BAB I
IMAMAT KRISTUS
Untuk memahami imamat Kristen
kita harus berangkat dari imamat Kristus. Ada dua alasan untuk ini: pertama, Kristus
sendiri yang memberikan cahaya mengenai hakikat dan karakter imamat orang
Kristen. Kedua, Dialah yang mendirikan
imamat dan menentukan modelnya bagi Gereja-Nya. Sekaitan dengan itu, informasi
dari sosiologi agama, agama-agama dunia dan agama Yahudi khususnya perlu untuk
pemahaman imamat pada umumnya, tetapi akhirnya Kristuslah sendirilah yang
dilihat sebagai penentu.
Bila kita mau mendalami imamat
Kristus, kita harus mendengarkan kesaksian Surat kepada Orang Ibrani. Surat menegaskan
bahwa kami orang Kristen memiliki
seorang imam, seorang imam agung.
Dia adalah Yesus Putra Allah. Bias
pernyataan ini tidak sedikit pun menimbulkan keraguan. Tentu saja penulis
menyadari kesulitan mengenai persoalan imamat. Ia tahu baik bahwa Yesus bukan
berasal dari keluarga imamat seperti tampak dari pernyataannya: “Tuhan kita
berasal dari suku Yehuda dan mengenai suku itu Musa tidak pernah mengatakan
suatu apa pun tentang imam-imam” (7:14). Ia tahu bahwa tidak ada tempat bagi
Yesus dalam organisasi imamat menurut Hukum Musa: “Sekiranya Ia di bumi ini, Ia
sama sekali tidak akan menjadi imam, karena di sini telah ada orang-orang yang
telah mempersembahkan persembahan menurut hukum Taurat” (8:4). Tetapi semuanya
itu tidak menghalanginya memberikan jawaban
positif atas pertanyaan tentang imamat Kristus.
Bagaimana ia mempresentasikan
doktrin ini? Sebagai suatu kerangka kerja, pengarang memilih perspektif kultus
Perjanjian Lama, sebab ia berjuang untuk mencahayai nilai unik imamat Kristus. Dengan
itu ia menunjukkan bahwa imamat Kristus, yang berarti juga imamat Kristen
melampaui imamat Yahudi. Dalam presentasi ini penulis hanya menampilkan satu
segi fungsi imamat Kristus dan tidak
secara eksplisit berbicara tentang imamat pelayanan orang Kristen.
Bila dikaitkan dengan
Injil-Injil, mengapa penulis Ibrani mempresentasikan karya penyelamatan Kristus
dari sudut pandang imamat? Karena ia mau menunjukkan bahwa Yesus telah
mewahyukan diri sebagai imam dan para murid-Nya telah memahami klaim identitas
imamat-Nya itu. Atas dasar ini, Surat Ibrani harus dilihat sebagai suatu
komentar atas deklarasi Yesus. Surat ini merupakan suatu refleksi doktrinal
atas kematian Yesus yang dihayati sebagai persembahan yang menyelamatkan.
Karena itu ada yang berpendapat bahwa Ibrani sebenarnya bukanlah sebuah surat,
tetapi suatu homili tentang imamat.
1.
Hakikat Imamat Kristus
1.1
Kristus Imam Agung Yang Transenden
Yesus bukanlah seorang imam
agung “dari ordo yang sama dengan Harun” tetapi “dari ordo menurut Melkisedek”
(Ibr 7:11). Ia bukan dari bilangan imamat kaum Levi. Asal-usul imamat-Nya bukan Yahudi, karena Melkisedek adalah seorang
asing yang memberkati Abraham. Ia dihormati sebagai yang lebih dahulu dari
bangsa Yahudi dalam waktu dan lebih tinggi dalam tingkatan. Surat kepada orang
Ibrani mengambil fakta biblis yang diam tentang asal-usul Melkisedek yang tidak
memiliki asal-usul manusiawi[1].
Ia menulis: “Ia tidak berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah, harinya tidak
berawal dan hidupnya tidak berkesudahan, dan karena ia dijadikan sama dengan
Anak Allah, ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya” (7:3). Menurut
penulis, Putra memiliki asal abadi dan inilah yang menjamin imamat-Nya abadi.
Referensi kepada Mzm 110:4 (“engkau adalah imam untuk selama-lamanya”) menyokong
identifikasi antara imam agung dan Putra Allah. Dalam deklarasi Yesus di
hadapan Sanhedrin, menurut Injil-injil, amat ditekankan keputraan ilahi-Nya.
Kita menyimpulkan bahwa surat ini merupakan suatu terjemahan yang baik atas
pernyataan Kristus di hadapan mahkamah agama, karena ia mengenal di dalam
Putra, imamat yang transenden dan abadi. Jadi, dengan mempresentasikan
Melkisedek, penulis mau menekankan bahwa Kristus adalah seorang imam yang
transenden dan abadi.
Tetapi Imam Agung yang
transenden itu harus seorang manusia: “Setiap imam besar ... dipilih dari
antara manusia”. Ia harus memiliki kodrat manusiawi agar ia dapat “bertindak
bagi manusia dalam hubungan dengan Allah” (Ibr 5:1). Imamat mengharuskan
solidaritas dengan orang-orang yang atas nama mereka ia bertindak: “Itulah
sebabnya, maka dalam segala hal Ia harus disamakan dengan saudara-saudara-Nya,
supaya Ia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia kepada
Allah untuk mendamaikan dosa seluruh bangsa” (Ibr 2:17). Turut merasa kelemahan
manusiawi merupakan misi yang tak terkira nilainya bagi imam, dan ikut merasa
penderitaan berarti ikut mengalami godaan-godaan.
“Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut
merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah
dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr 4:15). Turut menderita ini menyebabkan
Ia dapat menolong yang lain (bdk. 2:8). Hal ini telah didukung oleh fakta bahwa
Putra Manusia telah menjadi seorang imam hanya oleh karena inkarnasi. Sebelum
Dia menjadi manusia, Dia bukanlah seorang imam. Penulis memimpikan bukan
aktivitas imamat selama praeksistensi Putra.
Hal itu tidak mengatakan bahwa
keputraan ilahi dan imamat tidak berhubungan. Ada suatu harmoni antara sikap
abadi dari Sabda yang kembali kepada Bapa Segala keabadian seperti dikatakan
oleh Yohanes dan sikap imam sebagaimana dilukiskan Ibrani. Untuk menunjukkan
harmoni ini kita singgah sejenak ke Injil Yohanes yang secara eksplisit
mengungkapkan similaritas antara posisi abadi Sang Sabda dan kehidupan Yesus di
dunia. Yesus tahu bahwa Ia telah datang dari Allah dan kembali kepada Allah.
Pada Perjamuan Terakhir “Yesus telah tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk
beralih dari dunia ini kepada Bapa” (Yoh 13:1). Persembahan-Nya menandai
kepenuhan perziarahan-Nya kepada Bapa.
1.2
Mediator Penjanjian
Kitab Ibrani menghormati
Kristus sebagai orang yang “membawa suatu perjanjian baru, suatu mediator”
(9:15). Penghormatan ini menggemakan kata-kata Yesus sendiri. Pada Perjamuan
Akhir, Yesus memberikan kepada para murid-Nya darah-Nya sendiri untuk diminum,
yang adalah darah perjanjian (Mat 14:24; 26:28). Dalam versi Paulus (1Kor
11:25) dan Luk (22:20), Ia memberikan piala perjanjian baru. Tetapi, sementara
Yesus dengan cukup tegas mengidentifikasi diri dengan perjanjian, pengarang
Ibrani lebih memilih berbicara tentang Yesus sebagai “mediator perjanjian”.
Mediasi merupakan hakikat imam.
Yesus adalah seorang mediator
dalam artian yang khusus, karena Ia adalah Putra Allah. Ia bukan hanya seorang
pengantara kepentingan manusia kepada Bapa. Ia tetap memelihara di dalam
diri-Nya kesempurnaan keilahian sebagai “jejak sempurna kodrat” dari Bapa.
Mediasi imamat-Nya memiliki tingkatan yang tinggi. Dia adalah mediasi seorang
manusia yang ditempatkan pada level ada (being)
yang sama seperti Bapa.
Kualitas ini mengizinkan-Nya
untuk menggabungkan dunia dengan surga dan surga dengan dunia, karena
persembahan Yesus sebagaimana imamat-Nya mulai di sini di dunia tetapi membawa
hasil ke dalam surga. Kristus mempersembahkan sekali untuk selama-Nya
persembahan penebusan, yang ketika dipersembahkan oleh imam-imam Yahudi, selalu
kurang efektif. Perbuatan-Nya meniru perbuatan imam agung Yahudi tetapi Ia
melampauinya. Pada Hari Penebusan dosa imam agung memasuki Yang Kudus dari Yang
Kudus dan memercikkan darah pada kursi belas kasih, yang menjamin rekonsiliasi
umat Allah dan pembaharuan perjanjian. Melalui penumpahan darah-Nya sendiri,
Yesus masuk ke dalam tempat kudus surgawi yang menjadi sumber keselamatan bagi
manusia (Ibr 9:11-12).
1.3
Gembala
Mudah dimengerti mengapa
pengarang Ibrani tidak secara khusus menaruh perhatian kualitas gembala
sebagaimana Kristus sendiri mengklaim hal itu dalam Injil Yohanes. Imam dilihat
sebagai orang yang mempersembahkan persembahan dan melalui persembahan ini
memohon bagi umat manusia dan menjamin keselamatan. Jika Yesus menyebut
diri-Nya gembala, itu karena Ia tidak hanya menyatakan diri sebagai imam
ritual, tetapi Ia juga melihat misi imamat-Nya melampaui batas-batas dan
hukum-hukum kultus.
Tetapi dalam epilog pengarang
meringkas kualitas kegembalaan imamat Kristus: “Allah damai sejahtera, yang
oleh darah perjanjian yang kekal telah membawa kembali dari antara orang mati Gembala Agung segala domba, yaitu
Yesus, Tuhan kita” (13:20). Yesus adalah seorang gembala, yang dimuliakan untuk
semua umat manusia. Gelar “Gembala Agung” dimaksudkan untuk menekankan fungsi
sosial imamat. Sebagai gembala Kristus telah membuka surga dengan masuk ke
dalam tempat kudus surgawi dan membawa bersama domba-domba-Nya. Ia telah masuk
sebelum kita dan atas nama kita. Ia telah menyelamatkan orang-orang yang datang
kepada Allah melalui Dia. Sebagai gembala, Dia-lah yang pertama kembali kepada
Allah. Dari sebab itu, mereka yang mengikuti Dia menciptakan jalannya menuju
Allah. Dalam perjalanan ini pengaruh-Nya sebagai gembala tetap menentukan.
Gelar “Gembala Agung” memberi
kesaksian bahwa penulis tidak bermaksud untuk membatasi dirinya secara ketat
kepada kerangka kerja ritual dalam lukisannya tentang mediasi Kristus. Hal itu
tampaknya mengacu pada peranan Musa yang bukan seorang imam, tetapi pemimpin
umat. Karena Allah yang membawa Tuhan kita keluar dari kematian menjadi Gembala
Agung mengingatkan sebuah ungkapan dalam Yesaya tentang Musa. Di sana Allah
dilukiskan sebagai yang membawa naik dari laut bersama-sama dengan penggembala
kambing domba-Nya (Yes 63:11). Kita diarahkan dalam arah yang sama oleh
penyebutan yang lebih eksplisit dari pengarang tentang Yosua yang memimpin
orang-orang Israel masuk ke tempat peristirahatan. Tetapi Yosua adalah figur
Kristus yang membawa manusia ke tempat peristirahatan ilahi (Ibr 4:8).
Penyebutan Musa dan Yosua menganjurkan bahwa mediasi imamat Yesus pada saat
yang sama merupakan mediasi dari kepala dan pemimpin umat.
Baik dicatat sebagai tambahan
bahwa Ibrani memperhitungkan kualitas gembala dalam hubungan dengan sifat
persembahan yang esensial. Jika Gembala Agung dari kawanan menerima kemuliaan,
itu dikarenakan oleh darah yang memeteraikan perjanjian abadi. Misi-Nya sebagai
gembala telah berbuah dalam persembahan darah-Nya dan melalui darah ini
ditetapkan perjanjian abadi. Peranan yang dipercayakan kepada imam agung adalah
menjamin pembaharuan perjanjian melalui darah korban. Dalam hal ini Gembala
Agung identik dengan imam agung. Tugas yang diemban-Nya bukanlah semata-mata
kultis. Ia mendamaikan umat manusia dengan Allah dan juga bertugas sebagai
pemimpin dan melaksanakan otoritas.
- Imamat Para Pelayan
2.1
Pemimpin-pemimpin Komunitas
Surat kepada Orang Ibrani
hanya menerapkan istilah “imam” kepada Kristus. Di mana pun ia tidak berbicara
tentang para imam ketika ia menunjuk mereka yang memegang posisi otoritas dalam
komunitas. Berulang kali ia menyebut “para pemimpin” atau “para kepala” mereka
yang melaksanakan otoritas dalam komunitas. Sebutan ini pertama mengacu kepada para pemimpin yang telah meninggal:
“Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah
kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka” (13:7).
Selanjutnya muncul suatu rekomendasi mengenai bagaimana sikap ditunjukkan
kepada para pemimpin yang sedang
bertugas sekarang: “Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada
mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus
bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan
gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan
bagimu” (13:17). Akhirnya, ada satu petunjuk kepada para pemimpin dalam salam
penutup: “Sampaikanlah salam kepada semua pemimpin kamu dan semua orang kudus”
(13:24).
Istilah “pemimpin”
menerjemahkan hegoumenos, yang
berarti berjalan di depan, menuntun, memimpin, memerintahkan, dan menunjuk
kepada “keagungan, otoritas, direksi”. Istilah ini akan digunakan kemudian
untuk menyebut kepala suatu biara. Pantas dicatat bahwa dalam abad pertama
kekristenan istilah ini dipakai sebagai gelar untuk para imam dan juga imam
besar yang disebut Filo sebagai “pemimpin para imam”. Matius mengenakan Yesus
dengan istilah “seorang pemimpin, yang akan menggembalakan umat-Ku Israel”
(2:6). Dalam Kis (15:22) gelar itu menunjuk kepada mereka, yang bersama Paulus
dan Barnabas, menjalankan otoritas dalam suatu komunitas, yakni Yudas yang
dikenal sebagai Barsabas dan Silas, dua orang yang didelegasikan oleh para
rasul dan presbiter yang meminta kesetiaan pada keputusan-keputusan yang telah
mereka ambil.
Dengan menunjuk kepada para
pemimpin, Ibrani memberi kesaksian bahwa para pemimpin hadir dalam komunitas
orang Kristen. Mereka telah ada di sana sejak awal. Setelah kematian mereka
masih ada yang lain. Jadi, dalam kehidupan komunitas tetap dijamin kontinuitas
kekuasaan.
Apa fungsi yang diemban para
pemimpin ini? Tekanan ketaatan kepada mereka, menunjukkan bahwa mereka memiliki
otoritas kepemimpinan untuk mengarahkan kehidupan spiritual komunitas.
Tampaknya mereka memiliki kuasa yang luas yang mempengaruhi seluruh
perkembangan hidup orang Kristen. Kepatuhan yang direkomendasikan kepada mereka
memberi pengandaian bahwa mereka melaksanakan otoritas karena kehendak Allah
sendiri.
Fungsi kultus tidak disebutkan
secara eksplisit. Akan tetapi, karena perjamuan Ekaristi dikiaskan secara dekat
dengan penyebutan pemimpin (di antara ayat 7 dan 17), kita diarahkan untuk
menyimpulkan bahwa dalam pemikiran pengarang fungsi kultis dan fungsi
berkhotbah berhubungan satu sama lain. Hubungan ini dibuktikan juga oleh fakta
bahwa orang yang berkuasa yang ambil bagian dalam perjamuan ini disangkal oleh
mereka yang melayani kemah, yakni para imam Yahudi. Terlihat di sini maksud
penulis untuk mengangkat para pelayan Kristen.
Akhirnya, teladan para
pemimpin ini membentuk iman orang-orang Kristen khususnya kemartiran yang
memahkotai tugas para pemimpin yang pertama. Sebab kemartiranlah yang dimaksud
oleh frase “contohlah iman mereka” (13:7). Melalui kemartiran, kesaksian yang
dilahirkan oleh para pemimpin pertama meniru persembahan imamat Kristus, nilai
yang amat kaya yang selalu ditekankan oleh penulis Ibrani.
Maka meskipun referensi
jarang, kita sungguh melihat kehadiran para pemimpin yang dipercayakan misi
untuk menuntun dan mengajar. Mereka sungguh mengikuti langkah Kristus yang
memberikan diri-Nya sendiri. Tambahan, Ibrani juga berisi suatu kiasan kepada
kuasa dari mereka yang merayakan Ekaristi. Sebagai “pemimpin-pemimpin”, mereka
dipisahkan dari orang-orang Kristen lain yang secara sederhana ditunjuk dengan
“para kudus”.
2.2
Partisipasi Dalam Imamat Kristus
Di sini kita harus mengajukan
suatu pertanyaan: apakah para pemimpin komunitas yang dilantik dengan suatu
imamat merupakan perluasan dari imamat Kristus? Fakta bahwa mereka tidak
disebut “imam-imam” tidak membenarkan suatu jawaban negatif. Seperti telah
dicatat sebelumnya Yesus tidak menyebut diri-Nya seorang imam, juga Ia tidak
menurunkan gelar ini kepada para murid-Nya. Dengan menggunakan cara refleksi
doktrinal, penulis Ibrani menerapkan gelar ini kepada Kristus sambil menekankan
bahwa imamat-Nya transenden dan secara radikal berbeda dari imamat Yahudi. Ia
tidak memakai refleksi yang sama mengenai situasi yang persis dari para
pemimpin komunitas, karena hal itu di luar dari maksudnya.
Akan tetapi cara penulis
membicarakan “para pemimpin” membuat kita menarik kesimpulan bahwa mereka
merupakan perpanjangan dari misi “Imam Agung para kawanan”, misi yang dikenakan
kepada Kristus. Kristus adalah orang yang pertama menuntun komunitas dengan
masuk sebagai perintis ke dalam surga melalui persembahan-Nya sendiri dan
dilanjutkan dengan menuntun mereka yang mengambil manfaat jalan yang dibuka-Nya
kepada Bapa (6:20; 7:25). Kristus menjadi sumber keselamatan abadi bagi semua
yang taat kepada-Nya (5:9). Ketaatan, yang karena para pemimpin bertanggung
jawab untuk pemeliharaan jiwa-jiwa (13:7), tampaknya cocok dalam perspektif
yang sama ini. Maka otoritas para pemimpin tampaknya merupakan suatu
partisipasi dalam otoritas Kristus.
Partisipasi ini telah
diarahkan kepada dasar bahwa imamat Kristus eksklusif dan tak dapat dipindahkan
atau ditransmisikan. Telah dilihat bahwa hanya Kristus imam kita untuk
selama-lamanya di surga dan di bumi. Agar menjadi lebih jelas, pertanyaan perlu
dilontarkan: “Apakah kita mempertahankan bahwa Kristus telah menghapus imamat
di sini di dunia ini untuk selama-lamanya dan tidak akan adakah imamat lain,
atau agaknya kita lebih mengatakan bahwa Kristus membaharui imamat sebagai buah
dari karya-Nya, maka ditemukan suatu imamat baru yang membuka partisipasi yang
lain?” Pertanyaan ini telah mendapat jawaban yang radikal: “Dengan kematian
Kristus tak ada alasan untuk mempersembahkan persembahan-persembahan yang baru
untuk dosa. Konsekuensinya, tak ada alasan apa pun mengapa harus ada imamat”
(bdk. 7:23-28).
Benar, Surat Ibrani menegaskan
keunikan imamat dan persembahan Kristus. Dalam imamat ini pengarang melihat
abolisi imamat Yahudi dan juga bukti tak ada efektivitasnya. Penghapusan
dosa-dosa umat manusia dijamin sekali untuk selamanya oleh persembahan imamat
Kristus. Prinsip ini mengecualikan imamat lain yang paralel dengan imamat
Kristus. Tetapi kita tidak harus mengatakan bahwa pengarang bermaksud
menyangkal bahwa pelayanan Kristen merupakan suatu perpanjangan atau suatu
partisipasi di dalam imamat-Nya. Jauh dari maksud untuk menandingi doktrin
Ibrani, partisipasi ini harmonis dengan imamat Kristus dalam suatu cara yang
khusus, karena hal itu mengonfirmasi bahwa nilai imamat Kristus unik dan
definitif.
Kita juga tidak harus
mengklaim bahwa kualitas “Imam Agung dari kawanan” menghilangkan semua fungsi
pastoral di dalam Gereja. Ini sama sekali bukan maksud pengarang. Sebaliknya,
pelayanan pastoral yang diyakini sebagai suatu pelayanan, yang berasal dari
Kristus Gembala, memberi kesaksian bahwa aktivitas pastoral Kristus merupakan
suatu aktualitas yang hidup di sini di dalam Gereja.
Pengarang Ibrani tidak secara
eksplisit membicarakan partisipasi ini, karena ia tidak menginginkan suatu
refleksi khusus tentang pelayanan para pemimpin komunitas. Tetapi partisipasi
ini konsisten dengan keyakinan dasar doktrinnya.
BAB II
INSTITUSI IMAMAT PELAYANAN
Dalam bab terdahulu kita telah
melihat imamat Kristus. Sekarang kita mau mendalami dengan cara bagaimana
Kristus mendirikan imamat pelayanan dalam Gereja-Nya. Ini merupakan mata
teologis lain untuk melihat bagaimana orang-orang Kristen berpartisipasi dalam
imamat Kristus. Agaknya ide ini kita telah sering mendengar dari kotbah-kotbah
para uskup saat tahbisan imam. Oleh sebab itu, ini bukan merupakan gagasan yang
baru sama sekali.
1.
Pendirian “Kelompok Dua Belas”
Yesus mengumpulkan satu grup
yang terkenal dengan nama “kelompok Dua Belas”. Historisitas fakta ini
disaksikan oleh teks-teks Injil yang menjadi perantara tradisi-tradisi tertua.
Pemilihan kelompok Dua Belas ini sangat penting, baik bagi kehidupan publik
Yesus maupun kehidupan komunitas Kristen kemudian. Untuk menunjukkan pentingnya
pemilihan ini Markus mencatat bahwa sebelum mengadakan pemilihan Yesus naik ke
gunung (3:13). Lukas menambahkan bahwa Ia menarik diri dari keramaian dan
berdoa, dan bahwa Ia membuat pilihan-Nya setelah Ia menghabiskan waktu semalam
untuk berdoa (6:12). Para penginjil tidak menyebutkan keputusan lain setelah
doa yang intensif itu. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan itu penting.
Kekuasaan absolut dimiliki
Yesus dalam menentukan pilihan-Nya. Markus secara eksplisit merumuskan hal itu: “Ia
memanggil orang-orang yang dikehendaki-Nya”
(3:13). Yohanes memberi kesaksian hal yang sama: “Bukan kamu yang memilih Aku,
tetapi Akulah yang memilih kamu” (15:16). Pilihan tersebut dibuat dari antara
sejumlah besar murid (bdk. Luk 6:13). Maka dalam hal ini terdapat perbedaan
antara panggilan kepada kemuridan dan panggilan yang lebih khusus ke dalam
anggota kelompok dua belas (rasul).
Jumlah dua belas signifikan.
Jumlah itu koresponden dengan dua belas suku Israel dan memperlihatkan maksud
pendirian Israel yang baru. Singkatnya, Yesus mendirikan grup Dua Belas
bertujuan untuk mendirikan Gereja. Inilah jalan-Nya untuk mendeklarasikan bahwa
peran yang diberikan-Nya kepada grup Dua Belas untuk mendirikan Gereja
merupakan peranan yang esensial.
Nama yang diberikan kepada
mereka menganjurkan bahwa mereka mendapat suatu kepribadian yang baru (Mrk
3:16-17). Dan kepribadian baru untuk grup Dua Belas ini ditunjukkan oleh kisah
Lukas: “... Ia menyebut mereka rasul”
(6:13). Menurut pemikiran Yahudi, memberikan seorang nama baru berarti
memberikan suatu realitas baru atau membentuk personalitas baru kepadanya. Maka
pembentukan grup Dua Belas disertai pemberian
personalitas baru.
Jumlah dua belas, yang mengacu
kepada keseluruhan umat Israel, menganjurkan juga bahwa Yesus bermaksud
mengingkari partikularisme kasta imamat yang dikhususkan kepada satu suku.
Dengan menaruh hormat kepada suku ini, Yesus sendiri adalah orang luar. Ia
menghendaki bahwa grup dua belas tidak diawali dengan suatu kasta atau suku, tetapi
suatu keseluruhan umat. Panggilan-Nya yang kreatif membebaskan hak-hak warisan
dan privilese serta melantik suatu imamat yang lebih universal.
- Status Baru
Karena frase “menetapkan dua
belas” menunjuk kepada suatu tindakan penciptaan, frase itu menganjurkan bahwa
grup Dua Belas dimaksudkan lebih dari sekedar suatu fungsi. Ada suatu
eksistensi yang baru di dalam diri mereka; ada suatu personalitas baru yang
termuat dalam tindakan pemberian nama baru itu. Indikasi-indikasi ini
menasihatkan bahwa imamat yang
kemudian diberikan kepada mereka bersifat
ontologis dan bukan hanya fungsional.
Aspek ontologis pemilihan itu
tampak juga dari tujuan yang hendak dicapai: “Ia membuat mereka dua belas untuk
tinggal (ada) bersama Dia dan mengutus mereka...”. Sebelum diutus dan untuk
dapat diutus, grup Dua Belas harus pertama hidup dalam kesatuan dengan Yesus.
Keberadaan mereka harus menjadi ‘ada bersama dengan’, suatu ada yang disatukan
dengan Kristus.
Tindakan pemilihan Yesus tidak
menunjuk kepada fakta bahwa grup Dua Belas dimaksud untuk menjadi teman Yesus,
yang tanpa mereka, Ia tidak dapat berjalan dari satu tempat ke tempat lain di
Palestina. Tanpa keraguan, memang ini juga salah satu maksud Yesus. Tetapi
karena penciptaan suatu Israel baru termuat di dalamnya, frase “untuk ada
bersama Dia” tampak menunjuk kepada ekspresi tradisional yang biasa merujuk
kepada perjanjian: “Aku selalu bersama kamu”, Yahwe mengatakan kepada Musa,
sambil memberi tahu nama-Nya: “Saya adalah Saya Yang Ada”, sebagai suatu
jaminan kepada kesetiaannya (Kel 3:12-14). Yesus kemudian mengulangi janji ini:
“... Aku selalu akan menyertai kamu” (Mat 28:20). Janji ini meminta suatu
relasi timbal balik. Fakta bahwa Yesus ada bersama mereka mengharuskan juga
dari mereka untuk ada bersama Dia.
Maka, mereka yang ada bersama
Kristus tampak sebagai realisasi dari perjanjian: perjanjian diperluas kepada
semua orang mulai muncul dalam kelompok Dua Belas. Tak dapat diragukan
perjanjian secara integral direalisasikan pertama dan terutama di dalam
Kristus, tetapi itu juga memiliki pengaruh yang konkret kepada semua orang, dan
grup Dua Belas adalah yang pertama dan yang dikhususkan oleh pengaruh ini.
Karena itu kita mulai memahami bahwa suatu posisi mediasi diberikan kepada
mereka yang pertama menerima imamat. Komunitas Kristen akan mencapai kesatuan
dengan Kristus melalui mediasi dari mereka yang telah dipanggil untuk ada
bersama Dia.
- Misi
Dalam Markus, misi kelompok
Dua Belas dilukiskan dengan mengatakan bahwa mereka “diutus-Nya memberitakan
Injil dan diberi-Nya kuasa untuk mengusir setan”. Kata Yunani untuk “mengutus”,
apostellein, adalah akar etimologis
dari apostolos (apostel, utusan,
rasul).
Penting diperhatikan bahwa
misi grup Dua Belas dibentuk setelah misi Yesus sendiri. Yesus berbicara
tentang diri-Nya sendiri sebagai Yang telah diutus oleh Bapa (Mrk 9:37;
12:1-11). Hal ini akan diungkapkan oleh Yohanes secara lebih jelas: Yesus
mengutus kedua belas Rasul seperti Bapa telah mengutus-Nya. Tujuan misi ialah
mirip juga, karena berkhotbah dan mengusir setan-setan ditekankan dalam lukisan
Markus tentang awal pelayanan publik Yesus. Ini dipresentasikan sebagai
aktivitas yang penting dari Yesus. Yesus kemudian memberikan misi untuk
melaksanakan aktivitas yang mirip dengan aktivitas-Nya.
- Kuasa atas Kerajaan Allah
Orang mungkin bertanya apakah ada
hubungan antara penciptaan grup Dua Belas dan Gereja di dalam maksud Yesus.
Banyak komentator melihat adanya hubungan ini. Pada permulaan grup Dua Belas ini
mewakili umat Allah yang baru, yang kepada mereka Yesus memberikan secara
persis suatu definisi tugas mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada
waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di tahta
kemuliaan-Nya, kamu yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas
tahta untuk menghakimi kedua belas suku Israel” (Mat 19:28).
Dalam pemakluman Matius ini
terdapat kesamaan dasar dengan ucapan Markus. Fakta yang pertama datang ialah
bahwa grup Dua Belas yang mengikuti Yesus telah ada bersama Dia. Dalam hubungan
dengan fakta ini, grup Dua Belas ditentukan untuk membagikan kekuasaan Anak
Manusia. Kekuasaan mereka akan termuat dalam fakta bahwa mereka akan duduk di
atas dua belas tahta untuk mengadili dua belas suku Israel. Ini adalah bahasa
apokaliptis. Cukup jelas ini tidak dipahami secara literal. Di sini kita diberi
tahu tentang kekuasaan untuk memimpin Israel baru. Grup Dua Belaslah yang akan
menerima misi dan kekuasaan untuk memimpin Gereja.
Kisah Lukas bahkan memberikan
secara eksplisit kekuasaan agung yang dipercayakan kepada grup Dua Belas:
“Kamulah yang tetap tinggal bersama-sama dengan Aku dalam segala pencobaan yang
Aku alami. Dan Aku menentukan hak-hak Kerajaan bagi kamu, sama seperti Bapa-Ku
menentukannya bagi-Ku, bahwa kamu akan makan dan minum semeja dengan Aku di
dalam Kerajaan-Ku dan kamu akan duduk di atas tahta untuk menghakimi kedua
belas suku Israel” (22:28-30). Penetapan hak-hak Kerajaan bagi kelompok Dua
Belas merupakan pemberian kekuasaan yang total/besar kepada mereka; Yesus yang
telah menerima kekuasaan ini dari Bapa, mencurahkannya kepada para Rasul-Nya.
Kata “menentukan” mengingatkan
perjanjian yang disebutkan oleh Lukas lebih awal dalam hubungan dengan
institusi Ekaristi. Pertama dan yang terutama, Yesus bermaksud untuk berbagi
dengan grup Dua Belas perjanjian yang didirikan
dan diwujudkan-Nya. Kekuasaan untuk memimpin dihubungkan dengan kekuasaan untuk
makan dan minum pada meja Kristus, yakni untuk merayakan Ekaristi. Lukas telah
mencatat kata-kata Yesus: “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku” (22:19),
kata-kata yang memberikan kekuasaan kepada para Rasul untuk memimpin perayaan
Ekaristi.
- Ruang Lingkup Misi dan Kuasa
Teks-teks sinoptik di atas menunjukkan
adanya kuasa kepemimpinan yang digabungkan dengan misi untuk berkhotbah dan
kuasa untuk merayakan Ekaristi. Menurut Matius (28:18-20) dan Markus (16:16-18),
misi untuk menginjili dunia dinyatakan oleh Yesus sebagai misi yang secara
khusus dipercayakan kepada grup Sebelas. Ini menunjukkan keinginan untuk
memberikan tugas kepada mereka dengan tanggung jawab yang lebih tinggi dalam
karya evangelisasi.
Matius dan Lukas menghubungkan
evangelisasi dengan misi untuk membaptis. Sebaliknya, kotbah dikaitkan dengan pengampunan dosa-dosa (bdk. Luk 24:47),
sebagaimana dalam Markus kotbah dihubungkan dengan kuasa untuk mengusir
setan-setan (bdk. Mrk 3:14; 16:17). Bahkan secara eksplisit kuasa untuk
mengampuni dosa-dosa diberikan oleh Kristus yang bangkit atas para Rasul:
“...Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni,
dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh
20:20-22).
Dari semua indikasi ini dalam
Injil-injil kita menyimpulkan bahwa Yesus bermaksud membagikan kepada kelompok
Dua Belas keseluruhan kuasa pastoral-Nya. Ia memberikan mereka kuasa untuk memimpin
Gereja, otoritas untuk melaksanakan misi evangelisasi, kuasa untuk melayankan
pembaptisan, kuasa untuk merayakan Ekaristi dan pengampunan dosa-dosa. Dalam
bahasa dewasa ini, Yesus mewariskan kepada grup Dua Belas imamat-Nya, termasuk
kepemimpinan, proklamasi Sabda dan pelaksanaan tindakan liturgis atau
sakramental.
2.
Struktur Hierarkis
Yesus tidak membatasi diri-Nya
pada “penciptaan grup Dua Belas” untuk memberikan kepada mereka imamat-Nya
sendiri. Ia juga mendirikan suatu struktur dasar yang berhubungan dengan kodrat
imamat ini. Struktur ini secara tepat disebut “hierarkis”, karena ia mencakup
suatu gradasi dari “kekuasaan-kekuasaan suci”, yang merupakan makna yang
terkandung dalam hierarki itu sendiri.
Meneliti maksud-maksud yang
disingkapkan oleh Yesus, ada tiga tingkatan dalam misi dan kuasa gembala.
Tingkatan-tingkatan ini tidak persis koresponden dengan trilogi tradisional
episkopal, imamat dan diakonat, yang telah dikenal oleh Gereja Katolik dalam
doktrin dan dalam pelaksanaan imamat. Dan lagi dalam grup Dua Belas, ada kuasa
pastoral tertinggi yang diberikan kepada Petrus, yang menandai struktur tingkat
tinggi. Kita juga memiliki bukti yang menganjurkan bahwa Yesus bermaksud
memberikan para Rasul sejumlah besar rekan kerja yang tunduk kepada otoritas mereka.
2.1 Kuasa Pastoral Tertinggi Petrus
Jikalau kekuasaan pastoral
tertinggi diberikan kepada Simon, salah satu dari Dua Belas, itu karena Kristus
secara eksplisit menginginkan bahwa hal itu seharusnya demikian. Kualitas-kualitas
pribadi Simon, khususnya kemampuannya untuk berbicara atas nama yang lain tak
dapat diragukan. Hal ini tampak dalam beberapa episode cerita Injil-injil,
secara khusus ketika Simon telah mengakui kepada Yesus iman kelompok dua belas,
atau ketika Yesus telah bertanya kepada Petrus suatu pertanyaan di jalan
Kaisarea Filipi (Mat 16:16; Mrk 8:29; Luk 9:20), atau ketika Ekaristi
dijanjikan (Yoh 6:68). Lalu kita tidak dapat mengatakan bahwa Petrus menjadi
kepala dari Gereja atas dasar kekuatan prestise pribadinya sendiri. Faktor yang
menentukan adalah bahwa Kristus menghendaki itu. Beberapa kesaksian teks-teks
Injil memberi kesaksian tentang hal ini.
a.
Janji akan kuasa tertinggi
Kita ingat akan solemnitas
kata-kata Yesus yang digarisbawahi Matius:
“Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku
dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan
Surga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di surga dan apa yang
kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di surga” (16:18-19). Penelitian kontemporer mendukung historisitas ayat-ayat
ini. Ayat-ayat ini menjelaskan proyek Gereja baru yang di dalamnya Petrus
memainkan peranan yang tidak diprediksi dalam ramalan-ramalan para nabi.
Dalam janji Yesus kita melihat
dua pemberitaan esensial dan saling berhubungan. Pertama, Simon diberi nama baru, yaitu Kephas (Petrus). Istilah kephas
berarti batu karang yang berfungsi sebagai dasar alamiah yang di atasnya
manusia menempatkan dasar bangunan yang dibuatnya (bdk. Luk 6:48). Kefas
mengacu kepada dasar yang lebih dasar lagi. Nama yang diberikan kepada Petrus
mau menunjukkan fakta bahwa Yesus membagikan kepadanya posisi yang
ditempati-Nya sendiri: batu yang telah menjadi batu sendi (bdk. Mat 21:42; Ef
2:20). Jadi, dengan seorang yang telah diberi nama Petrus, Kristus bermaksud
membagikan peranan-Nya sendiri sebagai batu dasar Gereja.
Kedua, Yesus
menjelaskan bagaimana cara Petrus akan menjadi dasar Gereja. Caranya ialah Ia
menganugerahkan kepadanya kuasa tertinggi. Memberikan kepada seseorang kunci kota
berarti memberikan kepadanya kuasa total atas kota itu. Perumpamaan ini telah
digunakan dalam Perjanjian Lama (bdk. Yes 22:22). Yesus menekankan bahwa kuasa
ini total, karena Ia menyebut kuasa untuk mengikat dan melepaskan, dan
menggarisbawahi bahwa pelaksanaan kuasa ini diratifikasi di surga. Karena Ia
memiliki “segala kekuasaan di surga dan di bumi” (Mat 28:18), Ia membagikan
kepada Petrus kuasa ini, tetapi Ia tetap memiliki kontrol atasnya.
b.
Pemeliharaan Iman Petrus Dan Misi Untuk Memperkuat
Para Saudara
Lukas memberikan
aspek khusus sehubungan dengan peranan yang dimainkan Petrus di dalam Gereja:
“Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum,
tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau,
jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu” (22:21-22).
Otentisitas kata-kata ini tidak
diragukan. Ada suatu paradoks di
dalamnya: kata-kata itu menunjuk resiko
yang dibawa oleh kelemahan Petrus, tetapi itu juga mempercayakan kepadanya tugas untuk menguatkan iman yang lain.
Kata-kata ini menjadi tanda semangat Yesus: untuk menguatkan
saudara-saudara-Nya, Ia tak ragu-ragu memilih orang yang kalau masuk dalam
pencobaan akan menjadi orang yang lebih lemah. Seperti telah dicatat, peranan
yang diberikan kepada Simon tampak menjadi penjelasan nama Petrus yang
diberikan kepadanya.
Deklarasi Yesus jelas
menunjukkan bahwa Ia ingin memberikan kepada Simon posisi yang khusus: grup Dua
Belas masuk dalam pencobaan, tetapi hanya Petrus yang dikatakan oleh Yesus
bahwa Ia telah berdoa untuknya. Yang lain akan diuntungkan oleh doa ini, mereka
hanya akan dikuatkan oleh doa Petrus.
Misi untuk menguatkan para
saudaranya konsisten dengan peranan Petrus dalam pengakuan-pengakuan iman. Ia
telah menjadi pembicara grup Dua Belas dan yang pertama mengungkapkan iman akan
Yesus dan akan kata-kata-Nya (bdk. Mat 16:16; Yoh 6:68). Misi diberikan kepada
Simon sekarang bila misteri penebusan berhadapan dengan pencobaan yang menuntut
pengorbanan. Dalam pengorbanan ini, para murid ikut terlibat dalam cara mereka
sendiri yang khas karena mereka hidup dalam kesatuan dengan Yesus. Pencobaan
ini akan menjadi tanda suatu hari bahwa Gereja sedang berkembang, sebab Yesus
telah memaklumkan bahwa penderitaan-Nya hanyalah merupakan awal dari masa-masa
sulit. Itu diikuti oleh penderitaan lebih lanjut yang menimpa para Rasul dan
berlangsung sampai semua bangsa telah diproklamasikan Injil (bdk. Mrk 13:8-13).
Misi untuk memperkuat iman memberi referensi pada masa depan ini.
Prediksi akan penyangkalan
tiga kali Petrus, yang dalam Lukas langsung setelah deklarasi tentang misi
Petrus, melengkapi demonstrasi fakta bahwa Petrus tidak akan sanggup memainkan
peranannya oleh sumber-sumber pribadinya sendiri. Ia akan membutuhkan kekuatan
yang lebih tinggi. Momen kelemahan tidak akan menghalangi pegangan imannya
sendiri atau penguatan iman para saudaranya.
Pantas ditekankan di sini
bahwa konteks deklarasi lahir dalam hubungan dengan Ekaristi. Misi untuk
menguatkan iman dipercayakan kepada Petrus dalam kerangka misi yang diberikan
kepada grup Dua Belas untuk mengulangi apa yang telah dilakukan oleh Yesus pada
Perjamuan Terakhir. Kita juga mengetahui bahwa Yesus memberikan hubungan yang
dekat antara Ekaristi dan iman, seperti ditunjukkan dalam diskursus Yohanes
(Yoh 6:25, 51). Konsekuensinya, orang yang dipercayakan misi untuk menguatkan
iman para saudaranya menerima tempat pertama di antara grup Dua Belas dalam
perayaan Ekaristi. Ini menasihatkan bahwa primasi (keunggulan/keutamaan) Petrus
juga meluas kepada ibadat dan proklamasi Sabda.
Dalam Lukas, kata-kata yang
dialamatkan kepada Simon muncul setelah Ia mendeklarasikan bahwa Ia memberikan
Kerajaan kepada grup Dua Belas. Dengan membuat iman rasul yang lain tergantung
dari iman Petrus, Sang Guru menasihatkan bahwa grup Dua Belas akan tergantung
pada Petrus ketika mereka melaksanakan kuasa atas Kerajaan. Misi tertinggi yang
dipercayakan kepadanya sebagai asal iman meluas juga kepada pemerintahan Gereja
dari waktu ke waktu.
c.
Misi Gembala Universal
Deklarasi Yesus yang direkam
dalam Yohanes 21:15-17 melengkapi
teks Matius: Matius mewartakan janji, dan Yohanes menunjukkan pemenuhan janji.
Yesus memberikan Petrus kuasa penggembalaan universal: “Gembalakanlah domba-domba-Ku”. Kata-kata ini mencerminkan relasi
personal Yesus dengan Petrus. Ia menyendirikan Petrus dari Rasul yang lain
dengan pertanyaan apakah ia mencintai Dia lebih daripada yang lain. Pengistimewaan
ini juga tampak dari penyebutan Yesus atas namanya: “Simon Putra Yohanes”.
Kata-kata “gembalakanlah
domba-domba-Ku” mengacu kepada suatu misi dan misi yang memperlihatkan
kekuasaan. Misi ini digambarkan dalam kata-kata yang secara jelas menasihatkan
seidentitas dengan misi Yesus sendiri. Itulah misi sebagai pastor bonus, the good
shepherd. Identitas antara dua misi dikonfirmasi oleh fakta bahwa Yesus
berbicara tentang “domba-domba-Ku” dan “kawanan-Ku” seperti Ia telah berbicara
dalam Matius tentang “Gereja-Ku”. Ini berarti bahwa Yesus ingin melaksanakan
misi pastoral-Nya untuk kepentingan domba-domba dan kawanan-Nya melalui tugas
yang telah diberikan-Nya kepada Simon. Sama seperti Simon telah dinamai Petrus
karena ia dipanggil untuk berperan sebagai batu fondasi seperti yang dimiliki
Yesus, demikian ia juga menerima atribut gembala universal yang sungguh berhubungan
dengan Gurunya.
Fakta bahwa misi yang
diberikan kepada Simon serupa dengan misi Yesus sendiri lebih lanjut
dikonfirmasi oleh prediksi kemartiran Petrus: “...ketika engkau masih muda
engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja engkau
kehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan
tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang
tidak kaukehendaki” (Yoh 21:18). Cara bagaimana kemartiran Petrus diramalkan
menunjukkan bahwa selanjutnya Yesus akan mengepalai seluruh hidupnya. Ketika
Petrus masih muda, ia akan mengikat pinggangnya sendiri; ia akan membuat
keputusan-keputusannya sendiri. Sekarang Yesus membawanya kepada jalan menuju
kemartiran. Kata-kata yang diucapkan oleh Yesus, “...gembala yang baik
menyerahkan hidupnya bagi domba-dombanya” (Yoh 10:11), juga diterapkan pada
Petrus. Misi penggembalaan seperti dilukiskan oleh Yesus adalah baru, dan
kebaruan itu muncul kembali dalam nasib Petrus sendiri. Pemberian imamat agung
kepada Petrus memperlihatkan komitmen total untuk berkorban.
Cerita ini dilampirkan pada
Injil Yohanes untuk mengimbangi kekaguman yang disebabkan oleh kematian
Yohanes, murid yang dikasihi. Dicarilah laporan yang tepat kata-kata Yesus yang
menunjukkan perbedaan antara jalan Petrus dan Yohanes dalam mengakhiri hidup
mereka. Pertukaran antara Yesus dan Simon dicahayai oleh konteks historis yang
tak dapat diragukan. Dialog ini tak dapat dikenakan pada kepintaran komunitas,
karena komunitas tidak mau mengenang kelemahan Petrus. Peringatan penyangkalan
tiga kali yang menyebabkan kesedihan Petrus menjadi jalan paradoksal masuk ke
dalam pembagian tiga kali misi pastoral.
Konteks mukjizat penangkapan
ikan juga memberi terang tentang misi penggembalaan ini. Episode ini
mengingatkan nasib Petrus yang unik dalam banyak aspeknya. Di sana Yesus
memilih masuk ke perahu Simon untuk berkotbah kepada khalayak ramai, lalu
memberitahukan Simon untuk menarik jala dari pinggir dan menebarkannya ke
tempat yang lebih dalam. Simon menjawab dengan iman. Di hadapan kuasa Yesus
yang menakjubkan, ia menyadari keberdosaannya. Yesus mengatakan kepadanya:
“Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia” (Luk 5:10). Kesejajaran
dua peristiwa ini menunjukkan bahwa maksud mempercayakan kepada Petrus misi
kepemimpinan tertinggi sudah mulai muncul dalam Yesus pada awal kehidupan
publik-Nya. Misi ini menyingkirkan kemampuan-kemampuan manusiawi Simon dan
mendasarkan segala sesuatu pada iman akan Yesus, sehingga memungkinkannya menerima
misi dan kuasa supernatural yang diberikan kepadanya.
2.2
Rekan Kerja Grup Dua Belas
- Kehadiran Para Murid
Injil-injil melaporkan bahwa
Yesus dilingkungi oleh banyak murid. Dari antara para murid yang berjumlah
besar ini dipilihlah kedua belas Rasul. Malam hari Yesus menghabiskan waktu
untuk berdoa sebelum pemilihan para Rasul dimaksudkan untuk mencari penerangan
yang diperlukan untuk pemilihan itu (bdk. Luk 6:12-13).
Formasi grup Dua Belas yang
lebih kecil tidak mengurangi panggilan yang lebih awal para murid yang lain.
Kelirulah berpikir bahwa grup Dua Belas hanyalah orang-orang yang menemani
Yesus ketika Ia berangkat dari satu tempat ke tempat lain dan berkotbah.
Kehadiran beberapa wanita yang disebutkan oleh Lukas (8:1-3) menunjukkan bahwa di
sekitar Yesus dan kedua belas Rasul-Nya hadir juga grup yang lain. Teks Injil
Yohanes memperlihatkan bahwa jumlah para murid besar. Setelah Ekaristi diinstitusikan
“banyak pengikut-Nya” menemukan kata-kata Yesus yang sulit ditolerir (bdk. Yoh
6:60).
Mereka yang dibicarakan
sebagai para murid dalam Injil-injil bukan hanya orang-orang yang percaya.
Mereka adalah orang-orang yang telah mulai mengikuti Yesus dan karena itu mereka
menunjukkan niat untuk berbagi hidup dengan-Nya, mengabdikan tenaga mereka
untuk pekerjaan yang telah dilaksanakan-Nya. Mereka telah menjawab panggilan
Yesus. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa mereka telah menerima undangan untuk
datang dan mengikuti-Nya, suatu undangan yang tidak dialamatkan kepada grup Dua
Belas. Atau, mereka ini mungkin telah terpana oleh sifat pribadi Yesus. Tanpa langsung
memanggil mereka, eksistensi Yesus telah menghantar mereka untuk mengikuti-Nya.
- Misi Para Murid
Lukas melaporkan misi para
murid berbeda dari misi dua belas Rasul. Setelah mengisahkan bagaimana Yesus
memanggil Dua Belas Rasul secara bersama-sama dan mengundang mereka mewartakan
Kerajaan Allah (Luk 9:1-2), ia menulis: “Tuhan menunjuk tujuh puluh murid yang
lain, lalu mengutus mereka berdua-dua mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat
yang hendak dikunjungi-Nya” (10:1). Seperti kepada kedua belas Rasul, Yesus
mengalamatkan mereka kata-kata instruksi.
Bila kita membandingkan dua
misi, kita memperhatikan tak ada perbedaan yang signifikan antara yang satu
dengan yang lain. Tujuan sama:
mewartakan khabar gembira. Sama seperti grup Dua Belas, ketujuh puluh dua murid
diberi oleh Kristus otoritas untuk mengajar. Menurut Lukas, mereka dikatakan:
“Barang siapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barang siapa menolak
kamu, ia menolak Aku; dan barang siapa menolak Aku, ia menolak Dia yang
mengutus Aku” (10:16). Ada juga kesamaan
kuasa yang diberikan kepada dua grup. Secara khusus kuasa untuk mengusir setan yang diberikan kepada grup Dua Belas
(Mrk 3:15) juga dilaksanakan oleh grup Tujuh-Puluh-Dua. Ketika kembali dari
misi mereka yang menggembirakan seperti juga telah dilakukan para Rasul
sebelumnya, mereka berkata kepada Yesus: “Tuhan, bahkan setan-setan pun tunduk
kepada kami, ketika kami memakai nama-Mu”. Keefektifan misi mereka dipastikan
oleh Yesus sendiri: “Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit.
Sesungguhnya aku telah memberikan kuasa
kepada kamu untuk menginjak ular dan kalajengking dan kuasa untuk menahan kekuatan musuh...” (Luk 10:17-19).
Maka kita harus menyimpulkan
bahwa Yesus ingin membagikan misi dan kuasa-Nya kepada ke-72 murid, sama
seperti juga kepada kedua Rasul untuk memproklamasikan Injil dan melenyapkan
kekuatan-kekuatan si jahat.
Ini membuktikan bahwa Yesus
bermaksud memilih bersama dengan grup 12, sejumlah besar para murid yang
dipercayakan misi yang sama. Lalu Yesus menginginkan bahwa grup 12 seharusnya
dilingkungi oleh banyak rekan kerja yang dipercayai dengan tugas imamat yang
mirip dengan imamat mereka. Akan tetapi, hanya grup 12 menerima secara langsung
dari Yesus kuasa pastoral dan imamat yang dimaksudkan untuk penyelenggaraan
masa depan Gereja. Mereka memiliki kepenuhan kuasa yang dipercayakan dan pada
gilirannya mereka harus melaksanakan kuasa itu bersama dengan rekan kerja
mereka yang mendapat misi dan kuasa mereka.
- Struktur Abadi dan Suksesi
Sekarang kita menyelidiki
apakah Yesus bermaksud bahwa struktur yang didirikan-Nya seharusnya berlangsung
lama. Apakah struktur itu sedemikian hingga memberikan kepada kita
alasan-alasan untuk berpikir bahwa mereka yang menerima kuasa imamat harus
diganti oleh yang lain? Apakah Yesus sama sekali tidak berbicara tentang
suksesi? Telah dipertahankan bahwa grup 12 didirikan untuk memainkan peranan
yang unik sebagai rekan kerja Yesus dalam misi-Nya di dunia ini, atau untuk
melaksanakan tugas yang diharuskan oleh pendirian Gereja. Oleh kodratnya
sendiri, tugas yang demikian tak dapat dihentikan kepada yang lain, hal itu
mengecualikan kemungkinan suksesi.
Bagaimana pun isu tentang
suksesi ini tak dapat dilepaskan dari ide tentang fondasi Gereja. Memang ada
pengarang-pengarang berpendapat bahwa struktur yang didirikan oleh Yesus tidak
bersifat permanen. Hal ini didukung oleh fakta, kata mereka, Yesus berkeyakinan
bahwa dunia akan berakhir dalam waktu yang singkat. Dan lagi, Yesus tidak memimpikan
institusi Gereja yang dimaksudkan untuk berkembang dalam waktu yang lama dalam
sejarah atau Ia tidak memiliki maksud sama sekali untuk mendirikan Gereja.
Tetapi tidak masuk akal untuk mengenakan kepada Yesus kepercayaan yang keliru
tentang akhir dunia yang dekat. Dalam diskursus eskatologis, Yesus mengatakan
bahwa Ia tidak tahu kapan akhir itu akan tiba: seorang pun tidak tahu kecuali
Bapa (bdk. Mrk 13:32). Lebih lanjut, Yesus memaklumkan bahwa Gereja menikmati
perkembangan historis yang lama dan bahwa di tengah hukuman dan penganiayaan
Gereja akan menyebar sampai kepada akhir alam semesta melalui proklamasi Injil
kepada semua bangsa di dunia (bdk. Mrk 13:9-10). Akhir dunia hanya akan datang
setelah evangelisasi universal telah terpenuhi (bdk. Mat 24:14). Perspektif ini
konsisten dengan fakta bahwa grup 11 dipercayakan misi untuk mengajar semua
bangsa (bdk. Mat 28:18-20). Misi ini yang secara eksplisit ditekan akan meluas
ke seluruh dunia (bdk. Mrk 16:15; Luk 24:47; Kis 1:8). Ini berarti bahwa misi itu
membawa masa depan yang begitu mendalam yang para Rasul tak mungkin dapat
membawa itu hanya oleh diri mereka sendiri. Mereka terikat oleh keterbatasan
fisik yang pada saatnya akan hilang (meninggal).
Maka Yesus sadar bahwa Ia
sedang memberikan kepada grup 12 dan para murid misi yang mengharuskan suksesi.
Diberikan keluasan misi ini dalam waktu dan ruang. Yesus ingin agar mereka yang
dipercayakan misi dan kuasa imamat seharusnya diganti oleh banyak yang lain.
Tentulah salah bila melupakan
apa yang khas bagi grup Dua Belas. Mereka adalah saksi-saksi khusus kehidupan
duniawi Yesus, kematian dan kebangkitan-Nya, dan mereka memainkan bagian yang
unik dalam pendirian Gereja. Pengalaman mereka yang begitu khas tak dapat
dibagikan oleh yang lain. Dan lagi ada sesuatu yang menurut maksud Yesus dapat
dan harus berpartisipasi di dalamnya. Inilah misi imamat yang dipercayakan
kepada para Rasul dan kuasa dilekatkan
padanya. Secara khusus mereka tetap memegang untuk selamanya privilese telah
hadir pada Perjamuan Terakhir, telah berpartisipasi dalam Ekaristi pertama, dan
telah mendengar dengan telinga mereka sendiri perintah: “Lakukanlah ini sebagai
kenangan akan daku”. Lagi mereka telah menerima kuasa merayakan Ekaristi dan
mewariskannya kepada yang lain sampai pertumbuhan Gereja di dunia akan
berakhir.
Tidaklah mengherankan bila
Yesus tidak terlalu menekankan suksesi yang ingin didirikan-Nya, Ia mulai
dengan mereka yang dipercayakan otoritas hierarkis. Yesus tidak pernah
bertindak sebagai seorang pribadi yang cemas dengan tugas untuk membuat draf
status-status yuridis berhubungan dengan komunitas yang sedang didirikan-Nya.
Ia hanya memberikan prinsip-prinsip yang akan menuntun perkembangan Gereja-Nya
dan itu kemudian diterjemahkan ke dalam aturan-aturan yang lebih detail. Ia
melakukan apa yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa Ia sedang mempercayakan
kuasa kepada Petrus dan grup Dua Belas. Kepada mereka dan suksesi merekalah Ia
mempercayakan perealisasian cita-cita imamat dan prinsip susunannya.
Pentinglah digarisbawahi bahwa
Yesus menginginkan suatu suksesi yang ditandai oleh kontinuitas historis dengan
diri-Nya dan grup Dua Belas. Kita tidak pernah berpikir tanpa suatu suksesi
misi imamat. Kita tidak boleh mengandaikan bahwa ketika Gereja berkembang pada
suatu hari dalam model karismatis Roh Kudus masuk ke dalam Gereja memberikan
misi imamat yang secara historis tidak memiliki relasi dengan para Rasul yang
pertama. Roh Kudus bekerja secara harmonis dengan institusi imamat karena
secara historis didirikan oleh Yesus. Ia mencurahkan kuasa imamat hanya melalui
suatu rantai suksesi historis dan para Rasul menjadi simpul pertama.
BAB III
PERKEMBANGAN
IMAMAT PELAYANAN
DALAM
KOMUNITAS-KOMUNITAS KRISTIANI AWAL
Kita telah melihat maksud
Yesus tentang imamat pelayanan yang berstruktur. Kepenuhan imamat pelayanan
dibagikan kepada grup Dua Belas, tetapi menurut suatu rencana: di satu sisi,
Petrus menerima kuasa sebagai kepala seluruh Gereja, dan di sisi lain, para
Rasul diberikan banyak rekan kerja dengan misi yang sama. Kita masih memerlukan
pemahaman yang lebih akurat tentang perkembangan imamat pelayanan dalam sejarah
awal Gereja.
Sehubungan dengan perkembangan
ini, hanya sedikit informasi yang tersedia, baik karena tidak ada
sumber-sumber, maupun karena sumber-sumber yang tersedia memberikan
indikasi-indikasi yang terlalu singkat dan sulit diinterpretasi. Hal ini tidak
menguntungkan untuk menyusun sejarah tentang pelayanan dan perkembangan
strukturalnya dalam komunitas awal. Kita akan mencoba menjernihkan dan
memberikan beberapa ciri dasar yang menandai perkembangan ini.
1.
Para Rasul Pada Awal Gereja
Ketika
pelayanan mulai berkembang, ada satu fakta yang menonjol, yakni bahwa pada awal
Gereja, para Rasul menempati posisi yang dominan.
1.1
Kedua Belas Rasul
Pentingnya grup 12 dalam
komunitas awal didukung oleh fakta bahwa seorang Rasul dipilih untuk
menggantikan tempat Yudas. Menurut kata-kata yang diucapkan pada saat pemilihan
itu oleh Petrus yang bertindak sebagai kepala tertinggi, pemilihan ini
merupakan imperatif karena begitulah rencana Allah tertera dalam Kitab Suci.
Kehendak Allah dipertaruhkan. Petrus mengetahui bahwa Yesus bermaksud untuk
mendirikan Israel baru melalui perantaraan grup Dua Belas. Kemudian setelah
kematian Rasul Yakobus tahun 44 M, tak disebutkan penggantian-penggantian. Mengapa?
Karena Pentekosta sedang datang, persekutuan tidak akan kekurangan
anggota-anggotanya.
Petrus melukiskan peranan grup
Dua Belas dengan menyebut mereka sebagai saksi-saksi kebangkitan (Kis 1:22).
Frase ini tidak bermaksud bahwa Kebangkitan adalah hanya obyek kesaksian mereka, tetapi juga mengalami
kebangkitan Kristus. Karena itu juga orang yang mengambil tempat Yudas harus
dipilih dari antara mereka yang telah menemani Kristus “mulai dari waktu ketika
Yohanes sedang membaptis”, yakni di antara saksi-saksi mata kehidupan publik
Yesus. Pengganti Yudas harus termasuk grup yang telah dipercayakan misteri
Kerajaan Allah. Maka, grup 12 ialah mereka yang telah mengumpulkan revelasi
yang dinyatakan oleh kata-kata dan perbuatan-perbuatan Yesus, dan mereka yang memahami
itu secara mendalam. “Saksi” bukanlah pengamat peristiwa-peristiwa Yesus,
karena para murid telah dipisahkan dari outsider,
penonton.
Penjaringan-penjaringan untuk
memilih salah satu dari dua kandidat yang dihadiri oleh orang banyak sangat
signifikan. Itu berarti persekutuan menginginkan bahwa pilihan seharusnya
menjadi milik Allah sendiri sama seperti pilihan kelompok Dua Belas, yang
secara eksplisit dipilih oleh Yesus. Sehubungan dengan ini, kita dapat menyimpulkan
bahwa struktur imamat yang didirikan selama kehidupan publik Yesus merupakan keprihatinan
dominan dalam perkumpulan jemaat yang sedang menantikan Pentekosta.
1.2
Relevansi Imamat Pentekosta
Pentekosta merupakan peristiwa
yang secara formal Roh Kudus membentuk Gereja. Gereja dibentuk dalam
keseluruhannya dan dianugerahi kesatuan, tetapi juga masing-masing individu
dilengkapi dengan karunia-karunia. Karunia yang dicurahkan tidak identik untuk
setiap orang: karunia itu disesuaikan dengan peranan yang dimainkan dalam
pembangunan Gereja. Roh Kudus mengisi dengan kuasa-Nya sendiri dan kehidupan
komunitas yang berstruktur dan berbeda seperti yang telah diinginkan dan
didirikan oleh Yesus.
Karena itu sekarang kita dapat
menjernihkan relevansi Pentekosta untuk imamat dan menjawab pertanyaan para
teolog yang bertanya tentang imamat para Rasul: Apakah membentuk kelompok Dua
Belas ekuivalen dengan tahbisan imamat?
Pada Pentekosta para Rasul
menerima Roh Kudus yang memungkinkan mereka membawa misi Kristus. Kita dapat
mengatakan bahwa Roh Kudus menghasilkan di dalam mereka efek yang ekuivalen
dengan tahbisan. Dalam hal ini, Pentekosta dapat dilihat, dari sudut pandang
grup Dua Belas, sebagai pemberian tahbisan imamat pertama di dalam Gereja.
Pentekosta berarti juga bahwa sekarang imamat umum kaum beriman didirikan,
imamat yang juga hasil pencurahan Roh Kudus.
Dengan memperhatikan secara
khusus kelompok Dua Belas, pentinglah menggarisbawahi bahwa tahbisan mereka terjadi
tanpa pengucapan kata-kata dan pelaksanaan gerak-gerik. Roh Kudus diberikan
sebagai hasil dari kata-kata dan perbuatan Yesus. Yesus telah melukiskan misi
dan kuasa grup Dua Belas. Dalam doa imamat, Ia telah meminta kepada Bapa agar
mereka dikonsekrasikan: “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran” (Yoh 17:17).
Bahkan penumpangan tangan yang merupakan bagian dari ritus tahbisan, tampak
dalam gerak-gerik akhir Yesus. Sebelum naik ke Surga, Ia mengangkat tangan-Nya
atas para Rasul untuk memberkati mereka, setelah menjanjikan mereka kuasa dari
surga melalui karunia Roh Kudus (bdk. Luk 24:48-50).
Maka, ada ekuivalensi dengan
tahbisan imamat untuk grup Dua Belas: penugasan misi, pemberian kuasa-kuasa,
doa-doa dan penumpangan tangan untuk memohon karunia Roh Kudus. Sehubungan
dengan ekuivalensi tahbisan ini, kita seharusnya mengenal di sana awal menuju
tahbisan dan model sempurna tahbisan. Kristus mengucapkan kata-kata manusia,
memperagakan gerak-gerik manusiawi, dan Roh Kudus menjawab doa-Nya dengan
efektivitas yang mengagumkan. Dalam hal ini, Pentekosta seharusnya dilihat
sebagai prototipe tahbisan imamat.
Relevansi imamat Pentekosta
dikuatkan oleh fakta lain: para Rasul memulai pelayanan mereka hanya setelah
Pentekosta. Sambil mengikuti petunjuk Yesus, mereka menantikan karunia Roh
Kudus sebelum menjalankan misi evangelisasi dan sebelum merayakan pemecahan
roti.
1.3
Pelayanan Para Rasul
Pada awal para Rasul muncul
sebagai orang-orang yang dicurahi kuasa tertinggi. Mereka melaksanakan otoritas
ini dalam semangat persekutuan dengan kumpulan Kristen. Grup Dua Belas
memanggil perkumpulan untuk memecahkan masalah yang disebabkan oleh pelayanan
di antara orang-orang Helenis. Sebagai solusi, mereka menganjurkan pemilihan
tujuh pelayan baru. Kumpulan setuju dan memilih calon-calon. Tujuh pelayan
kemudian dihadirkan di hadapan para Rasul, dan mereka menumpangkan tangan atas
7 pelayan baru itu. Dengan demikian mereka menerima otoritas atas komunitas
termasuk kuasa kultus, dan khususnya kuasa menahbiskan pelayan-pelayan. Kuasa
kultus lain dilaksanakan oleh Petrus dan Yohanes: kuasa untuk menumpangkan tangan
atas orang yang dibaptis untuk membagikan rahmat Roh Kudus (bdk. Kis 8:14-17).
Otoritas kelompok 12 juga
disaksikan oleh fakta mereka yang memiliki posisi dalam komunitas mereka,
“menghadirkan” mereka kepada para Rasul (bdk. Kis 4:35-37; 5:2). Setelah pertobatannya,
Paulus juga dipresentasikan kepada para Rasul. Untuk menghindari bahaya ia
dikucilkan dari komunitas, maka diambil otoritas para Rasul (bdk. Kis 9:26-28).
Para Rasul memimpin Konsili di Yerusalem (bdk. Kis 15:2).
Aktivitas yang lebih khusus disebutkan
oleh Lukas dalam hubungan dengan para Rasul ialah berkotbah: proklamasi kabar
gembira kepada umat (bdk. Kis 2:14-46; 3:12-16; 4:2, 33; 5:20-21), mengajar
dalam komunitas (bdk. Kis 2:42), memberikan kesaksian di hadapan Sanhedrin
(bdk. Kis 4:5-31; 5:27-41). Seperti kotbah Yesus sendiri, kotbah ini juga
disertai oleh tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat (bdk. Kis 2:14-21,43;
3:1-11,16; 4:8-12; dst.).
Grup Dua Belas menyertakan
sesuatu yang penting dalam misi evangelisasi mereka: ketika memilih para pelayan
untuk pendistribusian makanan, mereka mengatakan bahwa mereka tidak boleh
mengabaikan Sabda Allah (bdk. Kis 6:2). Doa berdampingan dengan pelayanan
Sabda: “Kami terus-menerus mengabdikan diri kepada doa dan pelayanan Sabda”
(bdk. Kis 6:4). Mereka melihat diri mereka bertanggung jawab untuk memajukan
doa dalam komunitas.
Di antara dua belas Rasul,
Petrus memainkan peranan utama. Dialah yang pertama berkotbah pada Pentekosta
dan berbicara atas nama dua belas Rasul (bdk. Kis 2:13-17; 5:29). Dialah yang
membuat keputusan untuk mengakui pembaptisan orang-orang kafir (bdk. Kis
10:48). Pada Konsili Yerusalem, posisinya diterima bahwa Gereja harus
membukakan pintunya kepada orang-orang Kafir, dan ucapannya diterima dalam
keheningan yang hikmat (bdk. Kis 15:7-12).
Meskipun pada awal Gereja,
grup 12 memainkan peranan otoritatif di Yerusalem, tak ada teritorial tertentu
bagi mereka, tak ada satu Gereja khusus. Mereka bertugas bagi Gereja universal.
Di Yerusalem, satu otoritas lokal tampaknya hanya berpindah kepada Yakobus,
Saudara Tuhan, dan ia tidak termasuk grup Dua Belas (bdk. Kis 12:17; 21:8). Karena
itu, kita tidak harus kembali ke belakang dengan mengenakan kepada kelompok Dua
Belas otoritas episkopal yang kemudian berlaku di mana-mana, yakni otoritas yang
dikaitkan dengan komunitas tertentu. Kita mengetahui bahwa Petrus mengadakan
berbagai perjalanan dan di mana-mana ia dipandang sebagai kepala Gereja.
Kelompok Dua Belas juga dipercayakan dengan otoritas universal bukan terbatas
pada tempat tertentu.
1.4
Perluasan Gelar “Rasul”
Rupanya gelar rasul dengan
segera diperluas kepada yang lain di samping kelompok Dua Belas. Dalam surat
kepada jemaat di Galatia, Paulus menyebut kunjungannya ke Yerusalem tiga hari
setelah pertobatannya. Dalam hubungan ini, ia memberikan gelar rasul kepada
Yakobus, Saudara Tuhan. “Aku tidak melihat rasul-rasul lain, aku hanya melihat
Yakobus, Saudara Tuhan” (Gal 1:19). Beberapa orang telah mencoba
mengidentifikasi Yakobus ini dengan Putra Alfeus, salah satu dari dua belas
Rasul, tetapi identifikasi ini tidak lagi diterima. Tidak ada saudara Tuhan di
antara dua belas Rasul.
Gelar yang diberikan kepada
Yakobus menunjukkan bahwa ia melaksanakan otoritas dari tingkatan yang sama
dengan grup Dua Belas. Pada perjalanan berikutnya, Paulus menyebut Yakobus,
Kefas dan Yohanes sebagai soko guru atau pilar jemaat (bdk. Gal 2:9). Ini mau
mengatakan bahwa jika Yakobus disebut rasul, itu karena otoritasnya. Ia
terkemuka karena senioritasnya, dan tak ada keraguan ia telah mengenal Yesus,
dan salah satu dari mereka yang menantikan kedatangan Roh Kudus pada
Pentekosta. Tambahan lagi, ia dipandang sebagai salah satu pemimpin Gereja.
Gelar rasul ini mengalami
perluasan dalam komunitas Yahudi Kristen. Perluasan yang lain terjadi di antara
orang-orang Helenis. Barnabas dan Paulus akan juga disebut rasul. Lukas memberi
gelar ini kepada mereka setelah mengisahkan bagaimana mereka menerima
penumpangan tangan di Antiokia (bdk. Kis 13:1-3; 14:4,14).
Apakah penumpangan tangan itu
ditafsirkan sebagai tahbisan? Sejak Barnabas dan Paulus memainkan peranan
memimpin di Gereja Antiokia, tampak aneh bahwa mereka masih harus perlu
ditahbiskan untuk menjalankan misi mereka. Bagi Paulus kebutuhan ini lebih
mengherankan lagi, karena dalam surat-suratnya ia memandang dirinya sebagai
seorang rasul atas kekuatan panggilan khusus oleh Kristus yang telah
mentobatkannya dalam perjalanan menuju Damaskus. Karena alasan-alasan ini
beberapa komentator berpendapat bahwa penumpangan tangan menjadi bukan suatu
gerakan yang dimaksudkan untuk memberikan kuasa, tetapi suatu jabatan atau
penghargaan semata dari panggilan yang dialamatkan kepada mereka oleh Roh
Kudus.
Namun puasa dan doa yang
mendahului penumpangan tangan merupakan ciri khas ritus tahbisan. Tujuan yang
hendak dicapai ialah “untuk memisahkan”, untuk menguduskan Barnabas dan Paulus
bagi misi pendirian komunitas-komunitas Kristen di antara orang-orang kafir.
Maka sangat mungkin bahwa mereka ditahbiskan untuk suatu misi yang amat mulia
dalam Gereja, misi yang dihubungkan dengan gelar rasul.
Setelah penumpangan tangan,
Lukas menyebut Barnabas dan Paulus sebagai rasul, yang menjamin ritus ini.
Tambahan, ia memberi nama Paulus kepada orang yang tak lama sebelumnya, ia
panggil Saulus. Melalui konsekrasi Paulus diberi personalitas baru. Nama baru
memberikan direksi ke arah mana misinya, yakni kepada dunia Yunani.
Dari Yesus yang telah
dianiayanya, Saulus menerima panggilan langsung kepada pertobatan dan misi.
Dalam hal ini dia adalah seorang rasul atas dasar kekuatan kehendak eksplisit Kristus.
Akan tetapi kerasulan ini harus disertai oleh penahbisan dari pihak Gereja.
Melalui penumpangan tangan, ia menerima karunia Roh Kudus dan dipercayakan misi
sebagai rasul di antara orang-orang kafir, suatu misi yang meminta secara
khusus pemilihan para presbiter dalam komunitas-komunitas baru (Kis 14:23).
Penumpangan tangan ini
dilakukan oleh para nabi dan guru. Ritus ini bagaikan pemberian karisma, karena
Lukas mengatakan bahwa inspirasi, yang mengkhususkan Barnabas dan Paulus, telah
menjadi nabi dan guru dari Roh Kudus. Dan lagi, inspirasi ini terjadi selama
perayaan liturgis. Selanjutnya mereka memainkan peranan kultus yang esensial.
Mereka adalah tipe para nabi-liturgis yang disebutkan dalam Didache (15:1-2), di mana mereka juga
dihubungkan dengan “imam agung” (13:3). Menurut 1Kor 12:28, “Allah telah
menetapkan beberapa orang dalam jemaat: pertama sebagai rasul, kedua sebagai
nabi, ketiga pengajar”. Para nabi pada tempat kedua, seperti dalam Efesus
(4:11). Dalam komunitas Antiokia, para nabi adalah kepala komunitas; mereka
dicurahi dengan kepenuhan kuasa imamat. Kepenuhan inilah yang mereka bagikan
kepada Barnabas dan Paulus melalui penumpangan tangan untuk misi yang lebih
luas.
Gelar rasul mengharuskan suatu
makna yang lebih luas dalam penggunaan Paulus dalam surat-suratnya. Sambil
mendaftarkan penampakan-penampakan Kristus yang bangkit, ia mencatat penampakan
kepada grup Dua Belas, lalu kepada Yakobus, dan kemudian kepada semua rasul
(1Kor 15:7). Gelar rasul kemudian diklaim oleh “saudara-saudara yang lebih tua”
atau para presbiter komunitas Yerusalem, semua mereka yang telah menyaksikan
kebangkitan Yesus. Dalam 2Kor 8:23 Paulus berbicara tentang “saudara-saudara
kita, para rasul dari Gereja-gereja”.
Kesimpulan yang mengikutinya
ialah bahwa ketika Gereja berkembang, fungsi apostel tidak lagi secara ketat
dikenakan kepada grup Dua Belas. Gelar itu dikenakan baik kepada mereka yang
telah menerima misi untuk berevangelisasi dari Yesus maupun kepada mereka yang
bertindak sebagai misionaris penjelajah demi perluasan Gereja. Kasus Barnabas
dan Paulus menunjukkan bahwa penumpangan tangan berarti membagikan kepada para
misionaris konsekrasi dan karunia Roh Kudus untuk misi yang mereka laksanakan.
2.
Imamat Pelayanan
2.1
Tahbisan Kelompok Tujuh
Penahbisan kelompok Tujuh yang
dikisahkan dalam Kis 6:1-6 merupakan tahbisan pertama yang dilaporkan dalam
kehidupan Gereja. Dasar laporan ini ialah tradisi panjang yang berpendapat
bahwa tahbisan ini menandakan awal diakonat sebagai institusi. Jadi, kelompok
Tujuh diidentifikasi sebagai diakon-diakon pertama. Tetapi arah interpretasi
lain dengan mengacu kepada Yohanes Krisostomus, menolak identifikasi itu. Kita
dapat memahami dengan baik bagaimana diakonia
dan diakonein, istilah-istilah yang
digunakan dalam kisah, menghantar para pembaca untuk percaya bahwa kisah itu
berhubungan dengan pemilihan diakon. Sementara istilah-istilah ini mengacu
kepada “pelayanan harian” dan pendistribusian makanan, tidak ada di sini
istilah teknis yang menunjuk kepada fungsi diakon. Lukas, yang secara eksplisit
mencatat dalam Injilnya bahwa grup Dua Belas dinamai para Rasul (bdk. 6:13)
tidak berani mempresentasikan kelompok Tujuh sebagai diakon. Eksegese sekarang
segan menginterpretasikan diakon teks ini.
Untuk dapat menentukan apa
arti pemilihan ini, kita harus memahami secara persis apa yang dimaksud dengan
pendistribusian makanan/pelayanan harian. Pelayanan ini telah dilihat sebagai
model pelayanan kepada orang miskin, tetapi ada banyak indikasi yang
menyeimbangi interpretasi ini. Karena bagi orang Yahudi jalan untuk membantu
orang miskin adalah memberikan mereka upah mingguan untuk membayar empat belas
kali makan, apa yang termasuk dalam pelayanan harian mungkin lebih baik menjadi
uang sokongan daripada distribusi makanan. Di samping itu kita diberi tahu
bahwa tiga orang cukup untuk menjalankan tugas ini untuk seluruh kota
Yerusalem. Jika demikian, pemilihan tujuh orang Helenis untuk menjalankan
pelayanan ini untuk suatu minoritas dalam kota tampak seperti sesuatu yang
berlebihan. Tetapi pantas dicatat bahwa sebagian besar keseluruhan komunitas
Kristen itu dipanggil dalam pemilihan itu dan dilaksanakan seremoni penumpangan
tangan. Ini berbeda jika menyangkut masalah yang hendak dikoreksi dalam
komunitas. Ketika janda-janda Helenis mengeluh bahwa ada diskriminasi dan
pengabaian dalam tugas yang dijalankan, situasi dapat dikoreksi tanpa memanggil
perkumpulan umum para Rasul.
Di samping itu, mengapa
dimohonkan kepada orang-orang itu “dipenuhi dengan Roh Kudus dan kebijaksanaan”
jikalau tugas mereka hanya memberikan makanan kepada orang miskin? Dalam
waktu-waktu kemudian, baik Tradisi dalam Gereja Yerusalem maupun Tradisi di
mana saja, kita sungguh tidak menemukan bukti praktek tersebut. Seperti untuk
kelompok Tujuh, kita lihat bahwa Stefanus membaktikan dirinya secara intensif
untuk berkotbah, dan Filipus mengadakan perjalanan-perjalanan untuk
memberitakan khabar gembira. Apakah mereka telah dipilih untuk melayani orang
miskin, kita hampir tidak dapat mengerti mengapa mereka mengambil direksi ini
ketika mereka berangkat untuk melakukan tugas mereka. Catatan khusus bahwa
Stefanus adalah seorang Ahli Kitab Suci dan ditugaskan untuk menyelami
refleksi-refleksi doktrinal. Ia juga memperlihatkan “mukjizat-mukjizat dan
tanda-tanda besar” (Kis 6:8). Ini menganjurkan bahwa ketika para Rasul
menumpangkan tangan atas mereka, mereka tidak hanya dipercayakan tugas untuk
melayani orang miskin. Catatan juga bahwa kita gagal menemukan referensi
kemudian aktivitas karitatif yang menurut kata orang dipercayakan kepada kelompok
Tujuh. Sebaliknya, kita menemukan lukisan tentang usaha-usaha evangelisasi yang
dijalankan oleh Stefanus, kemudian oleh Filipus, tepat setelah tahbisan.
Maka benar melihat dalam arah
lain interpretasi ungkapan “memberikan makanan”, yang arti harfiahnya “melayani
meja” dalam Kis 6:2. Frase ini telah ditafsirkan dengan buru-buru dalam makna
sosial, sementara konteks menginginkan arti religius. Bahkan istilah
“janda-janda” terlalu cepat telah diandaikan wanita-wanita yang memiliki
kebutuhan mendesak. Seperti dalam 1Tim 5:5, “janda-janda” mengacu kepada
wanita-wanita yang mengabdikan diri mereka kepada hidup bakti dan membaktikan
diri kepada hidup doa.
Frase “pelayanan sehari-hari”
dalam Kis 6:1 dapat diklarifikasi dengan bantuan teks terdahulu yang di dalamnya
Lukas melukiskan komunitas pertama: “Mereka bertekun dalam pengajaran
rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan
roti dan berdoa” (Kis 2:42). Di satu sisi, mereka mengunjungi Bait Allah untuk
berdoa bersama dan tetap setia pada pengajaran para Rasul, di sisi lain mereka
mengambil makanan di rumah masing-masing dan merayakan Ekaristi, termasuk
proklamasi berita gembira (Kis 5:42). Jikalau makanan ini telah menjadi
makanan, hal itu hampir tak mungkin disebut. Pemecahan roti, makanan yang
dibagikan dengan suka cita (Kis 16:34), dan kesederhanaan hati menganjurkan
makanan ucapan syukur ditemani oleh Ekaristi.
Ketika jumlah orang-orang
beriman bertumbuh semakin besar, pelayanan sehari-hari pada meja-meja di
rumah-rumah menimbulkan masalah: para Rasul tidak lagi hadir di mana-mana untuk
menjamin pelayanan ekaristis. Keluhan datang dari “janda-janda”, yaitu, mungkin
dari para wanita yang menganut hidup bakti. Mereka dihubungkan secara erat
dengan pelayanan ini dan berperan aktif dalam persiapan perjamuan. Mereka
Helenis dan berbicara bahasa Yunani. Mereka mengeluh diabaikan oleh orang-orang
Yahudi yang berbicara bahasa Aram. Untuk pertama kalinya, di sini tampak
masalah bahasa liturgis: orang-orang Kristen berbahasa Yunani merasa dilupakan
dalam perjamuan Ekaristi berbahasa Aram.
Situasi-situasi menjelaskan
mengapa para Rasul memanggil komunitas. Mereka bermaksud membuat pengumuman
tentang keputusan yang telah mereka ambil untuk memulihkan kekurangan para
pelayan: “Kami tidak puas, karena kami melalaikan Firman Allah untuk melayani
meja”. Para Rasul harus mengejar misi evangelisasi mereka; mereka harus
“memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman” secara khusus di Bait Allah
(Kis 6:2, 4). Mereka tidak mengizinkan diri mereka sendiri dimonopoli oleh
pelayanan banyak perjamuan Ekaristi di rumah-rumah pribadi. Di samping itu
mereka setuju bahwa komunitas Helenis harus memiliki pelayan-pelayan sendiri
demi otonomi yang lebih besar.
Maka jelaslah, institusi
kelompok Tujuh bukan semata-mata pemilihan administratif atau hanya delegasi
wewenang. Perkumpulan menghadirkan kandidat yang memiliki
kualifikasi-kualifikasi yang diperlukan, tetapi rasullah yang “membentuk”
mereka dalam fungsi-fungsi baru mereka: “Kami akan menyerahkan kewajiban ini
kepada mereka”. Grup Tujuh tidak bertindak sebagai delegasi-delegasi komunitas.
Ritus institusi yang dilaksanakan oleh para Rasul terdiri dari sebuah doa yang
diikuti oleh penumpangan tangan. Doa umum memohon aksi Roh Kudus dan
penumpangan tangan melambangkan pembagian kuasa suci yang diberikan oleh
gerakan ini dalam tradisi Yahudi (bdk. Bil 27:18 dst; Ul 34:9).
Karena itu, bagaimana kita
melukiskan kelompok tujuh? Lukas abstain untuk memberikan mereka gelar, yang
berarti bahwa tak ada gelar diberikan kepada mereka pada saat institusi.
Institusi baru dan tak ada nama. Kisah menunjukkan bahwa grup 7 diberikan kuasa
oleh para Rasul untuk memimpin pelayanan meja, yakni perjamuan yang ditutup
dengan Ekaristi. Kuasa ini diperluas kepada proklamasi berita gembira,
proklamasi yang, seperti dicatat secara eksplisit oleh Lukas, terjadi
sehari-hari baik di rumah-rumah pribadi maupun di Bait Allah (bdk. Kis 5:42).
Maka kita mungkin menjelaskan bagaimana beberapa calon dipilih, Stefanus dan
Filipus sebagai contoh: mereka adalah pengkotbah-pengkotbah yang baik. Itulah
sebabnya, mereka kemudian membaktikan diri untuk berevangelisasi.
P. Gaechter berpendapat bahwa
institusi itu mewakili konsekrasi episkopal pertama. Grup 7 ia percayai adalah
para uskup yang dicurahi dengan semua kuasa untuk mengatur. Benar, kuasa imamat
yang diberikan kepada mereka sangat ekstensif karena mereka ditugaskan pada
komunitas Helenis. Tetapi di sini bersifat anakronistis berbicara tentang
institusi para uskup, karena fungsi episkopal belum dibedakan dari fungsi para
presbiter sebagaimana terjadi kemudian. Di sisi lain, kita tidak dapat juga
mengatakan bahwa menurut indikasi yang diberikan oleh kisah, grup 7 secara
sederhana diangkat ke tingkat para Rasul. Ketika Filipus mengevangelisasi
Samaria, para Rasul mengirim Petrus dan Yohanes untuk mencurahkan Roh Kudus
kepada mereka yang dibaptis (bdk. Kis 8:14-15). Di samping itu grup Dua Belas
ingin melanjutkan pembaktian diri kepada pelayanan Sabda dan doa, khususnya di
Bait Allah. Ini berarti bahwa mereka bermaksud memelihara tingkatan agung dalam
misi evangelisasi dan dalam peribadatan. Apa yang mereka ingin bagikan kepada
grup Tujuh adalah kuasa untuk memimpin meja ekaristis, dengan segala sesuatu
yang melekat dengan pelayanan ini, yakni proklamasi Sabda dan kepemimpinan
komunitas yang dikumpulkan.
Maka tampak bahwa tingkatan
grup Tujuh seharusnya dilihat sebagai tingkatan presbiter. Tetapi harus tinggal
dalam ingatan kita bahwa pada awal istilah “presbyter”
digunakan tanpa arti yang persis. Benar, bahwa grup Tujuh tidak dinamai presbyter. Lebih baik dikatakan bahwa
gelar ini tidak cocok untuk mereka, karena mereka milik komunitas Helenis.
Indikasi-indikasi tertentu membawa kita untuk percaya bahwa mereka kemudian
ditempatkan pada level yang sama kurang lebih seperti presbiter. Pada Konsili
Yerusalem, grup 7 tidak disebut, hanya para Rasul dan presbiter (bdk. Kis
15:4,6,23). Para presbiter Yerusalem jugalah yang menerima sumbangan-sumbangan
yang ditujukan kepada mereka melalui Barnabas dan Paulus (bdk. Kis 11:30).
Jikalau presbiter adalah hanya otoritas-otoritas yang disebutkan terlepas dari
para Rasul, maka grup itu termasuk di antara anggota-anggota dari mereka yang
masih tertinggal dari grup Tujuh yang telah ditahbiskan.
Dari uraian di atas kita dapat
menarik beberapa kesimpulan: 1) para Rasul mengetahui bahwa mereka diberi kuasa
untuk membagikan kepada yang lain tugas imamat yang telah mereka terima dari
Kristus. Segera setelah situasi menuntut, mereka juga berbuat demikian. 2)
Untuk pelayanan meja, yaitu Ekaristi, tidaklah cukup penunjukan komunitas
tugas-tugas kepemimpinan. Diperlukan tahbisan. Sejak awal tahbisan ini
mengikuti apa yang selanjutnya menjadi ritus dasar tahbisan imamat, yaitu doa
dan penumpangan tangan. 3) Peranan komunitas adalah menemukan orang-orang yang
cocok untuk pelayanan ini. Baik jemaat maupun para Rasul tidak dikatakan
memanggil para kandidat. Komunitas mempresentasikan mereka yang dikenal
memiliki kepantasan spiritual, pribadi-pribadi yang “dipenuhi dengan Roh Kudus
dan kebijaksanaan”. Persiapan esensial atau bakat/kecerdasan untuk pelayanan
ialah tindakan Allah. Ini berarti bahwa panggilan berasal dari Allah. Kita
dipanggil untuk mendeteksi panggilan itu dalam mereka yang menerimanya.
2.2
Asal-usul Presbiter
Apakah ada para presbiter di
Yerusalem sebelum tahbisan grup Tujuh? Tampaknya demikian, karena
keluhan-keluhan orang Helenis diarahkan kepada orang-orang Yahudi. Maka mungkin
ada di Yerusalem pelayan-pelayan Yahudi yang tunduk kepada para Rasul. Mereka
menjamin pelayanan meja-meja, pelayanan ekaristis di rumah-rumah. Para
presbiter yang kemudian disebut pada Konsili Yerusalem di samping (setelah)
para Rasul telah menjadi rekan kerja para Rasul sejak awal. Normallah bahwa
untuk menjamin perayaan Ekaristi, grup Dua Belas dibantu oleh para presbiter.
Bagaimana para presbiter ini
telah dipilih untuk tugas mereka? Tak tersedia informasi yang dapat dipercayai
untuk menjawab pertanyaan ini. Sangat mungkin para presbiter pertama adalah
orang-orang yang telah mengikuti Yesus dan secara khusus para murid, yang
seperti para Rasul, telah diutus demi suatu misi selama pelayanan publik Yesus.
Seandainya misi yang diberikan kepada grup Dua Belas selama kehidupan duniawi
Yesus adalah awal misi mereka dalam Gereja, yang sama haruslah benar mengenai
misi yang diberikan kepada ketujuh puluh dua murid. Dari grup inilah seorang
rasul dipilih untuk mengganti Yudas. Para anggotanya tanpa diragukan lagi
dilihat sebagai panggilan definitif oleh Yesus. Mereka ditugaskan untuk
pelayanan Gereja dan memiliki misi yang sama dengan para Rasul, tetapi mereka
tidak memiliki otoritas tertinggi seperti yang dimiliki para Rasul.
Karena panggilan ini mereka
tak perlu dipilih secara khusus oleh para Rasul, karena Yesus secara personal
telah mempercayakan tugas kepada mereka. Untuk menjalankan tugas ini mereka
menerima karunia Roh Kudus pada Pentekosta. Bagi mereka, seperti juga bagi para
Rasul, tetapi dalam suatu tingkatan yang lebih kurang, karunia Roh Kudus
ekuivalen dengan tahbisan imamat.
Apakah mereka memegang gelar
presbiter sejak awal? Tentang hal ini kita memiliki keraguan, karena dalam
kisahnya tentang tahbisan grup Tujuh, Lukas hanya berbicara tentang orang-orang
Yahudi. Sangat mungkin mereka dihubungkan sebagai saudara-saudara. “Seratus dua
puluh saudara” yang berkumpul untuk memilih pengganti Yudas (Kis 1:15) tampak
menjadi orang-orang yang telah mengikuti Yesus, telah mengabdikan diri untuk
tugas-Nya dan telah melaksanakan suatu takaran otoritas di bawah direksi para
Rasul. Di waktu kemudian istilah “saudara” ini dikenakan kepada mereka yang
membantu para Rasul dalam misi mereka. Kita memilik “para Rasul dan para
saudara di Yudea” (Kis 11:1), lalu “Yakobus dan para saudara” yang diberi tahu
bahwa Petrus telah dibebaskan dari penjara (Kis 12:17), dan “saudara-saudara”
yang menerima dengan hangat Paulus pada kedatangannya di Yerusalem (Kis 21:17).
Pada saat Konsili Yerusalem
berjalan para saudara ini disebut “penatua-penatua” yang secara harfiah berarti
“yang senior” atau “lebih tua” (Kis 15:23). Telah dikatakan bahwa gelar “yang
dituakan” atau “presbiter” diadopsi setelah tahbisan kelompok tujuh oleh
orang-orang yang dimaksudkan untuk menekankan senioritas mereka dalam
pelayanan, yakni senioritas yang dibawa kepada hari-hari pelayanan Yesus sendiri.
Mereka yang telah dipanggil oleh Kristus mengklaim privilese mereka sebagai
“penatua” atas mereka yang baru saja ditahbiskan.
Akan tetapi perlu dicatat
bahwa yang baru ditahbiskan dan yang ditahbiskan lebih dulu tidak berbeda dalam
otoritas, hanya dalam asal. Grup 7 yang bertugas di komunitas Helenis menerima
dari para Rasul dengan penumpangan tangan kuasa pelayanan yang telah
dilaksanakan oleh mereka yang telah sedang melayani orang-orang Yahudi.
Berikutnya, ketika gelar presbiter diterapkan kepada pelayanan ini, hal itu
menunjuk pada fungsi, yang adalah alasan mengapa itu dapat diperluas kepada
orang yang menerima penumpangan tangan.
Para presbiter yang telah
dibentuk secara tetap dalam komunitas-komunitas baru muncul dari karya
evangelisasi. Selama misi yang mengikuti tahbisan mereka, Paulus dan Barnabas
“dalam setiap jemaat ini...dipilih para penatua” (Kis 14:23). Kata yang
digunakan untuk menunjuk “pilihan” ini kemudian akan menjadi istilah teknis
untuk tahbisan. Titus juga diberi tugas untuk “memilih para penatua di setiap
kota” (Tit 1:5).
Dalam surat pertama kepada
Timotius akses kepada pelayanan secara eksplisit dikaitkan dengan penumpangan
tangan: “Janganlah lalai dalam mempergunakan karunia yang ada padamu, yang
telah diberikan kepadamu oleh nubuat dan dengan penumpangan tangan sidang
penatua” (4:14). Menurut surat kedua kepada Timotius, Pauluslah yang
menumpangkan tangan: “Karena itulah kuperingatkan engkau untuk mengobarkan
karunia Allah yang ada padamu oleh penumpangan tanganku atasmu” (1:6). Pada
pandangan pertama tampak ada dua ritus yang berbeda, tetapi sebenarnya satu dan
sama entah dilaksanakan oleh para Rasul ataupun oleh kumpulan presbiter. Dalam 1 Tim 4:14 tekanan diletakkan pada kolegialitas para presbiter untuk
mengingatkan Timotius akan tanggung jawabnya di hadapan seluruh Gereja dan
menasihatinya agar memiliki kemajuan yang akan terbukti pada setiap orang.
Dalam 2 Tim 1:6 tekanan jatuh pada hubungan pribadi antara Timotius dan
Paulus, nilai yang telah dinaikkan dengan tahbisan, dan yang harus diikat dalam
kesatuan roh.
Kedua teks memberikan petunjuk
yang persis tentang fakta bahwa pelayanan merupakan karisma Allah yang
diberikan melalui penumpangan tangan. Dalam hal Timotius penumpangan tangan
dilaksanakan baik oleh Rasul maupun kumpulan presbiteral. Catatan khusus bahwa
istilah “karisma”, yang digunakan untuk menunjuk kuasa pelayanan Timotius,
tidak mengecualikan pembagian ritual kuasa tersebut melalui tahbisan. Dengan
demikian, karisma dan tahbisan tidak harus diperlawankan satu dengan yang lain.
Jadi, pemberian karisma dihubungkan dengan suatu institusi ritual.
2.3
Fungsi-Fungsi Para Pelayan
a)
Fungsi gembala
Para presbiter menjalankan otoritas dalam
Gereja-gereja lokal (bdk. Kis 11:30; 20:28-36). Secara lebih tepat mereka
lakukan ini sebagai gembala. Kepada para presbiter di Efesus Paulus membuat
rekomendasi ini: “Jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah
yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik [uskup] untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya
sendiri” (Kis 20:28). Perhatikanlah universalisme misi pastoral ini: jemaat
Allah diperoleh Yesus dengan darah-Nya sendiri. Gereja universal dimaksudkan
bukan hanya suatu komunitas lokal. Mereka ditentukan untuk melayani komunitas
Efesus, tetapi peranan pastoral mereka meluas kepada seluruh Gereja.
Peranan universal yang
digabungkan dengan penugasan kepada tempat tertentu disaksikan juga oleh
peranan yang ditunjukkan oleh para presbiter pada Konsili Yerusalem. Konsili
membuat keputusan yang valid untuk seluruh Gereja. Presbiter disebutkan sebagai
otoritas di samping para Rasul (bdk. 15:2, 4, 22, 23).
Juga tanggung jawab
kegembalaan diwariskan kepada para presbiter dalam surat pertama Petrus. Petrus
melukiskan dirinya sebagai seorang penatua: “Aku sebagai penatua”. Lalu ia
lanjutkan dengan rekomendasi ini: “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada
padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan suka rela sesuai dengan kehendak
Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri”
(1Pet 5:2-3). Misi mereka adalah gambaran dari misi Kristus sendiri, “Gembala
Agung” (1Pet 5:4). Maka kontinuitas antara tugas para presbiter dan para Rasul
diungkapkan, karena Petrus menyebut dirinya sendiri presbiter dan juga
kontinuitas dengan misi Kristus yang bertitel gembala berpindah kepada mereka
yang disebut “penjaga” atau “uskup”. Ini berhubungan dengan imamat pelayanan
Kristus, Sang Gembala, yang dibagikan kepada para Rasul dan para presbiter.
Sebelum akhir abad pertama,
Klemens dari Roma mengatakan bahwa tugas kegembalaan telah dibagikan efeknya
karena Kristus dan Allah telah menghendaki demikian. Tuhan Yesus yang diutus
oleh Allah pada gilirannya mengutus para Rasul untuk memberitakan kabar
gembira. Klemens menulis: “dari antara pentobat-pentobat pertama ditentukan
orang-orang yang diteguhkan oleh Roh Kudus bertindak sebagai uskup dan diakon
untuk orang-orang percaya kemudian” (1Kor 42:2). Lagi: “...dilengkapi dengan
kesempurnaan pengetahuan, mereka memilih orang-orang yang disebut sebelumnya,
dan setelah itu diberikan suatu hukum sekali untuk semua untuk efek ini: ketika
orang-orang ini meninggal, orang-orang yang teruji lainnya akan mengganti dalam
pelayanan suci ini” (1Kor 42:44). Dalam surat ini mereka yang disebut “uskup
dan diakon” identik dengan presbiter yang disebutkan sebelumnya.
Dinamisme evangelisasi
menandai tugas kegembalaan. Karena mereka adalah “uskup dan diakon untuk
orang-orang beriman di masa yang akan datang” para gembala dipanggil untuk
membentuk kawanan mereka. Mereka tidak membatasi diri untuk mengawasi jemaat
beriman yang telah ada di sana.
Dalam surat-surat pastoral,
kualifikasi-kualifikasi yang diwajibkan untuk dipilih uskup atau presbiter dan
juga keutamaan-keutamaan uskup dan presbiter untuk mempraktekkan (bdk. 1Tim 5:1-7;
Tit 1:5-9) adalah mereka yang diharapkan dari umat memiliki tanggung jawab
untuk Gereja Allah (bdk. 1Tim 3:5). Uskup harus “memahami bagaimana mengatur
keluarganya” (1Tim 3:5), dan “penatua-penatua yang baik pimpinannya patut
dihormati dua kali, terutama mereka yang dengan jerih payah berkotbah dan
mengajar” (1Tim 5:17).
Sebagai kesimpulan, ada tiga
dimensi yang menandai kepemimpinan yang dipercayakan kepada para presbiter dan
uskup. Misi pastoral mengikutsertakan mereka dalam melayani Gereja universal,
meskipun mereka dipercayai untuk memelihara komunitas lokal. Misi ini
memberikan kepada mereka tanggung jawab penuh untuk kehidupan kawanan.
Konsekuensinya, fungsi mereka menjalar ke berbagai aspek yang perlu yang
tercakup dalam kehidupan itu. Misi yang sama memanggil mereka untuk
mempersiapkan masa depan Gereja yang
berkembang oleh penyebaran benih iman. Sebagai akibatnya, para presbiter dan
uskup tidak hanya harus pemelihara masa lampau, juga bukan semata penjaga
kawanan yang telah ada.
b) Fungsi guru
Tugas pastoral presbiter
termasuk juga tanggung jawab mengajar. Karena itu dalam Gereja apostolik,
evangelisasi adalah suatu tugas yang dilaksanakan terutama oleh para pelayan
yang berpindah-pindah dengan para Rasul dan rekan kerja mereka di garis terdepan.
Lagi, surat pastoral menunjukkan bahwa para uskup dan presbiter dipercayai
dengan misi untuk berkotbah. Menurut surat pertama kepada Timotius para
presbiter adalah mereka yang terutama berjerih payah dalam berkotbah dan
mengajar (5:17). Kandidat untuk tugas presbiter atau uskup harus memiliki
pemahaman yang kuat tentang pesan yang tak dapat diubah (bdk. 1Tim 1:9) dan
“seorang guru yang baik” (1Tim 3:2). Para presbiter di Efesus harus menolak
guru-guru palsu (1Tim 6:5).
Partisipasi para presbiter
dalam Konsili Yerusalem mengatakan bahwa di samping para Rasul, para presbiter
memerintahkan pembagian otoritas yang diharuskan untuk memecahkan
persoalan-persoalan doktrinal dan membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi
kelakuan orang-orang beriman.
c) Fungsi-fungsi Kultus
Fungsi pastoral presbiter
digabungkan tugas-tugas kultus dan sakramental. Menurut surat pertama kepada
Timotius, kolegialitas para presbiter melakukan penumpangan tangan yang
menyatakan partisipasi para presbiter dalam tahbisan presbiteral (4:14).
Menurut surat Yakobus, para presbiter mengurapi orang sakit dan berdoa untuk
mereka (5:14).
Surat Klemens dari Roma
berbicara tentang “para uskup” yang telah “melayani kawanan Kristus tanpa cacat
dan dengan saleh telah mempersembahkan persembahan-persembahan yang sesuai
dengan uskup” (1Kor 44:3-4). Persembahan ini yang menjadi ciri uskup mungkin
mengacu kepada Ekaristi (bdk. 1Kor 21:6; 49:6).
Hubungan antara episkopal dan
Ekaristi menemukan konfirmasinya dalam Ignasius dari Antiokia: “...satu Tubuh
Tuhan kita Yesus Kristus, dan satu piala yang menyatukan kita dengan Darah-Nya,
dan satu altar, sama seperti ada satu uskup yang dibantu oleh presbiter dan
diakon-diakon, sahabat pelayan-pelayanku”[2].
Kesatuan Ekaristi menghendaki kesatuan imamat pelayanan, yang menyatakan bahwa
pelayanan memainkan peranan yang desesif dalam perayaan Ekaristi.
3.
Evolusi Struktur Pelayanan
3.1
Otoritas Pada Awal
Perkembangan pelayanan
struktural dipahami pada saat mempertentangkan antara karisma dan organisasi.
Perbedaan yang dibela oleh A. Harnack antara pelayanan karismatis dan pelayanan
fungsional atau administratif dibuat untuk menekankan secara khusus fakta bahwa beberapa komunitas
Paulus memperlihatkan perkembangan karisma-karisma. Korintus merupakan satu
contoh. Akan tetapi pertentangan antara aspek karismatis dan aspek fungsional
dari pelayanan itu tak dapat dipertahankan, karena pelayanan itu sendiri
dilihat sebagai karisma. Seperti telah dikatakan, menurut surat pertama Paulus kepada
Timotius, karunia Allah diberikan dengan penumpangan tangan (bdk. 1:6; 4:14). Jadi,
antara karisma dan tahbisan ritual tidak ada persaingan.
Memang ada yang berpendapat
seperti Hans Küng bahwa
komunitas-komunitas Paulus awalnya karismatis dan tak ada kepemimpinan
hierarkis. Dalam komunitas Korintus, menurutnya tak ada fungsi otoritas seperti
presbiter atau uskup monarkis di waktu-waktu kemudian. Küng cenderung
menggeneralisasi posisi ini dengan memperluasnya kepada komunitas-komunitas
lain Paulus. Paulus, dia berargumen, tidak pernah menyebut baik para presbiter
maupun tahbisan. Satu referensi pada para uskup dalam Filipi 1:1 dilihat
sebagai perkembangan kemudian.
Tetapi konsep
komunitas-komunitas ini yang eksis terpisah dari struktur otoritas bertentangan
dengan beberapa fakta. Pada tempat yang pertama, ada referensi kepada “para
uskup dan diakon” dalam salam Paulus kepada jemaat di Filipi. Nilai dari
petunjuk ini tidak boleh dikurangi. Dalam komunitas Filipi terdapat para
pelayan yang disebut “uskup-uskup dan diakon-diakon”, suatu petunjuk yang
ekuivalen tentang para presbiter. Mereka bertanggung jawab atas Gereja lokal.
Aneh jika para pelayan yang dipercayai dengan suatu tanggung jawab memiliki
suatu kekecualian yang terbatas pada satu komunitas di Filipi.
Menurut Kis, Paulus mengalamatkan
salam kepada para presbiter dari Efesus: ia memanggil mereka para penilik (para
uskup) dan memberikan mereka tanggung jawab untuk memelihara Gereja Allah
(20:17,28). Seperti kepada komunitas di Korintus, kita tidak boleh mengabaikan
pernyataan Paus Klemens. Ia mengingatkan bahwa para presbiter atau uskup dan
diakon telah dipilih oleh para Rasul. Ia menjawab pemberontakan orang-orang
Korintus melawan para pelayan yang bertanggung jawab atas mereka dengan memakai
argumen yang tepat bahwa para pelayan ini telah dipilih oleh para Rasul. Ini
berarti bahwa otoritas mereka telah ada di tempat itu selama zaman apostolik
dan bahwa orang-orang Korintus tidak menyangkal fakta ini. Kalau begitu
otoritas lokal sudah eksis juga sangat awal dalam komunitas Korintus.
3.2
Terminologi
Dalam tulisan-tulisan
Perjanjian Baru, istilah uskup, presbiter dan diakon belum memiliki arti persis
seperti kemudian hari. Presbiter dan uskup kurang lebih istilah yang sama.
Lihatlah bagaimana para presbiter Efesus disebut para uskup dalam Kis 20:28.
Istilah diakon dapat diterapkan pada tingkatan pelayanan yang berbeda. Paulus
menyebut dirinya dengan istilah ini (bdk. 2Kor 3:6; 11:23; Ef 3:7), tetapi ia
memakai istilah yang sama untuk menentukan pelayan-pelayan lain yang lebih
rendah dari tingkatan para Rasul.
Presbyter berarti yang lebih tua, penatua, yang dituakan. Dalam dunia Yahudi, istilah ini memiliki arti
yang lebih teknis. Istilah ini mengacu kepada umat yang diberi kuasa untuk
menjalankan otoritas tertentu dalam komunitas. Jadi, penatua Yahudi ialah salah
satu anggota dari kolegialitas yang bertanggung jawab atas suatu komunitas
lokal atau nasional, khususnya berhubungan dengan pengajaran Taurat.
Lahir dalam lingkungan Yahudi,
Gereja meminjam dari lingkungan tersebut istilah presbiter, tetapi mengapa atau
apa sebab peminjaman ini merupakan suatu hal yang didiskusikan. Beberapa orang
percaya bahwa orang-orang Kristen secara sederhana mengambil alih istilah ini
ke dalam komunitas-komunitas mereka. Bagi yang lain, faktor yang desesif dipengaruhi
oleh teks Bil 11:16 yang mengisahkan institusi 72 penatua atau presbiter yang
melingkungi Musa. Dalam pandangan ini, Gereja sebagai suatu keseluruhan dilihat
sebagai Israel baru yang mengharuskan kehadiran para presbiter, bukan hanya
komunitas lokal.
Kita harus mengakui bahwa para
presbiter dipresentasikan sebagai pelayan bagi suatu komunitas khusus. Mereka
berbeda dari para pelayan yang berpindah-pindah atau para pengkhotbah.
Institusi para presbiter yang disebutkan dalam Perjanjian Lama tak dapat
diragukan memiliki beberapa pengaruh pada institusi para presbiter dalam
Gereja. Sekali pun begitu, pelayanan yang diberikan kepada para presbiter
Kristen tidak ditentukan baik oleh peranan para presbiter dalam
komunitas-komunitas Yahudi maupun oleh prefigurasi profetis. Dalam dunia Yahudi
presbiter bukanlah imam. Sebaliknya dalam Gereja pelayanan para presbiter
adalah pelayanan imamat dalam arti imamat lebih luas yang didirikan oleh
Kristus.
Maka, “presbiter” menuntut
suatu arti baru. Istilah ini, yang menunjuk kepada pelayan, terutama
dihubungkan dengan suatu fungsi yang memerlukan otoritas dalam komunitas,
sementara fungsi imam Yahudi adalah kultus. Kemudian presbiter memenuhi syarat
sebagai seorang gembala, karakter yang berbeda dari imam dalam Gereja.
Secara literal, “uskup”
berarti penilik atau inspektur. Kata ini digunakan untuk menunjuk orang-orang
yang dipercayakan dengan berbagai fungsi. Bagaimana itu sampai digunakan dalam
Gereja? Apakah itu dipinjam dari institusi-institusi Yunani? Beberapa mengambil
pandangan ini. Yang lain menekankan pentingnya peranan yang diwariskan kepada mebaqqer dalam komunitas Eseni. Mebaqqer adalah seorang petugas yang
menjalankan fungsi-fungsi yang dihubungkan dengan administrasi keadilan dan
pemerintahan.
Tetapi pantas dicatat bahwa
fungsi uskup Kristen tidak ditentukan dalam isi baik oleh institusi dunia Helenis maupun oleh fungsi
penilik di antara orang-orang Esensi. Isi ini dapat ditelusuri dalam imamat
pelayanan yang didirikan oleh Kristus dan dihidupi dalam Gereja. Menurut
terminologi surat-surat pastoral dan surat pertama Petrus, komunitas-komunitas
lokal dipimpin oleh kolegialitas para presbiter-uskup, tetapi kita tidak dapat
membedakan secara jelas antara dua istilah ini.
Perbedaan hanya akan tampak
ketika tingkatan-tingkatan pelayanan hierarkis mendapat bentuknya yang cocok
seperti dalam surat-surat Ignasius dari Antiokia. Surat-surat ini adalah
kesaksian pertama yang tersedia tentang episkopat monarkis. Surat-surat itu
menghadirkan suatu struktur ministerial termasuk uskup, satu dewan presbiter,
dan diakon-diakon dalam suatu peranan yang lebih rendah. Selanjutnya, ketika
struktur ini menyebar di dalam Gereja, istilah uskup, presbiter, dan diakon
memiliki arti yang berbeda hingga sekarang, khususnya telah dibuat perbedaan
yang jelas antara peranan uskup dan presbiter.
3.3
Perkembangan Struktural
Bagaimana kita memahami
perkembangan struktural pelayanan-pelayanan dalam Gereja awal? Pada awalnya,
pelayanan menyebar secara universal bersamaan dengan penyebaran Gereja itu
sendiri. Pelayanan yang pertama ialah pelayanan kelompok Dua Belas, yang
dibantu oleh “saudara-saudara” atau para murid yang telah mengikuti Yesus dan
mereka yang telah diutus oleh-Nya untuk suatu misi. Dalam fase pertama,
pelayanan dipusatkan di Yerusalem, kemudian berkembang ke tempat lain, karena
perpisahan yang disebabkan oleh penganiayaan. Para misionaris membawa berita
gembira ke tempat-tempat yang jauh. Misi mereka adalah pelayanan yang
berpindah-pindah. Para misionaris ini dapat disebut sebagai rasul seperti
Paulus dan Barnabas, atau sebagai presbiter dan guru.
Dalam fase berikutnya,
pelayanan menjadi dilokalisasi. Para Rasul dan rekan kerja mereka mendirikan
presbiter atau uskup-uskup dan diakon-diakon dalam komunitas yang tumbuh karena
pemberitaan Injil. Ketika komunitas-komunitas ini bertumbuh semakin besar
organisasi pelayanan lokal memperoleh kompleksitas dan kesatuan yang lebih
besar. Pelaksanaan otoritas dalam komunitas membutuhkan satu sumber orientasi
dan keputusan. Di antara para presbiter atau uskup salah seorang harus menjamin
koordinasi aktivitas-aktivitas mereka.
Contoh komunitas Yerusalem
membenarkan perkembangan ini. Di antara pelayan-pelayan lokal, Yakobus, Saudara
Tuhan, menjadi yang utama. Dengan segera ia tampak sebagai kepala komunitas
(bdk. Kis 12:17; 15:13; 21:18).
Dalam abad pertama, kita
memiliki contoh-contoh lain tentang pelayan yang bertugas dalam komunitas. Di
samping Filipus dari Kaisarea (Kis 21:8), ada juga Yohanes presbiter. Dalam
surat kedua dan ketiga Yohanes, seorang yang mengklaim pengarang dengan gelar
“presbiter” bertindak seolah-olah ia memiliki otoritas atas komunitas, dan juga
hak supervisi atas komunitas-komunitas bertetangga. Sikapnya ini konsisten
dengan sikap yang dilukiskan dalam rekomendasi yang tampak dalam surat pertama
Yohanes. Rekomendasi-rekomendasi ini berasal dari seorang gembala yang memegang
tanggung jawab komunitas Kristen. Dalam hal ini fakta bahwa ia dipanggil
“presbiter” tampaknya menunjuk kepada seorang presbiter yang berkualitas tertinggi,
jadi, suatu otoritas tingkat tertinggi.
Episkopat monarkis dengan
jelas disebut untuk pertama kali dalam komunitas di Antiokia. Antiokia adalah
suatu pusat komunitas yang sangat aktif dan berkembang dengan cepat. Dapat
dimengerti bahwa komunitas harus mengorganisasikan dirinya sedemikian sehingga
memiliki pelayanan yang cocok untuk menyelenggarakan kepemimpinan bagi
komunitas Kristen dan mengarahkan banyak aktivitas atau usaha yang berbeda.
Dengan penggunaan istilah-istilah yang berbeda untuk tingkatan-tingkatan
hierarki (uskup, presbiter, diakon), mau ditekankan lebih jelas fungsi-fungsi
dan kuasa-kuasa. Selanjutnya, “uskup” akan menunjuk kepala kolegialitas para
presbiter.
Dengan melihat perkembangan
ini, penting untuk diingat bahwa tingkatan-tingkatan eksis dalam otoritas para
imam dari awal, yakni, tingkatan-tingkatan yang didirikan oleh Yesus sendiri
ketika Ia memilih dua belas Rasul di bawah primat Petrus dan yang mempercayakan
kepada ke-72 murid satu misi yang sama. Dalam Gereja awal grup Dua Belas
melaksanakan otoritas tertinggi dan dibantu oleh para pelayan yang lebih rendah
tingkatannya. Perkembangan kemudian dalam Gereja lokal meniru dua tingkatan
ini: seorang uskup dan sekelompok presbiter.
Baik dicatat juga bahwa mereka
yang telah dipilih oleh Kristus selama kehidupan-Nya dan mereka yang tidak
termasuk grup pertama yang datang bersama pada Pentekosta menerima tahbisan
dari Gereja melalui penumpangan tangan. Setiap waktu tulisan-tulisan Perjanjian
Baru memberikan lebih detail-detail tentang institusi para pelayan atau
ekspedisi misi mereka, tulisan-tulisan menyebutkan ritus ini termasuk tahbisan.
Paulus dan Barnabas menerima itu ketika mereka pergi mendirikan Gereja-gereja.
Kedua belas Rasul menumpangkan tangan atas grup Tujuh, yang menunjuk suatu
ritus yang diharuskan untuk membagikan kuasa-kuasa mereka. Sebagai konklusi,
pembagian secara ritual (artinya: dalam suatu perayaan) fungsi-fungsi imamat
telah tampak sejak awal[3].
BAB IV
IMAMAT UMUM DAN IMAMAT PELAYANAN
- Latar Belakang Doktrin
Mengapa perlu kita singgung
topik imamat umum dan imamat pelayanan? Sebab, langsung setelah Konsili Vatikan
II muncul krisis identitas para imam. Imamat yang hampir dua ribu tahun
dihidupi dengan tenang tanpa banyak persoalan, kini ia didiskusikan. Krisis ini
telah dinyatakan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Sinode Para Uskup thn. 1990
di Roma: “Krisis itu muncul dalam tahun-tahun langsung seusai Konsili [Vatikan
II]. Dasarnya ialah: salah pengertian tentang ... ajaran Magisterium Konsili.
Tak ayal lagi, itulah salah satu alasannya, mengapa Gereja mengalami banyak
imam yang meninggalkan panggilan mereka. Kepergian mereka amat merugikan
pelayanan pastoral serta panggilan imam...”[4].
Jadi, krisis identitas ini
memiliki hubungan dengan doktrin imamat Konsili Vatikan II. Dikatakan bahwa
para Bapa Konsili berkemauan kuat untuk memikirkan kembali konsep tentang
imamat. Mereka mau kembali ke semangat biblis dengan melihatnya secara luas dan
jujur, dengan maksud untuk mendekatkan “saudara-saudara terpisah” ke dalam
Gereja Katolik. Karena itu mereka memunculkan konsep imamat umum kaum beriman
dengan berdasar pada Sakramen Baptisan, yang sampai saat itu konsep ini kurang
mendapat perhatian Gereja Katolik selama berabad-abad. Akan tetapi para Bapa
Konsili tetap juga mempertahankan konsep tradisional tentang imamat pelayanan.
Mereka mempertahankan hubungan yang harmonis di antara dua bentuk partisipasi
dalam imamat Kristus ini (bdk. LG 10 dan 11)[5].
Tentu saja pembaharuan doktrinal ini mendatangkan banyak keuntungan bagi
kehidupan Gereja, tetapi pada saat yang sama menimbulkan beberapa kesulitan dan
sikap tidak bijaksana. Banyak para imam bertanya tentang elemen khas pelayanan
imamat mereka di antara imamat kaum beriman dan tidak sedikit dari mereka yang
meninggalkan imamatnya[6].
Sebenarnya ide imamat umum
lahir dari kesaksian biblis sendiri, sehingga tak perlu dibingungkan olehnya.
Dalam dua tulisan Perjanjian Baru secara eksplisit dinyatakan bahwa imamat
terbagikan secara umum kepada umat Kristen. Afirmasi ini meminta pembedaan
antara imamat umum ini dan imamat yang diberikan kepada kelompok Dua Belas.
Maka perlulah sekarang diusahakan suatu
pemahaman yang lebih baik mengenai arti imamat umum semua orang Kristen yang
dibaptis.
- Afirmasi-afirmasi Eksplisit Imamat Umum
Pernyataan-pernyataan yang
termuat dalam Surat Pertama Rasul Petrus dan dalam Kitab Wahyu diterapkan
kepada orang-orang Kristen janji yang dibuat oleh Yahwe kepada Bangsa Israel
dalam Kel 19:6: “Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus”.
Dalam Perjanjian Baru pernyataan ini digemakan kembali dan memiliki arti yang
mendalam.
2.1 Kitab Wahyu
Kitab Wahyu memuat tiga teks yang
mengafirmasikan partisipasi orang beriman dalam Kerajaan Mesianis di dunia
sini: Yesus Kristus “telah membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi
imam-imam bagi Allah, Bapa-Nya” (1:6). Setelah premis ini berikutnya dinyatakan
bahwa mereka yang telah dibuat “menjadi suatu kerajaan dan menjadi imam-imam
bagi Allah kita” akan “memerintah sebagai raja di bumi” (5:10). Mereka yang
mendapat bagian dalam kebangkitan Kristus “akan menjadi imam-imam Allah dan
Kristus, dan mereka akan memerintah sebagai raja bersama-sama dengan Dia,
seribu tahun lamanya” (20:6). Di sini digarisbawahi baik partisipasi dalam
imamat Kristus maupun pengudusan kepada Kristus, karena dalam tindakan menjadi
imam Kristus seseorang menjadi imam Allah. Apa yang paling menonjol dari
semuanya ialah kualitas rajawi imamat itu. Jadi, tekanan Kitab Wahyu jatuh pada
kerajaan. Tak ada referensi kepada sikap atau aktivitas lain, selain sebutan
bahwa orang-orang beriman memerintah bersama Kristus.
Bila dibandingkan dengan
pandangan Kitab Keluaran, afirmasi-afirmasi Kitab Wahyu merupakan afirmasi baru
yang maknanya sangat ditentukan oleh Kristus. Tekanan kodrat rajawi pada imamat
muncul pada awal Kitab dalam gelar yang secara eksplisit diberikan kepada
Kristus, “yang berkuasa atas raja-raja bumi” (Wahyu 1:5). Atas dasar ini imamat
umum tidak lagi dipahami hanya dalam hubungan dengan Allah dan perjanjian-Nya,
tetapi seluruhnya didasarkan pada Kristus sebagai imam dan raja.
Apa persis kodrat imamat ini?
Didukung oleh konteks tiga pernyataan tadi, kodrat imamat tersebut menyangkut
kekudusan yang dibagikan oleh Penyelamat. Yesus Kristus “telah melepaskan kita
dari dosa kita oleh darah-Nya” (Wahyu 1:5). Oleh darah-Nya, Ia telah mengangkat
orang-orang dari setiap ras, bahasa, kaum dan bangsa bagi Allah (5:9).
“Berbahagialah dan kuduslah ia, yang mendapat bagian dalam kebangkitan pertama
itu; kematian kedua tidak berkuasa lagi atas mereka” (20:6). Kekudusan
ekuivalen dengan pembebasan dari dosa dan kematian. Maka pada konsekrasi yang
merupakan salah satu aspek dari imamat, ditambahkan kuasa, yang merupakan hak
prerogatif kerajaan.
Oleh sebab itu di sini “imam” mengacu kepada cara hidup yang
tersedia bagi umat manusia oleh Penyelamat, yakni partisipasi dalam kekudusan dan kehidupan mulia Kristus Yang
Bangkit. Itu tidak termasuk pelayanan; tidak menganjurkan fungsi-fungsi
imamat.
2.2
Surat Pertama Petrus
Surat Pertama Petrus memperluas
konsep imamat rajawi dari Kel 19:6: “Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai
batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk
mempersembahkan persembahan rohani, karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah”
(1Pet 2:5); “... kamulah bangsa terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang
kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan
perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari
kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (2:9).
Di sini imamat juga
dihubungkan dengan kerajaan, tetapi tekanannya tidak lagi jatuh pada kerajaan
itu sendiri, seperti dalam Kitab Wahyu. Sekarang sang pengarang berbicara
tentang mempersembahkan persembahan spiritual. Itu berarti penulis surat
mengadopsi suatu sudut pandang yang lebih bersifat imami. Ia memilih satu
aktivitas imamat yang lebih mendasar, yakni mempersembahkan
persembahan-persembahan.
Akan tetapi fungsi imamat di
sini tidak berkaitan dengan peningkatan kekudusan personal, juga tidak berhubungan
dengan pelayanan yang dilaksanakan dalam komunitas untuk menjawab
kebutuhan-kebutuhan spiritualnya. Imamat di sini mencakup pengudusan seluruh
umat kristiani (universal) yang telah
menerima rahmat Allah dan yang adalah “suku bangsa terpilih”, “suatu umat yang
dikhususkan”, “suatu bangsa yang dikuduskan”. Pada umumnya, frase-frase ini
sinonim dengan ungkapan “organ imam-imam”, dan mengacu kepada kekudusan yang
diterima sebagai hasil kasih Allah dan tindakan penebusan.
Konsep imamat universal ini bersandar pada konsep Gereja sebagai Israel
baru. Gerejalah yang memverifikasi janji-janji yang terekam dalam Kel 19:6 dan
juga dalam Yes 61:6: “... kamu akan disebut imam Tuhan dan akan dinamai pelayan
Allah kita”. Gereja memenuhi gambaran-gambaran Perjanjian Lama ini dengan cara
mempertentangkan perjanjian lama, karena imamat Gereja bersandar pada Kristus,
“batu sendi yang dibuang oleh manusia”, dan persembahan-persembahan disampaikan
dengan perantaraan-Nya. Imamat dan persembahan diletakkan pada level roh; “imamat
yang kudus” adalah “suatu rumah spiritual”, dan korban-korban bukan lagi
binatang-binatang sembelihan dalam Bait Allah. Persembahan-persembahan ini
tidak lagi mengharuskan intervensi seorang imam untuk mempersembahkannya.
Karena persembahan-persembahan itu adalah rohani, semua orang beriman dapat
mempersembahkannya dalam pribadi mereka.
Lebih tepatnya,
“persembahan-persembahan rohani” dapat dilukiskan sebagai “tiruan suka rela
orang-orang Kristen pada persembahan-persembahan korban Kristus, Hamba Yang Menderita
yang harus meninggal dan mendapat kemuliaan”. Kemudian dalam Surat, pengarang
menganjurkan alasan mengapa orang-orang Kristen harus menerima
penderitaan-penderitaan dengan mengingat contoh tertinggi Kristus yang mati
untuk dosa-dosa kita (bdk. 1Pet 3:17-18). Prinsip ini ia terapkan tidak hanya
pada penganiayaan-penganiayaan, tetapi juga perlakuan kasar, seperti menderita
oleh karena tuan-tuan perhambaan: “...karena sadar akan kehendak Allah
menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung... Sebab untuk itulah kamu
dipanggil, karena Kristus pun telah
menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu
mengikuti jejak-Nya” (1Pet 2:19.21).
Sehubungan dengan
karakteristik komunal imamat ini, pentinglah dicatat bahwa yang termasuk di
dalamnya bukan hanya komunitas lokal. Ekspresi “imamat rajani” mengacu kepada
realitas seluruh Gereja. Gereja dapat dilihat dalam totalitasnya karena
pengarang Surat tidak berpikir tentang Gereja yang hanya dibentuk oleh sejumlah
komunitas lokal, tetapi didasarkan pada Kristus. Karakter komunal imamat umum ini
menghindari kebingungan dengan imamat pelayanan. Teks tidak memberikan petunjuk
tentang pelayanan yang dilaksanakan dalam komunitas. Teks hanya berbicara
tentang imamat keseluruhan tubuh orang-orang Kristen.
3.
Refleksi Teologis Atas Dua Imamat: Perbedaan
dan Saling Berhubungan[7]
Pernyataan partisipasi
semua orang Kristen dalam imamat yang dipresentasikan dalam Surat Pertama
Petrus dan Kitab Wahyu merupakan kepenuhan ramalan tentang kerajaan para imam
dalam Kitab Keluaran. Sekalipun begitu pernyataan itu lebih dari sekedar
kepenuhan ramalan profetis. Pernyataan itu sesungguhnya lahir dari pengajaran
Yesus[8]
yang gemanya kita temukan dalam surat-surat Paulus[9].
Dalam tindakan
menghendaki ibadat dalam roh dan kebenaran, ibadat yang dimulai dengan
kelahiran baru dari air dan Roh Kudus, Kristus menampakkan maksud-Nya
mendirikan imamat universal melalui pembaptisan. Tanpa menggunakan kata, Ia
mengumumkan imamat yang benar, yakni kekudusan baru, yang dibentuk oleh Roh
Kudus dan memungkinkan seorang pribadi untuk menyembah.
Sekarang kita
dapat menentukan yang mana ciri-ciri distingtif imamat ini untuk memahami
dengan baik bagaimana tradisi telah memahaminya, dan bagaimana ia mencapai
suatu ekspresi doktrinal dalam Vatikan II.
3.1 Perbedaan Imamat Umum dan Imamat Pelayanan
Frase “imamat
umum” dan “imamat pelayanan” dapat menimbulkan kebingungan. Kata “imamat” dapat
diambil untuk menunjuk suatu realitas yang keduanya identik, dengan sedikit
diselipkan perbedaan. Tetapi jika kita memperhatikan data yang tersedia dalam
Injil-injil, kita menyadari bahwa terdapat perbedaan yang mendalam antara dua
realitas itu.
Ada perbedaan misi yang diberikan kepada
dua imamat itu dalam Gereja. Grup Dua Belas yang menerima imamat pelayanan
dipercayakan misi pastoral. Mereka diberi suatu otoritas yang memampukan mereka
untuk mewartakan Injil, merayakan Ekaristi, mengampuni dosa-dosa, dan memimpin
komunitas. Agar pasti, otoritas ini harus dilaksanakan dengan meniru Putra
Manusia yang datang untuk melayani. Itulah sebabnya, pelaksanaan atasnya
disebut pelayanan, yang secara
persis dimaksudkan oleh Injil ialah imamat.
Akan tetapi pelayanan ini sungguh khusus: ia tidak dilihat sebagai salah satu
di antara yang banyak. Misi kegembalaan merupakan hal yang tak terperikan dalam
kehidupan dan perkembangan komunitas, dan misi itu dihadirkan lewat kuasa-kuasa
yang unik untuk bertindak atas nama Kristus.
Imamat umum
memiliki peranan untuk dimainkan dalam Gereja, yakni, peribadatan dalam roh dan
kebenaran, dengan mempersembahkan persembahan-persembahan spiritual. Peranan ini juga sangat penting dalam
eksistensi orang Kristen, tetapi itu tidak
disertai dengan otoritas yang sebanding dengan otoritas yang diberikan
kepada grup Dua Belas dan juga tidak menuntut misi pastoral. Peranan ini memiliki nilai tersendiri, dan itu
merupakan suatu misi yang berguna bagi orang Kristen dan non-Kristen, meskipun
kita tak boleh menempatkannya dalam posisi yang sama dengan pelayanan pastoral.
Perbedaan antara
dua imamat meluas melampaui misi yang diberikan kepada masing-masing, yakni
menyangkut cara hidup (konsekrasi).
Yesus meminta kepada grup Dua Belas menolak segala sesuatu untuk mengikuti Dia.
Dengan memanggil mereka untuk melepaskan keluarga mereka, milik duniawi mereka,
dan pencarian akan profesi, Ia mendirikan suatu cara hidup yang dikonsekrasikan
yang tidak diharuskan kepada mereka
yang dipanggil untuk mempercayai Dia dan menyatu dengan Gereja. Cara hidup
melepaskan segala sesuatu diwajibkan kepada semua yang disebut “murid-murid”
dalam Injil-injil dan mereka diundang untuk membaktikan seluruh energi mereka
demi peningkatan Kerajaan Allah. Bahkan itu dihidupi oleh para wanita yang
mengikuti Yesus. Tetapi cara hidup konsekrasi hanya diwajibkan kepada mereka yang melaksanakan imamat pelayanan. Konsekrasi
imamat diungkapkan dalam cara hidup selibat, kemiskinan injili, dan penolakan
profesi sekuler.
Sebagai
kesimpulan, perbedaan antara imamat umum dan pelayanan merupakan perbedaan yang
radikal baik dari sudut pandang konsekrasi
maupun misi. Kita dapat memahami
mengapa Konsili Vatikan II mengatakan bahwa imamat itu satu dalam kodrat, bukan
tingkatannya. Tentu saja benar bahwa Kristus menjadi sumber kedua imamat itu.
Meskipun asalnya sama, kedua berbeda secara esensial: “Sebab keduanya dengan
cara khasnya masing-masing mengambil bagian dalam satu imamat Kristus” (LG 10).
Dalam Yesus kita telah memilih dua karakter imam, yaitu orang yang dikuduskan
dan pelayan. Dalam kedua hal ini, Yesus adalah prototipe imamat pelayanan, karena
seluruh hidup-Nya dikonsekrasikan, dan misi-Nya adalah kegembalaan. Keadaan
kekudusan yang diterima pada pembaptisan memperlihatkan partisipasi awal dan
terbatas dalam konsekrasi Kristus. Peribadatan rohani dengan mempersembahkan
persembahan-persembahan personal menghasilkan, bukan dedikasi pastoral Kristus
dalam arti sempit, tetapi sikap devosi filial-Nya kepada Bapa. Fakta bahwa dua
imamat berasal dari sumber yang sama menjamin kesatuan dan keharmonisan di
antara mereka. Itu tidak meniadakan perbedaan yang muncul dari mereka.
3.2 Hubungan Imamat Umum dan Imamat Pelayanan
Dua imamat
berhubungan bukan dalam arti bahwa yang satu menyebabkan yang lain. Sah untuk
ditanyakan apakah imamat pelayanan merupakan hasil perkembangan atau
spesifikasi imamat umum. Menurut pemahaman, imamat pelayanan yang dapat berdiri
atas dasar imamatnya sendiri merupakan suatu pelayanan yang ditujukan untuk
mempertemukan kebutuhan-kebutuhan hidup dan perkembangannya sendiri.
Tetapi hubungan
antara imamat umum dan imamat pelayanan tidak didirikan oleh Kristus. Yesus
tidak pertama mendirikan suatu komunitas yang diberikan suatu imamat umum yang
kepadanya Ia mempercayakan tugas mendirikan pelayanannya sendiri dan memilih
pelayan-pelayannya. Kepada semua yang mendengarkan pesan yang diajukan-Nya,
melalui iman, mereka masuk Kerajaan-Nya. Pada saat yang sama, Ia mendirikan
suatu imamat pelayanan dengan memilih grup Dua Belas dan mempercayakan mereka
kuasa untuk memimpin Gereja-Nya. Pendirian yang eksplisit imamat pelayanan ini
sama buktinya dengan kehendak Yesus membiarkan seluruh tubuh orang Kristen
berpartisipasi dalam imamat-Nya. Yesus memberikan cukup bukti yang menunjukkan
bahwa laki-laki yang dipanggil-Nya untuk pelayanan imamat menerima misi dan
kuasa langsung dari Yesus.
Maka setiap kali
kita mencoba untuk melihat imamat umum sebagai sumber imamat pelayanan atau
sebagai realitas fundamental yang berasal dari pelayanan, kita mengambil suatu
posisi yang tidak sesuai dengan kehendak Kristus seperti dilukiskan dalam
Injil-injil. Dua imamat sama-sama didirikan oleh Kristus seperti dua segi
kehidupan Gereja. Keduanya langsung berasal dari Yesus. Karena keduanya berasal
dari sumber yang sama, dan bertujuan untuk kebaikan Gereja, dua imamat terikat
satu sama lain, memiliki suatu relasi partikular, yang kita sebut koordinasi.
Vatikan II menjelaskan hal itu dengan istilah “saling berhubungan” (LG 10).
Ketika kita
berusaha memberi definisi yang lebih persis, dan dihubungkan dengan kata-kata
Yesus sendiri, arti relasi ini kita temukan pada deklarasi Putra Manusia yang
datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani, yang dijadikan model bagi
mereka yang menjalankan otoritas dalam Gereja (bdk. 10:45; Mat 20:28). Karena
imamat pelayanan dimaksudkan untuk melayani setiap orang, ia diberi tugas untuk
meningkatkan pelaksanaan imamat universal. Imamat pelayanan tak pernah berakhir
di dalam dirinya sendiri dan tak pernah juga imamat umum dimaksudkan selalu
kepada imamat pelayanan. Konsili berkata: “Dengan kekuasaan kudus yang ada
padanya imam pejabat membentuk dan memimpin umat keimaman. Ia menyelenggarakan
korban Ekaristi atas nama Kristus [in
persona Christi], dan mempersembahkannya kepada Allah atas nama segenap
umat [in persona ecclesiae]” (LG 10).
Lagi: “Sebab para pelayan, yang mempunyai kekuasaan kudus, melayani
saudara-saudara mereka, supaya semua yang termasuk umat Allah, dan karena itu
mempunyai martabat kristiani sejati, dengan bebas dan teratur bekerja sama
untuk mencapai tujuan tadi, dan dengan demikian mencapai keselamatan” (LG 18).
Dalam arti apa
benar bila dikatakan bahwa imamat universal “dihubungkan” kepada imamat
pelayanan? Dalam arti bahwa imamat umum dilaksanakan hanya dalam kerja sama
dengannya. Ini secara khusus terbukti dalam hubungan dengan Ekaristi:
“Sedangkan umat beriman berkat imamat rajawi mereka ikut serta dalam
persembahan Ekaristi. Imamat itu mereka laksanakan dalam menyambut
sakramen-sakramen, dalam berdoa dan bersyukur, dengan memberi kesaksian hidup
suci, dengan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif” (LG 10).
Dalam perayaan
Ekaristi, orang-orang Kristen secara pribadi mempersembahkan diri mereka
sendiri dengan menyatukan diri mereka dengan persembahan Kristus, tetapi
persembahan ini berbuah dengan perantaraan imam. Kerja sama yang mirip
dinyatakan dalam seluruh kehidupan sakramental. Itu juga didapat dalam praktek
iman, karena iman mengungkapkan dirinya dalam kesatuan dengan otoritas
pengajaran Gereja. Maka, praktek hukum cinta kasih dan kesaksian apostolik,
pelayanan imamat di bawah bimbingan imamat pelayanan membuka suatu pelayanan
kesatuan dan rekonsiliasi.
Imamat universal
tak dapat mengisi dirinya sendiri secara independen dari imamat pelayanan.
Bahkan dalam perayaan perkawinan, di mana para pengantin adalah pelayan
sakramen, hubungan dengan imamat pelayanan masih sangat diperlukan. Karena
baptisan, para pengantin berhak
melayankan sakramen satu kepada yang lain, tetapi berkat imam diharuskan atas
pertukaran janji mereka. Berbicara lebih umum, imamat universal dapat
dilaksanakan hanya dalam kesatuan dengan struktur Kristus yang ingin
memeteraikan Gereja-Nya. Fungsi profetis, kultis, dan apostolik orang-orang
awam yang didasarkan atas sakramen Baptis dan Krisma, tak dapat berkembang
kecuali bila berjalan bersama dengan pelayanan pastoral. Kondisi ini tidak
membatasi orang-orang melaksanakan otonominya, juga itu tidak mematikan
inisiatif-inisiatif. Jauh dari membatasi vitalitas imamat umum, kehadiran
imamat pelayanan berusaha meningkatkan vitalitas itu. Ia memberikan arahan agar
berbuah.
BAB V
KODRAT PELAYANAN IMAMAT
Kita telah mencatat bahwa
perbedaan esensial antara imamat universal dan imamat pelayanan terletak pada
misi dan pada cara hidup. Karena perbedaan mendasar itu, maka kodrat pelayanan
harus diklarifikasi. Dalam hal ini fokus kita ialah pelayanan imam: cakupan dan kekhususannya.
Kita mau menjabarkan lebih mendalam karakter pelayanan imamat hierarkis dari
apa yang telah disinggung sebelumnya.
Dalam KHK 1983 dengan
eksplisit dikatakan: “Sakramen imamat meliputi episkopat, presbiterat, dan
diakonat” (kan. 1009 § 1). Berbicara tentang pelayanan imamat tidak lain
berarti berbicara perihal fungsi-fungsi imamat menurut tingkatannya dalam
hierarki yang lahir dari tahbisan yang diterima: uskup, imam dan diakon.
Tahbisan menjadi otoritas untuk menjalankan fungsi masing-masing. Fungsi ini
disebut juga tugas. Tugas ini “sungguh-sungguh merupakan pengabdian, yang dalam
Kitab Suci dengan tepat disebut diakonia
atau pelayanan” (LG 24).
1.
Persoalan Tentang Kualitas Khusus Pelayanan
Karena tiga fungsi secara
tradisional dikenakan kepada imamat, usaha untuk memilih karakter khusus imamat
membawa hasil yang berbeda tergantung pada fungsi mana yang diberi prioritas:
pewartaan Sabda atau fungsi sakramental dengan Ekaristi sebagai puncak, atau
fungsi pastoral. Dalam hubungan dengan fungsi-fungsi inilah para teolog telah
berusaha untuk memahami arti paling dasar pelayanan. Kita tidak puas dengan
suatu definisi pelayanan yang memuat tiga fungsi. Refleksi teologis dipanggil
untuk memastikan apa yang memberi kesatuan pada fungsi-fungsi ini dan membuat
suatu sintesis yang berhubungan dengan
prinsip yang mencahayai keseluruhan aktivitas imamat.
1.1
Konsili Trente
Cukup banyak teolog yang
melihat bahwa Konsili Trente membatasi pelayanan imam hanya pada pelayanan
persembahan. Mereka melihat bahwa imam dari Konsili Trente hanya
mempersembahkan Ekaristi. Pertanyaan kita ialah apakah memang demikian maksud
Konsili Trente? Apakah memang Konsili Trente memberikan sintesis doktrinal
seperti itu? Apakah Konsili menyamakan imamat dengan mengkonsekrasikan
Ekaristi?
Konsili Trente memberikan
definisi bahwa imamat Perjanjian Baru ialah suatu “kekuasaan untuk mengkonsekrasikan dan mempersembahkan sungguh tubuh dan
darah Tuhan dan mengampuni dan menahan dosa-dosa”. Konsili mengajukan
prinsip bahwa “persembahan dan imamat disatukan oleh ordonansi ilahi” dan
prinsip ini diterapkan oleh Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Yesus Penebus
kita mendirikan imamat dan memberikan “kepada para Rasul dan para pengganti
mereka dalam imamat...kekuasaan untuk menguduskan, mempersembahkan, dan
melayankan tubuh dan darah-Nya...seperti ditampakkan oleh Kitab Suci dan telah
selalu diajarkan oleh Tradisi Gereja Katolik” [10].
Dalam doktrin tentang Sakramen
Imamat, Konsili tidak menyebutkan kuasa imamat untuk berkotbah dan mengajar.
Dalam kanon, Konsili membatasi diri pada pernyataan bahwa imamat bukan hanya sebagai
pelayanan pewartaan Injil. Konsili menyangkal pandangan bahwa mereka yang tidak
berkotbah bukan imam. Pelayanan kotbah tidak dikecualikan dari imamat oleh
Konsili, tetapi Konsili sekaligus menegaskan bahwa imamat tidak diperoleh dari
pelayanan kotbah itu sendiri. Imamat berasal dari Yesus sendiri.
Selama Konsili persoalan
dimunculkan apakah perlu pernyataan yang lebih positif bahwa berkotbah juga termasuk
pelayanan imamat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa tahap perumusan doktrin
Konsili. Dalam tahun 1547, draf kanon tentang imamat dimaksudkan untuk
menghukum pandangan Lutheran yang mereduksikan imamat kepada kotbah. Jadi,
Konsili tidak berbicara tentang berkotbah, kecuali komisi berkotbah.
Dalam tahun 1562, sebuah
komisi menulis dalam draf pertama mengenai bab doktrin imam bahwa “pelayanan
Sabda juga termasuk pelayanan imam” dan menambahkan bahwa para imam yang gagal
menjalankan pelayanan ini tidak berhenti menjadi imam. Ini digarisbawahi karena imam dianugerahi karakter
imamat yang tidak dapat mengembalikannya kepada status hidup awam.
Para teolog dan para Bapa
Konsili melihat pelayanan Sabda sebagai bagian dari fungsi imamat dan mengungkapkan
keyakinan mereka dalam kanon yang menetapkan bahwa imamat tidak boleh
direduksikan hanya pada pelayanan ini. Tetapi perhatian dominan mereka ialah
reaksi melawan penyangkalan-penyangkalan Lutheran. Seluruh penjelasan doktrinal
terpusat ke arah ini.
Konsili tidak bermaksud
menyusun suatu daftar mengenai fungsi-fungsi imamat dan juga tidak memberikan
suatu sintesis doktrinal tentang imamat. Karena itu kita tidak dapat menggambarkan
dari Konsili suatu definisi tentang imamat dipandang dari segi fungsi persembahan
saja. Khususnya Konsili tidak punya maksud untuk menyamakan imamat dengan kuasa
mengkonsekrasikan Ekaristi. Problem penyatuan fungsi-fungsi imamat di bawah satu
rubrik tunggal bukan tujuan dari doktrin Konsili yang hanya menegaskan kembali
pengajaran tradisional. Karena itu Konsili sama sekali tidak mengabaikan pelayanan
Sabda. Deklarasi Konsili bermaksud untuk melayani atau menjawab
penyangkalan-penyangkalan pada masa itu.
Para teolog yang berusaha
melukiskan dari jawaban-jawaban ini suatu doktrin yang lengkap tentang imamat,
dapat diterima karena mereka ingin mendapatkan suatu validitas yang lebih luas
perihal definisi itu. Kita pun akan mencari validitas yang lebih luas, tidak
tinggal pada keputusan-keputusan yang tertulis. Namun kita harus mempertahankan
elemen-elemen doktrinal khususnya yang bersifat mendefinisikan dan
mengintegrasikan elemen-elemen ini ke dalam suatu kerangka yang lebih luas yang
tidak dikemukakan oleh Konsili ke hadapan kita.
1.2
Imamat sebagai Fungsi Korban
Tadi telah ditegaskan bahwa
Konsili Trente memberikan definisi tentang imamat pelayanan dalam hubungan
dengan fungsi korban. Menurut Y. Congar, definisi ini dianggap lebih memadai
ketimbang mendefinisikan imamat sebagai mediasi. Mengapa? Karena ia
berpandangan bahwa belum tentu setiap imamat perlu mengacu pada suatu mediasi.
Ia mempertahankan bahwa “mediasi” tidak cukup untuk mendefinisikan imamat,
karena ada banyak mediasi dan mediasi-mediasi itu berkaitan dengan kepemimpinan
dan pemerintahan. Dalam pandangannya, makna korban lebih memadai. Jika ada
suatu mediasi, di sana ada suatu kualitas korban.
Untuk mempertahankan posisi
ini, Congar mengambil bukti-bukti biblis. Karakter imamat Yesus dilukiskan
dalam hubungan dengan fungsi-Nya sebagai korban. Surat Ibrani secara eksplisit
mendefinisikan imamat dengan fungsi korban. Dalam tradisi, Agustinus
menghubungkan imamat dengan korban: “karena ada korban di situ ada imamat”, dan
“jika tidak ada korban di situ tak ada imamat”. Dalam Summa, Thomas mengatakan bahwa tugas utama imamat ialah
mempersembahkan korban. Dalam kuliah-kuliahnya tentang Surat Ibrani, ia bahkan
menegaskan lebih empati bahwa Yesus adalah seorang imam karena Ia
mempersembahkan diri-Nya kepada Allah Bapa.
Keterangan-keterangan di atas
menghasilkan definisi berikut. Imamat adalah “kualitas yang memungkinkan
seseorang hadir di hadapan Allah untuk menjamin kehendak-Nya dan dengan
demikian membangun persekutuan dengan-Nya melalui korban yang berkenan
kepada-Nya”. “Karena, membangun persekutuan berarti mendamaikan para pendosa
dan mengatakan bahwa dosa-dosa telah dibebaskan atau ditebus”. Maka yang
menentukan fungsi imamat ialah korban penebusan.
1.3
Imamat sebagai Pelayanan Sabda
Sebelum Konsili Vatikan II
terdapat suatu tendensi yang kuat di antara para teolog untuk menekankan nilai
pelayanan Sabda. Dalam lukisannya tentang fungsi-fungsi imamat, C.
Dillenschneider menempatkan pelayanan Sabda pada tempat utama. Ide ini kemudian
diikuti oleh A. George dan J. Lécuyer.
Dalam studi atas Perjanjian
Baru, George menyebut dua fungsi imamat Yahudi pada zaman Yesus dan fungsi ini
berkembang juga pada Gereja awal, yaitu fungsi pelayanan Ibadat dan Sabda.
Bagaimana dipahami keharmonisan antara dua fungsi ini? Lécuyer mendasarkannya
pada dualitas episkopat dan presbiterat. Dalam pandangannya, rahmat khas
episkopat, yakni rahmat yang diberikan kepada para Rasul pada Pentekosta dan
disimbolkan oleh lidah-lidah api, tinggal dalam Sabda. “Kesaksian-kesaksian
resmi, mediator-mediator perjanjian, kepala dan guru jemaat Allah, ini adalah
fungsi-fungsi yang tak dapat dilaksanakan kecuali melalui pelayanan Sabda para
Rasul”. Namun, sebelum pengurapan
episkopat pada Pentekosta, sudah
ada sebelumnya pengurapan imamat
yang dihubungkan dengan misteri Paska.
Rahmat khas yang berkaitan dengan imamat ialah kuasa untuk mempersembahkan
Ekaristi dan pengampunan dosa-dosa, karena memperpanjang misteri Paska sebagai
wakil Kristus. Lécuyer menyimpulkan bahwa esensi imamat para imam ialah
persembahan korban.
Jadi posisi Lécuyer berusaha mendamaikan
dua orientasi yang muncul ke permukaan, yakni orientasi kepada presbiterat yang
dipandang sebagai kuasa untuk mempersembahkan korban dan orientasi kepada episkopat
yang dilihat sebagai pelayanan Sabda. Mengenai dasar dua tingkatan imamat ini, Lécuyer mengacu kepada dua
pengurapan imamat Kristus, satu pada saat inkarnasi, yang lain pada saat pembaptisan
Yesus di Yordan.
Cara pembedaan presbiterat
dari episkopat dilihat dari dua misteri yang berbeda, inkarnasi dan baptisan,
Paska dan Pentekosta, telah mendapat kritikan. Dualitas seperti itu perlu
diatasi. Salah satunya diusulkan oleh K. Rahner. Ia pertama mengakui dua
fungsi: “Imamat resmi dalam Gereja adalah kultis dan profetis dengan suatu
kesatuan inti karena dua elemen ini menyatakan satu sama lain dalam cara yang esensial.
Elemen profetis dilahirkan dari elemen kultis dan dapat direalisasikan hanya
melalui elemen ini”. Tetapi Rahner juga menambahkan bahwa kualitas eksistensial
imamat tergantung bukan pada kultis tetapi pada elemen profetis. Hanya melalui
elemen inilah dapat diklaim seluruh eksistensi seseorang.
Dalam tulisan berikutnya,
Rahner memberikan suatu definisi yang menentukan, bukan hanya apakah eksistensi
imamat itu, tetapi juga kodrat imamat itu sendiri. Ia menentukan bahwa definisi
imamat harus didasarkan pada “suatu ide yang tidak kompleks, suatu makna yang
dapat dipahami dengan membaca Kitab Suci, dan memperhatikan sensitivitas umat
sebagaimana mereka ada kini”. Titik berangkat ini berdiam dalam Sabda yang
dipercayakan kepada Gereja, Sabda yang karakter fundamentalnya menjadi suatu
peristiwa. Dalam Sabda ini kita dapat membedakan berbagai tingkatan intensitas
dan ada sakramen tingkatan tertinggi.
Karena itu ia mendefinisikan
imamat sebagai berikut: imam adalah bentara Sabda Allah, tetapi dengan spesifikasi
ini: ia dihubungkan dengan komunitas dan pelayanan ini disertai dengan semua kuasa
Gereja. Maka ia menjadi bentara resmi Sabda Allah, sedemikian sehingga Sabda
ini dipercayakan kepadanya dengan tingkat intensitas tertinggi, tingkatan yang
diperoleh dalam tata-susunan sakramental. Dalam kata-kata yang sederhana, imam
memiliki misi untuk mengkotbahkan Injil atas nama Gereja. Ia melakukan ini
dalam tingkat tertinggi yang padanya Sabda dapat beroperasi, dalam anamnesis
kematian dan kebangkitan Kristus melalui perayaan Ekaristi.
Posisi yang lebih radikal
diadopsi oleh D. Olivier. Dalam pandangannya, “gambaran tentang imamat yang
dibentuk oleh Trente telah usang pada saat ini”. Ia mengakui bahwa sahlah kritik Luther tentang teologi klasik mengenai
imamat pelayanan serta ia menyuarakan keinginan dan harapan bahwa imam mesti dilihat
sebagai pelayan Sabda. Ia membela “suatu pilihan yang jelas dan terang-terangan
pada pelayanan Sabda”. Sesungguhnya sejak Konsili Vatikan II Gereja Katolik
mensharingkan dengan komunitas-komunitas Reformasi suatu dasar umum yakni
konsep tentang imam sebagai pelayan Sabda. Dalam teologi pelayanan keselamatan,
altar tidak lagi menjadi batu sendiri. Dalam suatu zaman yang didominasi oleh
komunikasi mass media, sabda – Sabda Allah – adalah realitas yang atasnya
dibangun sesuatu. Hanyalah Sabda dapat menyediakan dasar pelayanan yang
dipercayai dalam suatu masyarakat yang membanggakan dirinya sendiri.
Olivier berusaha membuang
doktrin tentang imamat pelayanan dan mendukung sepenuhnya pelayanan tanpa
imamat. Pelayan, ia menegaskan, tidak memiliki “surplus-ada-imamat”. Maka dalam
teorinya tekanan pada Sabda sejalan dengan doktrin Lutheran yang menegaskan
bahwa imamat para imam hanyalah suatu pelayanan Sabda.
1.4
Imamat sebagai Kepemimpinan
W. Kasper memberikan arah yang
berlainan. Demi pemahaman baru tentang pelayanan imamat, Kasper mencari titik
berangkat dalam karunia kepemimpinan yang didaftarkan oleh Paulus di antara
karisma-karisma yang diterima oleh Gereja (bdk. 1Kor 12:28). Tidak ada
karisma-karisma lain dapat menjadi karisma kepemimpinan yang menandai pelayanan
Gereja.
Dengan mengambil karisma
kepemimpinan sebagai titik berangkat pemahaman sama artinya mendefinisikan
imamat pelayanan bukan lagi sebagai fungsi kultus, fungsi sakral dan pengudusan,
tetapi berhubungan dengan fungsi sosial yang dijalankannya dalam Gereja. Untuk
itu kita perlu melihat bagaimana Kitab Suci berbicara tentang pelayanan dalam
Gereja awal. Istilah-istilah yang dipakai berhubungan dengan fungsi pelayanan
dan fungsi kepemimpinan.
Fungsi dasar kepemimpinan
adalah untuk menjamin kesatuan sosial dan teologis di dalam Gereja. Karena
kesatuan ini diperoleh melalui pengakuan iman dalam perayaan Ekaristi yang
adalah titik referensi bagi semua sakramen yang lain dan dalam pelayanan cinta
kasih, maka tugas imamat secara khusus berorientasi pada pelayanan Sabda,
pelayanan sakramen-sakramen khususnya Ekaristi dan pelayanan fraternal.
Kasper menghilangkan konsep
imamat yang kudus dan yang memitoskan imamat itu. Ia berpendapat bahwa konsep
imamat pelayanan seperti ini penting bagi orang muda zaman kita ini. Jika kita
mereduksikan kodrat khusus tugas ini kepada kuasa untuk mengucapkan kata-kata
konsekrasi, maka tugas imamat hampir bukan suatu panggilan manusiawi yang dapat
memuaskan hati orang muda kita. Sebaliknya, jika imamat mencakup tugas memimpin
komunitas Kristen, maka imamat merupakan karisma manusiawi yang amat real. Ini
mudah dipahami kaum muda kini.
Kasper menghubungkan juga
pelayanan kepemimpinan ini dengan imamat universal umat beriman. Umat Allah
adalah umat rajawi dan imami yang dipanggil untuk mewartakan Sabda,
mempersembahkan korban, menjalankan kepemimpinan rajawi. Imamat ini bukan suatu partisipasi dalam imamat
pelayanan, tetapi menunjukkan bahwa semua orang Kristen dipercayai misi untuk
menyelamatkan. Karisma kepemimpinan menunjuk apa yang khas dalam imamat
pelayanan. Pelayanan ini dimaksudkan untuk memelihara kesatuan dalam komunitas
lokal, dalam Gereja sebagai suatu keseluruhan.
2.
Esensi Pelayanan Dalam Cahaya Konsili
Vatikan II
2.1
Multiplisitas Dan Sintesis
Kita mau mencari suatu
sintesis atas fungsi-fungsi imamat. Mereduksikan pelayanan imamat hanya kepada
salah satu dari tiga fungsi tradisional dapat memiskinkan fungsi imamat itu
sendiri serta meniadakan sumbangan-sumbangan khas dari masing-masing fungsi itu.
Seluruh pelayanan imamat tidak
harus direduksikan dalam pelayanan Ekaristi. Sekalipun tak dapat disangkal ini
merupakan suatu fungsi yang penting dalam kehidupan Gereja. Fungsi korban tidak
mewakili seluruh fungsi kultis dan sakramental imam. Misi untuk mengampuni
dosa-dosa, dan melayankan sakramen-sakramen yang lain tidak secara sempurna
dapat direduksikan kepada pelayanan ekaristis. Hubungan antara imamat dan
korban sungguh eksis, tetapi pelayanan imamat tidak hanya ditentukan oleh
fungsi korban. Dalam kata-kata Agustinus, di mana ada korban Ekaristi di situ
perlu imamat untuk mempersembahkan korban atas nama Kristus. Sekalipun
demikian, tugas imam melampaui persembahan korban.
Juga pelayanan Sabda tak dapat
mendefinisikan kekayaan imamat pelayanan. Pewartaan dan pengajaran Injil tidak
selalu berkaitkan dengan pelayanan kultis dan sakramental. Tugas-tugas ini tidak
dapat direduksikan ke dalam pewartaan dengan segala efikaksnya. Bahkan kurang
dapat diterima suatu usaha untuk memasukkan paham Gereja Lutheran tentang
pelayanan Sabda yang didasarkan pada imamat universal umat beriman ke Gereja
Kudus. D. Olivier berusaha mengesampingkan doktrin Konsili Trente dan menerima
kritik Luther atas imamat tradisional. Ia mengklaim bahwa kegiatan utama Kristus
adalah pelayan Sabda. Tetapi Oliver keliru. Injil-injil memberi kesaksian bahwa
Yesus bukan hanya pelayan Sabda. Doktrin perihal imamat dalam Surat Ibrani
menguatkan kesaksian ini. Ibrani menekankan nilai korban dari imamat.
Tentang fungsi kepemimpinan
juga terlalu terbatas pada pelayanan yang berhubungan dengan pemerintahan dan
pelayanan biasa. Ini tak dapat diterima, sebab pelayanan Sabda dan sakramental menuntut
adanya imamat.
Karena itu
keterbatasan-keterbatasan tiga fungsi harus dilampaui untuk diharmoniskan ke dalam suatu sintesis yang di
dalamnya setiap fungsi menemukan tempatnya masing-masing. Ketiga fungsi
tradisional itu harus ditempatkan dalam porsinya masing-masing. Jadi, kalau
begitu kita harus menerima multiplisitas fungsi imamat. Pandangan ini kita sesuaikan
dengan data revelasi seperti kita tampakkan dalam pokok berikut ini.
2.2
Misi Gembala Dan Otoritas
Dengan menelusuri kembali asal-usul
pelayanan imamat, kita dapat menemukan dalam kata-kata Yesus suatu prinsip
kesatuan semua fungsi imamat. Apa
itu? Itulah kualitas kegembalaan. Yesus mendefinisikan diri-Nya sebagai gembala.
Karena imamat-Nya adalah suatu ciptaan baru dan asli, dan lebih tinggi daripada
imamat Yahudi, maka kualitas kegembalaan
merupakan gambaran terbaik tentang
fungsi-fungsi imamat. Imam adalah pastor bonus.
Kristus gembala memimpin
kawanan melalui kata-kata dan tindakan. Ia mempersembahkan diri-Nya sebagai
korban untuk memberikan kehidupan yang melimpah kepada kawanan-Nya khususnya
melalui Ekaristi. Dengan memimpin kawanan, Ia menjadikan mereka satu. Tiga
fungsi (kotbah, ibadat dan bimbingan) menjadi ungkapan kasih kegembalaan (caritas
pastoralis), dan dari kasih itulah ketiga fungsi imamat mendapatkan
inspirasinya.
Dengan “memberikan” Kerajaan
kepada kedua belas Rasul seperti Bapa telah melakukan kepada-Nya, Yesus
memberikan kepada mereka kuasa-Nya. Dengan menjadikan mereka kepala umat Allah
yang baru, Ia mewajibkan mereka menjalankan kepemimpinan dengan cara seperti
yang telah dilakukan-Nya, yakni sebagai gembala. Konfirmasi tentang hal ini
kita temukan dalam kata-kata yang ditujukan kepada Petrus: “Gembalakanlah
domba-domba-Ku” (Yoh 21:16-17). Esensi otoritas Petrus ini tidak berbeda dari
sebelas Rasul yang lain. Otoritas itu berbeda hanya dalam tingkatan. Tetapi
semua mereka diberi otoritas sebagai gembala.
Tugas gembala yang
dipercayakan kepada kedua belas Rasul tidak harus dipahami sebagai bimbingan
kepada komunitas yang sedang eksis pada masa mereka. Sudah sejak awal pada saat
Yesus menyerahkan Kerajaan kepada para Rasul, komunitas Kristen telah mulai ada.
Pada peristiwa Pentekosta, Gereja didirikan dan melengkapinya dengan misi untuk
membawa semua orang kepada iman yang baru. Konsekuensinya, tugas Gereja harus
dipahami sebagai yang dinamis dan terbuka. Tugas itu menuntut usaha apostolik
bagi orang-orang luar. Dalam arti yang fundamental, semua orang adalah “anak
domba” atau “kawanan” Tuhan. Menjadi gembala mereka berarti memimpin mereka
kepada Kristus dan menyatukan mereka di sekitar-Nya.
Otoritas yang
dimiliki gembala atas kawanan merupakan ciri khas. Inilah unsur khusus yang
terdapat pada imamat pelayanan. Imamat umum orang-orang Kristen menuntut fungsi
profetis dan kultis. Sedangkan kepada para pelayan (para uskup dan imam) dikhususkan
otoritas pastoral, karena tahbisan imamat para imam dapat “bertindak atas nama
Kristus Kepala”, in persona Christi capitis,
(bdk. PO 2).
Lalu, dapatkah tugas gembala
secara simpel disejajarkan dengan “karisma kepemimpinan”? Tidak! Memang kepemimpinan
merupakan salah satu karisma seperti ditegaskan oleh Paulus (1Kor 12:28),
tetapi tidak setiap karisma kepemimpinan merupakan perluasan dari kepemimpinan
yang hanya dimiliki oleh imamat hierarkis. Otoritas imanen dalam imamat tidak
berasal dari karisma tetapi dari fakta bahwa Kristus mendirikan imamat dan
membagikan tanggung jawab pastoral-Nya. Memang beberapa karisma diberikan untuk
membantu pelaksanaan tugas ini, namun tugas itu sendiri tidak melulu tergantung
pada inspirasi karismatis. Dasarnya ialah kehendak Kristus seperti dinyatakan
dalam pemilihan grup Dua Belas dan dalam misi pastoral personal-Nya yang
dibagikan kepada rekan kerja-Nya.
Jadi misi gembala
memperlihatkan otoritas memimpin dengan tujuan tertentu yakni membimbing
kawanan yang adalah komunitas gerejani. Konsekuensinya muncullah peranan yang
berstruktur dari Gereja itu sendiri. Namun otoritas memimpin ini harus
dilaksanakan dalam semangat pelayanan dan kasih seperti telah ditunjukkan oleh
Kristus dan diwariskan kepada para Rasul. Dengan demikian, otoritas memimpin lebih
dari sekedar memerintah. Memerintah dan memimpin kawanan jelas merupakan dua hal
yang berbeda. Perbedaan itu dapat kita lihat dalam cara otoritas biasa dipahami
dalam masyarakat sipil dan cara bagaimana Kristus memahami otoritas itu dalam
Injil-injil.
2.3
Misi Gembala dan Tujuan Komuniter Fungsi
Imamat
Sekarang kita lihat bagaimana Konsili
Vatikan II menghadirkan fungsi-fungsi imamat dan bagaimana kita memahami kesatuan
di antara fungsi-fungsi itu. Konsili memberikan prioritas pada fungsi
evangelisasi. Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen Gentium 25 mengatakan: “Di antara tugas-tugas utama para uskup pewartaan Injillah yang terpenting”.
Dalam PO 4 dikatakan: “...para imam, sebagai rekan kerja para uskup, pertama-tama wajib mewartakan Injil
Allah kepada semua orang”.
Di sisi lain, Konsili
menganggap tingkat tertinggi fungsi imamat dilaksanakan dalam Perayaan Ekaristi.
Dengan referensi kepada para imam, LG 28 mengatakan: “Tetapi tugas suci mereka terutama mereka laksanakan dalam ibadat
Ekaristi atau synaxis”. PO 13
menegaskan: “Para imam memenuhi tugas
utama mereka dalam misteri korban Ekaristi”.
Apakah Konsili sengaja
menyampaikan doktrin yang saling bertentangan? Tidak. Bagaimana mempersatukan
kedua pernyataan ini? Kesatuannya harus dilihat dalam terang ruang lingkup misi
gembala. Ruang lingkup misi kegembalaan ialah pembentukan dan perkembangan
komunitas. Jadi, jikalau fungsi berkotbah datang pertama dalam susunan
kronologis, maka liturgi Ekaristi harus dilihat sebagai kulminasi tindakan
imamat. PO berhasil mempertahankan kesatuan fungsi-fungsi imamat dan itu
dilakukan dengan memperhatikan manfaatnya bagi umat Allah.
Dalam PO 2 kita membaca:
Karena para imam dengan
cara mereka sendiri ikut mengemban tugas para Rasul, mereka dikurniai rahmat
oleh Allah, untuk menjadi pelayan Kristus Yesus di tengah para bangsa, dengan
menunaikan tugas Injil yang suci, supaya persembahan para bangsa, yang
disucikan dalam Roh Kudus, berkenan kepada Allah. Sebab melalui warta Rasuli
tentang Injil umat Allah dipanggil dan dihimpun, sehingga semua orang yang
termasuk umat itu, karena dikuduskan dalam Roh, mempersembahkan diri sebagai
“persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah” (Rom 12:1). Melalui
pelayanan para imam korban rohani kaum beriman mencapai kepenuhannya dalam
persatuan dengan korban Kristus Pengantara tunggal, yang melalui tangan para
imam, atas nama seluruh Gereja, dipersembahkan secara tak berdarah dan
sakramental dalam Ekaristi, sampai kedatangan Tuhan sendiri. Itulah arah-tujuan pelayanan para imam;
di situlah pelayanan itu mencapai
pemenuhannya. Sebab pelayanan mereka,
yang berawal mula dari warta Injil, menerima daya-kekuatannya dari korban Kristus, dan tujuannya ialah,
supaya “seluruh kota yang telah ditebus, yakni persekutuan dan himpunan para
kudus, dipersembahkan sebagai korban universal kepada Allah melalui Sang Imam
Agung, yang dalam kesengsaraan-Nya telah mempersembahkan Diri-Nya juga bagi
kita, supaya kita menjadi Tubuh Kepala yang seagung itu”.
Sekarang kita memahami kontinuitas
antara proklamasi Injil dan liturgi Ekaristi. Proklamasi Injil merupakan suatu
pelayanan suci, seperti dikatakan Paulus, yang dimaksudkan untuk membuat
persembahan berkenan kepada Allah bagi mereka yang menerima Sabda. Persembahan
spiritual ini diwujudkan dalam korban Ekaristi. Seperti dikatakan Dekrit PO di
tempat lain, Ekaristi “tampil sebagai sumber dan puncak seluruh pewartaan
Injil” (no. 5).
Begitulah Vatikan II
melukiskan kontinuitas antara pelayanan Sabda dan peribadatan dengan memusatkan
perhatian pada umat Allah. Atas cara yang sama dapat dipahami kontinuitas
antara kepemimpinan pastoral dan dua fungsi yang lain. Umat Allah menjadi satu
berkat pewartaan Injil; umat memperoleh pengudusan karena pelayanan
sakramen-sakramen yang dipersembahkan oleh sang gembala dalam Ekaristi, dan
umat itu dituntun oleh para gembala:
Sementara para imam, sesuai dengan tingkat
partisipasi mereka dalam kewibawaan, menunaikan tugas Kristus sebagai Kepala
dan Gembala, mereka atas nama Uskup menghimpun keluarga Allah sebagai rukun
persaudaraan yang sehati sejiwa, dan melalui Kristus mengantarnya dalam Roh
menghadap Allah Bapa. Untuk menjalankan pelayanan itu, seperti juga untuk
tugas-tugas imam lainnya, dikurniakan kuasa rohani, yang berikan untuk
membangun umat” (PO 6).
Jadi, kepemimpinan pastoral dimaksudkan untuk membangun komunitas. Dengan
demikian fungsi ini berhubungan erat dengan evangelisasi dan peribadatan, yang
juga bertujuan membangun komunitas. Inilah
esensi pelayanan imamat. Dalam arti ini pula, kita merumuskan pelayanan imamat sebagai pelayanan gembala. Gembala di sini
memiliki arti yang luas, bukan hanya mengacu kepada kepemimpinan atau
pemerintahan. Vatikan II menggunakan istilah ini untuk menunjukkan keseluruhan
misi uskup dan imam: “Mereka di antara umat beriman yang ditandai dengan
tahbisan suci, diangkat untuk atas nama Kristus menggembalakan Gereja dengan
sabda dan rahmat Allah” (LG 11). Pelayanan-pelayanan itu “tujuannya
kesejahteraan seluruh tubuh” (LG 18). Uskup sebagai wakil Allah “memimpin
kawanan yang mereka gembalakan, sebagai guru dalam ajaran, imam dalam ibadat
suci, pelayan dalam bimbingan” (LG 20). Judul “Dekrit tentang Tugas Pastoral
Para Uskup dalam Gereja” mengonfirmasikan makna yang lebih luas dari istilah
gembala.
Para imam berpartisipasi dalam
tugas pastoral ini melalui semua aktivitas yang diberikan kepada mereka:
“Karena fungsi para imam tergabung pada tingkat para Uskup, fungsi itu ikut
menyandang kewibawaan Kristus sendiri, untuk membangun, menguduskan dan
membimbing Tubuh-Nya” (PO 2).
Ketika fungsi kepemimpinan
diberi makna pastoral, maka administrasi kurang
diberi perhatian dan hubungan-hubungan personal lebih diperhatikan. Gembala adalah seorang yang mengetahui
domba-dombanya, dan domba-domba mengenalnya juga; gembala ialah seorang yang
memanggil domba-dombanya dengan nama mereka masing-masing. Mengenal umat secara
pribadi, dan berelasi dengan mereka sama seperti satu keluarga memperlihatkan
udara keramah-tamahan ketika gembala berkunjung dan bercakap-cakap dengan
mereka. Memimpin komunitas secara pastoral berarti memeteraikan pada komunitas
itu suatu roh yang menentukan, menganimasinya dengan cara pikir tertentu, atau
lebih tepat memberinya animasi dalam tangan Roh Kudus.
3.
Sifat-sifat Esensial Pelayanan
1.
Imamat yang misioner dan dinamis.
Vatikan II berbicara tentang hal ini ketika
Konsili menekankan tugas misioner dalam imamat. LG 24 mendeklarasikan: “Para
Uskup selaku pengganti para Rasul menerima perutusan [dari Tuhan] untuk
mengajar semua bangsa dan mewartakan Injil kepada segenap makhluk”. Sebagai
“pewarta iman” mereka “mengantar murid-murid baru kepada Kristus” (LG 25).
Dalam
PO 4 terbaca: “Para imam mempunyai kewajiban terhadap semua orang, untuk
menyampaikan kebenaran Injil kepada mereka...Entah para imam mempunyai cara
hidup yang baik di tengah bangsa-bangsa, dan mengajak mereka memuliakan Allah,
atau dengan pewartaan yang terbuka menyiarkan misteri Kristus kepada kaum tak
beriman, atau memberikan katekese kristiani atau menguraikan ajaran Gereja,
atau mereka berusaha mengkaji persoalan-persoalan aktual dalam terang Kristus,
...dan tiada jemunya mengundang semua orang untuk bertobat dan menuju
kesucian”. Kita lihat di sini bahwa Konsili Vatikan II hanya mengulangi kembali
dan menerapkan apa yang diberikan oleh Injil-injil tentang misi yang
dipercayakan Yesus kepada para murid-Nya (bdk. Mat 28:19).
2.
Penggembalaan Komunitas.
Dinamisme pastoral imam tidak hanya
ditunjukkan dalam kerasulan keluar kepada orang-orang tak beriman, tetapi itu
juga dinyatakan ke dalam komunitas kristiani sendiri. Imam tidak hanya
dipanggil sebagai penjaga komunitas, tetapi jiwa dari komunitas itu. Seperti
Kristus sendiri, pada dasarnya imam adalah animator sendiri.
Kita telah menggarisbawahi
bahwa gembala menjalankan otoritas, tetapi dengan kasih. Otoritas ini berusaha
menegakkan semangat orang Kristen dari dalam melalui kontak-kontak
persaudaraan. Kristus mengklaim kuasa tertinggi sebagai pemberi hukum dan
membagikan kuasa ini kepada Dua Belas Rasul. Sebagai konsekuensinya, ada suatu hierarki
yang diberi kuasa untuk menegakkan hukum-hukum yang bertujuan untuk
mengonkretkan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Kristus. Tetapi Yesus lebih
menekankan spirit/semangat daripada huruf-huruf. Untuk mengatur Gereja-Nya,
Kristus lebih berharap pada kelimpahan kasih daripada peraturan-peraturan. Kita
telah mencatat sikap kritis-Nya melawan imamat yang sungguh bertindak hanya
berdasarkan aturan-aturan hukum dan sangat sedikit memiliki semangat belas
kasih. Untuk menyebarluaskan Kristus, imam harus berjuang di atas segalanya
menyebarkan suatu iklim iman dalam komunitas yang dipercayakan kepadanya.
Dekrit Christus Dominus melukiskan tugas pastoral para uskup: “Dalam
menunaikan tugas mereka sebagai bapa dan gembala hendaklah para Uskup hadir di
tengah Umat mereka selaku pelayan, sebagai gembala baik yang mengenal
domba-domba mereka dan dikenal oleh para domba; sebagai bapa sejati, yang
unggul karena semangat cinta kasih dan keprihatinan mereka terhadap semua
orang...Hendaklah mereka menghimpun dan membina segenap keluarga kawanan mereka
sedemikian rupa, sehingga semua menyadari tugas-tugas masing-masing, dan hidup
serta bekerja dalam persekutuan cinta kasih” (no. 16). Pemimpin yang berusaha
menciptakan persekutuan cinta kasih
merupakan tujuan yang dikejar bukan
hanya oleh uskup, tetapi juga oleh imam. Setiap tugas pastoral harus dijalankan
dalam cara ini.
Animator tidak menolak
otoritas yang dipercayakan kepadanya tetapi menjauhkan apa saja yang dapat
membuat otoritas ini menjadi gangguan dan ketakutan bagi umat. Ia menampakkan
itu dalam dorongan kasih yang lebih tinggi dan dalam pelayanan yang berasal
dari Allah serta berjuang untuk menciptakan suatu iklim persaudaraan yang tidak
pernah akan muncul dari agama yang legalis.
Dalam tugas kepemimpinan ini,
sumber-sumber pribadi imam dapat digunakan[11].
Orang yang menganimasi komunitas Kristen melibatkan pertama sekali iman dan
cinta kasihnya sendiri. Ia tidak dapat berjuang menguatkan iman dan cinta kasih
yang lain kecuali kalau ia sendiri memilikinya. Ia juga tidak dapat
menyemangati dan menghibur orang-orang Kristen kalau ia sendiri tidak memiliki
harapan yang kuat.
Untuk memelihara penilaian
yang baik dengan anggota-anggota komunitas dan mencip-takan relasi-relasi
dengan orang-orang luar, “pentinglah peranan keutamaan-keutamaan, yang dalam persekutuan antar manusia memang
sudah selayaknya dihargai; misalnya kebaikan
hati, kejujuran, keteguhan hati dan ketabahan, semangat
mengusahakan keadilan, sopan santun
dan lain-lain, yang dianjurkan oleh Rasul Paulus dengan pesannya:’...Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang
adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua
yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu’ (Flp
4:18)” (PO 3).
Animasi komunitas Kristen juga
menuntut inovasi dan kreativitas. Komunitas selamanya membutuhkan reformasi.
Harus diciptakan sesuatu yang baru. Komunitas tidak dapat harus tetap statis
seperti sedia kala, sebab dunia terus berkembang dan Gereja juga demikian.
Karena itu komunitas memerlukan kemajuan dan pembaharuan. Situasi-situasi yang
mempengaruhi kerasulan menuntut perubahan, masalah-masalah muncul dalam cara
yang berbeda, solusi-solusi baru harus ditemukan.
3.
Promosi Kesatuan
Dalam deklarasi Kristus
tentang kesatuan domba-domba dan gembala, kita melihat betapa pentingnya usaha peningkatan
kesatuan yang diperjuangkan oleh imam melalui kepemimpinannya. Dengan
menghadirkan Kristus dalam pelaksanaan tugasnya, gembala menghadirkan secara
khusus kesatuan-Nya dan menjalankan misi penyatuan atas nama-Nya.
Inilah penegasan Lumen Gentium tentang para uskup:
“Masing-masing uskup menjadi asas dan
dasar kelihatan bagi kesatuan dalam Gereja khususnya [diosesnya], yang terbentuk menurut citra Gereja semesta” (no. 23)[12].
Para uskup tidak hanya menandakan atau menjadi simbol kesatuan gerejani, tetapi
juga “prinsip dan dasar” kesatuan itu, karena mereka menjalankan suatu peranan untuk
membawa umat secara bersama-sama dan meluaskan serta mengaktualkan peranan Kristus
sendiri. Apa yang dikatakan kepada Petrus (batu karang yang di atasnya Yesus
ingin mendirikan Gereja-Nya) diterapkan secara analogis kepada gembala dalam
hubungan dengan komunitas yang dipimpinnya. Dalam kata-kata Dekrit PO para imam
“menghimpun keluarga Allah sebagai rukun [kesatuan] persaudaraan yang sehati
sejiwa” (no. 6).
Karena itu setiap imam harus
melihat promosi kesatuan sebagai tanggung jawabnya sendiri. Tugas ini tidak
pernah menyebabkan perpecahan-perpecahan, tetapi dalam setiap kesempatan
meningkatkan keharmonisan, rekonsiliasi, damai, dan permufakatan persaudaraan.
Tugas ini sungguh mulia dan menginspirasikan, karena sesuai dengan kebutuhan
yang mendalam dan semakin kuat di dunia dewasa ini.
Tetapi kita harus menghindari
kebingungan. Kesatuan yang diperjuangkan imam bukan hanya kesatuan begitu saja,
suatu kesatuan “sekuler”. Kesatuan yang dimaksud ialah kesatuan spiritual yang
datang menjadi satu mengelilingi Kristus karena adanya kesetiaan iman dan
perkembangan kasih. Di masa-masa lalu, kesatuan ini dipahami secara keliru,
karena kesatuan dimengerti sebagai kesatuan Gereja yang kelihatan. Kesatuan
Gereja adalah ungkapan dari kesatuan yang lain. Kesatuan Gereja tidak identik
dengan kesatuan yang kelihatan. Kesatuan fundamental mempertahankan kualitas
yang tak kelihatan dan tersembunyi yang melampaui manifestasi-manifestasi
luarnya.
4.
Kolegialitas
Dari kisah yang menceritakan
pemilihan kedua belas Rasul, kita memahami bahwa “kolegial” para Rasullah yang
menerima kuasa atas Kerajaan dan itulah alasannya mengapa misi pastoral lahir
dari kolegialitas para uskup. Dan kolegialitas para imam bergantung pada kolegialitas para uskup ini.
Seperti kita tahu Vatikan II
telah menekankan kolegialitas episkopal (bdk. LG 22). Di sini kita tidak
bermaksud memperluas doktrin tentang kolegialitas, tetapi beberapa aplikasi
yang relevan dengan konsep tentang imamat pelayanan.
Kolegialitas misi pastoral
menjamin bahwa dalam kesatuan terdapat macam-macam tugas dalam pelayanan
Kerajaan Allah. Kolegialitas memungkinkan pembagian kerja dan memfasilitasi distribusi
anggota-anggota, bukan hanya berdasarkan tempat-tempat dan komunitas-komunitas
geografis, tetapi juga menurut tugas-tugas atau aktivitas-aktivitas yang diharuskan.
Jika satu tipe imam mencerminkan satu wajah Kristus, kolegialitas memungkinkan
ciri-ciri lain wajah Kristus yang berbeda satu sama lain, yang tergantung pada
pribadi-pribadi, kompetensi-kompetensi, dan tugas-tugas yang diberikan.
Ketika kita berbicara tentang
seorang pastor, kita cenderung untuk berpikir hanya seorang imam yang
menjalankan tanggung jawab total bagi sebuah paroki. Sesungguhnya banyak paroki
lebih suka dilayani oleh suatu tim para imam. Kelompok imam-imam dapat juga
bertugas untuk beberapa paroki. Apalagi, Gereja dipanggil menjawab
masalah-masalah kolektif dan tak perlu dibatasi pada satu paroki. Inilah
sebabnya mengapa misi pastoral harus dijalankan selalu lebih secara kolegial,
dan mengapa misi itu juga harus termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan khusus
yang melampaui kerangka kerja parokial.
Kolegialitas imamat bukan
inovasi yang diperkenalkan Yesus, bagi suatu organ para imam, suatu kasta yang
ditemukan dalam bangsa Yahudi. Tetapi, ketika Ia menghapus ikatan keanggotaan
yang berdasarkan suku dan meminta para Rasul meninggalkan segala sesuatu untuk
membangun keluarga baru dengan Dia, Yesus menghendaki bahwa kolegialitas harus
merupakan suatu ikatan baru. Ikatan kolegial yang baru harus loyal kepada
Kristus dan komitmen untuk misi bagi semua. Persaudaraan para imam terjadi
secara natural di dalam Kristus yang adalah saudara dari semua.
Persaudaraan yang menandai
komunitas para imam merupakan suatu inovasi yang dibawa oleh Injil yang menjadi
sumber kekaguman sepanjang sejarah dunia. Untuk mengizinkan berseminya
persaudaraan dalam komunitas Kristen, para imam harus tampak di hadapannya
sebagai pribadi-pribadi yang dianimasi oleh persaudaraan itu.
BAB VI
TINGKATAN-TINGKATAN
DALAM SAKRAMEN TAHBISAN
- Munculnya Tingkatan-tingkatan Dalam Sakramen
Tahbisan
Ketika pelayanan-pelayanan
berkembang dan berbeda, maka tingkatan-tingkatan lebih rendah ditambahkan untuk
melengkapi hierarki yang terdiri dari uskup, imam dan diakon. Tradisi Apostolik dari Hippolitus (± 200
M) menyebutkan tingkatan-tingkatan lektor dan subdiakon. Sebuah surat Paus
Kornelius kepada Uskup Fabius (252 M) mendaftar 7 tingkatan dalam Gereja Roma: imam, diakon, subdiakon, akolit, eksorsis, lektor dan portir. Bila di Gereja Timur hanya dikenal subdiakonat dan lektorat
sebagai ordo[13] di bawah diakonat dan tugas-tugas yang lain
seperti penyanyi, portir, eksorsis tidak dilihat sebagai ordo, maka tradisi
Gereja Latin mengakui tujuh tahbisan, yaitu: tiga tahbisan meriah (imamat, diakonat, subdiakonat) dan empat tahbisan minor (akolit, eksorsis,
lektor dan portir). Ini tampak juga dalam Konsili Trente.
Para teolog Skolastik pada
Abad Pertengahan umumnya berpendapat bahwa 7 tahbisan memiliki nilai
sakramental dan memberikan karakter sakramental. Tetapi mereka juga membela
bahwa tujuh karakter membentuk suatu kesatuan. Sehubungan dengan tahbisan tertinggi yakni imamat, Petrus Lombardus mengikuti pendapat
Hugo dari St. Viktor yang membedakan imamat dalam dua martabat: presbiterat
dan episkopat. Ini berarti bahwa
episkopat dibedakan dari presbiterat, tetapi episkopat itu tidak dilihat
sebagai satu ordo. Alasannya ialah bahwa episkopat tidak memberikan kuasa
khusus dalam hubungan dengan Ekaristi. Menurut Albertus Agung, episkopat hanyalah kuasa yurisdiksi.
St. Bonaventura dan St. Thomas
Aquinas mengambil posisi moderat. Santo Bonaventura
berpendapat episkopat bukanlah satu ordo.
Episkopat hanyalah memperluas kuasa yang telah diberikan kepada imam. Akan
tetapi ada sesuatu yang lebih pada episkopat, lebih daripada hanya sekedar
yurisdiksi. Ada suatu eminentia
(keutamaan, keunggulan, nilai tinggi) yang tetap ada sekalipun yurisdiksinya
dicabut. Eminentia merupakan suatu
martabat yang dapat dibandingkan dengan imam agung, patriarkat atau paus.
Dalam Commentary on the Sentences, Thomas
mempertahankan bahwa episkopat bukan satu ordo, jika “ordo” di sini dimaksudkan sebagai sakramen tahbisan. Tetapi “ordo”
bisa juga mengacu kepada tugas yang
berhubungan dengan pelaksanaan fungsi suci tertentu. Dalam hal ini, episkopat
adalah satu ordo, karena pemberian kuasa uskup berhubungan dengan Tubuh Mistik
lebih tinggi daripada imam. Dalam Treatise
on the Perfection of the Spiritual Life, Thomas mengambil posisi yang lebih
eksplisit: “Uskup memiliki satu ordo dalam hubungan dengan Tubuh Mistik, yaitu Gereja. Dalam kaitannya dengan Gereja, uskup dipercayakan dengan
tanggung jawab utama dan rajawi yang lebih baik”. Sehubungan dengan Tubuh Ekaristik ordo uskup bukanlah tingkatan di atas imam. Bahwa ia satu
ordo dan bukan hanya yurisdiksi, dibuktikan oleh fakta bahwa uskup diberi kuasa
untuk melakukan banyak hal yang tak mungkin dipercayakannya kepada yang lain.
Kemudian beberapa teolog
melanjutkan diskusi dengan berpendapat bahwa episkopat bukan satu ordo sakramental yang berbeda dari presbiterat. Di
antara mereka ini dapat disebut: Yohanes Capreolus, Silvester Ferrara,
Dominikus Soto, dan kemudian Gonet, Billuart, Billot, Hugon dan Battifol.
Mereka kurang lebih mengikuti pendapat yang telah dikemukakan oleh Thomas
sebelumnya.
Akan tetapi kita juga
menemukan posisi lain. Dekrit Gratianus
membedakan 9 ordo klerikus, ordo
tertinggi ialah uskup. Kita melihat di sini bahwa uskup merupakan satu
ordo. Pandangan ini kemudian diadopsi oleh William Auxerre. Dan pada akhir abad
ke-13 Petrus Yohanes Olivi berpendapat bahwa hanya imamat dan episkopat
termasuk ordo sakramental yang memberikan karakter.
Duns Scotus
menegaskan bahwa episkopat adalah satu ordo yang berbeda, ordo yang memberikan
semua ordo dengan konsekuensi suatu nilai yang unggul. Durandus dari St.
Pourcain mempertahankan bahwa subdiakonat dan ordo-ordo minor bukanlah
sakramen, sementara episkopat adalah suatu ordo dan sakramen.
Dari semua pendapat tersebut
ada dua posisi yang dianut
akhir-akhir ini. Pertama, subdiakon
dan ordo-ordo minor bukanlah sakramen. Kedua,
episkopat memiliki nilai sakramental tersendiri. Skolastisisme Abad Pertengahan
tidak melihat episkopat sebagai satu sakramen. Nilai sakramental diwariskan
kepadanya tetapi tetap termasuk imamat. Jadi,
episkopat adalah ordo sakramental yang berbeda dari presbiterat.
- Deklarasi-deklarasi Konsili Trente
2.1
Hierarki
Setelah perdebatan yang panjang,
Konsili Trente mendefinisikan eksistensi hierarki. Kanon 6 tentang Sakramen
Tahbisan menegaskan bahwa “dalam Gereja Katolik ... didirikan satu hierarki
oleh peraturan ilahi yang terdiri dari: uskup, imam dan pelayan-pelayan”.
Meskipun Konsili mengakui eksistensi
hierarki, namun kekaburan muncul ketika Konsili melukiskan asal-usulnya. Sebenarnya
para uskup Spanyol dan Kardinal Lorraine telah memasukkan suatu usul yang lebih
persis dengan mengatakan bahwa “hierarki didirikan oleh Kristus Tuhan”. Tetapi
mayoritas menolak usul ini. Menurut mereka, jika hierarki dikatakan didirikan
oleh Kristus, maka Konsili seolah-olah mengakui bahwa para uskup menerima
yurisdiksi dari Allah. Grup Spanyol mempertahankan bahwa memang yurisdiksi
uskup berasal secara langsung dari Allah, dan Paus hanya membagikan kepercayaan
kepada uskup-uskup melalui yurisdiksi. Memang mayoritas Bapa Konsili mempertahankan
bahwa para uskup menerima yurisdiksi hanya melalui perantaraan Paus. Akan
tetapi dalam rumusan akhir, Konsili berkompromi dan menerima rumusan: “satu
hierarki didirikan oleh peraturan ilahi”. Rumusan ini tetap membuka pertanyaan
apakah uskup didirikan oleh Kristus. Frase “peraturan ilahi” mengacu kepada
keinginan atau ketetapan dari pihak ilahi, tetapi tidak mengandung isi konkret
yang lain tentang kodrat peraturan itu. Bagi kita sekarang, jika kita mau menafsirkan
teks Konsili ini, kita harus memperhatikan maksud Konsili yang berusaha menghindar
dari afirmasi yang jelas tentang institusi ilahi atau institusi yang didirikan
oleh Kristus dalam hubungan dengan para uskup.
Selain itu, deklarasi Trente
juga kabur dalam hubungan dengan tingkatan dalam hierarki. Konsili tidak
mengatakan bahwa tiga tingkatan yang didaftar dalam kanon 6 diinstitusikan oleh
peraturan ilahi. Kanon hanya mengatakan mengenai hierarki itu sendiri. Kata “pelayan-pelayan”
juga menimbulkan suatu pertanyaan. Apakah itu hanya mengacu kepada diakon, atau
kepada semua ordo yang berada di bawah imamat? Karena frase dalam rumusan
sebelumnya “dan pelayan-pelayan lain” secara eksplisit diubah menjadi “dan
pelayan-pelayan”, maka “pelayan-pelayan” di sini sangat mungkin hanya mengacu
kepada diakon. Tetapi fakta tetap tinggal bahwa diakon tidak disebut secara
eksplisit oleh Konsili.
2.2
Superioritas Uskup atas Imam-imam
Konsili Trente mendefinisikan
bahwa dalam hierarki tingkatan uskup berada di atas imam-imam. Anathema (terkutuklah/laknat) orang yang
berpendapat bahwa “para uskup bukan berada di atas para imam, atau bahwa mereka
tidak memiliki kuasa untuk mengurapi dan menahbiskan, atau bahwa kuasa yang
mereka miliki adalah umum bagi mereka dan bagi para imam...”.
Sejak 4 Juli 1562 Konsili
memutuskan bahwa diskusi tentang superioritas uskup dibatasi secara khusus pada
ordo dan bukan pada persoalan yurisdiksi. Superioritas ini dijelaskan dalam
kaitannya dengan kuasa untuk memberikan Krisma dan menahbiskan. Bab 4 menunjukkan
bahwa kuasa uskup melampaui Krisma dan Tahbisan: “mereka melayani sakramen
Krisma dan dapat melaksanakan banyak fungsi yang tidak dapat dilakukan oleh
ordo yang memiliki kuasa lebih rendah”. Ini berarti bahwa daftar kuasa-kuasa
uskup tidak dimaksudkan lengkap.
Satu draf terdahulu tentang
bab 4 mengatakan bahwa “hanya” uskup memiliki kuasa untuk menahbiskan dan
memberikan Krisma. Namun pemilihan kata-kata ini diubah, sehingga rumusannya
berbunyi para uskup memiliki kuasa-kuasa ini “sebagai pelayan biasa” dan dalam
kasus khusus para imam diizinkan sebagai “pelayan luar biasa” Krisma. Pada
akhirnya, kata “hanya” dihapus untuk menghindari perbedaan antara pelayan biasa
dan pelayan luar biasa. Apa yang dapat dipetik dari kenyataan ini? Ketika bab 4
menegaskan bahwa pelayan-pelayan dari tingkat yang lebih rendah tidak memiliki
kuasa yang dilekatkan pada fungsi-fungsi yang dilaksanakan oleh para uskup, maka
bab itu sesungguhnya berbicara tentang pemberian kuasa imam yang diterima pada
waktu tahbisan. Bab tersebut tidak bermaksud mengatakan bahwa para imam tidak
diberi kuasa oleh Paus untuk bertindak sebagai pelayan luar biasa Krisma atau
bahkan tahbisan, yang adalah posisi minoritas dalam konsili. Dengan kata lain,
minoritas dalam Konsili Trente memungkinkan kuasa imam untuk melayankan
Sakramen Krisma dan Tahbisan.
Lalu, Konsili tidak memutuskan
apakah superioritas para uskup atas para imam dikehendaki oleh Kristus. Menurut
kanon 6 superioritas ini harus ditelusuri asal-usulnya pada “peraturan ilahi”,
tetapi seperti telah dicatat, frase ini tidak langsung mengacu kepada Kristus.
Dari deklarasi Trente kita dapat
mengambil beberapa kesimpulan. 1) Dalam kuasa tahbisan terdapat suatu hierarki
yang terdiri dari beberapa tingkatan tetapi tanpa merusak kesatuan sakramen.
Karena hanya ada tujuh sakramen, sakramen tahbisan harus dihitung satu. 2)
Hierarki telah didirikan oleh karena “peraturan ilahi” atau ketetapan. 3)
Didefinisikan bahwa dalam hierarki ini tingkat para uskup di atas para imam.
Mereka memiliki kuasanya sendiri khususnya kuasa untuk Krisma dan Tahbisan,
sekalipun tidak mengecualikan kemungkinan para imam diberi kuasa oleh Paus
sebagai pelayan-pelayan istimewa. 4) Di samping para uskup dan imam, hierarki
termasuk juga para pelayan, tetapi arti istilah “pelayan” tidak ditentukan
dengan persis. Konsili berfokus pada kuasa para uskup. Konsili tidak meniadakan
tingkat-tingkat yang lebih rendah.
- Konstitusi Apostolik Sacramentum Ordinis[14]
Konstitusi Saramentum Ordinis dikeluarkan oleh Paus
Pius XII tanggal 30 November 1947 dan dipublikasikan 28 Januari 1948. Judulnya
terbaca: “Tentang Tahbisan-tahbisan Suci Diakonat, Presbiterat dan Episkopat”.
Bila melihat judulnya, kita berkesan bahwa konstitusi ini berbicara tentang
tingkatan-tingkatan dalam sakramen Tahbisan. Namun Konstitusi tidak menjelaskan
isu tentang tingkatan-tingkatan itu. Konstitusi hanya bermaksud menentukan mana
ritus yang valid dalam pelayanan
sakramen. Melalui dokumen ini Paus mau menjawab keraguan-keraguan dan
debat-debat yang muncul dalam Gereja Latin.
Dalam abad ke-10 penyerahan
peralatan Misa menjadi bagian integral sakramen tahbisan imamat. Sejak itu
sejumlah besar pengarang khususnya kaum Thomis berpendapat bahwa tindakan ini
merupakan ritus esensial, sementara pengarang lain memilih penumpangan tangan.
Konstitusi menetapkan bahwa validnya sakramen Tahbisan ditentukan oleh ritus
yang memuat substansi sakramen yakni penumpangan tangan dan kata-kata (doa tahbisan) yang
menyertainya yang menandakan efek-efek sakramen, yaitu kuasa tahbisan dan
rahmat Roh Kudus. Dokumen Kepausan tidak menyelesaikan isu-isu masa lampau yang
mungkin dimunculkan di masa yang akan datang. Apakah penyerahan
instrumen-instrumen menjadi legitim atau tidaknya tahbisan yang ditetapkan di
masa lampau, “setidaknya di masa yang akan datang, itu tidak lagi menjadi
keharusan untuk validitas tahbisan-tahbisan suci diakonat, presbiterat dan
episkopat”.
Konstitusi menetapkan secara
persis ritus konstitutif dalam setiap tiga tahbisan (diakonat, presbiterat,
episkopat) dan khususnya tentang kata-kata yang menyertai penumpangan tangan.
Kita dapat mengumpulkan dari dokumen ini suatu orientasi sakramental yang
melihat setiap tahbisan sebagai tingkatan sakramental dan memberikan tiga
tingkatan dalam sakramen tahbisan: diakonat,
presbiterat, episkopat. Dokumen tidak membicarakan subdiakon atau ordo-ordo minor. Di atas segalanya
pantaslah lebih diperhatikan posisi ini, karena sebelumnya Hukum Gereja (thn.
1917) kan. 949 telah menetapkan bahwa subdiakonat,
diakonat dan presbiterat merupakan tahbisan suci atau tahbisan mayor.
Dalam penilaian kita,
diversitas tingkatan tidak cocok dengan kesatuan. Pembukaan dokumen menegaskan
bahwa menurut iman Katolik, “sakramen tahbisan yang diinstitusikan oleh Yesus
Kristus, dan melaluinya dibagikan kuasa spiritual dan rahmat untuk dengan tepat
melaksanakan fungsi-fungsi gerejani, adalah satu dan identik untuk Gereja
universal”. Kita melihat dalam dokumen ini ketidakselarasan antara tingkatan
sakramen dan kesatuan.
- Pengajaran Konsili Vatikan II
Konsili Vatikan II tidak
berbicara perihal definisi yang sempurna, dan lagi pengajarannya tentang imamat
menjelaskan deklarasi-deklarasi yang dibicarakan pada Konsili Trente dan berusaha
melampaui hal-hal itu. Sementara keprihatinan dasar Konsili Trente melawan
kesalahan-kesalahan Reformasi dan menyensornya, Vatikan II berusaha menjelaskan
secara tenang dan komplit mengenai arti dan nilai imamat dalam kehidupan
Gereja.
4.1
Pelbagai Tahbisan dan Asal-usulnya
Vatikan II menentukan dengan
lebih jelas tingkatan dalam hierarki: “...Demikianlah pelayanan gerejani yang ditetapkan oleh Allah dijalankan dalam
berbagai pangkat oleh mereka, yang sejak kuno disebut uskup, imam dan diakon” (LG 28). Hanya ada tiga
tingkatan pelayanan yang dibicarakan dalam Lumen
Gentium. Pada level yang lebih rendah hanya disebutkan diakon, tak ada yang
lain.
Konsili Vatikan secara khusus
memberi perhatian pada asal-usul pelayanan yang berbeda ini. Konsili tidak memakai
frase yang kabur “ordonansi ilahi” yang digunakan oleh Trente tentang institusi
hierarki. Sebelum kalimat tentang pelbagai tingkatan yang dicatat di atas, Vatikan
II menegaskan: “Kristus, yang dikuduskan oleh Bapa dan diutus ke dunia (Yoh
10:36), melalui para Rasul-Nya mengikutsertakan para pengganti mereka, yakni
uskup-uskup, dalam kekudusan dan perutusan-Nya. Para uskup dengan sah
menyerahkan tugas pelayanan mereka kepada pelbagai orang dalam Gereja dalam
tingkat yang berbeda-beda” (LG 28).
Lebih awal, dalam baris-baris
pembukaan LG bab 3, Konsili telah
membuat pernyataan umum bahwa institusi
pelbagai pelayanan berasal dari Kristus: “Untuk menggembalakan dan
senantiasa mengembangkan Umat Allah, Kristus Tuhan mengadakan dalam Gereja-Nya
aneka pelayanan, yang tujuannya kesejahteraan seluruh Tubuh” (no. 18).
Pelayan-pelayan ini dianugerahi kuasa
suci.
Kemudian Konsili mengarah pada
institusi para uskup bersama dengan Paus, dan menambahkan secara lebih persis:
“Mengikuti Konsili Vatikan I, Konsili Suci ini mengajarkan dan menyatakan,
bahwa Yesus Kristus Gembala kekal telah mendirikan Gereja kudus, dengan
mengutus para Rasul seperti Ia sendiri diutus oleh Bapa (lih. Yoh 20:21). Para
pengganti mereka, yakni para uskup, dikehendaki-Nya untuk menjadi gembala dalam
Gereja-Nya hingga akhir zaman. Namun supaya episkopat itu sendiri tetap
satu dan tak terbagi, Ia mengangkat Santo Petrus menjadi ketua para Rasul
lainnya. Dan dalam diri Petrus itu Ia menetapkan adanya asas dan dasar kesatuan
iman serta persekutuan yang tetap dan kelihatan” (LG 18).
Konsili menambahkan bahwa ia
bermaksud untuk mendeklarasikan secara lebih eksplisit doktrin tentang para
uskup. Jadi, Konsili mengemukakan secara lebih detail mengenai asal-usul
pelayanan episkopat. Setelah mengingatkan institusi kedua belas Rasul, Konsili
menyatakan bahwa misi yang dipercayakan oleh Kristus kepada para Rasul
dimaksudkan berlangsung sampai akhir zaman dan atas alasan tersebut “dalam
himpunan yang tersusun secara hierarkis itu para Rasul telah berusaha mengangkat
para pengganti mereka” (LG 20).
Maka doktrin Konsili Vatikan
II memperjelas apa yang tetap tinggal kabur dalam Konsili Trente: uskup diinginkan oleh Kristus. Kehendak
ini dinyatakan dalam tindakan mempercayakan kepada para Rasul misi yang
mengharuskan banyak pengganti. Sebaliknya tentang para imam Konsili hanya
menyebutkan bahwa mereka menerima fungsi-fungsi mereka dari uskup. Dengan ini
Konsili tidak memutuskan bagaimana Kristus menginginkan para imam pada awalnya.
Konsili menyatakan bahwa para uskup secara legitimasi memberikan kepada
pelbagai orang tingkatan yang berbeda partisipasi dalam pelayanan mereka (bdk.
LG 28). Dalam Dekrit PO menggunakan
bahasa yang sama, yakni bahwa peran pelayanan para uskup dalam tingkatan yang
terbatas telah “diserahkan kepada para imam, supaya mereka, sesudah tahbisan
imam, menjadi rekan-rekan kerja bagi tingkat para uskup, untuk sebagaimana
mestinya melaksanakan misi kerasulan yang mereka terima dari Kristus” (no. 2).
Dekrit PO menekankan peranan
Kristus dalam pelaksanaan pelayanan imamat: “Karena fungsi para imam tergabung
pada tingkat para uskup, fungsi itu ikut menyandang kewibawaan Kristus sendiri,
untuk membangun, menguduskan dan membimbing Tubuh-Nya” (no.2). Karena melalui
Sakramen Tahbisan, para imam disatukan dengan Kristus Imam bahwa mereka dapat
bertindak atas nama Kristus sebagai kepala (in
persona Christi capitis).
Mengafermasikan bahwa otoritas
Kristus dilaksanakan dalam fungsi presbiterat tidak ekuivalen memutuskan dengan
persis mana peranan Kristus yang dimainkan dalam sumber historis presbiterat.
Konsili hanya mengatakan bahwa para Rasul memiliki banyak rekan kerja dalam
pelayanan mereka (bdk. LG 20) dan bahwa di waktu kemudian para uskup memberikan
tugas pelayanan kepada para imam. Pertanyaan tetap terbuka apakah kehendak
khusus dari pihak Kristus termasuk juga institusi presbiterat. Akan tetapi,
seperti Trente menahan diri dari dekrit
bahwa Kristus mendirikan episkopat tidak harus bermaksud bahwa Ia tidak berbuat
demikian, juga tidak perlu bungkam atas Vatikan II yang mengatakan bahwa
Kristus tidak mendirikan imamat. Kebungkaman ini hanya menunjukkan bahwa
tingkat kejelasan penelitian dan refleksi Gereja belum cukup menyelesaikan
masalah yang ada: apakah Kristus menginginkan para imam.
4.2
Sakramentalitas Episkopat
a.
Kepenuhan Sakramen Tahbisan
Kemajuan yang sangat
signifikan dalam pengajaran doktrinal Vatikan II terletak pada pernyataan bahwa
episkopat ialah suatu sakramen: “Ada pun Konsili suci mengajarkan bahwa, dengan
tahbisan uskup diterimakan kepenuhan sakramen imamat, yakni yang dalam
kebiasaan liturgi Gereja maupun melalui suara para Bapa Suci disebut imamat
tertinggi, keseluruhan pelayanan suci” (LG 21).
Ekspresi “Konsili suci
mengajarkan” menunjukkan bahwa Konsili bermaksud untuk mengafermasikan kebenaran
yang dipertanyakan tentang otoritas pastoralnya, tetapi tanpa memakai
infalibilitas doktrinalnya. Konsili bermaksud mengakhiri debat tentang
sakramentalitas episkopat sebagai ordo yang berbeda dari presbiterat.
Sakramentalitas ini tidak dipertanyakan
ketika seorang diakon dan seorang awam langsung dikonsekrasikan menjadi uskup[15].
Dalam pandangan beberapa teolog, sakramentalitas episkopat bukan sebagai bukti
kepenuhan imamat ketika konsekrasi episkopat diberikan setelah tahbisan
presbiterat. Dalam hal ini beberapa teolog memilih posisi negatif atas
keberatan-keberatan yang dimunculkan oleh para teolog skolastik terhadap
episkopat sebagai satu ordo di atas imamat. Vatikan II mengambil posisi yang
jelas tentang sakramentalitas penahbisan episkopal.
Memperhatikan pilihan
kata-kata, karakter spesifik yang membedakan konsekrasi episkopal dari konsekrasi imamat ialah bahwa konsekrasi memberikan kepenuhan sakramen. Ketika
teks dalam persiapan, kepada Konsili dipertanyakan: “Apakah Bapa-bapa [Konsili]
mengambil pendirian bahwa ... konsekrasi episkopal membentuk tingkatan
tertinggi sakramen Tahbisan?” Pertanyaan dijawab dalam afirmatif. Teks final
sendiri melampaui jawaban afirmatif. Teks mengafermasikan bahwa konsekrasi
episkopat menjadi tingkat tertinggi dan juga memberikan kepenuhan sakramen
tahbisan.
Konsili mengungkapkan
dasar-dasar sakramentalitas episkopat: “Adapun dengan tahbisan uskup diberikan tugas
menyucikan, selain itu tugas
mengajar dan membimbing. Namun
menurut hakikatnya tugas-tugas itu hanya dapat dilaksanakan dalam persekutuan
hierarkis dengan kepala serta para anggota dewan. Sebab menurut tradisi, yang
dinyatakan terutama dalam upacara-upacara liturgis dan kebiasaan Gereja Timur
maupun Barat, cukup jelaslah, bahwa dengan penumpangan
tangan dan kata-kata tahbisan
diberikan rahmat Roh Kudus serta meterai suci sedemikian rupa, sehingga
para uskup secara mulia dan kelihatan mengemban peran Kristus sebagai Guru,
Gembala dan Imam Agung, dan bertindak atas nama-Nya. Adalah wewenang para uskup
untuk dengan sakramen tahbisan mengangkat para terpilih baru ke dalam dewan
para uskup” (LG 21).
Jadi, episkopat merupakan kepenuhan
sakramen Tahbisan didasarkan atas dua alasan, yakni alasan fungsi-fungsi yang dijalankannya dan cara sakramen itu diberikan kepadanya.
Fungsi-fungsi uskup adalah seperti yang dimiliki oleh sakramen tahbisan.
Fungsinya bukan hanya terbatas pada pengudusan dan pelayanan sakramen-sakramen
tetapi juga pengajaran dan bimbingan. Fungsi-fungsi ini diberikan melalui ritus
sakramental, yakni: penumpangan tangan dan kata-kata konsekrasi (doa tahbisan).
Ritus ini menghasilkan akibat ganda: rahmat dan karakter. Ini memungkinkan
uskup bertindak atas nama Kristus dengan melaksanakan dalam cara yang unggul
tiga fungsi imamat.
Untuk menyimpulkan pemaparan
kekhususan fungsi-fungsi uskup, Konsili menetapkan bahwa kuasa untuk mengkonsekrasikan
uskup hanya dimiliki oleh para uskup. Peringatan ini menjawab keraguan yang
ditimbulkan oleh beberapa teolog yang mengatakan bahwa pada abad-abad pertama
Gereja di Aleksandria memungkinkan konsekrasi episkopat oleh para presbiter.
Jadi, Vatikan II menggarisbawahi bahwa hanya uskuplah yang dapat menahbiskan
uskup.
- Kolegialitas Para Uskup
Konsili mengajarkan kolegialitas
para uskup dan itu lahir dari tahbisan episkopal: “Seseorang menjadi anggota
Dewan para Uskup dengan menerima tahbisan sakramental dan berdasarkan
persekutuan hierarkis dengan kepala maupun para anggota dewan” (LG 22).
Kolegialitas berasal dari
tindakan Yesus Kristus: “Para Rasul itu dibentuk-Nya menjadi semacam dewan atau
badan yang tetap. Sebagai ketua dewan diangkat-Nya Petrus, yang dipilih dari
antara mereka” (LG 19). “Seperti Santo Petrus dan para Rasul lainnya atas
penetapan Tuhan merupakan satu dewan para Rasul, begitu pula Imam Agung di Roma,
pengganti Petrus, bersama para Uskup, pengganti para Rasul, merupakan himpunan
yang serupa” (LG 22). Lalu kumpulan episkopat memegang kuasa atas Gereja
universal: “Badan para uskup, yang menggantikan dewan para Rasul dalam tugas
mengajar dan bimbingan pastoral, bahkan yang melestarikan badan para Rasul,
bersama dengan Imam Agung di Roma selaku kepalanya, dan tidak pernah tanpa
kepala itu, merupakan subyek kuasa tertinggi dan penuh juga terhadap seluruh
Gereja” (LG 22).
Dengan demikian kita sampai
kepada pemahaman yang lebih baik tentang kepenuhan imamat uskup. Termasuk di
dalam kepenuhan imamat itu ialah kodratnya yang kolegial dalam melaksanakan
kuasa atas Gereja universal dan tunduk
kepada otoritas Paus.
- Kuasa Tahbisan dan Pelaksanaannya
Baiklah dipahami perbedaan
yang dibuat oleh Konsili antara tugas-tugas yang diberikan melalui tahbisan
uskup dan pelaksanaan tugas-tugas itu. Tugas-tugas ini harus dilaksanakan
“dalam persekutuan hierarkis dengan kepala dan para anggota tubuh” (LG 22).
Catatan penjelasan oleh komisi doktrinal mengkhususkan arti perbedaan ini:
“Dalam pentakdisan diberikan partisipasi ontologis dalam tugas (munera) kudus, seperti jelas sekali
ternyata dari Tradisi, juga Tradisi liturgi. Dengan sengaja digunakan istilah
“munerum” (tugas-tugas), bukan “potestatum” (kuasa), karena istilah terakhir
dapat dimengerti sebagai kuasa yang langsung siap untuk bertindak. Tetapi
supaya ada kuasa yang langsung siap untuk bertindak itu, masih juga diperlukan penentuan kanonik atau yuridis oleh kewibawaan hierarkis”
(no.2)[16].
Dengan penjelasan itu Konsili
menunjukkan bagaimana kita memahami perbedaan antara kuasa tahbisan dan kuasa
yurisdiksi. Sesungguhnya tak ada dua kuasa. Di satu sisi ada kuasa tahbisan
dan di sisi lain ada undang-undang yang konkret tentang asal-usul kuasa yang
dijalankan itu. Undang-undang ini merupakan hak prerogatif dari kepala kolegial
para uskup. Itulah kodrat kuasa tahbisan. Itu mengimplikasikan persekutuan
hierarkis. Karena itu apa yang kita sebut yurisdiksi
menunjuk tempat di mana kuasa tahbisan dilaksanakan. Itu mengacu baik kepada
suatu tugas khusus yang diberikan kepada seorang uskup maupun kepada seorang
uskup dengan ditentukan subyeknya. Untuk
yang terakhir ini, misalnya ada uskup yang ditahbiskan untuk menjadi diplomat atau
duta Vatikan di salah satu negara.
- Kuasa Menahbiskan Yang Didelegasikan Kepada
Para Imam
Deklarasi Konsili tentang
sakramentalitas episkopat gagal menyelesaikan kesulitan yang lahir dari fakta
bahwa para imam telah diberi delegasi pontifikal untuk melaksanakan tahbisan.
Dalam beberapa contoh, Paus-Paus telah memberikan kepala-kepala biara atau para
misionaris privilese untuk memberikan tahbisan termasuk imamat. Kita mengacu
secara khusus sebuah Bulla dari Paus Bonifasius
IX yang dialamatkan kepada Abbas Ordo Agustinian di Dioses London pada
tahun 1400[17] dan sebuah Bulla dari
Martinus V kepada Abbas Cistersian di Altzelle di Saxon pada tahun 1427[18].
Yang pertama dari bulla-bulla ini ditarik kembali, bukan karena alasan
doktrinal, tetapi untuk menyelesaikan konflik dengan Uskup London. Itu berarti
secara doktrinal bulla itu masih berlaku. Maka bulla tersebut memberikan
privilese yang menimbulkan persoalan bagi Abbas dan para penggantinya secara
tak terbatas[19].
Bagaimana menjelaskan
konsesi-konsesi ini? Beberapa orang percaya bahwa keputusan-keputusan itu
mungkin disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para Paus. Kita
diingatkan bahwa para Paus yang menahbiskan kembali para uskup heretik atau
simoni adalah keliru sehubungan dengan validitas tahbisan pertama mereka. Ini
berarti bahwa kesalahan-kesalahan lain oleh para Paus tidak dapat dikecualikan,
termasuk sakramen tahbisan.
Tentu saja benar bahwa
bulla-bulla Kepausan yang memberikan privilese tahbisan adalah dokumen-dokumen
yang dapat keliru. Karena itu kita tidak dapat berapriori bahwa
kesalahan-kesalahan dalam hal ini tak mungkin dilakukan para Paus. Kita berhak
untuk menduga bahwa kemungkinan besar para Paus tidak melakukan kesalahan,
karena banyak keputusan jenis ini tercatat dan tak ada bukti untuk menunjukkan
bahwa beberapa kesalahan selalu diakui.
Para teolog lain berpendapat bahwa
bulla-bulla itu berfungsi memberi kuasa tahbisan. Jikalau demikian, kita harus
menyimpulkan bahwa Paus memberikan kuasa untuk menahbiskan tanpa ritus tahbisan.
Tetapi kita tak mungkin mengakui bahwa sebuah bulla pontifikal yang memberi
kuasa kepada seorang Abbas dan para penggantinya untuk menahbiskan anggotanya berarti
pemberian sakramental dari kuasa tahbisan. Para Paus menyingkapkan
ketidaksadaran bahwa ketika mereka mengeluarkan bulla-bulla ini, mereka sedang
melaksanakan kuasa tahbisan. Di samping itu tahbisan sakramental hanya dapat
dipahami dalam hubungan dengan persona tertentu, bukan berhubungan dengan garis
suksesi yang belum tentu. Dari kodratnya bulla-bulla adalah tindakan yuridis.
Karena itu satu pengandaian
tetap ttinggal bahwa bulla-bulla di atas menyatakan kuasa imam untuk
menahbiskan. Normalnya, kuasa ini dikendalikan dan tidak dapat dilaksanakan
secara valid kecuali oleh suatu tindakan yurisdiksi, otoritas yang kompeten
memberikan konsesi. Demikian juga kita mempertahankan secara radikal bahwa imam
memiliki kuasa untuk memberikan Krisma. Ini mengizinkannya sebagai pelayan
istimewa sakramen ini.
Sekalipun demikian hal itu
tidak berarti bahwa kuasa imam sama dengan kuasa uskup. Imam hanya dapat
menjadi pelayan istimewa tahbisan. Kuasanya untuk menahbiskan dilaksanakan di
bawah kendali otoritas Gereja. Konsesi hanya diberikan karena pengecualian dan
selalu dapat ditarik kembali. Uskup sebaliknya pelayan biasa tahbisan
presbiteral.
Lukisan Konsili tentang fungsi
uskup dalam LG dengan jelas menunjukkan bahwa superioritas uskup tidak harus
dibatasi pada kuasanya untuk menahbiskan dan memberi Krisma. Benar bahwa
Konsili Trente memberikan suatu garis antara superioritas para uskup dan kuasa
ganda, tetapi ini hanya satu posisi parsial. Vatikan II, yang beralamat
keseluruhan keluasan fungsi pastoral para uskup, telah melampaui posisi
tersebut.
4.3
Diakonat
- Restorasi Diakonat Permanen
Gerakan yang telah terjadi
sebelum Konsili Vatikan II untuk mempromosikan restorasi diakonat permanen diinspirasi
oleh dua sumber. Pertama, keinginan untuk memberikan status eklesial pada
pelayanan permanen jemaat awam yang sedang berlangsung dalam Gereja. Sudah
dalam tahun 1934, diakonat yang demikian telah didiskusikan dalam lingkungan Caritas Jerman. Kedua, yang lebih
menentukan ialah keinginan untuk mengatasi kekurangan para imam. Dalam Kamp
Konsentrasi Dachau, P. Otto Pies dan Rm. Wilhelm Schamoni merenungkan bahwa
diakon-menikah yang bertugas dalam profesi sekuler dapat memberikan kontribusi dalam
katekese, liturgi, dan kotbah. Pengalaman dunia dekristianisasi memaksa guru J.
Hornef untuk bekerja sebagai sakristan, lektor dan katekis. Ini mendorongnya
untuk berharap mengenai pembaharuan diakonat setengah waktu atau penuh waktu. Jadi,
gerakan ini dituntut oleh situasi di Jerman, kemudian meluas ke negeri-negeri
lain.
Pada tgl. 3 Oktober 1963
dilaksanakan sebuah konsultasi pendahuluan tentang “kepantasan mendirikan
diakonat sebagai suatu tingkatan yang berbeda dan permanen dari pelayanan suci
untuk menjawab kebutuhan Gereja di berbagai negeri”. Suatu pemungutan suara
pendahuluan diambil dan para Bapa Konsili menjawab setuju 1.588 dan 525
menolak. Pertama sekali secara prinsip disetujui bahwa diakonat harus
direstorasi, masalah selibat harus dipecahkan. Penyokong-penyokong restorasi
menyetujui diakonat-menikah. Dalam jawaban atas dua pertanyaan yang diajukan,
kemudian Konsili menyetujui bahwa laki-laki yang berumur matang, termasuk
laki-laki yang menikah dapat ditahbiskan menjadi diakon. Ditolak menjadi diakon
pemuda-pemuda yang tidak menikah kecuali kalau mereka ingin berjanji untuk
menepati kewajiban selibat.
Di Gereja Barat, diakonat
telah lama hanya menjadi salah satu tahap menuju imamat. Vatikan II mengizinkan
diakonat direstorasi “sebagai tingkat tersendiri dan permanen dari hierarki”
(LG 29). Keputusan untuk tahbisan demikian diserahkan kepada
konferensi-konferensi teritorial para uskup, untuk memohon persetujuan dari Paus.
Konsili mendaftar fungsi-fungsi diakon:
melayankan pembaptisan secara meriah,
menyimpan dan membagikan Ekaristi,
membantu pada dan memberkati pernikahan atas nama Gereja, membawakan viaticum
kepada mereka yang menghadapi ajalnya, membacakan Kitab Suci kepada umat
beriman, mengajar dan menasihati mereka, memimpin peribadatan dan doa bagi
jemaat, melayani sakramentalia, memimpin upacara jenazah dan penguburan.
Konsili juga menyebutkan dedikasi para diakon kepada tugas-tugas karitatif dan asistensi.
Maka, karena rahmat sakramental diakon “dalam persekutuan dengan uskup dan
kumpulan para imamnya” melayani umat Allah “dalam pelayanan liturgi, kotbah dan
cinta kasih” (LG 29).
- Peringatan Doktrinal
Meskipun Vatikan II bermaksud
untuk merestorasi nilai diakonat, dalam konsep dan presentasi tentangnya
terpelihara kebijaksanaan doktrinal. Sehubungan dengan pelayanan-pelayanan para
uskup dan imam, Konsili berusaha sekeras-kerasnya untuk memperjelas asal-usul
historisnya; Konsili mengingatkan kita bahwa Kristus menghendaki mereka.
Berkaitan dengan diakonat, Konsili menahan diri dari sebuah interpretasi data
biblis. Khususnya, Konsili menahan diri dari pertimbangan Kis 6:1-6, teks yang
merekam pemilihan kelompok tujuh. Karena asal-usul diakonat tidak tentu, maka
Konsili tidak menghubungkannya dengan penetapan dari pihak Kristus atau pun
para Rasul.
Konsili bahkan menahan diri
dari pernyataan bahwa diakonat berkaitan dengan imamat pelayanan, karena pada
baris-baris pembukaan presentasinya terbaca: “Pada tingkat hierarki yang lebih
rendah terdapat para diakon, yang ditumpangi tangan ‘bukan untuk imamat, melainkan untuk pelayanan’” (LG 29). Pemilihan
kata-kata ini dipinjam dari satu teks yang sangat tua, tetapi dengan perspektif
yang lebih luas. Dokumen Ordonansi
Eklesiastik mengacu kepada “pelayanan yang disumbangkan kepada uskup”,
sementara Konsili Vatikan II berbicara tentang pelayanan yang disumbangkan
kepada umat Allah. Semua pernyataan ini bermaksud sama: diakon tidak
ditahbiskan untuk imamat.
Di satu sisi Vatikan II menyetujui
sakramentalitas diakonat, karena, dalam hubungan dengan penumpangan tangan,
disebutkan “rahmat sakramental”. Pernyataan ini tidak bermaksud mengingkari
para teolog yang menyangkal sakramentalitas diakonat. Juga pernyataan ini tidak
memecahkan isu diakonat sekali untuk selamanya.
Di sisi lain, dengan
mengatakan bahwa diakon ditahbiskan bukan untuk imamat, tetapi untuk pelayanan,
Konsili mengemukakan isu mengenai kodrat diakonat. Isu ini berakhir menjadi
lebih jelas jika kita memikirkan bahwa jarak antara fungsi-fungsi yang
diberikan kepada diakon dan yang dilaksanakan oleh beberapa awam sama sekali
tidak besar. Sekalipun demikian apresiasi yang diperbaharui tentang orang-orang
awam yang membantu, oleh Konsili cenderung menyemangati mereka untuk menyumbangkan
secara lebih efektif pada pelayanan para imam, dan itu membuat mungkin beberapa
tingkat pertolongan karena kekurangan para imam.
Meskipun fakta bahwa beberapa
persoalan doktrinal tak dapat cukup diklarifikasi, restorasi diakonat permanen
menunjukkan usaha Gereja untuk membuka semua kemungkinan imanen di dalam
sakramen tahbisan. Gereja membuka jalan bagi pelayanan sakramental yang bukan imamat
dan dipanggil untuk berkolaborasi dalam pelaksanaan fungsi-fungsi imamat.
Pelayanan diakon secara khusus
disemangati oleh Konsili dalam misi-misi. Dalam hubungan dengan perkembangan
klerus pribumi, dekrit Ad Gentes
menyatakan:
“Bila konferensi-konferensi uskup
memandangnya baik, hendaknya diadakan lagi tingkat diakonat sebagai status
hidup yang tetap, menurut kaidah Konstitusi ‘tentang Gereja’. Sebab memang
berguna bahwa ada orang-orang, yang sungguh-sungguh menjalankan pelayanan
diakon, entah dengan mewartakan sabda Allah sebagai katekis, entah dengan
memimpin jemaat-jemaat kristiani yang terpencil atas nama pastor paroki dan
uskup, atau dengan mengamalkan cinta kasih dalam karya-kegiatan sosial atau
amal-kasih. Hendaklah mereka itu diteguhkan dengan penumpangan tangan yang
diwaris dari para Rasul, dan dihubungkan lebih erat dengan altar, sehingga
mereka secara lebih tepat-guna menunaikan pelayanan mereka berkat rahmat
sakramental diakonat” (no.16).
Restorasi praktis diakonat
permanen dipercayakan kepada kompetensi konferensi-konferensi episkopal, tetapi
beberapa hukum umum tentang hal ini telah diumumkan oleh Paus Paulus VI.
Berkaitan dengan restorasi ini, norma-norma juga telah dikeluarkan untuk
meningkatkan pembaharuan ordo para lektor dan akolit. Lektorat dan akolit bukan
lagi “ordo-ordo”, tetapi pelayan-pelayan. Mereka tidak diberikan melalui
tahbisan, tetapi institusi. Hanyalah mereka yang telah menerima diakonat
dilihat sebagai klerus. Sekarang seseorang masuk tingkatan-tingkatan klerus
setelah menerima diakonat. Para kandidat diakonat dan presbiterat diwajibkan
menerima pelayanan-pelayanan lektor dan akolit. Pelayanan-pelayanan ini juga
dapat dimasuki oleh laki-laki awam yang tidak membuat komitmen untuk melanjut.
Konferensi-konferensi episkopal dapat memohon kepada Tahta Suci untuk institusi
pelayanan-pelayanan lain seperti portir, eksorsis, katekis, atau bahkan
pelayanan yang didedikasikan untuk karya-karya karitatif, kapan saja pelayanan
ini tidak dilakukan oleh para diakon. Deskripsi tentang fungsi para lektor dan akolit menganjurkan suatu kesamaan parsial
dengan fungsi-fungsi yang diberikan kepada para diakon. Lektor membacakan Sabda Allah tetapi bukan Injil dan melaksanakan
pelbagai fungsi liturgis. Akolit menjadi pelayan istimewa dalam
pendistribusian Komuni. Dalam situasi-situasi khusus, ia dapat menahtakan
Sakramen Mahakudus, tetapi ia tidak memberkati umat.
BAB VII
NILAI ONTOLOGIS
IMAMAT
Ketika kita membicarakan pemilihan
Kristus atas kedua belas Rasul, kita mencatat beberapa indikasi nilai ontologis
imamat. Dalam maksud Yesus, “tindakan” atau “perbuatan” imam seharusnya berasal
dari being imamatnya. Untuk
mencahayai nilai “adanya” imamat ini, sekarang kita masuk ke ajaran tentang
karakter imamat.
1.
Ajaran Tradisional Tentang Karakter
Sakramental
1.1
Debat Tentang Nilai Karakter Imamat
Debat tentang nilai karakter
imamat cenderung merelatifkan pernyataan Konsili Trente yang mengatakan bahwa
“dalam tiga sakramen, yakni Baptis, Krisma dan Tahbisan, ...termeteraikan pada
jiwa suatu karakter, yaitu tanda spiritual tertentu dan tak terhapuskan, oleh
karena mereka tak dapat diulangi”. Beberapa pengarang berpendapat bahwa Konsili
tidak bermaksud memaksakan suatu definisi iman yang valid selama Gereja masih akan
terus eksis. Satu posisi yang lebih radikal berpendapat bahwa pernyataan
Konsili harus dibuang, sejauh hal itu bertentangan dengan ribuan tahun tradisi
sebelumnya.
Deklarasi Konsili, demikian R.
J. Bunnik, memperlihatkan “suatu bias atau prasangka apologetis yang kuat”.
Agaknya, deklarasi itu merefleksikan arus praktis pada waktu itu, tetapi bukan
suatu dekrit teologis yang kaku. Secara praktis seseorang tidak ditahbiskan dua
kali, tetapi tak ada jaminan bahwa kekuatan prinsip-prinsip teologis dapat
melarang tahbisan kedua.
P. Schoonenberg salah satu di
antara mereka yang berpendapat bahwa ajaran tentang karakter sakramental tidak
memerintahkan validitas suatu prinsip yang tak dapat diganggu gugat. Alasannya
didasarkan pada imposibilitas pelayanan sakramen tertentu dua kali, dan karena
validitas pengajaran ini tergantung pada imposibilitas itu. E. Schillebeeckx
berpendapat bahwa Konsili tidak bermaksud untuk menyetujui interpretasi
skolastik tentang karakter sakramental, yang memberikan nilai ontologis
kepadanya. Ajaran itu hanya mau menegaskan bahwa sungguh ada pelayanan yang
dilaksanakan atas nama Kristus demi kebaikan komunitas.
Schoonenberg dan Schillebeeckx
memfokuskan perhatian pada imamat yakni pada pokok persoalan ajaran tentang
karakter sakramental, sementara Bunnik memberikan perbedaan antara Baptis dan
Krisma di satu sisi, dan Tahbisan di sisi lain. Baptis dan Krisma membentuk
adanya seorang Kristen. Konsekuensinya mereka menimbulkan efek pada level ada, being, dan karakter yang mereka meteraikan
memiliki nilai ontologis. Sakramen tahbisan sebaliknya “hanya memberikan
spesialisasi fungsional dalam misi orang Kristen”. Tetapi ketiga penulis menyetujui
tentang satu poin esensial: imamat hanyalah suatu fungsi. Pelayanan imamat
adalah suatu “profesi seperti fisikawan, insinyur, tukang pipa air”. Karena itu
bagi mereka, karakter merupakan hanya suatu kapasitas untuk melaksanakan suatu
fungsi. Itu hanya menyebabkan seseorang berada “dalam suatu posisi” untuk
melaksanakan pelayanan.
Berkenaan dengan itu, karakter
mengizinkan pelayanan part-time, karena nilainya hanyalah parsial, yakni
terbatas pada pelaksanaan fungsi. Itu tidak meluas kepada keseluruhan durasi
kehidupan si pelayan, juga tidak kepada setiap apa yang dibuatnya. Apa yang
Kitab Suci katakan tentang imamat seharusnya tidak diperluas kepada imam. Lagi
di sini Bunnik memberikan perbedaan
antara Baptisan dan Imamat. Orang yang dibaptis tetap menjadi seorang Kristen
sampai keabadian, sementara imam berhenti menjadi imam pada saat ia masuk ke
dunia lain, yaitu pada waktu ia menjadi orang awam lagi. Bunnik menekankan
lebih pada durasi terbatas karakter karena ia membela posisi bahwa komunitas Kristenlah
yang memanggil pelayan ketika memerlukan seseorang dan memberikan kebebasan
pada kehendaknya.
Schillebeeckx menekankan
manfaat ekumenis teori tentang karakter. Menurutnya, dengan konsep karakter,
Gereja Katolik sebenarnya mau mengakui bahwa perlu bakat untuk melaksanakan
fungsi pastoral atas nama Kristus. Baginya, konsep karakter membuka jalan
kepada satu tipe baru imam. Imam bukanlah seorang yang dalam gambar Kristus
telah dinyatakan sebagai imam untuk selamanya menurut cara Melkisedek, tetapi seorang
yang komunitasnya sendiri menentukan sebagai the best untuk memimpin mereka. Ia dipilih untuk sesaat saja, lebih
disukai bila ia melaksanakan profesi sekular, kawin, dan membaktikan sebagian
waktunya untuk pelayanan imamat. Seorang imam jenis ini akan hidup sebagai
seorang awam dan secara kontinu berharap bahwa, karena kedekatannya dengan
dunia, ia akan mempengaruhi lebih besar atas dunia ini.
Kita tidak pernah lupa bahwa
pertimbangan-pertimbangan teoretis tentang karakter sakramental didorong oleh keinginan
untuk meningkatkan jenis baru imamat yang jelas berbeda dari imamat sebelumnya
dalam Gereja Katolik. Penyederhanaan karakter imamat hanya akan mereduksikan
kepada fungsi.
1.2
“Tanda Spiritual dan Tak Terhapuskan”
Apakah valid deklarasi Konsili
Trente itu? Dengan definisi itu Konsili bermaksud bahwa eksistensi karakter
sakramental merupakan kebenaran integral bagi iman. Debat-debat dalam Konsili
menampakkan maksud tersebut. Secara lebih khusus debat-debat itu menunjukkan
bahwa para Bapa Konsili bermaksud untuk melampaui keraguan-keraguan para teolog
yang hanya mengakui sebagai posibilitas doktrinal. Penyangkalan akan karakter
dihukum sebagai heretik.
Validitas argumen-argumen
biblis mengenai eksistensi karakter sakramental didiskusikan di antara para Bapa
Konsili. Konsensus dicapai dengan pernyataan kesetiaan pada apa yang telah
dinyatakan oleh Magisterium Gereja, khususnya dekrit Maiores Paus Inosensius III[20],
dan Konsili Florensia. Dalam pilihan kata-katanya, Konsili memproduksi kembali,
tanpa menjelaskan secara persis, apa yang telah dinyatakan dalam Dekrit untuk
orang-orang Armenia itu[21].
Konsili tidak bermaksud
mendukung salah satu teori skolastik. Abad-abad Pertengahan telah memiliki
pelbagai pendapat tentang kodrat karakter sakramental. Dari William Auvergne
sampai kepada St. Thomas dan Duns Scotus, para teolog telah mencoba menentukan
dengan persis kodrat karakter sakramental dengan atau tanpa bantuan
kategori-kategori Aristoteles. Karakter
dipahami sebagai suatu kekudusan, kapasitas untuk bertindak, disposisi, figur, tanda yang menandakan
rahmat, habitus, tanda partisipasi dalam sakramen-sakramen,
tanda profesi iman, relasi, pemberian kuasa kultis. Pemberian kuasa kultis, teori St. Thomas,
diterima dengan wibawa besar dan diadopsi seolah-olah tiada teori lain.
Sesungguhnya teori ini representatif, tetapi itu merupakan suatu pandangan yang
khusus, karena ia membatasi karakter sakramental pada pemberian kuasa, empowerment, dan khususnya memberi kuasa
mempersembahkan persembahan. Bagaimana pun Konsili Trente tidak menyetujui
pandangan ini.
Konsili membatasi diri pada
afirmasi dasar tentang tanda spiritual dan tak terhapuskan tanpa bermaksud
menentukan secara lebih persis kodrat tanda ini. Dengan cara demikian Konsili
mengarahkan kita untuk memahami suatu realitas ontologis dalam karakter
sakramental: realitas itu merupakan tanda yang dimeteraikan pada jiwa. Karena
itu kita tidak harus melihat karakter sebagai sesuatu yang kurang lebih bukan tanda ekstrinsik yang disebabkan oleh ritus sakramental, atau sebagai
hanya bakat atau ketangkasan untuk menjalankan fungsi, atau sebagai hanya
pemberian kuasa yuridis oleh suatu otoritas untuk menyeleksi orang-orang bagi
tugas-tugas pelayanan. Kita sedang berbicara tentang tanda nyata yang hidup di dalam
jiwa. Itu bukanlah “sesuatu” yang tanpa arti. “Sesuatu” adalah hal yang
terpisah, sementara “tanda” dimeteraikan pada jiwa, yang sungguh karena alasan
ini tak dapat dipisahkan daripadanya dan bersama dengan jiwa membentuk suatu
realitas. Dan lagi, meskipun tanda bukan sesuatu “hal”, karakter itu nyata. Ia
merupakan suatu tanda yang sungguh telah dipengaruhi dan membawa perubahan yang
murni dalam pribadi sendiri. Jadi, karakter diinterpretasikan sebagai “ada
dalam suatu posisi”, suatu posisi yang telah ditransformasi secara ontologis.
Tanda itu “tak terhapuskan”.
Permanennya tidak tergantung apakah engkau atau aku memiliki aktivitas yang
dibawa oleh karakter itu. Tak ada sesuatu pun dapat menghapusnya. Indelibilitas
yang diafermasikan Konsili diterapkan sekurang-kurangnya pada kehidupan duniawi
kita. Tentang permanennya dalam kehidupan yang akan datang, sama sekali tak
dinyatakan secara eksplisit. Deklarasi Konsili sendiri tidak bermaksud menjawab
persoalan ini, yang agak spekulatif dan tanpa relevansi langsung pada kehidupan
Gereja di sini dan sekarang. Tetapi karena karakter
merupakan tanda spiritual, sulitlah
melihat bagaimana kematian berlaku atasnya. Seperti Baptisan dan Krisma tetap berlangsung
bahkan setelah aktivitas dunia berhenti, demikian jugalah Tahbisan. Dari sebab
itu, tidaklah kebetulan jika pada saat tahbisan kita diingatkan akan kata-kata
Surat kepada Orang-orang Ibrani: “Engkaulah imam menurut cara Melkisedek untuk
selama-lamanya”. Imamat diberikan untuk selama-lamanya. Pelaksanaannya akan berhenti, tetapi tandanya tak terhapuskan baik di dunia ini maupun dunia yang akan
datang.
1.3
Karakter Imamat Dalam Perkembangan Tradisi
Dalam hubungan dengan
inisiasi, Paulus berbicara tentang mereka yang telah ditandai dengan suatu
meterai (bdk. 2Kor 1:22; Ef 1:13; 4:30). Bagi yang dibaptis, tanda ini
menandakan bahwa mereka milik Allah. Meterai itu membentuk tanda yang
membedakan pada hari penghakiman; tanda yang memberikan akses kepada
keselamatan kekal.
Tanda ini termasuk dalam realitas
yang tak kelihatan. Para Bapa Gereja berbicara tentang sphragis spiritual yang melaluinya Allah mengenal mereka yang telah
menjadi milik-Nya sendiri. Dalam abad ke-4 mereka menegaskan permanensinya yang
tak terhapuskan. St. Sirilus dari Yerusalem menyebut Baptisan “satu sphragis yang tak terhapuskan dari Roh
Kudus”, “satu sphragis suci yang tak
terceraikan”. Pernyataan bahwa tanda itu permanen sekalipun dalam situasi yang
tak layak, memberikan perbedaan antara sphragis
dan rahmat.
Sehubungan dengan tahbisan
imamat, St. Agustinus adalah yang pertama menegaskan bahwa Tahbisan memberikan
karakter permanen. Ia mempertahankan keyakinan ini berdasarkan tradisi
sebelumnya yang memberikan paralelisme antara konsekrasi Tahbisan dan
konsekrasi Baptisan. Dalam karakter inilah ia menemukan alasan mengapa Tahbisan
tak dapat diulangi.
St. Agustinus menggunakan kata
character untuk menerjemahkan konsep sphragis. Ia menggunakan istilah “karakter” sebagai suatu
perbandingan. Ia membandingkan tanda yang dimeteraikan oleh Baptisan dengan
tanda yang dibawa oleh para tentara (mengacu kepada “karakter kaisar”). Jadi, di
satu sisi, ia menerapkan gambaran karakter ini kepada orang yang telah ditahbiskan
uskup (karakter Kristus). Tetapi di sisi lain ketika ia berbicara secara
langsung tanpa perbandingan mengenai segel yang dimeteraikan, ia lebih memilih
istilah “sakramen”. Dengan cara itu ia maksudkan elemen permanen yang
berlangsung tak bercacat bahkan dalam orang yang lemah dan tak dapat hilang,
bahkan juga orang-orang yang memutuskan dirinya dari kesatuan dengan Gereja.
Dalam Tahbisan, seperti dalam Baptisan, ada konsekrasi final yang menghalangi
repetisi.
Dalam pertimbangannya,
Agustinus secara keras menegaskan paralel antara Baptisan dan Tahbisan:
keduanya “Sakramen Baptis dan sakramen untuk pelayanan Baptisan” adalah
konsekrasi. Mengusahakan perbedaan antara nilai karakter Baptisan dan Imamat
bertentangan dengan doktrin Agustinus. Doktrin ini didasarkan pada tradisi
Gereja. Sudah dalam hari-hari awal literatur Kristen Latin, kita mendeteksi
dalam Tertulianus suatu paralel antara pengudusan pada Baptisan dan pengudusan pada
Tahbisan.
St. Siprianus mengafermasikan
bahwa tahbisan para imam dan diakon harus terjadi dalam keselarasan dengan
kehendak Allah. Ia menekankan perbedaan antara umat awam dan klerikus sedemikian
sehingga menganjurkan bahwa status hidup awam dan imamat berakar dalam suatu
konsekrasi yang dibuat oleh Allah. Tak dapat disangkal bahwa pengajaran
sakramental Siprianus ini belum sempurna, yang disempurnakan oleh Agustinus.
Posisi Agustinus yang mempertahankan
kesejajaran antara Baptisan dan Tahbisan dalam hal karakter diterima dengan
baik pada akhir abad ke-12, ketika teologi berusaha mengembangkan makna
karakter pada Tahbisan, Baptisan dan Krisma. Hal ini dilakukan secara khusus
dengan peralihan dari arti tanda
eksternal kepada arti tanda
spiritual yang ditimbulkan oleh ritus ini. Jadi, pada abad ini sudah ada
kematangan keyakinan teologis bahwa ritus Tahbisan (juga Baptisan dan Krisma), bukan
memberikan tanda lahiriah, tetapi tanda spiritual. Tanda seperti ini tak dapat
hilang.
Perkembangan historis ini
menganjurkan bahwa, menurut Tradisi, Tahbisan tak terpisahkan dari Baptisan
sejauh berhubungan dengan doktrin mengenai karakter. Ketika Konsili Trente
menahan diri untuk memberikan pembedaan di antara tiga sakramen berkaitan
dengan karakternya masing-masing, sikap itu mengungkapkan bahwa Gereja telah
mempercayai dan mempraktekkan dalam perjalanan sejarah sejak awal.
Catatan juga bahwa jauh dari
memberikan karakter Tahbisan lebih penting daripada karakter Baptisan dan
Krisma, beberapa teolog Abad Pertengahan melihat karakter Tahbisan sebagai yang
paling sempurna dari karakter-karakter, dan juga sebagai dasar dari yang lain.
Bagi Filipus Chancellor, setiap karakter sakramental menerima kuasa dan efektivitasnya
dari karakter Tahbisan. Thomas Aquinas mempertahankan bahwa karakter
sakramental memperoleh ekspresinya yang tertinggi dalam karakter imamat dan ini
memang esensi karakter imamat Kristus.
Pencahayaan di atas meyakinkan
kita bahwa mereduksikan karakter imamat sebagai tiruan dari karakter Baptisan berarti
mengasingkan diri dari pemikiran Gereja. Karakter imamat merupakan karakter
tertinggi, realisasi paling penuh,
partisipasi yang paling intens dalam imamat Kristus. Maka tanda-tanda yang
berbeda dari karakter sakramental, yaitu konsekrasi pribadi yang bersifat total
dan definitif, harus menjadi lebih jelas atau nyata dalam imamat daripada dalam
Baptisan dan Krisma.
2.
Arti dan Nilai Karakter Imamat
2.1
“Misteri” Karakter Imamat
Sekarang kita berusaha untuk
menemukan arti mistik yang dikandung
oleh karakter imamat, dengan memperluas istilah “mistik” sebagai kehadiran misteri yakni rencana keselamatan Allah
yang menguasai kehidupan manusia.
Sudah dalam Pembaptisan dan
Krisma, rencana ilahi ini memperoleh jalan masuk ke kedalaman diri manusia dan
menyegelkan padanya keseluruhan rencana kehidupan kristiani. Para teolog
Kristen mengatakan bahwa karakter sakramental memberikan disposisi kepada
rahmat: karakter membentuk struktur dasar yang di atasnya berkembang kehidupan
rahmat. Proyek Allah membuat sketsa eksistensi seorang pribadi tidak terbatas
hanya pada keinginan pribadi. Rencana itu menyegelkan dirinya pada diri pribadi
manusia, pertama melalui karakter baptisan, lalu melalui Krisma, sehingga
rencana itu direalisir dari dalam.
Demi persisnya, karakter
imamat tidak ditambahkan pada Baptisan dan Krisma. Karakter menyegel dirinya pada
being pribadi yang telah dibaptis dan
diurapi, namun tetap terpisah membentuk realitas tersendiri untuk melibatkan
seluruh diri kepada misi imam. Maka, misi ini dilaksanakan tanpa diutus oleh
yang lain untuk mengungkapkan keinginan atau membawa suatu susunan. Allah sungguh
mengukir misi itu dalam diri pribadi. Ia membuatnya tak terpisahkan dari being personal.
Dengan demikian kita dapat
memahami dengan baik bagaimana nilai
karakter imamat baik bersifat ontologis
maupun dinamis. “Ontologis” karena
karakter imamat mempengaruhi being
personal tidak lagi superfisial, yakni hanya melaksanakan fungsi, tetapi
sepenuhnya membawa diri personal, melahirkan perasaan-perasaan pribadi yang
terdalam. Ia berusaha menyerahkan diri kepada Allah, bukan hanya perbuatan,
tetapi sungguh menjadi sumber munculnya perbuatan-perbuatan manusia itu sendiri
dengan semua kemampuan dan kemungkinannya.
Maka dalam karakter tahbisan
seperti juga dalam Baptisan dan Krisma terkandunglah suatu ciptaan baru.
Melalui tanda, tahbisan membentuk suatu ada yang baru. Sudah dalam Injil kita
mencatat tanda yang membiarkan ada baru muncul dalam imam. Yesus menurunkan
nama baru kepada Simon. Ia menyebutnya Kefas untuk menunjukkan misi yang
diberikan kepadanya. Karena pikiran Yahudi menyamakan nama dengan realitas yang
dinamai, memberikan nama baru kepada seseorang berarti memberikan being kepada suatu persona.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar