atau buruh dewasa. Sementara dalam pasal 73 dikatakan bahwa
anak dianggap bekerja bilamana ada ditempat kerja, kecuali terbukti sebaliknya.[22]
Sedangkan pada pasal 74 di dalamnya
dinyatakan larangan untuk melibatkan anak atau mempekerjakan anak pada
pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang
dimaksudkan dalam ayat satu meliputi: segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan
dan sejenisnya, menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi,
pertunjukkan porno, atau perjudian. Hal lain lagi misalnya larangan mempekerjakan
anak yaitu untuk produksi dan
perdagangan minuman keras, narkotika dan lain-lain. Juga pekerjaan yang
membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.[23]
2.4.2 Pembatasan
Pekerjaan Buruh Perempuan
Peraturan perburuhan/ketenagakerjaan
melarang adanya diskriminasi dalam hubungan kerja dalam bentuk dan bidang
apapun. Peraturan perburuhan/ketanakerjaan
mengakui kesamaan hak antara buruh perempuan dan buruh laki-laki.
Buruh perempuan yang berumur kurang dari
18 tahun, dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai 07.00. Selain itu,
pengusaha juga dilarang mempekerjakan buruh perempuan yang sedang hamil antara
pukul 23.00 sampai 07.00. Bagi pengusaha
yang mempekerjakan buruh perempuan dari pukul 23.00 sampai 07.00, maka
pengusaha wajib:[24]
·
Memberikan
makanan dan minuman bergizi.
·
Menjaga
kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
·
Menyediakan
angkutan antar jemput yang berangkat dan pulang bekerja pukul 23.00 sampai
07.00.
2.4.3 Hak Cuti Para Buruh Perempuan
Adanya Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) yang dibentuk oleh
serikat pekerja dengan pihak perusahaan yang bertujuan untuk melindungi hak-hak
pekerja terutama buruh perempuan dari hasil Konvensi ILO yang diratifikasi
Depnaker, sebenarnya telah memuat esensi hak-hak reproduksi kaum perempuan. Di
dalam KKB itu, secara nyata diberikan hak cuti haid, hamil dan cuti sakit untuk
seluruh pekerja. Namun kenyataannya, pelaksanaannya masih jauh dari harapan.
Apalagi kaum buruh perempuan umumnya hanya bekerja sebagai pekerja unskill
labour yang nota bene berpendidikan rendah, sehingga mereka tidak
mengetahui tentang hak-haknya. Mereka sudah cukup puas dengan keadaan serupa
itu, sehingga tuntutan ke arah itu tidak pernah terfikirkan oleh mereka.[25]
Peraturan Pemerintah tentang Ketentuan Pegawai Negeri, yakni
ketentuan tentang waktu cuti. Buruh
perempuan mendapat waktu istirahat pada saat hari pertama dan hari kedua masa
haid, dengan memberikan surat keterangan dokter. Dalam praktek dunia
industri sekarang yang mempekerjakan perempuan, hampir sama sekali tidak
disentuh tentang siklus haid ini bagi kaum perempuan. Selain itu buruh perempuan mendapat waktu
istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan,
berdasarkan keterangan dokter kandungan atau bidan. Dalam hal buruh keguguran,
maka buruh mendapatkan waktu istirahat selama 1,5 bulan setelah keguguran.
Buruh perempuan yang sedang menyusui anaknya diberikan ruangan khusus di
wilayah perusahan untuk menyusui.[26]
3.
Refleksi
3.1 Solidaritas Kaum Buruh (LE 8)
Berbicara mengenai kerja manusia dalam
dimensinya yang mendasar, pribadi manusia sebagai pelaku kerja setidak-tidaknya
perlu mengadakan evaluasi atas perkembangan-perkembangan selama 90 tahun sejak
ensiklik Rerum Novarum, berkenaan dengan dimensi subyektif
kerja. Sesungguhnya, subyek kerja selalu sama, yakni manusia, namun
perubahan-perubahan berjangkauan luas berlangsung pada aspek obyektif. Memang
dapat dikatakan, bahwa karena subyeknya kerja hanyalah satu hal. Tetapi bila
arah jurusannya mempertimbangkan objek, mau tidak mau harus diakui ada sekian banyak
dan bermacam ragam kerja di mana perkembangan peradaban manusia terus menerus
memperkaya bidang itu.
Gerakan-gerakan
solidaritas di bidang kerja, tidak pernah berarti sikap tertutup bagi dialog
dan kerja sama dengan pihak-pihak lain. Itu dapat berlaku bagi
kategori-kategori atau kelompok tertentu di kalangan pekerja “intelektual”,
khususnya bila makin melebarnya pintu pendidikan dan terus bertambahnya jumlah
orang yang bergelar di bidang-bidang budaya. Oleh karena itu, dibutuhkan studi
terus-menerus tentang subjek kerja dan tentang kondisi-kondisi hidup pekerja.
Untuk mencapai keadilan sosial di pelbagai kawasan dunia, di pelbagai negeri,
diperlukan gerakan-gerakan solidaritas yang setiap kali baru dikenal kalangan kaum
buruh. Solidaritas itu kapan saja
dibutuhkan, karena pelaku kerja mengalami pemerosotan sosial, karena pengisapan
kaum buruh, makin meluasnya medan kemiskinan dan bahkan kelaparan. Gereja
mempunyai komitmen yang mantap terhadap perkara ini, sebab Gereja menganggap
itu misinya, pelayanannya, bukti kesetiaannya terhadap Kristus, sehingga
sungguh menjadi “Gereja kaum miskin”. Dalam kenyataannya “kaum miskin” tampil
dalam pelbagai bentuk. Mereka tampil di pelbagai tempat dan pada saat yang
berbeda-beda. Cukup sering pula “kaum miskin” tampil sebagai akibat pelanggaran martabat kerja manusiawi:
entah karena peluang-peluang kerja manusiawi yang terbatas akibat bencana
pengangguran, atau karena rendahnya nilai yang ditaruh pada kerja beserta
hak-hak yang berasal dari padanya, khususnya hak atas upah yang adil dan atas
keamanan pribadi buruh beserta keluarganya.
3.2 Kerja dan Martabat Pribadi (LE 9)
Dalam konteks manusia sebagai pelaksana
kerja sudah semestinya disinggung soal-soal, yang secara lebih seksama
menyangkut martabat kerja manusia, karena memungkinkan kita secara lebih penuh
mengutarakan nilai morilnya yang khas. Maksud Allah yang mendasar dan asli
mengenai manusia, yang diciptakan-Nya menurut Citra keserupaan-Nya, tidak
ditarik kembali atau dibatalkan-Nya, kendati manusia, sesudah melanggar
perjanjian asli dengan Allah, mendengar perintah: “... dengan berpeluh engkau
akan mencari makananmu.” Kerja bagi manusia merupakan upaya untuk mencari
kedaulatan yang khas baginya atas dunia yang kelihatan, yakni dengan menaklukkan bumi. Jerih payah
merupakan pengalaman harian semua pekerja, karena kerja merupakan panggilan
semua orang dan dirasakan oleh siapa pun juga. Kalau diinginkan lukisan lebih
jelas tentang makna etis kerja, kebenaran itulah yang secara khas harus tetap
diindahkan. Kerja itu baik bagi manusia dan baik pula bagi kemanusiaannya,
karena melalui kerja manusia tidak hanya mengubah alam, menyesuaikannya dengan
kebutuhan-kebutuhannya sendiri, melainkan mencari pemenuhan selaku manusia dan
dalam arti tertentu menjadi lebih manusiawi
[1] Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi III (Departemen Pendidikan
Nasional – Balai Pustaka), hlm. 180.
[7] UU No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, (Ciganjur-Jagakarsa: Jakarta Selatan: Visimedia, 2004 ),
hlm. 172.
[8] UU No. 13
tahun 2003 ..., hlm. 172.
[9] Tabrani
Abby, “Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan” dalam Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sentralisme
production, Maret 2006), hlm. 188; bdk.
UU No. 13 tahun 2003 ... hlm. 152-153.
[10] Penjabaran
tingkatan Serikat Buruh dalam pembahasan ini dikutip dari Tabrani Abby, “Hukum
Perburuhan …, hlm. 188-189.
[11] Tabrani
Abby, “Hukum Perburuhan …, hlm. 188.
[12] Tabrani
Abby, “Hukum Perburuhan …, hlm. 189.
[13] Tabrani
Abby, “Hukum Perburuhan …, hlm. 189.
[14] Tabrani
Abby, “Hukum Perburuhan …, hlm. 189.
[20] http://www.beacukai.go.id/library/data/UU13-2003.pdf,
Selasa 03 Mei 2011.
[21]
http://www.beacukai.go.id/library/data/UU13-2003.pdf, Selasa 03 Mei 2011.
[22] http://www.beacukai.go.id/library/data/UU13-2003.pdf,
Selasa 03 Mei 2011.
[23] http://www.beacukai.go.id/library/data/UU13-2003.pdf,
Selasa 03 Mei 2011.
[24] http://www.beacukai.go.id/library/data/UU13-2003.pdf,
Selasa 03 Mei 2011.
[25] http://achmadhidir.
Blogspot. Com/2008/07/hak cuti haid buruh perempuan. html, Selasa 03 Mei 2011.
[26]
http://www.beacukai.go.id/library/data/UU13-2003.pdf, Selasa 03 Mei 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar