Jumat, 01 Juni 2012

PERKEMBANGAN PESAT DI ZAMAN YANG SULIT (by: juventz banafanu)






BAB I
PANDANGAN BARU TENTANG KESUKSESAN


A.     PENGANTAR

            Hidup adalah perjuangan! Perjuangan dalam hidup merupakan suatu batu loncatan yang harus dilalui sebagai pengalaman yang memperkaya hidup. Manusia yang berjuang dalam hidupnya ialah manusia yang menatap kepada masa depan. Ia selalu berjuang dan terus berjuang meskipun banyak rintangan yang akan dihadapinya. Rintangan-rintangan yang menghadang bukan menjadi beban berat yang melelahkan namun justru membangkitkan semangat dan gairah untuk tetap maju dan meraih apa yang menjadi tujuan pendakian tersebut.
            Dalam pendakian tersebut, pribadi seseorang mesti dilatih. Pelatihan itu menyangkut intelektualitas, emosionalitas, spiritualitas, dan terutama dalam ringkasan ini kami lebih menyoroti apa yang disebut Adversity oleh Paul G. Stoltz dalam karyanya Advesity Quotient. Adversity ini sangat berpengaruh dalam cara dan usaha pendakian seseorang pendaki.

1. Pendakian – Merumuskan Kembali Arti Kesuksesan
            Hidup seperti mendaki gunung. Kepuasan akan tercapai bila orang tak kenal lelah untuk terus mendaki. Mendaki gunung merupakan pekerjaan yang sulit digambarkan. Hanya sesama pendaki yang tahu bagaimana suka duka  pengalaman itu. Namun kesuksesan merupakan kemanisan tersendiri bagi mereka. Oleh karena itu, kesuksesan digambarkan sebagai tingkat bagi orang untuk bergerak maju dalam menjalani hidup meskipun harus melewati kesengsaraan.

1.1 Pertanyaan Mendasar tentang Efeksitas Manusia

1.2 Apakah AQ?
            Para ahli berdasarkan hasil riset dan pembuktian menetapkan soal apa yang harus dibuat untuk mencapai kesuksesan dalam hidup terutama yang ditentukan oleh Adversity adalah Quotient sebagai berikut:
*    memberitahukan kemampuan untuk bertahan menghadapi kesulitan serta mengatasinya
*     meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur
*     meramalkan siapa yang akan melampaui harapan atas kinerja dan potensi serta siapa yang akan gagal
*     meramalkan siapa yang menyerah dan bertahan
Para ahli pun mengklasifikasikan AQ menjadi tiga bentuk yakni: Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Dalam pengertian ini AQ menawarkan gabungan pengetahuan praktis dan baru untuk mencapai kesuksesan. Kedua, AQ adalah ukuran untuk mengetahui respon terhadap kesulitan. Hal ini menyangkut pemanfaatan pola bawah sadar yang dimiliki manusia supaya dipahami, diukur, dan diubah. Ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan, yang akan berakibat memperbaiki efektivitas dan profesionalitas secara utuh.
Dengan ini kita akan belajar dan menerapkan cara ini pada diri kita sendiri, dan orang lain. Gabungan ketiga bentuk ini merupakan suatu paket komplit untum memahami dan memperbaiki komponen dasar pendakian sehari-hari dan seumur hidup.

1.2.1 Melampaui Batas Individu
            Yang dimaksud dengan ungkapan melampaui batas individu ialah bahwa AQ tersebut pertama-tama mencakup person. Namun demi meningkatkan kreativitas maka AQ itu berhubungan juga dengan: tim, hubungan atau ikatan kerja, keluarga, perusahaan, perkumpulan, kebudayaan, masyarakat. Misalnya peningkatan efektivitas akan tampak dalam diri seorang pemimpin yang meningkatkan kreatifitas orang-orang yang dipimpin. Salah satu contoh ketika tuntutan hak sangat tinggi dan kesadaran bertanggungjawab rendah, AQ merumuskan kembali apa yang dimaksud dengan keadaan yang dapat dimintai pertanggungjawaban dan bagaimana menguasai suatu situasi, misalnya kerja, motivasi, pemberdayaan dan lain-lain.

1.2.3 Peran AQ dalam Memimpin Diri Sendiri dan Orang Lain
            Kepemimpinan berawal dari suatu perjalanan batin. Sebagai pemimpin anda memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pegawai anda mempunyai kemampuan untuk melewati masa-masa yang penuh tantangan. Dengan demikian, anda dapat menciptakan suatu organisasi yang tahan uji, gesit, dan berkinerja tinggi.

1.2.4 Pertanggungjawaban dan Tanggung Jawab
            Ada dua pertanyaan mendasar menyangkut pernyataan di atas antara lain:
Mengapa ada orang yang tidak mau memikul tanggung jawab atas tindakan mereka sendiri dan mencari solusi  atas masalah tersebut?
Bagaimana saya menanamkan atau membangkitkan rasa pengakuan ini pada orang lain?
Pertanyaan di atas terutama ditujukan bagi para orang tua dan pemimpin serta anggota timnya.

1.2.5 Peramal Global Tentang Kesuksesan: AQ vs IQ dan EQ
            Peramal-peramal biasa gagal. Dalam pernyataan ini dikontraskan dua hal yakni antara orang-orang yang memiliki bakat-bakat khusus, keadaan jasmani yang sangat kuat, keluarga yang penyayang, memilki sumber daya yang tak terbatas dan lain-lain serta orang yang tergolong sangat minim memiliki keunggulan seperti yang kami sebutkan di atas. Dalam prakteknya mereka yang dimasukan dalam kelompok pertama justru tidak mampu atau gagal dalam mencapai kesuksesan sedangkan mereka yang mamiliki sedikit justru lebih unggul dan punya prestasi yang lebih diharapkan.
            IQ tidak cukup untuk mencapaikesuksesan. Tolok ukur tradisional mengakui (Intelligence Quotient) IQ sebagai si peramal kesuksesan. Namun dalam prakteknya justru terbalik. Salah satu contoh konkret yang kami kutip di sini ialah Ted Kaczynski si anak ajaib yang menempuh jalur sekolah menegah atas tanpa melalui pendidikan menegah pertama dan masuk Harvard pada umur 16 tahun hingga lulus pada umur 20 tahun. Ia memiliki IQ yang tinggi namun EQ-nya tidak pernah berkembang karena sejak masa sekolah praktisnya ia tidak pernah kelihatan bergaul dengan siapa pun dan tidak pernah menjalin suatu hubungan yang berlangsung lama. Orang-orang sekitarnya menjulikinya “Pertapa dari Harvard”. Intelektual tinggi yang ia miliki bukan disumbangkan untuk membangun dunia yang lebih baik malahan dipraktekan dengan membunuh tiga orang dan melukai 22 orang lainnya. Di sini IQ jelas gagal sebagai peramal kesuksesan.
Kecerdasan dirumuskan kembali. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence, menjelaskan mengapa orang yang memilki IQ sedang-sedang saja bisa berkembang pesat. Ia mengemukakan selain IQ, kita semua mempunyai EQ (Emotional Quotient). Kemampuan ini melahirkan kemampuan untuk berempati dengan orang lain, menunda rasa gembira, mengandalkan dorongan-dorongan hati, dan bergaul secara efektif dengan orang lain. Ia mengatakan bahwa EQ lebih penting daripada IQ.

2. Gunung- Mendaki Menuju Kesuksesan
            Kita dilahirkan dengan satu dorongan inti yang manusiawi untuk terus mendaki. Pendakian ini menggerakan tujuan hidup ke depan, apa pun tujuan itu. Dorongan tersebut merupakan perlombaan naluriah melawan jam dalam menyelesaikan tugas sebanyak mungkin semampu kita dalam batas waktu yang telah ditentukan. Pendakian yang menggerakan itu mencakup keseluruhan yang bergerak ke depan dan ke atas.
             Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa seandainya kita sama-sama memiliki dorongan inti yang manusiawi ini untuk yakni Mendaki, lantas mengapa kita tidak melihat puncak gunung penuh dijejali oleh mereka yang berhasil mencapai puncaknya, dan kaki gunungnya tidak dihuni oleh manusia? Mengapa justru sebaliknya yang terajdi? Pada bagian berikut ini kita akan melihat tipe-tipe para pendaki.

2.1 Mereka Yang Berhenti Quitters
            Quitters adalah orang-orang yang berhenti, menghindari kewajiban, mundur. Mereka menghentikan pendakian dan meninggalkan dorongan manusiawi untuk mendaki.
2.2 Mereka yang Berkemah Campers
            Mereka adalah orang-orang akan berkata “Sejauh inilah saya mendaki” kemudian bersembunyi karena merasa bosan dengan pendakian tersebut. Meskipun demikian ia pernah menanggapi pendakian itu tidak seperti Quittrs.
2.3 Para Pendaki Climbers
            Golongan ini adalah mereka yang membaktikan dirinya pada pendakian tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan maupun kerugian.
2.4 Gaya Hidup Quitters, Campers, dan Climbers
            Menurut definisinya Quitters menjalani hidupnya yang tidak terlalu menyenangkan, meningglkan impian-impian dan memilih jalan yang lebih enak dan mudah. Akibatnya, mereka menjadi sinis, murung, dan mati perasaannya. Sering mereka menjadi pecandu alkohol, narkoba, atau acara televisi yang tidak bermutu. Mereka digambarkan sebagai orang-orang di dunia yang tidak efektif sangat boros dengan waktu, dan hidup tanpa makna. Dalam mengahadapi pendakian mereka memilih untuk lari. Dalam tempat kerja mereka adalah orang-orang yang sangat tidak diandalkan.
            Sedangkan Campers seperti Quitters mereka menjalani kehidupan yang tidak lengkap. Perbedaan terletak pada tingkatnya. Mereka memang mendaki namun karena telah mendaki mereka lantas akan berkata “Ini sudah cukup baik” tanpa menyadari harga yang mereka bayar. Ia merasa senang dengan pencapaian itu dan mengorbankan apa yang masih belum digapainya yakni sampai pendakian selesai. Mereka adalah tipe Satis-ficer yakni orang yang puas dengan pencapaian diri tapi tidak mau mengembagkan diri. Mereka termotivasi oleh kenyamanan dan rasa takut.
            Dari ketiga jenis ini hanya Climberslah orang yang menjalani hidupnya secara lengkap. Mereka mengerjakan segalanya dan memahami tujuan yang akan dicapai entah itu menyenangkan atau merugikannya. Ia merasa yakin akan sesuatu yang ia miliki sehingga membuatnya untuk terus mendaki manakala gunung terasa menakutkan baginya.

2.5 Bagaimana Ketiganya di Tempat Kerja
            Menurut definisinya Quitters bekerja sekadar cukup untuk hidup, ada sedikit ambisi, semangat minim, mutu di bawah standar, tidak banyak memberi sumbangan sehingga mereka merupakan beban mati bagi setiapm perusahaan.
             Campers masih menunjukan sejumlah inisiatif. Sedikit semangat, dan beberapa usaha. Mereka masih tinggal pada taraf mengerjakan apa yang perlu saja dan tidak mau mengambil resiko atau apabila mengambil suatu resiko ia lebih memilih jalan mencari aman. Ini adalah bagian tersulit dan termahal menjadi seorang Campers.
            Berbeda dengan keduanya Climbers menyambut baik segala tantangan, dan hal-hal mendesak harus dibereskan terlebih dahulu, cendrung membuat segala sesuatu terwujud, membaktikan diri pada pertumbuhan dan perkembangan, tidak berhenti pada gelar tetapi terus berusaha mencari hal baru dalam hidupnya, bekerja dengan visi, penuh inspirasi, sebagai akibatnya mereka menjadi pemimpin yang handal.



           
BAB II

ZAMAN YANG SULIT

AQ semakin penting seiring dengan kesulitan yang dihadapi pada zaman sekarang ini. Setiap orang dari berbagai kalangan dan usia mengalami kesulitan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Ada tiga tingkatan kesulitan yang dialami dalam kehidupan dewasa ini, yakni;  kesulitan masyarakat, kesulitan tempat kerja, dan kesulitan individu. Ketiga kesulitan ini berawal dari individu, dan kemudian berdampak pada tempat kerja, dan akhirnya kesulitan pada masyarakat umum. Untuk menghadapi kesulitan ini, setiap orang harus memiliki AQ yang cukup tinggi.
            Kesulitan yang kita hadapi dalam masyarakat adalah peralihan besar di berbagai bidang kehidupan seperti harta milik, ketidakpastian akan masa depan, tingkat kejahatan yang semakin meningkat, kecemasan terhadap kondisi perekonomian, perusakan lingkungan, kehidupan berumah tangga, krisis moral, dan hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga, termasuk sistem pendidikan. Kesulitan tersebut menjadi tantangan dalam masyarakat luas yang mesti kita hadapi.
            Kesulitan di tempat kerja adalah perubahan tuntutan kerja yang terus menerus, kecemasan akan penyusutan karena penggunaan teknologi, hilangnya pendapatan riil dan kurangnya keamanan kerja. Kesulitan tersebut menimbulkan rasa putus asa dan ketakutan akan posisi mereka dalam perekonomian di era informasi global yang baru ini.
            Kesulitan-kesulitan di atas berdampak pada individu-individu. Kesibukan dan kecemasa yang dialami dalam masyarakat dan di tempat kerja membebani setiap individu untuk melakukan perubahan. Perubahan yang lebih besar haruslah dimulai dari masing-masing individu. Setiap individu merenungkan kesulitan yang dia alami dan mulai bertanya “mengapa hal itu terjadi?”.        

2.1 Mengapa Bisa Menjadi Sedemikian Buruk?
            Efek-efek kumulatif dari situasi sulit yang terus bertambah bisa mengakibatkan hancurnya hubungan secara berlahan-lahan, hilangnya antusiasme terhadap suatu pekerjaan, bertambahnya usia dan munculnya berbagai kesulitan lain. Kesulitan itu terjadi secara berlahan-lahan dan bertahap seturut perkembangan dan tuntutan zaman. Kesulitan-kesulitan ini dapat semakin besar dan membebani jiwa seseorang sehingga dapat menimbulkan hilangnya harapan. 
            Harapan merupakan darah kehidupan bagi kemungkinan-kemungkinan. Seseorang tidak boleh kehilangan harapan, menerima sebuah dunia yang serba salah. Setiap orang harus memiliki sebuah kehidupan yang dapat membuat perbendaan dan terus mendaki ke puncak kehidupan. Cara merespon kesulitan akan memperbaiki kemampuan untuk mengatasi dan bertahan dalam kesulitan. Hal ini dilakukan dengan memahami, mengukur, dan meningkatkan AQ. Jika kesulitan meningkat, maka kita membutuhkan kreativitas, keberanian, keteguhan hati, ketekunan, dan keuletan yang lebih besar. Tanpa AQ yang cukup tinggi, mungkin perjalanan anda akan memilih persimpangan yang berbahaya.

2.3 Empat Persimpangan Berbahaya dalam Perjalanan Menuju Puncak
            Ketika kesulitan bertambah, perjalanan ke puncak menjadi semakin sulit. Sambil menanggung beban berat pendakian, anda menghadapi tantangan itu setiap hari. Namun anda harus terus mendaki. Berhenti mendaki berarti melepaskan potensi dan kontribusi kehidupan anda. Pendakian itu semakin sulit dan terjal sehingga anda  akan memilih satu dari empat persimpangan berbahaya dalam perjalanan itu. Persimpangan-persimpangan tersebut mempunyai kemampuan merusak respon-respon terhadap kesulitan dalam kehidupan kita.
            Persimpangan pertama adalah Climber berubah menjadi Camper. Perjalanan semakin sulit dan terjal sehingga banyak orang merasa tidak akan dapat mendaki lagi dan berhenti bergerak ke depan dan ke atas dalam kehidupan mereka (apakah itu dalam pertumbuhan diri mereka, karir, relasi, kontribusi danlain-lain). Mereka berhenti di tangah jalan, mendirikan tenda dengan asumsi keliru bahwa perkemahan kecil akan stabil selamanya. Dengan berkemah maka Campers bisa kehilangan kemampuan untuk mendaki. Mereka mengorbankan impian-impian, kepuasan, dan aktualisasi diri untuk mempertahankan kedok kenyamanan dan kemantapan yang telah mereka bangun.
            Kita tidak dapat menghakimi  orang-orang yang berhenti mendaki kehidupannya. Mereka diperkuat oleh sejumlah besar Campers lainnya yang membuat pilihan-pilihan serupa. Campers membuat apa yang tampaknya keputusan bijaksana, dengan melindungi diri terhadap angin perubahan yang takkan pernah berhenti perubahan akan terus ada. Mereka berusaha menghindari tantangan dengan konsekwensi yang sungguh dahsyat. Namun sekurang-kurangnya untuk saat itu mereka telah mulai beralih dari Camper  menjadi seorang Climber.
            Persimpangan yang kedua adalah memilih teknologi sebagai tuhan. Kecenderungan  dari bagian kedua ini yang mengawatirkan adalah menggantikan keyakinan akan pemecahan-pemecahan yang manusiawi dengan pemecahan-pemecahan teknologis. Ketika pendakian semakin terjal dengan mudah seseorang beralih dari kemampuannya sendiri yang lebih tinggi kepada kemampuan teknologi. Namun pergeseran ini mengakibatkan bahaya hilangnya kendali atas kehidupan kita. Sebagian orang lebih percaya kepada mesin daripada kepada diri sendiri. Hasilnya adalah suatu rasa tidak berdaya yang semakin besar dan berkurangnya komitmen untuk bertindak.
            Persimpangan yang ketiga adalah semangat yang dipompa. Semakin beratnya perjalanan hidup membuat banyak orang mencari tempat pelarian. Program-program dan produk-produk motivasi menjadi obat yang mujarab. Usaha mencari pemecahan-pemecahan masalah yang mudah dan cepat, yang memompa semangat, telah membantuk sebuah persimpangan yang sangat berbahaya dalam pendakian menuju puncak. Banyak orang yang menganggapnya sebagai jalan pintas, tetapi sebenarnya merupakan jalan buntu.
Betapapun hebatnya motivator yang memotivasi, seseorang haruslah memikirkan dan mempertimbangkannya. Seseorang membutuhkan semangat yang bertahan lama, bukan semangat besar yang sementara atau sesaat.
            Persimpangan yang keempat adalah menjadi tak berdaya dan putus asa. Perjalanan hidup yang kian membutuhkan perjuangan keras membuat seseorang menjadi tak berdaya. Pendakian yang semakin terjal menciutkan perjuangan sehingga merasa tidak berdaya. Perasaan tidak berdaya yang dibiarkan terus menerus akan meluas menjadi perasaan putus asa. Ketidakberdayaan mengesahkan keputusasaan, keduanya saling berkaitan, yang satu memberi umpan balik kepada yang lain.
Keputusasaan merupakan kanker jiwa, menghisap kehidupan dan energi kita. Persimpangan ini muncul pada jalur yang tantangannya paling berat dan kemungkinan imbalan yang diperoleh paling besar. Daripada mengatasi hambatan-hambatan hidup, semakin banyak saja jumlah orang yang tidak memiliki motivasi. Mereka menyerah sama sekali.


2.4 Jalur yang Paling Aman
            Daripada memilih satu dari keempat alternatif di atas, kita bisa menemukan satu jalur yang lebih aman untuk mencapai AQ yang lebih tinggi. Hal itu akan kita pelajari dalam bab berikut bagaimana pengetahuan, keterampilan, dan peralatan yang  kita butuhkan untuk tetap teguh  pada tujuan dan tetap berada dalam jalur, apa pun tantangannya disepanjang jalan.




BAB III
ILMU PENGETAHUAN TENTANG AQ

1.      TIGA BATU PEMBANGUN AQ ANDA
1.1 Batu 1: Psikologi Kognitif
            Batu pembangun ini berkaitan dengan kebutuhan manusia akan penguasaan terhadap hidup seseorang. Batu tersebut mencakup beberapa konsep penting untuk memahami motivasi, efektifitas, dan kinerja manusia.
            Ketidakberdayaan membuat banyak orang menyerah.  ketidakberdayaan dianggap sebagai sebuah teori Terbesar Abad ini. American Psychological Association menjelaskan bahwa teori  tersebut membuat banyak orang menyerah atau gagal ketika berhadapan pada tantangan-tantangan hidup. Karena alasan inilah teori itu menjadi unsur yang sangat penting dalam pembentukan AQ.
            Berbagai eksperimen dilakukan oleh para peneliti misalnya Martin Seligma(seorang mahasiswa pascasarjana di Universitas Of Pennsylvania), Donald Hiroto (seorang mahasiswa pascasarjana di university of Oregon) menyimpulkan bahwa ketidakberdayaan terjadi karena hilangnya kemampuan mengendalikan peristiwa-peristiwa yang sulit. 
            Orang-orang yang responnya buruk terhadap situasi-situasi yang sulit menderita dalam segala segi kehidupan mereka. Dalam penelitian Seligman dan Hiroto terhadap serangkaian perusahan menemukan bahwa ketidakberdayaan justru akan mengurangi kinerja, produktivitas, motivasi, energy, kemauan untuk belajar, perbaikan diri, kebrranian mengambil resiko, kreativitas, kesehatan, vitalitas, keuletan, dan ketekunan. Ketidakberdayaan menciptakan Campers dan Quitters.
            Sejumlah peneliti yang dilakukan oleh Seligman, Dweck menunjukan bahwa sikap tidak berdaya ternyata telah diajarkan kepada anak-anak sejak dini.  Seorang guru  yang menjelaskan nilai-nilai buruk dengan alasan-alasan yang tak tergoyahkan seperti kecerdasan atau kepribadian akan menciptakan perilaku semakin tak berdaya, ketimbang pendidik yang menggunakan penjelasan-penjelasan yang sifatnya lebih sementara seperti usaha atau motivasi menjalankan tugas tertentu.
            Teori ketidakberdayaan punya kaitan yang erat dengan ide bahwa kesuksesan seseorang mengkin terutama ditentukan oleh cara dia menjelaskan atau merespon peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Seligman menemukan bahwa mereka yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya tetap, internal, dan dapat digeneralisasi ke bidang-bidang kehidupan lainnya cendrung menderita di semua bidang, sedangkan mereka yang menanggapi situasi-situasi sulit sebagai sesuatu yang sifatnya eksternal, sementara dan terbatas cendrung menikmati banyak manfaat, mulai dari kinerja sampai kesehatan.
            Dweck mengungkapkan suatu perbedaan yang penting antara respon kaum pria dan respon kaum wanita terhadap situasi yang sulit. Kaum wanita cendrung menerima situasi tersebut sebagai kesalahan mereka dan disebabkan oleh suatu cirri yang sifatnya tetap, misalnya kebodohan. Kaum pria sebaliknya, cenderung mengaitkan kegagalan dengan sesuatu yang sifatnya sementara, misalnya” saya tidak cukup keras berusaha”.            Sifat tahan banting seperti optmisme cendrung merespon kesulitan sebagai suatu peluang, dengan memiliki tujuan tertentu dan kemampuan memegang kendali, tetap kuat, sementara sifat pesimisme cendrung menjadi korban dari kesulitan yang responnya tanpa daya, dan menjadi lemah. Maka itu orang yang tahan banting cendrung tidak terlalu menderita, dan kalaupun menderita tidak bertahan lama.
            Pada intinya, sifat tahan banting itu, perlu dalam menghadapi setiap kesulitan. Pemahaman terhadap pengendalian, atau penguasaan, merupakan unsur penting dalam menghindari ketidakberdayaan, mengembangkan sifat tahan banting dan meningkatkan AQ seseroang.
            Berbeda dengan factor keturunan, keuletan juga dapat dibentuk. Orang-orang yang semasa kanak-kanak sudah pernah menghadapa dan mengatasi kesulitan tampaknya bernasib lebih baik dalam kehidupannya di kemudian hari daripada mereka yang semasa kanak-kanaknya hidup lebih enak. UN News melaporkan bahwa orang-orang yang ulet memiliki ikatan perkawinan yang lebih kuat dan kesehatan yang lebih baik daripada mereka yang masa pertumbuhannya jarang mengalami kesulitan.
            Kemampuan untuk memperbaiki secara permanen bagaimana seseorang     menghadapi kesulitan merupakan hal yang amat penting bagi masa depan setiap anak. Setiap anak harus mengembangkan kemampuan untuk mengubah hambatan penjadi peluang. Sama dengan kaum optimis, orang-orang yang ulet memiliki kemampuan untuk kembali dari kegagalan. Kemampuan ini tidak berasal dari kesulitan yang dialami, tetapi dari cara mereka merespon kesulitan.
            Kemampuan ini melahirkan sukap keyakinan akan penguasaan diri atas kehidupan.dan untuk menghadapi tantangan sewaktu tantangan itu muncul. Inilah gambaran efektitas diri menjadi efektif. Hal ini dinyatakan ileoh Julian Rotte bahwa orang yang yakin bahwa mereka mengendalikan imbalan-imbalan dan hukuman-hukuman (tempat pengendalian internal) tidak mengalami depresi, dan cendrung bertindak untuk memperbaiki situasi yang buruk daripada orang yang mengangapnya disebabkan oleh faktor luar (tempat pengendalian eksternal, seperti nasib buruk, cuaca, dll.)
            Ada pun teori utama tentang pengendalian antara lain: pertama, kesuksesan sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam mengendalikan atau menguasai kehidupan sendiri. Kedua, kesuksesan dipengaruhi dan dapat diramalkan melalui cara merespon dan menjelaskan kesulitan. Ketiga,  setiap orang harus merespon kesulitan dengan pola-pola tertentu. Keempat, pola-pola tersebut, apabila tidak dihambat, akan tetap konsisten sepanjang hidup. Kelima, pola-pola ini sifatnya di bawah sadar dan karenanya bekerja di luar kesadaran. Keenam, apabila dapat mengukur dan memperkuat cara merespon kesulitan maka kita dapat menikmati produktivitas, kinerja, vitalitas, keuletan, kesehatan, pengetahuan, perbaikan, motivasi, dan keseksesan yang lebih besar.
            Kesuksesan ini ditentukan oleh kemampuan kita untuk merespon kesulitan. Hal ini mencakup semua yang diperlukan untuk mendaki antara lain:
 Daya Saing. Jason Satterfield dan Martin Seligman dalam penelitiannya menemukan bahwa orang-orang yang merespon kesulitan secara lebih optimis bisa diramalkan akan lebih bersikap agresif dan mengambil lebih banyak resiko, sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan meniumbulkan lebih banyak sikap pasif dan berhati-hati. Orang-orang yang berreaksi secara konstruktif terhadap kesulitan lebih tangkas dalam memelihara energi, fokus, dan tenaga yang diperlukan supaya berhasil dalam persaingan. Sedangkan yang bereaksi secara destruktif cendrung kehilangan energi atau mudah berhenti berusaha.
Produktivitas. Dalam sejumlah penelitian ditemukan bahwa orang yang merespon kesulitan secara destruktif terlihat kurang produktif dibandingkan dengan orang yang tidak destruktif. Berdasarkan program-progman AQ, jelaslah bahwa pemimpin perusahaan mempunyai persepsi bahwa orang-orang yang AQnya tinggi secara dramatis unggul atas orang-orang yang AQnya rendah.
Kreativitas. Inovasi membutuhkan keyakinan bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak ada dapat menjadi ada. Kreativitas juga muncul dari keputusasaan. Kreativitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal yang tidak pasti.
Motivasi. Dalam hal motivasi orang yang AQnya lebih tinggi dianggap sebagai orang yang paling memiliki motivasi.
Mengambil Resiko. Dengan tiadanya kemampuan memegang kendali tidak ada alasan untuk mengambil resiko. Orang-orang yang merespon kesulitan secara konstruktif bersedia mengambil lebih banyak resiko. Resiko merupakan aspek esensial pendakian seseorang.
Perbaikan. Zaman menuntut untuk terus menerus melakukan perbaikan supaya dapat bertahan hidup. Setiap orang harus melakukan perbaikan agar mereka tidak ketinggalan zaman dalam karier dan relasi dengan orang lain. Dalam hal ini orang yang memiliki AQ lebih tinggi menjadi lebih baik, sedangkan orang-orang yang AQ-nya lebih rendah menjadi lebih buruk.
Ketekunan. Ketekunan merupakan inti pendakian dan AQ.  Ketekunan adalah kemampuan untuk terus-menerus berusaha. Orang yang merespon kesulitan dengan lebih baik akan pulih dari kekalahan dan mampu bertahan, sebaliknya orang yang memiliki respon buruk terhadap kesuliatan akan mudah menyerah. AQ menentukan keuletan yang dibutuhkan untuk bertekun.
Belajar. Inti abad informasi adalah kebutuhan untuk terus-menerus mengumpulkan dan memproses arus pengetahuan yang tiada hentinya. Orang-orang yang merespon kesulitan dengan pesimis tidak akan banyak belajar dan berprestasi dari pada orang yang yang memiliki pola-pola yang lebih optimis.
Merangkul Perubahan. Climbers atau para pendaki selalu mengalami perubahan dalam melaksanakan pendakiannya. Agar bisa sukses maka mereka harus dapat merangkul dan mengatasi perubahan tersebut secara efektif. Perubahan dapat membuat kewalahan. Untuk itu ada sebuah pola dalam program-program AQ. Mereka yang memeluk perubahan cenderung merespon kesulitan secara lebih kontruktif yaitu mengubah perubahan menjadi sebuah peluang.
Keuletan, Stres, Tekanan, Kemunduran. Stres dan tekanan serta kemunduran akan selalu mewarnai kehidupan kita. Ketidakmampuan kita dalam mengatasi hal tersebut dapat merampas keuletan yang sebenarnya sangat dibutuhkan agar dapat bangun kembali. Climbers harus mempunyai sifat ulet. Mereka harus memiliki emosi dan fisik yang cukup lentur  agar dapat memulihkan diri dari kekecewaan dan kelelahan guna memilih rute baru. Keuletan dapat muncul dari sikap seseorang dalam merespon kesulitan. Orang yang merespon kesulitan secara positif memiliki keuletan dan mudah bangkit dari kemunduran-kemunduran besar.
Kesehatan Mental. Ada hubungan yang kuat antara AQ dan mental. Kesulitan yang terus menerus dapat menjatuhkan mental seseorang dan berakibat depresi sehingga tidak berdaya dalam menghadapi kesulitan zaman.
Kesehatan Fisik.  AQ merupakan faktor yang sedang marak dan sangat penting dalam kesehatan emosional dan jasmani. AQ yang lebih rendah (pesimis) memiliki resiko tidak sehat yang sangat nyata di kemudian hari dibanding dengan AQ yang lebih tinggi (optimis). Kaum pesimis yang sehat pada umur 25 tahun akan memburuk kesehatannya pada umur 45 dan 60 tahun dibandingkan dengan kaum pesimis (yang berkolerasi dengan AQ yang lebih tinggi). Dngan ini jelaslah bahwa AQ merupakan faktor yang sedang marak dan sangat penting dalam kesehatan emosional dan jasmaniah.
Vitalitas, Kebahagiaan, Kegembiraan. Ketiga unsur ini adalah faktor yang paling penting dalam mencapai kesuksesan. Sebab dengan unsur ini orang bisa menghargai kesulitan yang dihadapi dalam pendakiannya.
            Batu yang pertama ini berkaitan dengan batu kedua yang menjawab pertanyaan: “ Apa hubungannya cara merespon kesulitan dengan kesehatan emosional dan fisik?”

1.2 Batu 2: Ilmu Kesehatan yang Baru
            Banyak para ahli yang telah mencoba mencari dan menemukan penyebab berbagai macam kondisi medis bahwa banyak dari manusia menemukan dirinya sendiri memasuki wilayah baru dan mempertanyakan cara-cara berpikir lama. Mereka ingin tahu:
§                     Mengapa orang tampaknya bisa menghadapi operasi besar dengan lebih baik daripada yang lainnya.
§                     Mengapa ada orang yang tetap gagah di masa tuanya, menjadi sakit dan lemah ketika masih muda?
§                     Bagaimana cara kerja otak yang mempengaruhi bahwa ia mengidap penyakit kanker?
§                     Efek apa yang ditimbulkan oleh emosi pada kesehatan?
Penelitian terakhir di bidang psikoeuroinumologi menjawab pertanyaan tersebut dengan membuktikan bahwa: ada kaitan yang langsung dan dapat diukur antara apa yang dipikirkan dan rasakan denganapa yang terjadi di dalam tubuh.
Banyak penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli namum penelitian yang dan temuan yang paling dashyat yang dicatat Paul G. Stoltz adalah penelitian yang dilakukan oleh Seligman dkk bahwa hubungan kausal antara sifat tidak berdaya yang dipelajari dengan depresi.
Mereka menemukan bahwa orang yang berAQ pesimisme terbukti merupakan resiko bagi kesehatan di kemudian hari dan mereka akan lebih cepat mati.

1.3 Batu 3: Ilmu Pengetahuan tentang Otak
            Berkat terobosan-terobosan baru yang ditemukan zaman ini, kita dapat melihat gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana AQ terbentuk dan bagaimana mengubah  seseorang Climber.
Anatomi Sebuah Kebiasaan. Dalam bagian ini Ztoltz menguraikan bagimana proses belajar oleh Dr. Nuwer. Dr. Nuwer bahwa proeses belajar berlangsung di wilayah sadar bagian luar, atau otak yang berwarna kelabu. Wilayah ini disebut cerebral cortex. Proses ini merupakan aktivitas yang menumbuhkan banyak darah dan oksigen. Naum apabila orang melalukan ulang atau melakukan suatu kegiatan yang baru maka kegiatan itu akan berpindah ke wilayah otak bawah sadar yang bersifat otomatis yakni basal ganglia.
            Hal ini digamrakan dengan analogi bahwa apabila seseorang mendaki tanpa ada papan-papan petujuk hal itu akan mempengaruhinya. Pada waktu memulai pertamakalinya jalur neurolog itu belum berkembang. Sambungan-sambungan yang ditimbulkannya relatif tidak efisien. Akan tetapi, semakin banyak ia melakukan atau memikirkan sesuatu, sambungan-sambungan itu akan menjadi semakin efisien. Bahkan sambungan-sambungan yang di otak menjadi lebih tebal dan akan memproses rangsangan dengan lebih cepat.
            Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, intisari dari temuam mereka adalah otak mempunyai kemampuan yang menakjubkan untuk menerima pikiran atau perilaku yang berulang-ulang dan menyambungkannya ke pola-pola atau kebiasaan-kebiasaan yang otomatis di bawah sadar. Proses ini mulai dengan pilihan sadar kita yang pertama, dan melalui pengulangan, kebiasaan itu mulai berpindah ke bagian belakang pikiran bawah sadar yang tenang.
            Oleh karena itu untuk membongkar kebiasaan buruk atau destruktif misalnya AQ yang rendah, harus dimulai di wilayah sadar otak dan memulai jalur saraf baru. Maka yang akan dicapai seseorang adalah tindakan yang membanggakan dan menbantunya menghindari banyak tatapan mata yang memalukan.
            Ketiga batu pembangunan tersebut ¾ psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi ¾ bersama-sama membentuk AQ. Hasilnya adalah sebuah pemahaman, ukuran, dan serangkaian peralatan yang baru untuk meningkatkan efeksitas manusia. 
            Terobosan ketiga ilmu ini menjelaskan banyak hal mengapa ada orang, tim, perusahaan, dan masyarakat yang berhenti berusaha atau berkemah, sementara yang lainnya terus bertahan.
   
B. REFLEKSI KRITIS

Perjalanan dan perjuangan hidup kita di dunia diibaratkan oleh Paul G. Stoltz dalam karyanya Advesity Quotient sebagai sebuah pendakian. Pendakian tersebut akan tercapai apabila kita mampu melewati rintangan yang menghadang: angin badai, dinginnya suhu, rasa capek atau bosan. Intinya kita perlu memiliki sikap pantang menyerah!
Oleh karena itu, melalui ringkasan yang kami kerjakan ini, kami ingin mengajak kita sebagai seorang calon imam yang sedang mendaki agar memiliki sikap pantang menyerah. Tantangan dan godaan harus dilihat sebagai sesuatu yang menantang kita untuk tetap berjuang bukan sebaliknya menghalangi atau mematikan apa yang sedang kita jalani. Sehingga dengan demikian, kita bisa menggapai puncak dalam perziarahan panggilan kita yaitu Sakramen Imamat.





           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar