BAB I
PANDANGAN BARU TENTANG KESUKSESAN
A. PENGANTAR
Hidup adalah perjuangan! Perjuangan
dalam hidup merupakan suatu batu loncatan yang harus dilalui sebagai pengalaman
yang memperkaya hidup. Manusia yang berjuang dalam hidupnya ialah manusia yang
menatap kepada masa depan. Ia selalu berjuang dan terus berjuang meskipun
banyak rintangan yang akan dihadapinya. Rintangan-rintangan yang menghadang
bukan menjadi beban berat yang melelahkan namun justru membangkitkan semangat
dan gairah untuk tetap maju dan meraih apa yang menjadi tujuan pendakian
tersebut.
Dalam pendakian tersebut, pribadi
seseorang mesti dilatih. Pelatihan itu menyangkut intelektualitas,
emosionalitas, spiritualitas, dan terutama dalam ringkasan ini kami lebih
menyoroti apa yang disebut Adversity oleh
Paul G. Stoltz dalam karyanya Advesity
Quotient. Adversity ini sangat
berpengaruh dalam cara dan usaha pendakian seseorang pendaki.
1. Pendakian – Merumuskan Kembali Arti
Kesuksesan
Hidup seperti mendaki gunung.
Kepuasan akan tercapai bila orang tak kenal lelah untuk terus mendaki. Mendaki
gunung merupakan pekerjaan yang sulit digambarkan. Hanya sesama pendaki yang
tahu bagaimana suka duka pengalaman itu.
Namun kesuksesan merupakan kemanisan tersendiri bagi mereka. Oleh karena itu,
kesuksesan digambarkan sebagai tingkat bagi orang untuk bergerak maju dalam
menjalani hidup meskipun harus melewati kesengsaraan.
1.1 Pertanyaan Mendasar tentang Efeksitas
Manusia
1.2 Apakah AQ?
memberitahukan
kemampuan untuk bertahan menghadapi kesulitan serta mengatasinya
meramalkan siapa yang mampu mengatasi
kesulitan dan siapa yang akan hancur
meramalkan siapa yang akan melampaui harapan
atas kinerja dan potensi serta siapa yang akan gagal
meramalkan siapa yang menyerah dan bertahan
Dengan
ini kita akan belajar dan menerapkan cara ini pada diri kita sendiri, dan orang
lain. Gabungan ketiga bentuk ini merupakan suatu paket komplit untum memahami
dan memperbaiki komponen dasar pendakian sehari-hari dan seumur hidup.
1.2.1 Melampaui Batas Individu
Yang dimaksud dengan ungkapan
melampaui batas individu ialah bahwa AQ tersebut pertama-tama mencakup person.
Namun demi meningkatkan kreativitas maka AQ itu berhubungan juga dengan: tim,
hubungan atau ikatan kerja, keluarga, perusahaan, perkumpulan, kebudayaan,
masyarakat. Misalnya peningkatan efektivitas akan tampak dalam diri seorang
pemimpin yang meningkatkan kreatifitas orang-orang yang dipimpin. Salah satu
contoh ketika tuntutan hak sangat tinggi dan kesadaran bertanggungjawab rendah,
AQ merumuskan kembali apa yang dimaksud dengan keadaan yang dapat dimintai
pertanggungjawaban dan bagaimana menguasai suatu situasi, misalnya kerja,
motivasi, pemberdayaan dan lain-lain.
1.2.3 Peran AQ dalam Memimpin Diri Sendiri
dan Orang Lain
Kepemimpinan berawal dari suatu
perjalanan batin. Sebagai pemimpin anda memiliki tanggung jawab untuk
memastikan bahwa pegawai anda mempunyai kemampuan untuk melewati masa-masa yang
penuh tantangan. Dengan demikian, anda dapat menciptakan suatu organisasi yang
tahan uji, gesit, dan berkinerja tinggi.
1.2.4 Pertanggungjawaban dan Tanggung Jawab
Mengapa ada
orang yang tidak mau memikul tanggung jawab atas tindakan mereka sendiri dan
mencari solusi atas masalah tersebut?
Bagaimana saya
menanamkan atau membangkitkan rasa pengakuan ini pada orang lain?
Pertanyaan
di atas terutama ditujukan bagi para orang tua dan pemimpin serta anggota
timnya.
1.2.5 Peramal Global Tentang Kesuksesan: AQ
vs IQ dan EQ
Peramal-peramal biasa gagal. Dalam
pernyataan ini dikontraskan dua hal yakni antara orang-orang yang memiliki
bakat-bakat khusus, keadaan jasmani yang sangat kuat, keluarga yang penyayang,
memilki sumber daya yang tak terbatas dan lain-lain serta orang yang tergolong
sangat minim memiliki keunggulan seperti yang kami sebutkan di atas. Dalam
prakteknya mereka yang dimasukan dalam kelompok pertama justru tidak mampu atau
gagal dalam mencapai kesuksesan sedangkan mereka yang mamiliki sedikit justru
lebih unggul dan punya prestasi yang lebih diharapkan.
IQ tidak cukup untuk mencapaikesuksesan.
Tolok ukur tradisional mengakui (Intelligence
Quotient) IQ sebagai si peramal kesuksesan. Namun dalam prakteknya justru
terbalik. Salah satu contoh konkret yang kami kutip di sini ialah Ted Kaczynski
si anak ajaib yang menempuh jalur sekolah menegah atas tanpa melalui pendidikan
menegah pertama dan masuk Harvard pada umur 16 tahun hingga lulus pada umur 20
tahun. Ia memiliki IQ yang tinggi namun EQ-nya tidak pernah berkembang karena
sejak masa sekolah praktisnya ia tidak pernah kelihatan bergaul dengan siapa
pun dan tidak pernah menjalin suatu hubungan yang berlangsung lama. Orang-orang
sekitarnya menjulikinya “Pertapa dari Harvard”. Intelektual tinggi yang ia
miliki bukan disumbangkan untuk membangun dunia yang lebih baik malahan dipraktekan
dengan membunuh tiga orang dan melukai 22 orang lainnya. Di sini IQ jelas gagal
sebagai peramal kesuksesan.
Kecerdasan
dirumuskan kembali. Daniel Goleman
dalam bukunya Emotional Intelligence,
menjelaskan mengapa orang yang memilki IQ sedang-sedang saja bisa berkembang
pesat. Ia mengemukakan selain IQ, kita semua mempunyai EQ (Emotional Quotient). Kemampuan ini melahirkan kemampuan untuk
berempati dengan orang lain, menunda rasa gembira, mengandalkan
dorongan-dorongan hati, dan bergaul secara efektif dengan orang lain. Ia
mengatakan bahwa EQ lebih penting daripada IQ.
2. Gunung- Mendaki Menuju Kesuksesan
Kita dilahirkan dengan satu dorongan
inti yang manusiawi untuk terus mendaki. Pendakian ini menggerakan tujuan hidup
ke depan, apa pun tujuan itu. Dorongan tersebut merupakan perlombaan naluriah
melawan jam dalam menyelesaikan tugas sebanyak mungkin semampu kita dalam batas
waktu yang telah ditentukan. Pendakian yang menggerakan itu mencakup
keseluruhan yang bergerak ke depan dan ke atas.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
seandainya kita sama-sama memiliki dorongan inti yang manusiawi ini untuk yakni
Mendaki, lantas mengapa kita tidak melihat puncak gunung penuh dijejali oleh
mereka yang berhasil mencapai puncaknya, dan kaki gunungnya tidak dihuni oleh
manusia? Mengapa justru sebaliknya yang terajdi? Pada bagian berikut ini kita
akan melihat tipe-tipe para pendaki.
2.1 Mereka Yang Berhenti Quitters
Quitters adalah orang-orang yang
berhenti, menghindari kewajiban, mundur. Mereka menghentikan pendakian dan
meninggalkan dorongan manusiawi untuk mendaki.
2.2 Mereka yang Berkemah Campers
Mereka adalah orang-orang akan
berkata “Sejauh inilah saya mendaki” kemudian bersembunyi karena merasa bosan
dengan pendakian tersebut. Meskipun demikian ia pernah menanggapi pendakian itu
tidak seperti Quittrs.
2.3 Para
Pendaki Climbers
Golongan ini adalah mereka yang
membaktikan dirinya pada pendakian tanpa menghiraukan latar belakang,
keuntungan maupun kerugian.
2.4 Gaya
Hidup Quitters, Campers, dan Climbers
Menurut definisinya Quitters menjalani hidupnya yang tidak
terlalu menyenangkan, meningglkan impian-impian dan memilih jalan yang lebih
enak dan mudah. Akibatnya, mereka menjadi sinis, murung, dan mati perasaannya.
Sering mereka menjadi pecandu alkohol, narkoba, atau acara televisi yang tidak
bermutu. Mereka digambarkan sebagai orang-orang di dunia yang tidak efektif
sangat boros dengan waktu, dan hidup tanpa makna. Dalam mengahadapi pendakian
mereka memilih untuk lari. Dalam tempat kerja mereka adalah orang-orang yang
sangat tidak diandalkan.
Sedangkan Campers seperti Quitters
mereka menjalani kehidupan yang tidak lengkap. Perbedaan terletak pada
tingkatnya. Mereka memang mendaki namun karena telah mendaki mereka lantas akan
berkata “Ini sudah cukup baik” tanpa menyadari harga yang mereka bayar. Ia
merasa senang dengan pencapaian itu dan mengorbankan apa yang masih belum
digapainya yakni sampai pendakian selesai. Mereka adalah tipe Satis-ficer yakni orang yang puas dengan
pencapaian diri tapi tidak mau mengembagkan diri. Mereka termotivasi oleh
kenyamanan dan rasa takut.
Dari ketiga jenis ini hanya Climberslah orang yang menjalani
hidupnya secara lengkap. Mereka mengerjakan segalanya dan memahami tujuan yang
akan dicapai entah itu menyenangkan atau merugikannya. Ia merasa yakin akan
sesuatu yang ia miliki sehingga membuatnya untuk terus mendaki manakala gunung
terasa menakutkan baginya.
2.5 Bagaimana Ketiganya di Tempat Kerja
Menurut definisinya Quitters bekerja sekadar cukup untuk
hidup, ada sedikit ambisi, semangat minim, mutu di bawah standar, tidak banyak
memberi sumbangan sehingga mereka merupakan beban mati bagi setiapm perusahaan.
Campers
masih menunjukan sejumlah inisiatif. Sedikit semangat, dan beberapa usaha.
Mereka masih tinggal pada taraf mengerjakan apa yang perlu saja dan tidak mau
mengambil resiko atau apabila mengambil suatu resiko ia lebih memilih jalan
mencari aman. Ini adalah bagian tersulit dan termahal menjadi seorang Campers.
Berbeda dengan keduanya Climbers menyambut baik segala
tantangan, dan hal-hal mendesak harus dibereskan terlebih dahulu, cendrung
membuat segala sesuatu terwujud, membaktikan diri pada pertumbuhan dan
perkembangan, tidak berhenti pada gelar tetapi terus berusaha mencari hal baru
dalam hidupnya, bekerja dengan visi, penuh inspirasi, sebagai akibatnya mereka
menjadi pemimpin yang handal.
BAB II
ZAMAN YANG SULIT
AQ
semakin penting seiring dengan kesulitan yang dihadapi pada zaman sekarang ini.
Setiap orang dari berbagai kalangan dan usia mengalami kesulitan yang semakin meningkat
dari waktu ke waktu. Ada
tiga tingkatan kesulitan yang dialami dalam kehidupan dewasa ini, yakni; kesulitan masyarakat, kesulitan tempat kerja,
dan kesulitan individu. Ketiga kesulitan ini berawal dari individu, dan
kemudian berdampak pada tempat kerja, dan akhirnya kesulitan pada masyarakat
umum. Untuk menghadapi kesulitan ini, setiap orang harus memiliki AQ yang cukup
tinggi.
Kesulitan yang kita hadapi dalam
masyarakat adalah peralihan besar di berbagai bidang kehidupan seperti harta
milik, ketidakpastian akan masa depan, tingkat kejahatan yang semakin
meningkat, kecemasan terhadap kondisi perekonomian, perusakan lingkungan,
kehidupan berumah tangga, krisis moral, dan hilangnya kepercayaan terhadap
lembaga-lembaga, termasuk sistem pendidikan. Kesulitan tersebut menjadi
tantangan dalam masyarakat luas yang mesti kita hadapi.
Kesulitan di tempat kerja adalah
perubahan tuntutan kerja yang terus menerus, kecemasan akan penyusutan karena
penggunaan teknologi, hilangnya pendapatan riil dan kurangnya keamanan kerja.
Kesulitan tersebut menimbulkan rasa putus asa dan ketakutan akan posisi mereka
dalam perekonomian di era informasi global yang baru ini.
Kesulitan-kesulitan di atas
berdampak pada individu-individu. Kesibukan dan kecemasa yang dialami dalam
masyarakat dan di tempat kerja membebani setiap individu untuk melakukan
perubahan. Perubahan yang lebih besar haruslah dimulai dari masing-masing
individu. Setiap individu merenungkan kesulitan yang dia alami dan mulai
bertanya “mengapa hal itu terjadi?”.
2.1 Mengapa Bisa Menjadi Sedemikian Buruk?
Efek-efek kumulatif dari situasi
sulit yang terus bertambah bisa mengakibatkan hancurnya hubungan secara
berlahan-lahan, hilangnya antusiasme terhadap suatu pekerjaan, bertambahnya
usia dan munculnya berbagai kesulitan lain. Kesulitan itu terjadi secara
berlahan-lahan dan bertahap seturut perkembangan dan tuntutan zaman.
Kesulitan-kesulitan ini dapat semakin besar dan membebani jiwa seseorang
sehingga dapat menimbulkan hilangnya harapan.
Harapan merupakan darah kehidupan
bagi kemungkinan-kemungkinan. Seseorang tidak boleh kehilangan harapan,
menerima sebuah dunia yang serba salah. Setiap orang harus memiliki sebuah
kehidupan yang dapat membuat perbendaan dan terus mendaki ke puncak kehidupan.
Cara merespon kesulitan akan memperbaiki kemampuan untuk mengatasi dan bertahan
dalam kesulitan. Hal ini dilakukan dengan memahami, mengukur, dan meningkatkan
AQ. Jika kesulitan meningkat, maka kita membutuhkan kreativitas, keberanian,
keteguhan hati, ketekunan, dan keuletan yang lebih besar. Tanpa AQ yang cukup
tinggi, mungkin perjalanan anda akan memilih persimpangan yang berbahaya.
2.3 Empat Persimpangan Berbahaya dalam Perjalanan Menuju Puncak
Ketika kesulitan bertambah,
perjalanan ke puncak menjadi semakin sulit. Sambil menanggung beban berat
pendakian, anda menghadapi tantangan itu setiap hari. Namun anda harus terus
mendaki. Berhenti mendaki berarti melepaskan potensi dan kontribusi kehidupan
anda. Pendakian itu semakin sulit dan terjal sehingga anda akan memilih satu dari empat persimpangan
berbahaya dalam perjalanan itu. Persimpangan-persimpangan tersebut mempunyai
kemampuan merusak respon-respon terhadap kesulitan dalam kehidupan kita.
Persimpangan pertama adalah Climber berubah menjadi Camper. Perjalanan
semakin sulit dan terjal sehingga banyak orang merasa tidak akan dapat mendaki
lagi dan berhenti bergerak ke depan dan ke atas dalam kehidupan mereka (apakah
itu dalam pertumbuhan diri mereka, karir, relasi, kontribusi danlain-lain).
Mereka berhenti di tangah jalan, mendirikan tenda dengan asumsi keliru bahwa
perkemahan kecil akan stabil selamanya. Dengan berkemah maka Campers bisa kehilangan kemampuan untuk
mendaki. Mereka mengorbankan impian-impian, kepuasan, dan aktualisasi diri
untuk mempertahankan kedok kenyamanan dan kemantapan yang telah mereka bangun.
Kita tidak dapat menghakimi orang-orang yang berhenti mendaki
kehidupannya. Mereka diperkuat oleh sejumlah besar Campers lainnya yang membuat pilihan-pilihan serupa. Campers membuat apa yang tampaknya
keputusan bijaksana, dengan melindungi diri terhadap angin perubahan yang
takkan pernah berhenti perubahan akan terus ada. Mereka berusaha menghindari
tantangan dengan konsekwensi yang sungguh dahsyat. Namun sekurang-kurangnya
untuk saat itu mereka telah mulai beralih dari Camper menjadi seorang Climber.
Persimpangan yang kedua adalah memilih teknologi sebagai tuhan. Kecenderungan dari bagian kedua ini yang mengawatirkan
adalah menggantikan keyakinan akan pemecahan-pemecahan yang manusiawi dengan
pemecahan-pemecahan teknologis. Ketika pendakian semakin terjal dengan mudah
seseorang beralih dari kemampuannya sendiri yang lebih tinggi kepada kemampuan
teknologi. Namun pergeseran ini mengakibatkan bahaya hilangnya kendali atas
kehidupan kita. Sebagian orang lebih percaya kepada mesin daripada kepada diri
sendiri. Hasilnya adalah suatu rasa tidak berdaya yang semakin besar dan berkurangnya
komitmen untuk bertindak.
Persimpangan yang ketiga adalah semangat yang dipompa. Semakin beratnya perjalanan hidup membuat
banyak orang mencari tempat pelarian. Program-program dan produk-produk
motivasi menjadi obat yang mujarab. Usaha mencari pemecahan-pemecahan masalah
yang mudah dan cepat, yang memompa semangat, telah membantuk sebuah
persimpangan yang sangat berbahaya dalam pendakian menuju puncak. Banyak orang
yang menganggapnya sebagai jalan pintas, tetapi sebenarnya merupakan jalan
buntu.
Betapapun
hebatnya motivator yang memotivasi, seseorang haruslah memikirkan dan mempertimbangkannya.
Seseorang membutuhkan semangat yang bertahan lama, bukan semangat besar yang
sementara atau sesaat.
Persimpangan yang keempat adalah menjadi tak berdaya dan putus
asa. Perjalanan hidup yang kian membutuhkan perjuangan keras membuat seseorang
menjadi tak berdaya. Pendakian yang semakin terjal menciutkan perjuangan
sehingga merasa tidak berdaya. Perasaan tidak berdaya yang dibiarkan terus
menerus akan meluas menjadi perasaan putus asa. Ketidakberdayaan mengesahkan
keputusasaan, keduanya saling berkaitan, yang satu memberi umpan balik kepada
yang lain.
Keputusasaan
merupakan kanker jiwa, menghisap kehidupan dan energi kita. Persimpangan ini
muncul pada jalur yang tantangannya paling berat dan kemungkinan imbalan yang
diperoleh paling besar. Daripada mengatasi hambatan-hambatan hidup, semakin
banyak saja jumlah orang yang tidak memiliki motivasi. Mereka menyerah sama
sekali.
2.4 Jalur yang Paling Aman
Daripada memilih satu dari keempat
alternatif di atas, kita bisa menemukan satu jalur yang lebih aman untuk
mencapai AQ yang lebih tinggi. Hal itu akan kita pelajari dalam bab berikut
bagaimana pengetahuan, keterampilan, dan peralatan yang kita butuhkan untuk tetap teguh pada tujuan dan tetap berada dalam jalur, apa
pun tantangannya disepanjang jalan.
BAB III
ILMU PENGETAHUAN TENTANG AQ
1. TIGA BATU PEMBANGUN AQ ANDA
1.1 Batu 1: Psikologi
Kognitif
Batu pembangun ini berkaitan dengan
kebutuhan manusia akan penguasaan terhadap hidup seseorang. Batu tersebut
mencakup beberapa konsep penting untuk memahami motivasi, efektifitas, dan
kinerja manusia.
Ketidakberdayaan membuat banyak
orang menyerah. ketidakberdayaan
dianggap sebagai sebuah teori Terbesar Abad ini. American Psychological Association menjelaskan bahwa teori tersebut membuat banyak orang menyerah atau
gagal ketika berhadapan pada tantangan-tantangan hidup. Karena alasan inilah
teori itu menjadi unsur yang sangat penting dalam pembentukan AQ.
Berbagai eksperimen dilakukan oleh
para peneliti misalnya Martin Seligma(seorang mahasiswa pascasarjana di
Universitas Of Pennsylvania ), Donald Hiroto
(seorang mahasiswa pascasarjana di university
of Oregon ) menyimpulkan
bahwa ketidakberdayaan terjadi karena hilangnya kemampuan mengendalikan
peristiwa-peristiwa yang sulit.
Orang-orang yang responnya buruk
terhadap situasi-situasi yang sulit menderita dalam segala segi kehidupan
mereka. Dalam penelitian Seligman dan Hiroto terhadap serangkaian perusahan
menemukan bahwa ketidakberdayaan justru akan mengurangi kinerja, produktivitas,
motivasi, energy, kemauan untuk belajar, perbaikan diri, kebrranian mengambil
resiko, kreativitas, kesehatan, vitalitas, keuletan, dan ketekunan.
Ketidakberdayaan menciptakan Campers
dan Quitters.
Sejumlah peneliti yang dilakukan
oleh Seligman, Dweck menunjukan bahwa sikap tidak berdaya ternyata telah
diajarkan kepada anak-anak sejak dini.
Seorang guru yang menjelaskan nilai-nilai
buruk dengan alasan-alasan yang tak tergoyahkan seperti kecerdasan atau
kepribadian akan menciptakan perilaku semakin tak berdaya, ketimbang pendidik
yang menggunakan penjelasan-penjelasan yang sifatnya lebih sementara seperti
usaha atau motivasi menjalankan tugas tertentu.
Teori ketidakberdayaan punya kaitan
yang erat dengan ide bahwa kesuksesan seseorang mengkin terutama ditentukan
oleh cara dia menjelaskan atau merespon peristiwa-peristiwa dalam kehidupan.
Seligman menemukan bahwa mereka yang merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya
tetap, internal, dan dapat digeneralisasi ke bidang-bidang kehidupan lainnya
cendrung menderita di semua bidang, sedangkan mereka yang menanggapi
situasi-situasi sulit sebagai sesuatu yang sifatnya eksternal, sementara dan
terbatas cendrung menikmati banyak manfaat, mulai dari kinerja sampai
kesehatan.
Dweck mengungkapkan suatu perbedaan
yang penting antara respon kaum pria dan respon kaum wanita terhadap situasi
yang sulit. Kaum wanita cendrung menerima situasi tersebut sebagai kesalahan
mereka dan disebabkan oleh suatu cirri yang sifatnya tetap, misalnya kebodohan.
Kaum pria sebaliknya, cenderung mengaitkan kegagalan dengan sesuatu yang
sifatnya sementara, misalnya” saya tidak cukup keras berusaha”. Sifat tahan banting seperti optmisme
cendrung merespon kesulitan sebagai suatu peluang, dengan memiliki tujuan
tertentu dan kemampuan memegang kendali, tetap kuat, sementara sifat pesimisme
cendrung menjadi korban dari kesulitan yang responnya tanpa daya, dan menjadi
lemah. Maka itu orang yang tahan banting cendrung tidak terlalu menderita, dan
kalaupun menderita tidak bertahan lama.
Pada intinya, sifat tahan banting
itu, perlu dalam menghadapi setiap kesulitan. Pemahaman terhadap pengendalian,
atau penguasaan, merupakan unsur penting dalam menghindari ketidakberdayaan,
mengembangkan sifat tahan banting dan meningkatkan AQ seseroang.
Berbeda dengan factor keturunan,
keuletan juga dapat dibentuk. Orang-orang yang semasa kanak-kanak sudah pernah
menghadapa dan mengatasi kesulitan tampaknya bernasib lebih baik dalam
kehidupannya di kemudian hari daripada mereka yang semasa kanak-kanaknya hidup
lebih enak. UN News melaporkan bahwa orang-orang yang ulet memiliki ikatan
perkawinan yang lebih kuat dan kesehatan yang lebih baik daripada mereka yang
masa pertumbuhannya jarang mengalami kesulitan.
Kemampuan untuk memperbaiki secara
permanen bagaimana seseorang
menghadapi kesulitan merupakan hal yang amat penting bagi masa depan
setiap anak. Setiap anak harus mengembangkan kemampuan untuk mengubah hambatan penjadi
peluang. Sama dengan kaum optimis, orang-orang yang ulet memiliki kemampuan
untuk kembali dari kegagalan. Kemampuan ini tidak berasal dari kesulitan yang
dialami, tetapi dari cara mereka merespon kesulitan.
Kemampuan ini melahirkan sukap
keyakinan akan penguasaan diri atas kehidupan.dan untuk menghadapi tantangan
sewaktu tantangan itu muncul. Inilah gambaran efektitas diri menjadi efektif.
Hal ini dinyatakan ileoh Julian Rotte bahwa orang yang yakin bahwa mereka
mengendalikan imbalan-imbalan dan hukuman-hukuman (tempat pengendalian
internal) tidak mengalami depresi, dan cendrung bertindak untuk memperbaiki
situasi yang buruk daripada orang yang mengangapnya disebabkan oleh faktor luar
(tempat pengendalian eksternal, seperti nasib buruk, cuaca, dll.)
Kesuksesan ini ditentukan oleh kemampuan
kita untuk merespon kesulitan. Hal ini mencakup semua yang diperlukan untuk
mendaki antara lain:
Daya
Saing. Jason Satterfield dan Martin Seligman dalam penelitiannya menemukan
bahwa orang-orang yang merespon kesulitan secara lebih optimis bisa diramalkan
akan lebih bersikap agresif dan mengambil lebih banyak resiko, sedangkan reaksi
yang lebih pesimis terhadap kesulitan meniumbulkan lebih banyak sikap pasif dan
berhati-hati. Orang-orang yang berreaksi secara konstruktif terhadap kesulitan
lebih tangkas dalam memelihara energi, fokus, dan tenaga yang diperlukan supaya
berhasil dalam persaingan. Sedangkan yang bereaksi secara destruktif cendrung
kehilangan energi atau mudah berhenti berusaha.
Produktivitas. Dalam sejumlah
penelitian ditemukan bahwa orang yang merespon kesulitan secara destruktif
terlihat kurang produktif dibandingkan dengan orang yang tidak destruktif.
Berdasarkan program-progman AQ,
jelaslah bahwa pemimpin perusahaan mempunyai persepsi bahwa orang-orang yang
AQnya tinggi secara dramatis unggul atas orang-orang yang AQnya rendah.
Kreativitas. Inovasi membutuhkan
keyakinan bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak ada dapat menjadi ada.
Kreativitas juga muncul dari keputusasaan. Kreativitas menuntut kemampuan untuk
mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal yang tidak pasti.
Motivasi. Dalam hal motivasi orang yang
AQnya lebih tinggi dianggap sebagai
orang yang paling memiliki motivasi.
Mengambil Resiko. Dengan tiadanya
kemampuan memegang kendali tidak ada alasan untuk mengambil resiko. Orang-orang
yang merespon kesulitan secara konstruktif bersedia mengambil lebih banyak
resiko. Resiko merupakan aspek esensial pendakian seseorang.
Perbaikan. Zaman menuntut untuk terus
menerus melakukan perbaikan supaya dapat bertahan hidup. Setiap orang harus
melakukan perbaikan agar mereka tidak ketinggalan zaman dalam karier dan relasi
dengan orang lain. Dalam hal ini orang yang memiliki AQ lebih tinggi menjadi lebih baik, sedangkan orang-orang yang
AQ-nya lebih rendah menjadi lebih buruk.
Ketekunan. Ketekunan merupakan inti
pendakian dan AQ. Ketekunan adalah
kemampuan untuk terus-menerus berusaha. Orang yang merespon kesulitan dengan
lebih baik akan pulih dari kekalahan dan mampu bertahan, sebaliknya orang yang
memiliki respon buruk terhadap kesuliatan akan mudah menyerah. AQ menentukan
keuletan yang dibutuhkan untuk bertekun.
Belajar. Inti abad informasi adalah
kebutuhan untuk terus-menerus mengumpulkan dan memproses arus pengetahuan yang
tiada hentinya. Orang-orang yang merespon kesulitan dengan pesimis tidak akan
banyak belajar dan berprestasi dari pada orang yang yang memiliki pola-pola
yang lebih optimis.
Merangkul Perubahan. Climbers atau para pendaki selalu
mengalami perubahan dalam melaksanakan pendakiannya. Agar bisa sukses maka
mereka harus dapat merangkul dan mengatasi perubahan tersebut secara efektif.
Perubahan dapat membuat kewalahan. Untuk itu ada sebuah pola dalam
program-program AQ. Mereka yang memeluk perubahan cenderung merespon kesulitan
secara lebih kontruktif yaitu mengubah perubahan menjadi sebuah peluang.
Keuletan, Stres, Tekanan, Kemunduran. Stres
dan tekanan serta kemunduran akan selalu mewarnai kehidupan kita.
Ketidakmampuan kita dalam mengatasi hal tersebut dapat merampas keuletan yang
sebenarnya sangat dibutuhkan agar dapat bangun kembali. Climbers harus mempunyai sifat ulet. Mereka harus memiliki emosi
dan fisik yang cukup lentur agar dapat
memulihkan diri dari kekecewaan dan kelelahan guna memilih rute baru. Keuletan
dapat muncul dari sikap seseorang dalam merespon kesulitan. Orang yang merespon
kesulitan secara positif memiliki keuletan dan mudah bangkit dari
kemunduran-kemunduran besar.
Kesehatan Mental. Ada hubungan yang kuat antara AQ dan mental.
Kesulitan yang terus menerus dapat menjatuhkan mental seseorang dan berakibat depresi
sehingga tidak berdaya dalam menghadapi kesulitan zaman.
Kesehatan Fisik. AQ merupakan faktor yang sedang marak dan
sangat penting dalam kesehatan emosional dan jasmani. AQ yang lebih rendah
(pesimis) memiliki resiko tidak sehat yang sangat nyata di kemudian hari
dibanding dengan AQ yang lebih tinggi (optimis). Kaum pesimis yang sehat pada
umur 25 tahun akan memburuk kesehatannya pada umur 45 dan 60 tahun dibandingkan
dengan kaum pesimis (yang berkolerasi dengan AQ yang lebih tinggi). Dngan ini
jelaslah bahwa AQ merupakan faktor yang sedang marak dan sangat penting dalam
kesehatan emosional dan jasmaniah.
Vitalitas, Kebahagiaan, Kegembiraan.
Ketiga unsur ini adalah faktor yang paling penting dalam mencapai kesuksesan.
Sebab dengan unsur ini orang bisa menghargai kesulitan yang dihadapi dalam
pendakiannya.
Batu yang pertama ini berkaitan
dengan batu kedua yang menjawab pertanyaan: “ Apa hubungannya cara merespon
kesulitan dengan kesehatan emosional dan fisik?”
1.2 Batu 2: Ilmu Kesehatan yang Baru
Banyak para ahli yang telah mencoba
mencari dan menemukan penyebab berbagai macam kondisi medis bahwa banyak dari
manusia menemukan dirinya sendiri memasuki wilayah baru dan mempertanyakan
cara-cara berpikir lama. Mereka ingin tahu:
§
Mengapa orang tampaknya bisa menghadapi operasi
besar dengan lebih baik daripada yang lainnya.
§
Mengapa ada orang yang tetap gagah di masa
tuanya, menjadi sakit dan lemah ketika masih muda?
§
Bagaimana cara kerja otak yang mempengaruhi
bahwa ia mengidap penyakit kanker?
§
Efek apa yang ditimbulkan oleh emosi pada
kesehatan?
Penelitian
terakhir di bidang psikoeuroinumologi menjawab pertanyaan tersebut dengan
membuktikan bahwa: ada kaitan yang
langsung dan dapat diukur antara apa yang dipikirkan dan rasakan denganapa yang
terjadi di dalam tubuh.
Banyak
penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli namum penelitian yang dan temuan
yang paling dashyat yang dicatat Paul G. Stoltz adalah penelitian yang
dilakukan oleh Seligman dkk bahwa hubungan kausal antara sifat tidak berdaya
yang dipelajari dengan depresi.
Mereka
menemukan bahwa orang yang berAQ pesimisme terbukti merupakan resiko bagi
kesehatan di kemudian hari dan mereka akan lebih cepat mati.
1.3 Batu 3: Ilmu Pengetahuan tentang Otak
Berkat
terobosan-terobosan baru yang ditemukan zaman ini, kita dapat melihat gambaran
yang lebih jelas tentang bagaimana AQ terbentuk dan bagaimana mengubah seseorang Climber.
Anatomi Sebuah Kebiasaan. Dalam bagian
ini Ztoltz menguraikan bagimana proses belajar oleh Dr. Nuwer. Dr. Nuwer bahwa
proeses belajar berlangsung di wilayah sadar bagian luar, atau otak yang
berwarna kelabu. Wilayah ini disebut cerebral
cortex. Proses ini merupakan aktivitas yang menumbuhkan banyak darah dan
oksigen. Naum apabila orang melalukan ulang atau melakukan suatu kegiatan yang
baru maka kegiatan itu akan berpindah ke wilayah otak bawah sadar yang bersifat
otomatis yakni basal ganglia.
Hal ini digamrakan dengan analogi
bahwa apabila seseorang mendaki tanpa ada papan-papan petujuk hal itu akan
mempengaruhinya. Pada waktu memulai pertamakalinya jalur neurolog itu belum
berkembang. Sambungan-sambungan yang ditimbulkannya relatif tidak efisien. Akan
tetapi, semakin banyak ia melakukan atau memikirkan sesuatu,
sambungan-sambungan itu akan menjadi semakin efisien. Bahkan sambungan-sambungan
yang di otak menjadi lebih tebal dan akan memproses rangsangan dengan lebih
cepat.
Dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa, intisari dari temuam mereka adalah otak mempunyai kemampuan yang
menakjubkan untuk menerima pikiran atau perilaku yang berulang-ulang dan
menyambungkannya ke pola-pola atau kebiasaan-kebiasaan yang otomatis di bawah
sadar. Proses ini mulai dengan pilihan sadar kita yang pertama, dan melalui
pengulangan, kebiasaan itu mulai berpindah ke bagian belakang pikiran bawah
sadar yang tenang.
Oleh karena itu untuk membongkar
kebiasaan buruk atau destruktif misalnya AQ yang rendah, harus dimulai di
wilayah sadar otak dan memulai jalur saraf baru. Maka yang akan dicapai
seseorang adalah tindakan yang membanggakan dan menbantunya menghindari banyak
tatapan mata yang memalukan.
Ketiga batu pembangunan tersebut ¾
psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi ¾ bersama-sama
membentuk AQ. Hasilnya adalah sebuah pemahaman, ukuran, dan serangkaian
peralatan yang baru untuk meningkatkan efeksitas manusia.
Terobosan ketiga ilmu ini
menjelaskan banyak hal mengapa ada orang, tim, perusahaan, dan masyarakat yang
berhenti berusaha atau berkemah, sementara yang lainnya terus bertahan.
B. REFLEKSI KRITIS
Perjalanan
dan perjuangan hidup kita di dunia diibaratkan oleh Paul G. Stoltz dalam
karyanya Advesity Quotient sebagai
sebuah pendakian. Pendakian tersebut akan tercapai apabila kita mampu melewati
rintangan yang menghadang: angin badai, dinginnya suhu, rasa capek atau bosan.
Intinya kita perlu memiliki sikap pantang menyerah!
Oleh
karena itu, melalui ringkasan yang kami kerjakan ini, kami ingin mengajak kita
sebagai seorang calon imam yang sedang mendaki agar memiliki sikap pantang
menyerah. Tantangan dan godaan harus dilihat sebagai sesuatu yang menantang
kita untuk tetap berjuang bukan sebaliknya menghalangi atau mematikan apa yang
sedang kita jalani. Sehingga dengan demikian, kita bisa menggapai puncak dalam
perziarahan panggilan kita yaitu Sakramen Imamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar