Jumat, 01 Juni 2012

HAK-HAK NORMATIF KAUM BURUH BERDASARKAN UU NO 13/2003 (by: juventz)


1. Pengantar
1.1 Pengertian[1]
Buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dan diganjari dengan upah. Beberapa jenis buruh adalah sebagai berikut. Buruh harian adalah orang yang menerima upah berdasarkan hari masuk kerja. Buruh kasar adalah orang yang menggunakan tenaga fisiknya karena tidak mempunyai keahlian di bidang tertentu. Buruh tani adalah orang yang menerima upah dengan bekerja di kebun atau di sawah orang lain. Buruh terampil adalah orang yang bekerja dengan keterampilan tertentu. Buruh terlatih adalah orang yang bekerja dengan terlebih dahulu dilatih untuk keterampilan tertentu. Pengertian buruh di sini sesuai dengan UU No. 13/2003 yang menyatakan bahwa buruh adalah orang yang bekerja dengan menerima upah atau  imbalan dalam bentuk lain. Jadi pada dasarnya, semua yang bekerja di  ( baik di perusahaan/luar perusahaan ) dan menerima upah atau imbalan adalah buruh.
Buruh tidak hanya bekerja di dalam negeri saja, melainkan ada juga bekerja di luar negeri. Mereka dikategorikan sebagai buruh migran. Kelompok ini akrab kita dengar dengan sebutan Tenaga Kerja Indonesia. Undang-undang tentang perburuhan di dalam negara Indonesia tentu ikut juga menjamin hak-hak kaum buruh migran selain hukum perburuhan di negara mereka sedang bekerja. Jika terjadi sesuatu kepada kaum buruh migran, negara Indonesia, lewat aparatur pemerintahan harus menjadi yang pertama bertanggung jawab.

1.2 Situasi Hak Azasi Kaum Buruh[2]
Persoalan buruh migran menjadi salah satu agenda penting dalam WCAR (World Conference Against Racism, Racial Discrimination, Xenophobia dan Related Intolerance) yang berlangsung pada tanggal 31 Agustus – 7 September 2001 di Durban, Afrika Selatan. Oleh masyarakat internasional, buruh migran dianggap sebagai entitas sosial yang dalam sejarah kemanusiaan senantiasa menghadapi tantangan rasialisme, perbudakan, diskriminasi dan bentuk-bentuk tindakan intoleransi lainnya.                                                     Sangat disayangkan sebagai negara yang menjadi daerah asal buruh migran, Indonesia (terutama pihak Pemerintah RI) tidak pro-aktif dalam perbincangan dan perdebatan masalah buruh migran di pertemuan tingkat dunia tersebut. Kesempatan berpidato Menteri Kehakiman dan HAM RI, Prof DR. Yusril Ihza Mahendra, SH selaku Ketua Delegasi RI di hadapan peserta konferensi, sama sekali tidak menyinggung masalah buruh migran Indonesia. Seakan bukan persoalan krusial. Justru Ms. Gabriela Rodriguez, United Nations Special Rapporteur on the Human Rights of Migrants (Pelapor Khusus PBB mengenai hak-hak buruh migran) memberi perhatian yang sangat khusus terhadap persoalan-persoalan buruh migran Indonesia.    Ketidaksensitifan pemerintah Indonesia bukan suatu kecelakaan. Presiden Megawati dalam progress reportnya di depan Sidang Tahunan MPR November 2001 menyatakan bahwa telah banyak kemajuan yang dialami dalam upaya perlindungan tenaga kerja Indonesia (buruh migran Indonesia) di luar negeri, hak-hak perempuan dan hak anak. Pernyataan ini tentu sangat diharapkan jika memang realitasnya demikian. Apabila pernyataan tersebut dihadapkan pada kondisi sebenarnya dari para buruh migran Indonesia di luar negeri, khususnya kaum perempuan dan anak-anak, sangatlah bertolak belakang. Maka pernyataan itu lebih tepat dianggap sebagai retorika politik belaka.                                                                                                       Berdasar data KOPBUMI sepanjang tahun 2001 terjadi kasus pelanggaran hak asasi buruh migran Indonesia terhadap 2.239.566 orang, dengan perincian 33 orang meninggal, 2 orang menghadapi ancaman hukuman mati, 107 kasus penganiayaan dan perkosaan, 4.598 orang melarikan diri dari majikan, 1.101 orang disekap, 1820 orang ditipu, 34.707 orang ditelantarkan, 24.325 orang hilang kontak, 32.390 orang dipalsukan dokumennya, 1.563.334 orang tidak berdokumen, 14.222 orang dipenjara, 137.866 orang dipulangkan paksa (deportasi), 222.157 orang di PHK sepihak, 6.427 orang ditangkap/dirazia, 65.000 orang tidak diasuransikan ,25.004 orang dipotong gaji sepihak dan 50 orang menghadapi mahkamah syariah. Sementara itu dalam 3 bulan pertama tahun 2002 ini, terjadi eskalasi pelanggaran HAM buruh migran Indonesia di Malaysia seperti penangkapan paksa, razia, pemerasan, penyiksaan dalam kamp tahanan dan pengusiran paksa. Pemerintah Malaysia secara legal akan membatasi masuknya buruh migran asal Indonesia. Sebagaimana tampak akhir-akhir ini hal tersebut mendorong terjadinya deportasi besar-besaran buruh migran Indonesia dari Malaysia yang senantiasa disertai dengan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia.                                                                             Diskriminasi buruh migran Indonesia tidak mengenal tempat. Di dalam negeri, mereka diperlakukan sebagai komoditi dan warga negara kelas dua. Mereka mendapatkan perlakuan yang diskriminatif mulai dari saat perekrutan, di penampungan, pemberangkatan maupun saat kepulangan. Terminal III Bandara Soekarno Hatta merupakan tempat nyata dari bentuk diskriminasi terhadap buruh migran Indonesia; dengan memisahkan mereka dengan penumpang umum lainnya.         Sebagai buruh asing di negara tempat bekerja, buruh-buruh ini juga diberlakukan secara diskriminatif. Mereka dilarang mendirikan serikat buruh atau masuk dalam serikat buruh setempat. Buruh migran perempuan yang bekerja di sektor domestik (PRT/Pembantu Rumah Tangga) memperoleh upah lebih rendah dibanding buruh migran laki-laki. Karena waktu kerja yang ketat, banyak buruh migran dihalang-halangi untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya.                    Lebih dari itu jumlah buruh migran Indonesia yang sebagian besar perempuan dalam konstruksi masyarakat patriarkis rentan terhadap tindak kekerasan yang berbasis pada diskriminasi gender. Kasus-kasus pelecehan seksual, kekerasan fisik, perkosaan yang mengakibatkan kematian masih sering dialami buruh migran Indonesia.             Pemerintah memang telah meratifikasi beberapa instrumen internasional yang terkait dengan diskriminasi (misalnya, CEDAW/Konvensi untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan berbagai Konvensi ILO). Meskipun demikian implementasi kebijakan masih mengandung semangat diskriminasi bahkan kebijakan penempatan buruh migran sudah mengarah pada kebijakan perdagangan manusia.                                                                          Dalam pembahasan di WCAR, terdapat kemajuan berupa pengakuan hak-hak buruh migran. Dokumen-dokumen yang dihasilkan dalam WCAR, yang menjadi landasan program aksi bersama negara-negara, terdapat klausul-klausul yang mengukuhkan eksistensi buruh migran (termasuk di dalamnya domestic helper) sebagai subyek yang harus dilindungi hak-hak asasinya. Terdapat pula keharusan untuk menghindari terjadinya proses trafficking (perdagangan manusia) serta dihargainya hak-hak keluarga buruh migran untuk berkumpul kembali di negara tujuan bekerja. Dokumen itu juga sepakat bahwa buruh migran memiliki hak atas upah yang sama, asuransi sosial, status hukum yang sama dengan buruh setempat dan menghargai hak-hak ekspresi kultural.                                                                                   Sebagai komitmen untuk melindungi hak-hak buruh migran dan mencegah berlangsungnya perdagangan manusia, terutama perempuan dan anak WCAR juga merekomendasikan negara-negara anggota meratifikasi International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families, 1990 dan United Nations Convention against Transnational Organized Crime, the Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children.                                                                                                              
Tentunya Indonesia yang merupakan negara anggota PBB dan asal buruh migran wajib memenuhi rekomendasi-rekomendasi di atas. Bahkan di samping Nepal dan Bangladesh, Indonesia merupakan negara yang diharapkan akan meratifikasi dalam waktu cepat mengingat perlindungan yang diberikan konvensi itu juga akan melindungi kepentingan warga Indonesia. Ratifikasi atas Konvensi Perlindungan Buruh-buruh Migran dan Keluarganya 1990 akan mempercepat keberlakuannya secara efektif (dibutuhkan ratifikasi 20 negara untuk itu dan saat ini sudah mencapai 19 negara). Komitmen ini sebenarnya hanya merealisasikan janji ratifikasi sebagaimana tertuang dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 1998-2003, namun ternyata hingga saat ini inisiatif pemerintah belum ada.                       
Di tingkat nasional, Indonesia juga harus segera menerbitkan Undang-Undang Perlindungan Buruh Migran dan Anggota Keluarganya dan membuat bilateral Agreement yang melindungi buruh migran Indonesia di luar negeri. Seiring dengan hal tersebut, kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap buruh migran Indonesia harus dihapuskan.                                                                                                             Sebagai langkah awal yang konkret, delegasi RI yang mengikuti konferensi tersebut bisa memulai dengan mensosialisasikan hasil-hasil WCAR dengan melibatkan secara penuh para pihak dan konstitusi terkait (Departemen Luar Negeri, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Kehakiman dan HAM, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, NGO, Pers dan buruh migran).
Di bidang ketenagakerjaan internasional, penghargaan terhadap hak asasi manusia di tempat kerja dikenal melalui 8 (delapan) konvensi dasar International Labour Organization (ILO). Konvensi dasar ini terdiri atas 4 (empat) kelompok yaitu:
  • Kebebasan Berserikat (Konvensi ILO Nomor 87 dan Nomor 98);
  • Diskriminasi (Konvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111);
  • Kerja Paksa (Konvensi ILO Nomor 29 dan Nomor 105); dan
  • Perlindungan Anak (Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182 ).
Secara hukum, Negara Indonesia sudah melindungi buruh dengan undang-undang yang ada, di antaranya meratifikasi konvensi dari International Labour Organization (ILO) dan dibuatnya UU Ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003 tetapi begitu dalam prakteknya juga harus dilihat apakah hukum Indonesia (UU Ketenagakerjaan) telah melindungi hak-hak normatif kaum buruh?

2. Hak-Hak Normatif Kaum Buruh
2.1  Bersifat Ekonomis
2.1.1 Upah[3]
Tata cara pengupahan buruh diatur oleh Pemerintah dalam UU no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam perundang-undangan tersebut dinyatakan bahwa setiap buruh berhak memperoleh penghasilan layak bagi kemanusiaan. Penghasilan tersebut meliputi: upah minimum,  upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja karena berhalangan, upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerja, bentuk dan cara pembayaran upah, denda dan potongan upah, struktur dan skala pengupahan yang proporsional, upah untuk pembayaran pesangon, dan upah untuk perhitungan pajak penghasilan. Ketapan tersebut dilaksanakan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi (UU no. 88).
Upah adalah hak buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada buruh dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan (pasal 1). Defenisi ini tertuang dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja NOMOR KEP.102/MEN/VI/2004.[4]
            Pengaturan upah minimum dilaksanakan berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. Upah minimum ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota (UU no. 89). Pengaturan upah minimun tersebut mengandung pelarangan bagi pengusaha yakni dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum  dapat dilakukan penangguhan (UU no. 90).
Dalam mengatur segala hal yang berkaitan dengan upah, pemerintah membentuk Dewan Pengupahan Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Dewan itu berfungsi memberikan saran dan pertimbangan. Keanggotaan Dewan Pengupahan terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, perguruan tinggi, dan pakar. Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan sedangkan keanggotaan Dewan Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota. Ketentuan tata cara pembentukan, komposisi keanggotaan, serta tugas dan tata kerja Dewan Pengupahan diatur dengan Keputusan Presiden (UU no. 96).
            Pembayaran upah dapat juga disepakati antara pengusaha dengan buruh dengan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Upah yang lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, batal demi hukum dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (UU no. 91). Upah disusun dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi yang ditinjau secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. (UU no. 92).
Pengusaha wajib membayar upah apabila:
  1. Pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan,
  2. Pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan,
  3. Pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia,
  4. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara,
  5. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya,
  6. Pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakanya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha,
  7. Pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat,
  8. Pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha, dan
  9. Pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan. Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan (UU no. 93).
 Upah yang dibayarkan kepada buruh yang sakit diatur sebagai berikut.:
v     Untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus perseratus) dari upah,
v     Untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari upah;
v     Untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh perseratus) dari upah;
v     Untuk bulan selanjutnya dibayar 25 % (dua puluh lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.
 Upah yang dibayarkan kepada buruh yang tidak masuk bekerja diatur sebagai berikut :
*      Pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
*      Menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
*      Mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
*      Membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
*      Isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
*      Suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
*      Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, buruh dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
Komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan. Besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap (UU. no. 94). Pelanggaran yang dilakukan oleh buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda. Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh. Pengenaan denda diatur oleh pemerintah kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah. Jika perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya (UU no. 95).Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak (UU no. 96).
Perhitungan upah adalah sebagai berikut. Buruh yang diupah secara harian, besarnya upah sebulan adalah upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima) bagi buruh yang bekerja 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau dikalikan 21 (dua puluh satu) bagi buruh yang bekerja 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Sedangkan buruh diupah berdasarkan satuan hasil, maka upah sebulan adalah upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.  Dan  buruh bekerja kurang dari 12 (dua belas) bulan maka upah sebulan dihitung berdasarkan upah rata-rata selama bekerja dengan ketentuan tidak boleh lebih rendah dari upah dari upah minimum setempat (Pasal 9).[5]
Untuk mendukung kesejahteraan buruh, Setiap buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU. No. 99). Untuk itu, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan. Jenis dan kriteria fasilitas kesejahteraan disesuaikan dengan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan (UU no.100), seperti koperasi dan usaha-usaha produktif di perusahaan yang ditumbuhkembangkan dengan bekerja sama (UU no. 101).

2.1.2 Upah kerja Lembur[6]
Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah. Pengaturan waktu kerja lembur berlaku untuk semua perusahaan, kecuali bagi perusahaan pada sektor usaha tertentu atau pekerjaan tertentu. (pasal 2) Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. (pasal3)
            Pengusaha yang mempekerjakan buruh melebihi waktu kerja, wajib membayar upah lembur. Buruh yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu (mereka yang memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana dan pengendali jalannya perusahaan yang waktu kerjanya tidak dapat dibatasi menurut waktu kerja yang ditetapkan perusahaan sesuai denga peraturan perundang-undangan yang berlaku), tidak berhak atas upah kerja lembur dengan alasan mendapat upah yang lebih tinggi. (pasal 4)
Untuk melakukan kerja lembur harus ada perintah tertulis dari pengusaha dan persetujuan tertulis dari pekerja/buruh yang bersangkutan.  Perintah tertulis dan persetujuan tertulis dapat dibuat dalam bentuk daftar pekerja/buruh yang bersedia bekerja lembur yang ditandatangani oleh pekerja/buruh yang bersangkutan dan pengusaha.  Pengusaha harus membuat daftar pelaksanaan kerja lembur yang memuat nama pekerja/buruh yang bekerja lembur dan lamanya waktu kerja lembur (pasal 6).
Perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh selama waktu kerja lembur berkewajiban :
a. Membayar upah kerja lembur.
b. Memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya.
c. Memberikan makanan dan minuman sekurang-kurangnya 1.400 kalori apabila kerja lembur dilakukan selama 3 (tiga) jam atau lebih.  Pemberian makan dan minum tidak boleh diganti dengan uang. (pasal 7).
Perhitungan upah lembur didasarkan pada upah bulanan. Cara menghitung upah sejam adalah 1/173 kali upah sebulan. (Pasal 8 )
Jika  upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka dasar perhitungan upah lembur adalah 100 % (seratus perseratus) dari upah. Jika  upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap, dan apabila upah pokok tambah tunjangan lebih kecil dari 75 dari keseluruhan upah, maka dasar perhitungan upah lembur 75 % dari keseluruhan upah (Pasal 10).
Cara perhitungan upah kerja lembur sebagai berikut :
1.      Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja :a. untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar 1,5 (satu setengah) kali upah sejam; a. untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar 2(dua) kali upah sejam.
2.      Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu maka perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh dibayar 4 (empat) kali upah sejam.
3.      Apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan upah lembur 5 (lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam keenam 3(tiga) kali upah sejam dan jam lembur ketujuh dan kedelapan 4 (empat) kali upah sejam.
4.      Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, maka perhitungan upah kerja lembur untuk 8 (delapan) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam kesembilan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam kesepuluh dan kesebelas 4 (empat) kali upah sejam (Pasal 11).
2.2   Bersifat Politis
Pekerja/buruh sebagai warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum. Salah satu hak normatif buruh adalah hak mengeluarkan pendapat dan aspirasinya sebagai seorang buruh. Wadah konkret untuk mewujudkan hak ini adalah dengan mendirikan serikat buruh atau menjadi anggota dari salah satu serikat buruh. Akan tetapi seorang buruh tidak harus menjadi anggota sebuah serikat buruh tertentu. Ia juga berhak untuk tidak masuk dalam suatu serikat buruh, apabila ia tidak menghendakinya.[7]
Hak berserikat bagi buruh telah diatur dalam konvensi ILO (International Labour Organization) no. 87 dan 98 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi. Khusus di negara kita, hak berserikat dijamin dalam pasal 28 UUD 1945.[8] Ketentuan ini dijabarkan dalam UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Beberapa hal yang ditetapkan dalam UU ini akan dicoba dijabarkan berikut ini:
2.2.1 Serikat Buruh
a. Pengertian
            Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan. Serikat buruh haruslah memiliki sifat yang bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela, melindungi hak dan kepentingan buruh, serta meningkatkan kesejahteraan buruh dan keluarganya. Buruh diberikan kebebasan untuk mendirikan, ikut atau tidak ikut dalam sebuah serikat buruh. Ketentuan mengenai serikat buruh diatur dalam UU No. 21 tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh.[9]
            Organisasi serikat buruh terbagi dalam berbagai tingkatan[10] sebagai berikut:
b. Serikat Buruh
Serikat buruh didirikan oleh minimal 10 orang dengan memiliki azas yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Serikat Buruh diwajibkan memiliki Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Serikat Buruh dianggap sah apabila telah menyerahkan pemberitahuan kepada dinas tenaga kerja setempat untuk dicatatkan. Pemberitahuan tersebut dilampiri:
·        Daftar nama anggota pembentuk
·        Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)
·        Susunan dan nama pengurus
c.  Federasi Serikat Buruh
            Merupakan gabungan dari sekurang-kurangnya 5 serikat buruh. Federasi serikat buruh memiliki anggota sekurang-kurangnya sekitar 50 orang.
d. Konfederasi Serikat Buruh
            Merupakan gabungan dari sekurang-kurangnya 3 federasi serikat buruh. Konfederasi serikat buruh memiliki anggota sekurang-kurangnya 150 orang.
2.2.2 Fungsi Serikat Buruh
            Serikat Buruh sebagai sebuah organisasi merupakan fasilitator antara buruh dengan majikan. Beberapa fungsi serikat buruh sebagai berikut:
·        Sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial
·        Sebagai wakil buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatannya
·        Sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
·        Sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya
·        Sebagai perencana, pelaksana dan penanggung jawab pemogokan buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
·        Sebagai wakil buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham dalam perusahaan
·        Mewakili buruh dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial
            Dalam penerimaan anggota, serikat buruh harus terbuka, artinya tidak boleh membedakan aliran politik, agama, suku bangsa dan jenis kelamin. Seorang buruh tidak dapat menjadi anggota dari 2 serikat buruh sekaligus.
2.2.3 Mogok Kerja
            Mogok Kerja adalah tindakan buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama oleh serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.[11] Mogok kerja merupakan hak dasar buruh atau serikat buruh yang dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat dari gagalnya suatu perundingan. Pihak-pihak yang menghalangi atau memaksa melakukan sebuah mogok kerja dapat dikenai sanksi pidana.
            Suatu mogok kerja dikatakan sah apabila:[12]
·        Dilakukan sebagai akibat dari gagalnya suatu perundingan
·        Diberitahukan dalam waktu 7 hari kerja sebelum mogok kepada pejabat Disnaker dan pengusaha
Isi pemberitahuan tertulis tersebut sekurang-kurangnya memuat[13]:
  • Rincian waktu dimulai dan diakhirinya mogok kerja
  • Tempat mogok kerja
  • Alasan melakukan mogok kerja
  • Tanda tangan ketua dan sekretaris, atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja. Bila dalam perusahaan belum ada serikat buruh maka yang menandatangani adalah perwakilan buruh yang ditunjuk sebagai koordinator atau penanggung jawab buruh.
            Selama mogok yang sah dilakukan, pengusaha dilarang untuk mengganti buruh yang mogok dengan buruh yang lain dari luar perusahaan. Selain itu pengusaha dilarang untuk melakukan tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada buruh dan pengurus serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
            Buruh yang melakukan mogok tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku (mogok tidak sah) maka:[14]
  • Buruh dianggap mangkir /tidak masuk kerja. Buruh yang mangkir karena mogok tidak sah dan telah dipanggil secara patut dan tertulis selama dua kali berturut-turut, namun buruh tidak masuk bekerja, dianggap mengundurkan diri
  • Pengusaha dapat melarang buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi
  • Pengusaha dapat melarang buruh yang melakukan mogok kerja di lokasi perusahaan

2.3  Bersifat Medis
2.3.1 Hak Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Resiko kecelakaan dalam melakukan pekerjaan pasti akan dialami oleh seseorang, dalam hal ini kecelakaan bisa dalam bermacam–macam bentuk. Kecelakaan yang dimaksud di sini yaitu kecelakaan dalam bentuk fisik. Penyebab kecelakaan pun bisa diakibatkan karena beberapa hal diantaranya: Pertama bisa jadi karena keteledoran dari pihak perusahaan. Misalnya karena lalai dan kurangnya pengecekkan mesin industri yang digunakan. Hal lain karena kurangnya atau bahkan tidak adanya pengarahan dari perusahaan kepada para buruh sebelum mereka bekerja dan melakukan proses produksi. Penyebab kedua bisa disebabkan karena memang kelalaian atau kurangnya kehati-hatian dari pihak buruh sendiri pada saat menjalankan pekerjaanya. Lantas hal lain juga bisa disebabkan karena situasi lingkungan yang kurang nyaman dan aman.[15]
Kecelakaan ataupun peristiwa-peristiwa di atas pastilah mendatangkan kerugian baik bagi perusahaan ataupun buruh sendiri. Oleh karena itu hal yang bisa dilakukan oleh pihak perusahaan demi dan untuk keselamatan bagi para buruh yaitu dengan membuat lembaga yang berfungsi  memberikan pengarahan dan penerangan bagi para buruh sebelum mereka melakukan  pekerjaan dan proses produksi. Misalnya, memeriksa kondisi kesehatan buruh yang akan diterima maupun yang akan dipindah tugaskan, melakukan pemeriksaan kesehatan berkala kepada para buruh melalui dokter yang ditunjuk perusahaan, menyediakan alat-alat pelindung diri bagi para buruh, dan melaporkan setiap kecelakaan kepada pejabat dinas tenaga kerja (Depnaker) setempat. Seandainya, dengan upaya di atas kecelakaan tetap menimpa buruh di wajibkan bagi pihak perusahaan untuk memberikan pertolongan pertama yang diberikan kepada buruh sampai dengan penyembuhanya.[16]
Selain hal-hal di atas kewajiban lain yang harus diperhatikan pihak perusahaan dalam menjamin kesejahteraan buruhnya, perusahaan wajib mengikutkan para buruhnya dalam program atau menjadi anggota Jamsostek. Di dalamnya para buruh akan mendapatkan jaminan-jaminan misalnya:

2.3.2 Jaminan kecelakaan Kerja[17]
Jaminan Kecelakaan kerja ini berlaku bagi buruh dalam rangka melaksanakan pekerjaan atau apa yang berhubungan  dengan pekerjaan misalnya, perjalanan pergi pulang dari rumah-perusahaan dan ke rumah kembali, penyakit atau kecelakaan yang di derita buruh pada saat melakukan pekerjaan. Jaminan kecelakaan kerja ini meliputi:
1. Biaya pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan.
2. Biaya rehabilitasi.
3. Santunan sementara tidak mampu kerja, santunan cacat sebagian untuk selama-    lamanya, santunan cacat total untuk selama-lamanya baik fisik maupun mental,  santunan kematian.
Hal lain yang kiranya juga diperhatikan oleh perusahaan berhubungan dengan kecelakaan kerja ini, perusahaan wajib memberikan laporan kepada pejabat dinas tenaga kerja setempat sesaat setelah terjadi kecelakaan kerja. Besarnya iuran jaminan kecelakaan kerja ini sebesar 0,24% - 1,74% dari upah buruh sebulan dan ditanggung perusahaan.
2.3.3 Jaminan Kematian[18]
Jaminan kematian ini diberikan pada buruh yang meninggal bukan sebagai akibat dari kecelakaan kerja. Santunan ini diberikan kepada keluarga atau ahli waris buruh. Jaminan ini meliputi:
  • biaya pemakaman
  • Santunan berupa uang  
Besarnya iuran jaminan kematian adalah 0,3% dari upah buruh per bulan, dan ditanggung oleh perusahaan. Besarnya santunan kematian yang diberikan oleh Jaminan Social Tenaga Kerja adalah sebesar 5.000.000,00. Sedangkan besarnya santunan untuk biaya pemakaman adalah 1.000.000,00.

2.3.4 Jaminan Pemeliharaan Kesehatan[19]
Jaminan pemeliharaan kesehatan adalah upaya penanggungan atau pencegahan gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan, atau perawatan termasuk kehamilan dan persalinan. Jaminan pemeliharaan kesehatan merupakan bentuk pemeliharaan dan peningkatan  kesejahteraan buruh dan keluarganya. Jaminan ini bersifat dasar, maksudnya bahwa jaminan ini meliputi peningkatan kesehatan, mencegah penyakit, serta pemulihan kesehatan. Hal-hal ini difasilitasi perusahan dengan kerja sama dengan Rumah Sakit yang ditunjuk oleh perusahaan yang bersangkutan.
2.4  Bersifat Sosial
2.4.1 Hak Beristirahat
Dalam pasal 79 berisikan tentang hak beristirahat bagi para buruh. Didalamnya di jelaskan bahwa, pengusaha wajib memberikan waktu istirahat dan cuti kepada pekerja atau buruh. Waktu istirahat dan cuti yang dimaksudkan meliputi: istirahat antara jam kerja sekurang-kurangnya ½ jam setelah bekerja selama 4 jam terus-menerus dan waktu tersebut tidak termasuk jam kerja. Istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu atau 2 hari untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu. Cuti tahuanan sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja atau buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus. Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ke-7 dan ke-8 masing-masing 1 bulan bagi pekerja atau buruh yang telah bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja atau buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunnya dalam 2 tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun.[20]
2.4.1  Pembatasan Pekerjaan Anak
Dalam bab X (Perlindungan, Pengupahan, dan Kesejahteraan) dalam UU No. 13/2003 dalam pasal 68 dicantumkan larangan memperkerjakan anak. Sedang dalam pasal 69-73 di cantumkan  kekecualian bagi anak yang berumur antara 13-15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak menganggu perkembangan dan kesehatan fisik atau mental dan social, tentunya dengan memperhatikan hal-hal berikut: Syarat-syarat yang dimaksudkan ini terdapat dalam pasal 69 UU perburuhan.
  • Izin tertulis dari orang tua atau wali
  • Perjanjian kerja dengan orang tua atau wali
  • Waktu kerja 3 jam dalam satu hari
  • Waktu kerja pada siang hari dan tidak mengganggu aktivitas belajar sekolah
  • Jaminan keselamatan dan kesehatan kerja
  • Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku
  • Adanya hubungan kerja yang jelas.[21]
Sedangkan dalam pasal 70 dikatakan bahwa, anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja, ada hubunganya dengan kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. Pasal 71 berbunyi, bahwa anak dapat melakukan pekerjaan demi dan untuk pengembangan bakat dan minatnya. Sedangkan dalam pasal 72 ditekankan bahwa tempat yang di sediakan bagi anak-anak haruslah dipisahkan dengan para pekerja atau buruh dewasa. Sementara dalam pasal 73 dikatakan bahwa anak dianggap bekerja bilamana ada ditempat kerja, kecuali terbukti sebaliknya.[22]
Sedangkan pada pasal 74 di dalamnya dinyatakan larangan untuk melibatkan anak atau mempekerjakan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksudkan dalam ayat satu meliputi: segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan dan sejenisnya, menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukkan porno, atau perjudian. Hal lain lagi misalnya larangan mempekerjakan anak  yaitu untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika dan lain-lain. Juga pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.[23]
2.4.2  Pembatasan Pekerjaan Buruh Perempuan
Peraturan perburuhan/ketenagakerjaan melarang adanya diskriminasi dalam hubungan kerja dalam bentuk dan bidang apapun. Peraturan perburuhan/ketanakerjaan mengakui kesamaan hak antara buruh perempuan dan buruh laki-laki.
Buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun, dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai 07.00. Selain itu, pengusaha juga dilarang mempekerjakan buruh perempuan yang sedang hamil antara pukul  23.00 sampai 07.00. Bagi pengusaha yang mempekerjakan buruh perempuan dari pukul 23.00 sampai 07.00, maka pengusaha wajib:[24]
·        Memberikan makanan dan minuman bergizi.
·        Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja.
·        Menyediakan angkutan antar jemput yang berangkat dan pulang bekerja pukul 23.00 sampai 07.00.
2.4.3 Hak Cuti Para Buruh Perempuan
Adanya Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) yang dibentuk oleh serikat pekerja dengan pihak perusahaan yang bertujuan untuk melindungi hak-hak pekerja terutama buruh perempuan dari hasil Konvensi ILO yang diratifikasi Depnaker, sebenarnya telah memuat esensi hak-hak reproduksi kaum perempuan. Di dalam KKB itu, secara nyata diberikan hak cuti haid, hamil dan cuti sakit untuk seluruh pekerja. Namun kenyataannya, pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Apalagi kaum buruh perempuan umumnya hanya bekerja sebagai pekerja unskill labour yang nota bene berpendidikan rendah, sehingga mereka tidak mengetahui tentang hak-haknya. Mereka sudah cukup puas dengan keadaan serupa itu, sehingga tuntutan ke arah itu tidak pernah terfikirkan oleh mereka.[25]
Peraturan Pemerintah tentang Ketentuan Pegawai Negeri, yakni ketentuan tentang waktu cuti. Buruh perempuan mendapat waktu istirahat pada saat hari pertama dan hari kedua masa haid, dengan memberikan surat keterangan dokter. Dalam praktek dunia industri sekarang yang mempekerjakan perempuan, hampir sama sekali tidak disentuh tentang siklus haid ini bagi kaum perempuan. Selain itu buruh perempuan mendapat waktu istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan, berdasarkan keterangan dokter kandungan atau bidan. Dalam hal buruh keguguran, maka buruh mendapatkan waktu istirahat selama 1,5 bulan setelah keguguran. Buruh perempuan yang sedang menyusui anaknya diberikan ruangan khusus di wilayah perusahan untuk menyusui.[26]

3.    Refleksi
3.1 Solidaritas Kaum Buruh (LE 8)
Berbicara mengenai kerja manusia dalam dimensinya yang mendasar, pribadi manusia sebagai pelaku kerja setidak-tidaknya perlu mengadakan evaluasi atas perkembangan-perkembangan selama 90 tahun sejak ensiklik Rerum Novarum, berkenaan dengan dimensi subyektif kerja. Sesungguhnya, subyek kerja selalu sama, yakni manusia, namun perubahan-perubahan berjangkauan luas berlangsung pada aspek obyektif. Memang dapat dikatakan, bahwa karena subyeknya kerja hanyalah satu hal. Tetapi bila arah jurusannya mempertimbangkan objek, mau tidak mau harus diakui ada sekian banyak dan bermacam ragam kerja di mana perkembangan peradaban manusia terus menerus memperkaya bidang itu.
Gerakan-gerakan solidaritas di bidang kerja, tidak pernah berarti sikap tertutup bagi dialog dan kerja sama dengan pihak-pihak lain. Itu dapat berlaku bagi kategori-kategori atau kelompok tertentu di kalangan pekerja “intelektual”, khususnya bila makin melebarnya pintu pendidikan dan terus bertambahnya jumlah orang yang bergelar di bidang-bidang budaya. Oleh karena itu, dibutuhkan studi terus-menerus tentang subjek kerja dan tentang kondisi-kondisi hidup pekerja. Untuk mencapai keadilan sosial di pelbagai kawasan dunia, di pelbagai negeri, diperlukan gerakan-gerakan solidaritas  yang setiap kali baru dikenal kalangan kaum buruh.  Solidaritas itu kapan saja dibutuhkan, karena pelaku kerja mengalami pemerosotan sosial, karena pengisapan kaum buruh, makin meluasnya medan kemiskinan dan bahkan kelaparan. Gereja mempunyai komitmen yang mantap terhadap perkara ini, sebab Gereja menganggap itu misinya, pelayanannya, bukti kesetiaannya terhadap Kristus, sehingga sungguh menjadi “Gereja kaum miskin”. Dalam kenyataannya “kaum miskin” tampil dalam pelbagai bentuk. Mereka tampil di pelbagai tempat dan pada saat yang berbeda-beda. Cukup sering pula “kaum miskin” tampil sebagai akibat pelanggaran martabat kerja manusiawi: entah karena peluang-peluang kerja manusiawi yang terbatas akibat bencana pengangguran, atau karena rendahnya nilai yang ditaruh pada kerja beserta hak-hak yang berasal dari padanya, khususnya hak atas upah yang adil dan atas keamanan pribadi buruh beserta keluarganya.
3.2 Kerja dan Martabat Pribadi (LE  9)
Dalam konteks manusia sebagai pelaksana kerja sudah semestinya disinggung soal-soal, yang secara lebih seksama menyangkut martabat kerja manusia, karena memungkinkan kita secara lebih penuh mengutarakan nilai morilnya yang khas. Maksud Allah yang mendasar dan asli mengenai manusia, yang diciptakan-Nya menurut Citra keserupaan-Nya, tidak ditarik kembali atau dibatalkan-Nya, kendati manusia, sesudah melanggar perjanjian asli dengan Allah, mendengar perintah: “... dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu.” Kerja bagi manusia merupakan upaya untuk mencari kedaulatan yang khas baginya atas dunia yang kelihatan,  yakni dengan menaklukkan bumi. Jerih payah merupakan pengalaman harian semua pekerja, karena kerja merupakan panggilan semua orang dan dirasakan oleh siapa pun juga. Kalau diinginkan lukisan lebih jelas tentang makna etis kerja, kebenaran itulah yang secara khas harus tetap diindahkan. Kerja itu baik bagi manusia dan baik pula bagi kemanusiaannya, karena melalui kerja manusia tidak hanya mengubah alam, menyesuaikannya dengan kebutuhan-kebutuhannya sendiri, melainkan mencari pemenuhan selaku manusia dan dalam arti tertentu menjadi lebih manusiawi





[1] Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi III (Departemen Pendidikan Nasional – Balai Pustaka), hlm. 180.
[2]
[7] UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, (Ciganjur-Jagakarsa: Jakarta Selatan: Visimedia, 2004 ), hlm. 172.
[8] UU No. 13 tahun 2003 ..., hlm. 172. 
[9] Tabrani Abby, “Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan” dalam Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sentralisme production, Maret 2006),  hlm. 188; bdk. UU No. 13 tahun 2003  ... hlm.  152-153.
[10] Penjabaran tingkatan Serikat Buruh dalam pembahasan ini dikutip dari Tabrani Abby, “Hukum Perburuhan …, hlm. 188-189.
[11] Tabrani Abby, “Hukum Perburuhan …, hlm. 188.
[12] Tabrani Abby, “Hukum Perburuhan …, hlm. 189.
[13] Tabrani Abby, “Hukum Perburuhan …, hlm. 189.
[14] Tabrani Abby, “Hukum Perburuhan …, hlm. 189.
[15] Tabrani Abby, “Hukum Perburuhan …, hlm. 191.

[16] Tabrani Abby, “Hukum Perburuhan …, hlm. 191.
[17] Tabrani Abby, “Hukum Perburuhan …, hlm. 192.

[18] Tabrani Abby, “Hukum Perburuhan …, hlm. 192.
[19] Tabrani Abby, “Hukum Perburuhan …, hlm. 192-193.
[20] http://www.beacukai.go.id/library/data/UU13-2003.pdf, Selasa 03 Mei 2011.
[21] http://www.beacukai.go.id/library/data/UU13-2003.pdf, Selasa 03 Mei 2011.
[22] http://www.beacukai.go.id/library/data/UU13-2003.pdf, Selasa 03 Mei 2011.
[23] http://www.beacukai.go.id/library/data/UU13-2003.pdf, Selasa 03 Mei 2011.
[24] http://www.beacukai.go.id/library/data/UU13-2003.pdf, Selasa 03 Mei 2011.

[25] http://achmadhidir. Blogspot. Com/2008/07/hak cuti haid buruh perempuan. html, Selasa 03 Mei 2011.

[26] http://www.beacukai.go.id/library/data/UU13-2003.pdf, Selasa 03 Mei 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar