Minggu, 17 Juni 2012

IMAMAT KRISTUS....(by. Fr. Juventz)

 
BAB I
IMAMAT KRISTUS


Untuk memahami imamat Kristen kita harus berangkat dari imamat Kristus. Ada dua alasan untuk ini: pertama, Kristus sendiri yang memberikan cahaya mengenai hakikat dan karakter imamat orang Kristen. Kedua,  Dialah yang mendirikan imamat dan menentukan modelnya bagi Gereja-Nya. Sekaitan dengan itu, informasi dari sosiologi agama, agama-agama dunia dan agama Yahudi khususnya perlu untuk pemahaman imamat pada umumnya, tetapi akhirnya Kristuslah sendirilah yang dilihat sebagai penentu.
Bila kita mau mendalami imamat Kristus, kita harus mendengarkan kesaksian Surat kepada Orang Ibrani. Surat menegaskan bahwa kami orang Kristen memiliki seorang imam, seorang imam agung. Dia adalah Yesus Putra Allah. Bias pernyataan ini tidak sedikit pun menimbulkan keraguan. Tentu saja penulis menyadari kesulitan mengenai persoalan imamat. Ia tahu baik bahwa Yesus bukan berasal dari keluarga imamat seperti tampak dari pernyataannya: “Tuhan kita berasal dari suku Yehuda dan mengenai suku itu Musa tidak pernah mengatakan suatu apa pun tentang imam-imam” (7:14). Ia tahu bahwa tidak ada tempat bagi Yesus dalam organisasi imamat menurut Hukum Musa: “Sekiranya Ia di bumi ini, Ia sama sekali tidak akan menjadi imam, karena di sini telah ada orang-orang yang telah mempersembahkan persembahan menurut hukum Taurat” (8:4). Tetapi semuanya itu tidak menghalanginya memberikan jawaban positif atas pertanyaan tentang imamat Kristus.
Bagaimana ia mempresentasikan doktrin ini? Sebagai suatu kerangka kerja, pengarang memilih perspektif kultus Perjanjian Lama, sebab ia berjuang untuk mencahayai nilai unik imamat Kristus. Dengan itu ia menunjukkan bahwa imamat Kristus, yang berarti juga imamat Kristen melampaui imamat Yahudi. Dalam presentasi ini penulis hanya menampilkan satu segi fungsi imamat Kristus   dan tidak secara eksplisit berbicara tentang imamat pelayanan orang Kristen.
Bila dikaitkan dengan Injil-Injil, mengapa penulis Ibrani mempresentasikan karya penyelamatan Kristus dari sudut pandang imamat? Karena ia mau menunjukkan bahwa Yesus telah mewahyukan diri sebagai imam dan para murid-Nya telah memahami klaim identitas imamat-Nya itu. Atas dasar ini, Surat Ibrani harus dilihat sebagai suatu komentar atas deklarasi Yesus. Surat ini merupakan suatu refleksi doktrinal atas kematian Yesus yang dihayati sebagai persembahan yang menyelamatkan. Karena itu ada yang berpendapat bahwa Ibrani sebenarnya bukanlah sebuah surat, tetapi suatu homili tentang imamat.

1.      Hakikat Imamat Kristus
1.1  Kristus Imam Agung Yang Transenden
Yesus bukanlah seorang imam agung “dari ordo yang sama dengan Harun” tetapi “dari ordo menurut Melkisedek” (Ibr 7:11). Ia bukan dari bilangan imamat kaum Levi. Asal-usul imamat-Nya bukan Yahudi, karena Melkisedek adalah seorang asing yang memberkati Abraham. Ia dihormati sebagai yang lebih dahulu dari bangsa Yahudi dalam waktu dan lebih tinggi dalam tingkatan. Surat kepada orang Ibrani mengambil fakta biblis yang diam tentang asal-usul Melkisedek yang tidak memiliki asal-usul manusiawi[1]. Ia menulis: “Ia tidak berbapa, tidak beribu, tidak bersilsilah, harinya tidak berawal dan hidupnya tidak berkesudahan, dan karena ia dijadikan sama dengan Anak Allah, ia tetap menjadi imam sampai selama-lamanya” (7:3). Menurut penulis, Putra memiliki asal abadi dan inilah yang menjamin imamat-Nya abadi. Referensi kepada Mzm 110:4 (“engkau adalah imam untuk selama-lamanya”) menyokong identifikasi antara imam agung dan Putra Allah. Dalam deklarasi Yesus di hadapan Sanhedrin, menurut Injil-injil, amat ditekankan keputraan ilahi-Nya. Kita menyimpulkan bahwa surat ini merupakan suatu terjemahan yang baik atas pernyataan Kristus di hadapan mahkamah agama, karena ia mengenal di dalam Putra, imamat yang transenden dan abadi. Jadi, dengan mempresentasikan Melkisedek, penulis mau menekankan bahwa Kristus adalah seorang imam yang transenden dan abadi.
Tetapi Imam Agung yang transenden itu harus seorang manusia: “Setiap imam besar ... dipilih dari antara manusia”. Ia harus memiliki kodrat manusiawi agar ia dapat “bertindak bagi manusia dalam hubungan dengan Allah” (Ibr 5:1). Imamat mengharuskan solidaritas dengan orang-orang yang atas nama mereka ia bertindak: “Itulah sebabnya, maka dalam segala hal Ia harus disamakan dengan saudara-saudara-Nya, supaya Ia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia kepada Allah untuk mendamaikan dosa seluruh bangsa” (Ibr 2:17). Turut merasa kelemahan manusiawi merupakan misi yang tak terkira nilainya bagi imam, dan ikut merasa penderitaan berarti ikut  mengalami godaan-godaan. “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa” (Ibr 4:15). Turut menderita ini menyebabkan Ia dapat menolong yang lain (bdk. 2:8). Hal ini telah didukung oleh fakta bahwa Putra Manusia telah menjadi seorang imam hanya oleh karena inkarnasi. Sebelum Dia menjadi manusia, Dia bukanlah seorang imam. Penulis memimpikan bukan aktivitas imamat selama praeksistensi Putra.
Hal itu tidak mengatakan bahwa keputraan ilahi dan imamat tidak berhubungan. Ada suatu harmoni antara sikap abadi dari Sabda yang kembali kepada Bapa Segala keabadian seperti dikatakan oleh Yohanes dan sikap imam sebagaimana dilukiskan Ibrani. Untuk menunjukkan harmoni ini kita singgah sejenak ke Injil Yohanes yang secara eksplisit mengungkapkan similaritas antara posisi abadi Sang Sabda dan kehidupan Yesus di dunia. Yesus tahu bahwa Ia telah datang dari Allah dan kembali kepada Allah. Pada Perjamuan Terakhir “Yesus telah tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa” (Yoh 13:1). Persembahan-Nya menandai kepenuhan perziarahan-Nya kepada Bapa.



1.2  Mediator Penjanjian
Kitab Ibrani menghormati Kristus sebagai orang yang “membawa suatu perjanjian baru, suatu mediator” (9:15). Penghormatan ini menggemakan kata-kata Yesus sendiri. Pada Perjamuan Akhir, Yesus memberikan kepada para murid-Nya darah-Nya sendiri untuk diminum, yang adalah darah perjanjian (Mat 14:24; 26:28). Dalam versi Paulus (1Kor 11:25) dan Luk (22:20), Ia memberikan piala perjanjian baru. Tetapi, sementara Yesus dengan cukup tegas mengidentifikasi diri dengan perjanjian, pengarang Ibrani lebih memilih berbicara tentang Yesus sebagai “mediator perjanjian”. Mediasi merupakan hakikat imam.
Yesus adalah seorang mediator dalam artian yang khusus, karena Ia adalah Putra Allah. Ia bukan hanya seorang pengantara kepentingan manusia kepada Bapa. Ia tetap memelihara di dalam diri-Nya kesempurnaan keilahian sebagai “jejak sempurna kodrat” dari Bapa. Mediasi imamat-Nya memiliki tingkatan yang tinggi. Dia adalah mediasi seorang manusia yang ditempatkan pada level ada (being) yang sama seperti Bapa.
Kualitas ini mengizinkan-Nya untuk menggabungkan dunia dengan surga dan surga dengan dunia, karena persembahan Yesus sebagaimana imamat-Nya mulai di sini di dunia tetapi membawa hasil ke dalam surga. Kristus mempersembahkan sekali untuk selama-Nya persembahan penebusan, yang ketika dipersembahkan oleh imam-imam Yahudi, selalu kurang efektif. Perbuatan-Nya meniru perbuatan imam agung Yahudi tetapi Ia melampauinya. Pada Hari Penebusan dosa imam agung memasuki Yang Kudus dari Yang Kudus dan memercikkan darah pada kursi belas kasih, yang menjamin rekonsiliasi umat Allah dan pembaharuan perjanjian. Melalui penumpahan darah-Nya sendiri, Yesus masuk ke dalam tempat kudus surgawi yang menjadi sumber keselamatan bagi manusia (Ibr 9:11-12).

1.3  Gembala
Mudah dimengerti mengapa pengarang Ibrani tidak secara khusus menaruh perhatian kualitas gembala sebagaimana Kristus sendiri mengklaim hal itu dalam Injil Yohanes. Imam dilihat sebagai orang yang mempersembahkan persembahan dan melalui persembahan ini memohon bagi umat manusia dan menjamin keselamatan. Jika Yesus menyebut diri-Nya gembala, itu karena Ia tidak hanya menyatakan diri sebagai imam ritual, tetapi Ia juga melihat misi imamat-Nya melampaui batas-batas dan hukum-hukum kultus.
Tetapi dalam epilog pengarang meringkas kualitas kegembalaan imamat Kristus: “Allah damai sejahtera, yang oleh darah perjanjian yang kekal telah membawa kembali dari antara orang mati Gembala Agung segala domba, yaitu Yesus, Tuhan kita” (13:20). Yesus adalah seorang gembala, yang dimuliakan untuk semua umat manusia. Gelar “Gembala Agung” dimaksudkan untuk menekankan fungsi sosial imamat. Sebagai gembala Kristus telah membuka surga dengan masuk ke dalam tempat kudus surgawi dan membawa bersama domba-domba-Nya. Ia telah masuk sebelum kita dan atas nama kita. Ia telah menyelamatkan orang-orang yang datang kepada Allah melalui Dia. Sebagai gembala, Dia-lah yang pertama kembali kepada Allah. Dari sebab itu, mereka yang mengikuti Dia menciptakan jalannya menuju Allah. Dalam perjalanan ini pengaruh-Nya sebagai gembala tetap menentukan.
Gelar “Gembala Agung” memberi kesaksian bahwa penulis tidak bermaksud untuk membatasi dirinya secara ketat kepada kerangka kerja ritual dalam lukisannya tentang mediasi Kristus. Hal itu tampaknya mengacu pada peranan Musa yang bukan seorang imam, tetapi pemimpin umat. Karena Allah yang membawa Tuhan kita keluar dari kematian menjadi Gembala Agung mengingatkan sebuah ungkapan dalam Yesaya tentang Musa. Di sana Allah dilukiskan sebagai yang membawa naik dari laut bersama-sama dengan penggembala kambing domba-Nya (Yes 63:11). Kita diarahkan dalam arah yang sama oleh penyebutan yang lebih eksplisit dari pengarang tentang Yosua yang memimpin orang-orang Israel masuk ke tempat peristirahatan. Tetapi Yosua adalah figur Kristus yang membawa manusia ke tempat peristirahatan ilahi (Ibr 4:8). Penyebutan Musa dan Yosua menganjurkan bahwa mediasi imamat Yesus pada saat yang sama merupakan mediasi dari kepala dan pemimpin umat.
Baik dicatat sebagai tambahan bahwa Ibrani memperhitungkan kualitas gembala dalam hubungan dengan sifat persembahan yang esensial. Jika Gembala Agung dari kawanan menerima kemuliaan, itu dikarenakan oleh darah yang memeteraikan perjanjian abadi. Misi-Nya sebagai gembala telah berbuah dalam persembahan darah-Nya dan melalui darah ini ditetapkan perjanjian abadi. Peranan yang dipercayakan kepada imam agung adalah menjamin pembaharuan perjanjian melalui darah korban. Dalam hal ini Gembala Agung identik dengan imam agung. Tugas yang diemban-Nya bukanlah semata-mata kultis. Ia mendamaikan umat manusia dengan Allah dan juga bertugas sebagai pemimpin dan melaksanakan otoritas.

  1. Imamat Para Pelayan
2.1  Pemimpin-pemimpin Komunitas
Surat kepada Orang Ibrani hanya menerapkan istilah “imam” kepada Kristus. Di mana pun ia tidak berbicara tentang para imam ketika ia menunjuk mereka yang memegang posisi otoritas dalam komunitas. Berulang kali ia menyebut “para pemimpin” atau “para kepala” mereka yang melaksanakan otoritas dalam komunitas. Sebutan ini pertama mengacu kepada para pemimpin yang telah meninggal: “Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka” (13:7). Selanjutnya muncul suatu rekomendasi mengenai bagaimana sikap ditunjukkan kepada para pemimpin yang sedang bertugas sekarang: “Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal itu tidak akan membawa keuntungan bagimu” (13:17). Akhirnya, ada satu petunjuk kepada para pemimpin dalam salam penutup: “Sampaikanlah salam kepada semua pemimpin kamu dan semua orang kudus” (13:24).
Istilah “pemimpin” menerjemahkan hegoumenos, yang berarti berjalan di depan, menuntun, memimpin, memerintahkan, dan menunjuk kepada “keagungan, otoritas, direksi”. Istilah ini akan digunakan kemudian untuk menyebut kepala suatu biara. Pantas dicatat bahwa dalam abad pertama kekristenan istilah ini dipakai sebagai gelar untuk para imam dan juga imam besar yang disebut Filo sebagai “pemimpin para imam”. Matius mengenakan Yesus dengan istilah “seorang pemimpin, yang akan menggembalakan umat-Ku Israel” (2:6). Dalam Kis (15:22) gelar itu menunjuk kepada mereka, yang bersama Paulus dan Barnabas, menjalankan otoritas dalam suatu komunitas, yakni Yudas yang dikenal sebagai Barsabas dan Silas, dua orang yang didelegasikan oleh para rasul dan presbiter yang meminta kesetiaan pada keputusan-keputusan yang telah mereka ambil.
Dengan menunjuk kepada para pemimpin, Ibrani memberi kesaksian bahwa para pemimpin hadir dalam komunitas orang Kristen. Mereka telah ada di sana sejak awal. Setelah kematian mereka masih ada yang lain. Jadi, dalam kehidupan komunitas tetap dijamin kontinuitas kekuasaan.
Apa fungsi yang diemban para pemimpin ini? Tekanan ketaatan kepada mereka, menunjukkan bahwa mereka memiliki otoritas kepemimpinan untuk mengarahkan kehidupan spiritual komunitas. Tampaknya mereka memiliki kuasa yang luas yang mempengaruhi seluruh perkembangan hidup orang Kristen. Kepatuhan yang direkomendasikan kepada mereka memberi pengandaian bahwa mereka melaksanakan otoritas karena kehendak Allah sendiri.
Fungsi kultus tidak disebutkan secara eksplisit. Akan tetapi, karena perjamuan Ekaristi dikiaskan secara dekat dengan penyebutan pemimpin (di antara ayat 7 dan 17), kita diarahkan untuk menyimpulkan bahwa dalam pemikiran pengarang fungsi kultis dan fungsi berkhotbah berhubungan satu sama lain. Hubungan ini dibuktikan juga oleh fakta bahwa orang yang berkuasa yang ambil bagian dalam perjamuan ini disangkal oleh mereka yang melayani kemah, yakni para imam Yahudi. Terlihat di sini maksud penulis untuk mengangkat para pelayan Kristen.
Akhirnya, teladan para pemimpin ini membentuk iman orang-orang Kristen khususnya kemartiran yang memahkotai tugas para pemimpin yang pertama. Sebab kemartiranlah yang dimaksud oleh frase “contohlah iman mereka” (13:7). Melalui kemartiran, kesaksian yang dilahirkan oleh para pemimpin pertama meniru persembahan imamat Kristus, nilai yang amat kaya yang selalu ditekankan oleh penulis Ibrani.
Maka meskipun referensi jarang, kita sungguh melihat kehadiran para pemimpin yang dipercayakan misi untuk menuntun dan mengajar. Mereka sungguh mengikuti langkah Kristus yang memberikan diri-Nya sendiri. Tambahan, Ibrani juga berisi suatu kiasan kepada kuasa dari mereka yang merayakan Ekaristi. Sebagai “pemimpin-pemimpin”, mereka dipisahkan dari orang-orang Kristen lain yang secara sederhana ditunjuk dengan “para kudus”.

2.2  Partisipasi Dalam Imamat Kristus
Di sini kita harus mengajukan suatu pertanyaan: apakah para pemimpin komunitas yang dilantik dengan suatu imamat merupakan perluasan dari imamat Kristus? Fakta bahwa mereka tidak disebut “imam-imam” tidak membenarkan suatu jawaban negatif. Seperti telah dicatat sebelumnya Yesus tidak menyebut diri-Nya seorang imam, juga Ia tidak menurunkan gelar ini kepada para murid-Nya. Dengan menggunakan cara refleksi doktrinal, penulis Ibrani menerapkan gelar ini kepada Kristus sambil menekankan bahwa imamat-Nya transenden dan secara radikal berbeda dari imamat Yahudi. Ia tidak memakai refleksi yang sama mengenai situasi yang persis dari para pemimpin komunitas, karena hal itu di luar dari maksudnya.
Akan tetapi cara penulis membicarakan “para pemimpin” membuat kita menarik kesimpulan bahwa mereka merupakan perpanjangan dari misi “Imam Agung para kawanan”, misi yang dikenakan kepada Kristus. Kristus adalah orang yang pertama menuntun komunitas dengan masuk sebagai perintis ke dalam surga melalui persembahan-Nya sendiri dan dilanjutkan dengan menuntun mereka yang mengambil manfaat jalan yang dibuka-Nya kepada Bapa (6:20; 7:25). Kristus menjadi sumber keselamatan abadi bagi semua yang taat kepada-Nya (5:9). Ketaatan, yang karena para pemimpin bertanggung jawab untuk pemeliharaan jiwa-jiwa (13:7), tampaknya cocok dalam perspektif yang sama ini. Maka otoritas para pemimpin tampaknya merupakan suatu partisipasi dalam otoritas Kristus.
Partisipasi ini telah diarahkan kepada dasar bahwa imamat Kristus eksklusif dan tak dapat dipindahkan atau ditransmisikan. Telah dilihat bahwa hanya Kristus imam kita untuk selama-lamanya di surga dan di bumi. Agar menjadi lebih jelas, pertanyaan perlu dilontarkan: “Apakah kita mempertahankan bahwa Kristus telah menghapus imamat di sini di dunia ini untuk selama-lamanya dan tidak akan adakah imamat lain, atau agaknya kita lebih mengatakan bahwa Kristus membaharui imamat sebagai buah dari karya-Nya, maka ditemukan suatu imamat baru yang membuka partisipasi yang lain?” Pertanyaan ini telah mendapat jawaban yang radikal: “Dengan kematian Kristus tak ada alasan untuk mempersembahkan persembahan-persembahan yang baru untuk dosa. Konsekuensinya, tak ada alasan apa pun mengapa harus ada imamat” (bdk. 7:23-28).
Benar, Surat Ibrani menegaskan keunikan imamat dan persembahan Kristus. Dalam imamat ini pengarang melihat abolisi imamat Yahudi dan juga bukti tak ada efektivitasnya. Penghapusan dosa-dosa umat manusia dijamin sekali untuk selamanya oleh persembahan imamat Kristus. Prinsip ini mengecualikan imamat lain yang paralel dengan imamat Kristus. Tetapi kita tidak harus mengatakan bahwa pengarang bermaksud menyangkal bahwa pelayanan Kristen merupakan suatu perpanjangan atau suatu partisipasi di dalam imamat-Nya. Jauh dari maksud untuk menandingi doktrin Ibrani, partisipasi ini harmonis dengan imamat Kristus dalam suatu cara yang khusus, karena hal itu mengonfirmasi bahwa nilai imamat Kristus unik dan definitif.
Kita juga tidak harus mengklaim bahwa kualitas “Imam Agung dari kawanan” menghilangkan semua fungsi pastoral di dalam Gereja. Ini sama sekali bukan maksud pengarang. Sebaliknya, pelayanan pastoral yang diyakini sebagai suatu pelayanan, yang berasal dari Kristus Gembala, memberi kesaksian bahwa aktivitas pastoral Kristus merupakan suatu aktualitas yang hidup di sini di dalam Gereja.
Pengarang Ibrani tidak secara eksplisit membicarakan partisipasi ini, karena ia tidak menginginkan suatu refleksi khusus tentang pelayanan para pemimpin komunitas. Tetapi partisipasi ini konsisten dengan keyakinan dasar doktrinnya. 
BAB II
INSTITUSI IMAMAT PELAYANAN

Dalam bab terdahulu kita telah melihat imamat Kristus. Sekarang kita mau mendalami dengan cara bagaimana Kristus mendirikan imamat pelayanan dalam Gereja-Nya. Ini merupakan mata teologis lain untuk melihat bagaimana orang-orang Kristen berpartisipasi dalam imamat Kristus. Agaknya ide ini kita telah sering mendengar dari kotbah-kotbah para uskup saat tahbisan imam. Oleh sebab itu, ini bukan merupakan gagasan yang baru sama sekali.

1.      Pendirian “Kelompok Dua Belas”
Yesus mengumpulkan satu grup yang terkenal dengan nama “kelompok Dua Belas”. Historisitas fakta ini disaksikan oleh teks-teks Injil yang menjadi perantara tradisi-tradisi tertua. Pemilihan kelompok Dua Belas ini sangat penting, baik bagi kehidupan publik Yesus maupun kehidupan komunitas Kristen kemudian. Untuk menunjukkan pentingnya pemilihan ini Markus mencatat bahwa sebelum mengadakan pemilihan Yesus naik ke gunung (3:13). Lukas menambahkan bahwa Ia menarik diri dari keramaian dan berdoa, dan bahwa Ia membuat pilihan-Nya setelah Ia menghabiskan waktu semalam untuk berdoa (6:12). Para penginjil tidak menyebutkan keputusan lain setelah doa yang intensif itu. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan itu penting.
Kekuasaan absolut dimiliki Yesus dalam menentukan pilihan-Nya. Markus  secara eksplisit merumuskan hal itu: “Ia memanggil orang-orang yang dikehendaki-Nya” (3:13). Yohanes memberi kesaksian hal yang sama: “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu” (15:16). Pilihan tersebut dibuat dari antara sejumlah besar murid (bdk. Luk 6:13). Maka dalam hal ini terdapat perbedaan antara panggilan kepada kemuridan dan panggilan yang lebih khusus ke dalam anggota kelompok dua belas (rasul).  
Jumlah dua belas signifikan. Jumlah itu koresponden dengan dua belas suku Israel dan memperlihatkan maksud pendirian Israel yang baru. Singkatnya, Yesus mendirikan grup Dua Belas bertujuan untuk mendirikan Gereja. Inilah jalan-Nya untuk mendeklarasikan bahwa peran yang diberikan-Nya kepada grup Dua Belas untuk mendirikan Gereja merupakan peranan yang esensial.
Nama yang diberikan kepada mereka menganjurkan bahwa mereka mendapat suatu kepribadian yang baru (Mrk 3:16-17). Dan kepribadian baru untuk grup Dua Belas ini ditunjukkan oleh kisah Lukas: “... Ia menyebut mereka rasul” (6:13). Menurut pemikiran Yahudi, memberikan seorang nama baru berarti memberikan suatu realitas baru atau membentuk personalitas baru kepadanya. Maka pembentukan grup Dua Belas disertai pemberian  personalitas baru.
Jumlah dua belas, yang mengacu kepada keseluruhan umat Israel, menganjurkan juga bahwa Yesus bermaksud mengingkari partikularisme kasta imamat yang dikhususkan kepada satu suku. Dengan menaruh hormat kepada suku ini, Yesus sendiri adalah orang luar. Ia menghendaki bahwa grup dua belas tidak diawali dengan suatu kasta atau suku, tetapi suatu keseluruhan umat. Panggilan-Nya yang kreatif membebaskan hak-hak warisan dan privilese serta melantik suatu imamat yang lebih universal.

  1. Status Baru
Karena frase “menetapkan dua belas” menunjuk kepada suatu tindakan penciptaan, frase itu menganjurkan bahwa grup Dua Belas dimaksudkan lebih dari sekedar suatu fungsi. Ada suatu eksistensi yang baru di dalam diri mereka; ada suatu personalitas baru yang termuat dalam tindakan pemberian nama baru itu. Indikasi-indikasi ini menasihatkan bahwa imamat yang kemudian diberikan kepada mereka bersifat ontologis dan bukan hanya fungsional.
Aspek ontologis pemilihan itu tampak juga dari tujuan yang hendak dicapai: “Ia membuat mereka dua belas untuk tinggal (ada) bersama Dia dan mengutus mereka...”. Sebelum diutus dan untuk dapat diutus, grup Dua Belas harus pertama hidup dalam kesatuan dengan Yesus. Keberadaan mereka harus menjadi ‘ada bersama dengan’, suatu ada yang disatukan dengan Kristus.
Tindakan pemilihan Yesus tidak menunjuk kepada fakta bahwa grup Dua Belas dimaksud untuk menjadi teman Yesus, yang tanpa mereka, Ia tidak dapat berjalan dari satu tempat ke tempat lain di Palestina. Tanpa keraguan, memang ini juga salah satu maksud Yesus. Tetapi karena penciptaan suatu Israel baru termuat di dalamnya, frase “untuk ada bersama Dia” tampak menunjuk kepada ekspresi tradisional yang biasa merujuk kepada perjanjian: “Aku selalu bersama kamu”, Yahwe mengatakan kepada Musa, sambil memberi tahu nama-Nya: “Saya adalah Saya Yang Ada”, sebagai suatu jaminan kepada kesetiaannya (Kel 3:12-14). Yesus kemudian mengulangi janji ini: “... Aku selalu akan menyertai kamu” (Mat 28:20). Janji ini meminta suatu relasi timbal balik. Fakta bahwa Yesus ada bersama mereka mengharuskan juga dari mereka untuk ada bersama Dia.
Maka, mereka yang ada bersama Kristus tampak sebagai realisasi dari perjanjian: perjanjian diperluas kepada semua orang mulai muncul dalam kelompok Dua Belas. Tak dapat diragukan perjanjian secara integral direalisasikan pertama dan terutama di dalam Kristus, tetapi itu juga memiliki pengaruh yang konkret kepada semua orang, dan grup Dua Belas adalah yang pertama dan yang dikhususkan oleh pengaruh ini. Karena itu kita mulai memahami bahwa suatu posisi mediasi diberikan kepada mereka yang pertama menerima imamat. Komunitas Kristen akan mencapai kesatuan dengan Kristus melalui mediasi dari mereka yang telah dipanggil untuk ada bersama Dia.

  1. Misi
Dalam Markus, misi kelompok Dua Belas dilukiskan dengan mengatakan bahwa mereka “diutus-Nya memberitakan Injil dan diberi-Nya kuasa untuk mengusir setan”. Kata Yunani untuk “mengutus”, apostellein, adalah akar etimologis dari apostolos (apostel, utusan, rasul).
Penting diperhatikan bahwa misi grup Dua Belas dibentuk setelah misi Yesus sendiri. Yesus berbicara tentang diri-Nya sendiri sebagai Yang telah diutus oleh Bapa (Mrk 9:37; 12:1-11). Hal ini akan diungkapkan oleh Yohanes secara lebih jelas: Yesus mengutus kedua belas Rasul seperti Bapa telah mengutus-Nya. Tujuan misi ialah mirip juga, karena berkhotbah dan mengusir setan-setan ditekankan dalam lukisan Markus tentang awal pelayanan publik Yesus. Ini dipresentasikan sebagai aktivitas yang penting dari Yesus. Yesus kemudian memberikan misi untuk melaksanakan aktivitas yang mirip dengan aktivitas-Nya.

  1. Kuasa atas Kerajaan Allah
Orang mungkin bertanya apakah ada hubungan antara penciptaan grup Dua Belas dan Gereja di dalam maksud Yesus. Banyak komentator melihat adanya hubungan ini. Pada permulaan grup Dua Belas ini mewakili umat Allah yang baru, yang kepada mereka Yesus memberikan secara persis suatu definisi tugas mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di tahta kemuliaan-Nya, kamu yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas tahta untuk menghakimi kedua belas suku Israel” (Mat 19:28).
Dalam pemakluman Matius ini terdapat kesamaan dasar dengan ucapan Markus. Fakta yang pertama datang ialah bahwa grup Dua Belas yang mengikuti Yesus telah ada bersama Dia. Dalam hubungan dengan fakta ini, grup Dua Belas ditentukan untuk membagikan kekuasaan Anak Manusia. Kekuasaan mereka akan termuat dalam fakta bahwa mereka akan duduk di atas dua belas tahta untuk mengadili dua belas suku Israel. Ini adalah bahasa apokaliptis. Cukup jelas ini tidak dipahami secara literal. Di sini kita diberi tahu tentang kekuasaan untuk memimpin Israel baru. Grup Dua Belaslah yang akan menerima misi dan kekuasaan untuk memimpin Gereja. 
Kisah Lukas bahkan memberikan secara eksplisit kekuasaan agung yang dipercayakan kepada grup Dua Belas: “Kamulah yang tetap tinggal bersama-sama dengan Aku dalam segala pencobaan yang Aku alami. Dan Aku menentukan hak-hak Kerajaan bagi kamu, sama seperti Bapa-Ku menentukannya bagi-Ku, bahwa kamu akan makan dan minum semeja dengan Aku di dalam Kerajaan-Ku dan kamu akan duduk di atas tahta untuk menghakimi kedua belas suku Israel” (22:28-30). Penetapan hak-hak Kerajaan bagi kelompok Dua Belas merupakan pemberian kekuasaan yang total/besar kepada mereka; Yesus yang telah menerima kekuasaan ini dari Bapa, mencurahkannya kepada para Rasul-Nya.
Kata “menentukan” mengingatkan perjanjian yang disebutkan oleh Lukas lebih awal dalam hubungan dengan institusi Ekaristi. Pertama dan yang terutama, Yesus bermaksud untuk berbagi dengan grup Dua Belas  perjanjian yang didirikan dan diwujudkan-Nya. Kekuasaan untuk memimpin dihubungkan dengan kekuasaan untuk makan dan minum pada meja Kristus, yakni untuk merayakan Ekaristi. Lukas telah mencatat kata-kata Yesus: “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku” (22:19), kata-kata yang memberikan kekuasaan kepada para Rasul untuk memimpin perayaan Ekaristi.



  1. Ruang Lingkup Misi dan Kuasa
Teks-teks sinoptik di atas menunjukkan adanya kuasa kepemimpinan yang digabungkan dengan misi untuk berkhotbah dan kuasa untuk merayakan Ekaristi. Menurut Matius (28:18-20) dan Markus (16:16-18), misi untuk menginjili dunia dinyatakan oleh Yesus sebagai misi yang secara khusus dipercayakan kepada grup Sebelas. Ini menunjukkan keinginan untuk memberikan tugas kepada mereka dengan tanggung jawab yang lebih tinggi dalam karya evangelisasi.
Matius dan Lukas menghubungkan evangelisasi dengan misi untuk membaptis. Sebaliknya, kotbah dikaitkan dengan pengampunan dosa-dosa (bdk. Luk 24:47), sebagaimana dalam Markus kotbah dihubungkan dengan kuasa untuk mengusir setan-setan (bdk. Mrk 3:14; 16:17). Bahkan secara eksplisit kuasa untuk mengampuni dosa-dosa diberikan oleh Kristus yang bangkit atas para Rasul: “...Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yoh 20:20-22).
Dari semua indikasi ini dalam Injil-injil kita menyimpulkan bahwa Yesus bermaksud membagikan kepada kelompok Dua Belas keseluruhan kuasa pastoral-Nya. Ia memberikan mereka kuasa untuk memimpin Gereja, otoritas untuk melaksanakan misi evangelisasi, kuasa untuk melayankan pembaptisan, kuasa untuk merayakan Ekaristi dan pengampunan dosa-dosa. Dalam bahasa dewasa ini, Yesus mewariskan kepada grup Dua Belas imamat-Nya, termasuk kepemimpinan, proklamasi Sabda dan pelaksanaan tindakan liturgis atau sakramental.

2.      Struktur Hierarkis
Yesus tidak membatasi diri-Nya pada “penciptaan grup Dua Belas” untuk memberikan kepada mereka imamat-Nya sendiri. Ia juga mendirikan suatu struktur dasar yang berhubungan dengan kodrat imamat ini. Struktur ini secara tepat disebut “hierarkis”, karena ia mencakup suatu gradasi dari “kekuasaan-kekuasaan suci”, yang merupakan makna yang terkandung dalam hierarki itu sendiri.
Meneliti maksud-maksud yang disingkapkan oleh Yesus, ada tiga tingkatan dalam misi dan kuasa gembala. Tingkatan-tingkatan ini tidak persis koresponden dengan trilogi tradisional episkopal, imamat dan diakonat, yang telah dikenal oleh Gereja Katolik dalam doktrin dan dalam pelaksanaan imamat. Dan lagi dalam grup Dua Belas, ada kuasa pastoral tertinggi yang diberikan kepada Petrus, yang menandai struktur tingkat tinggi. Kita juga memiliki bukti yang menganjurkan bahwa Yesus bermaksud memberikan para Rasul sejumlah besar rekan kerja yang tunduk kepada otoritas mereka.

2.1 Kuasa Pastoral Tertinggi Petrus
Jikalau kekuasaan pastoral tertinggi diberikan kepada Simon, salah satu dari Dua Belas, itu karena Kristus secara eksplisit menginginkan bahwa hal itu seharusnya demikian. Kualitas-kualitas pribadi Simon, khususnya kemampuannya untuk berbicara atas nama yang lain tak dapat diragukan. Hal ini tampak dalam beberapa episode cerita Injil-injil, secara khusus ketika Simon telah mengakui kepada Yesus iman kelompok dua belas, atau ketika Yesus telah bertanya kepada Petrus suatu pertanyaan di jalan Kaisarea Filipi (Mat 16:16; Mrk 8:29; Luk 9:20), atau ketika Ekaristi dijanjikan (Yoh 6:68). Lalu kita tidak dapat mengatakan bahwa Petrus menjadi kepala dari Gereja atas dasar kekuatan prestise pribadinya sendiri. Faktor yang menentukan adalah bahwa Kristus menghendaki itu. Beberapa kesaksian teks-teks Injil memberi kesaksian tentang hal ini.

a.      Janji akan kuasa tertinggi
Kita ingat akan solemnitas kata-kata Yesus yang digarisbawahi Matius: “Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Surga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di surga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di surga” (16:18-19). Penelitian kontemporer mendukung historisitas ayat-ayat ini. Ayat-ayat ini menjelaskan proyek Gereja baru yang di dalamnya Petrus memainkan peranan yang tidak diprediksi dalam ramalan-ramalan para nabi.
Dalam janji Yesus kita melihat dua pemberitaan esensial dan saling berhubungan. Pertama, Simon diberi nama baru, yaitu Kephas (Petrus). Istilah kephas berarti batu karang yang berfungsi sebagai dasar alamiah yang di atasnya manusia menempatkan dasar bangunan yang dibuatnya (bdk. Luk 6:48). Kefas mengacu kepada dasar yang lebih dasar lagi. Nama yang diberikan kepada Petrus mau menunjukkan fakta bahwa Yesus membagikan kepadanya posisi yang ditempati-Nya sendiri: batu yang telah menjadi batu sendi (bdk. Mat 21:42; Ef 2:20). Jadi, dengan seorang yang telah diberi nama Petrus, Kristus bermaksud membagikan peranan-Nya sendiri sebagai batu dasar Gereja.
Kedua, Yesus menjelaskan bagaimana cara Petrus akan menjadi dasar Gereja. Caranya ialah Ia menganugerahkan kepadanya kuasa tertinggi. Memberikan kepada seseorang kunci kota berarti memberikan kepadanya kuasa total atas kota itu. Perumpamaan ini telah digunakan dalam Perjanjian Lama (bdk. Yes 22:22). Yesus menekankan bahwa kuasa ini total, karena Ia menyebut kuasa untuk mengikat dan melepaskan, dan menggarisbawahi bahwa pelaksanaan kuasa ini diratifikasi di surga. Karena Ia memiliki “segala kekuasaan di surga dan di bumi” (Mat 28:18), Ia membagikan kepada Petrus kuasa ini, tetapi Ia tetap memiliki kontrol atasnya.

b.      Pemeliharaan Iman Petrus Dan Misi Untuk Memperkuat Para Saudara
Lukas memberikan aspek khusus sehubungan dengan peranan yang dimainkan Petrus di dalam Gereja: “Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu” (22:21-22).
Otentisitas kata-kata ini tidak diragukan. Ada suatu paradoks di dalamnya: kata-kata itu menunjuk resiko yang dibawa oleh kelemahan Petrus, tetapi itu juga mempercayakan kepadanya tugas untuk menguatkan iman yang lain. Kata-kata ini menjadi tanda semangat Yesus: untuk menguatkan saudara-saudara-Nya, Ia tak ragu-ragu memilih orang yang kalau masuk dalam pencobaan akan menjadi orang yang lebih lemah. Seperti telah dicatat, peranan yang diberikan kepada Simon tampak menjadi penjelasan nama Petrus yang diberikan kepadanya.
Deklarasi Yesus jelas menunjukkan bahwa Ia ingin memberikan kepada Simon posisi yang khusus: grup Dua Belas masuk dalam pencobaan, tetapi hanya Petrus yang dikatakan oleh Yesus bahwa Ia telah berdoa untuknya. Yang lain akan diuntungkan oleh doa ini, mereka hanya akan dikuatkan oleh doa Petrus.
Misi untuk menguatkan para saudaranya konsisten dengan peranan Petrus dalam pengakuan-pengakuan iman. Ia telah menjadi pembicara grup Dua Belas dan yang pertama mengungkapkan iman akan Yesus dan akan kata-kata-Nya (bdk. Mat 16:16; Yoh 6:68). Misi diberikan kepada Simon sekarang bila misteri penebusan berhadapan dengan pencobaan yang menuntut pengorbanan. Dalam pengorbanan ini, para murid ikut terlibat dalam cara mereka sendiri yang khas karena mereka hidup dalam kesatuan dengan Yesus. Pencobaan ini akan menjadi tanda suatu hari bahwa Gereja sedang berkembang, sebab Yesus telah memaklumkan bahwa penderitaan-Nya hanyalah merupakan awal dari masa-masa sulit. Itu diikuti oleh penderitaan lebih lanjut yang menimpa para Rasul dan berlangsung sampai semua bangsa telah diproklamasikan Injil (bdk. Mrk 13:8-13). Misi untuk memperkuat iman memberi referensi pada masa depan ini.
Prediksi akan penyangkalan tiga kali Petrus, yang dalam Lukas langsung setelah deklarasi tentang misi Petrus, melengkapi demonstrasi fakta bahwa Petrus tidak akan sanggup memainkan peranannya oleh sumber-sumber pribadinya sendiri. Ia akan membutuhkan kekuatan yang lebih tinggi. Momen kelemahan tidak akan menghalangi pegangan imannya sendiri atau penguatan iman para saudaranya.
Pantas ditekankan di sini bahwa konteks deklarasi lahir dalam hubungan dengan Ekaristi. Misi untuk menguatkan iman dipercayakan kepada Petrus dalam kerangka misi yang diberikan kepada grup Dua Belas untuk mengulangi apa yang telah dilakukan oleh Yesus pada Perjamuan Terakhir. Kita juga mengetahui bahwa Yesus memberikan hubungan yang dekat antara Ekaristi dan iman, seperti ditunjukkan dalam diskursus Yohanes (Yoh 6:25, 51). Konsekuensinya, orang yang dipercayakan misi untuk menguatkan iman para saudaranya menerima tempat pertama di antara grup Dua Belas dalam perayaan Ekaristi. Ini menasihatkan bahwa primasi (keunggulan/keutamaan) Petrus juga meluas kepada ibadat dan proklamasi Sabda.
Dalam Lukas, kata-kata yang dialamatkan kepada Simon muncul setelah Ia mendeklarasikan bahwa Ia memberikan Kerajaan kepada grup Dua Belas. Dengan membuat iman rasul yang lain tergantung dari iman Petrus, Sang Guru menasihatkan bahwa grup Dua Belas akan tergantung pada Petrus ketika mereka melaksanakan kuasa atas Kerajaan. Misi tertinggi yang dipercayakan kepadanya sebagai asal iman meluas juga kepada pemerintahan Gereja dari waktu ke waktu.

c.       Misi Gembala Universal
Deklarasi Yesus yang direkam dalam Yohanes 21:15-17 melengkapi teks Matius: Matius mewartakan janji, dan Yohanes menunjukkan pemenuhan janji. Yesus memberikan Petrus kuasa penggembalaan universal: “Gembalakanlah domba-domba-Ku”. Kata-kata ini mencerminkan relasi personal Yesus dengan Petrus. Ia menyendirikan Petrus dari Rasul yang lain dengan pertanyaan apakah ia mencintai Dia lebih daripada yang lain. Pengistimewaan ini juga tampak dari penyebutan Yesus atas namanya: “Simon Putra Yohanes”.  
Kata-kata “gembalakanlah domba-domba-Ku” mengacu kepada suatu misi dan misi yang memperlihatkan kekuasaan. Misi ini digambarkan dalam kata-kata yang secara jelas menasihatkan seidentitas dengan misi Yesus sendiri. Itulah misi sebagai pastor bonus, the good shepherd. Identitas antara dua misi dikonfirmasi oleh fakta bahwa Yesus berbicara tentang “domba-domba-Ku” dan “kawanan-Ku” seperti Ia telah berbicara dalam Matius tentang “Gereja-Ku”. Ini berarti bahwa Yesus ingin melaksanakan misi pastoral-Nya untuk kepentingan domba-domba dan kawanan-Nya melalui tugas yang telah diberikan-Nya kepada Simon. Sama seperti Simon telah dinamai Petrus karena ia dipanggil untuk berperan sebagai batu fondasi seperti yang dimiliki Yesus, demikian ia juga menerima atribut gembala universal yang sungguh berhubungan dengan Gurunya.
Fakta bahwa misi yang diberikan kepada Simon serupa dengan misi Yesus sendiri lebih lanjut dikonfirmasi oleh prediksi kemartiran Petrus: “...ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja engkau kehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki” (Yoh 21:18). Cara bagaimana kemartiran Petrus diramalkan menunjukkan bahwa selanjutnya Yesus akan mengepalai seluruh hidupnya. Ketika Petrus masih muda, ia akan mengikat pinggangnya sendiri; ia akan membuat keputusan-keputusannya sendiri. Sekarang Yesus membawanya kepada jalan menuju kemartiran. Kata-kata yang diucapkan oleh Yesus, “...gembala yang baik menyerahkan hidupnya bagi domba-dombanya” (Yoh 10:11), juga diterapkan pada Petrus. Misi penggembalaan seperti dilukiskan oleh Yesus adalah baru, dan kebaruan itu muncul kembali dalam nasib Petrus sendiri. Pemberian imamat agung kepada Petrus memperlihatkan komitmen total untuk berkorban.
Cerita ini dilampirkan pada Injil Yohanes untuk mengimbangi kekaguman yang disebabkan oleh kematian Yohanes, murid yang dikasihi. Dicarilah laporan yang tepat kata-kata Yesus yang menunjukkan perbedaan antara jalan Petrus dan Yohanes dalam mengakhiri hidup mereka. Pertukaran antara Yesus dan Simon dicahayai oleh konteks historis yang tak dapat diragukan. Dialog ini tak dapat dikenakan pada kepintaran komunitas, karena komunitas tidak mau mengenang kelemahan Petrus. Peringatan penyangkalan tiga kali yang menyebabkan kesedihan Petrus menjadi jalan paradoksal masuk ke dalam pembagian tiga kali misi pastoral.
Konteks mukjizat penangkapan ikan juga memberi terang tentang misi penggembalaan ini. Episode ini mengingatkan nasib Petrus yang unik dalam banyak aspeknya. Di sana Yesus memilih masuk ke perahu Simon untuk berkotbah kepada khalayak ramai, lalu memberitahukan Simon untuk menarik jala dari pinggir dan menebarkannya ke tempat yang lebih dalam. Simon menjawab dengan iman. Di hadapan kuasa Yesus yang menakjubkan, ia menyadari keberdosaannya. Yesus mengatakan kepadanya: “Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia” (Luk 5:10). Kesejajaran dua peristiwa ini menunjukkan bahwa maksud mempercayakan kepada Petrus misi kepemimpinan tertinggi sudah mulai muncul dalam Yesus pada awal kehidupan publik-Nya. Misi ini menyingkirkan kemampuan-kemampuan manusiawi Simon dan mendasarkan segala sesuatu pada iman akan Yesus, sehingga memungkinkannya menerima misi dan kuasa supernatural yang diberikan kepadanya.

2.2  Rekan Kerja Grup Dua Belas
  1. Kehadiran Para Murid
Injil-injil melaporkan bahwa Yesus dilingkungi oleh banyak murid. Dari antara para murid yang berjumlah besar ini dipilihlah kedua belas Rasul. Malam hari Yesus menghabiskan waktu untuk berdoa sebelum pemilihan para Rasul dimaksudkan untuk mencari penerangan yang diperlukan untuk pemilihan itu (bdk. Luk 6:12-13).
Formasi grup Dua Belas yang lebih kecil tidak mengurangi panggilan yang lebih awal para murid yang lain. Kelirulah berpikir bahwa grup Dua Belas hanyalah orang-orang yang menemani Yesus ketika Ia berangkat dari satu tempat ke tempat lain dan berkotbah. Kehadiran beberapa wanita yang disebutkan oleh Lukas (8:1-3) menunjukkan bahwa di sekitar Yesus dan kedua belas Rasul-Nya hadir juga grup yang lain. Teks Injil Yohanes memperlihatkan bahwa jumlah para murid besar. Setelah Ekaristi diinstitusikan “banyak pengikut-Nya” menemukan kata-kata Yesus yang sulit ditolerir (bdk. Yoh 6:60).
Mereka yang dibicarakan sebagai para murid dalam Injil-injil bukan hanya orang-orang yang percaya. Mereka adalah orang-orang yang telah mulai mengikuti Yesus dan karena itu mereka menunjukkan niat untuk berbagi hidup dengan-Nya, mengabdikan tenaga mereka untuk pekerjaan yang telah dilaksanakan-Nya. Mereka telah menjawab panggilan Yesus. Mungkin lebih tepat dikatakan bahwa mereka telah menerima undangan untuk datang dan mengikuti-Nya, suatu undangan yang tidak dialamatkan kepada grup Dua Belas. Atau, mereka ini mungkin telah terpana oleh sifat pribadi Yesus. Tanpa langsung memanggil mereka, eksistensi Yesus telah menghantar mereka untuk mengikuti-Nya.

  1. Misi Para Murid
Lukas melaporkan misi para murid berbeda dari misi dua belas Rasul. Setelah mengisahkan bagaimana Yesus memanggil Dua Belas Rasul secara bersama-sama dan mengundang mereka mewartakan Kerajaan Allah (Luk 9:1-2), ia menulis: “Tuhan menunjuk tujuh puluh murid yang lain, lalu mengutus mereka berdua-dua mendahului-Nya ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungi-Nya” (10:1). Seperti kepada kedua belas Rasul, Yesus mengalamatkan mereka kata-kata instruksi.
Bila kita membandingkan dua misi, kita memperhatikan tak ada perbedaan yang signifikan antara yang satu dengan yang lain. Tujuan sama: mewartakan khabar gembira. Sama seperti grup Dua Belas, ketujuh puluh dua murid diberi oleh Kristus otoritas untuk mengajar. Menurut Lukas, mereka dikatakan: “Barang siapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku; dan barang siapa menolak kamu, ia menolak Aku; dan barang siapa menolak Aku, ia menolak Dia yang mengutus Aku” (10:16). Ada juga kesamaan kuasa yang diberikan kepada dua grup. Secara khusus kuasa untuk mengusir setan yang diberikan kepada grup Dua Belas (Mrk 3:15) juga dilaksanakan oleh grup Tujuh-Puluh-Dua. Ketika kembali dari misi mereka yang menggembirakan seperti juga telah dilakukan para Rasul sebelumnya, mereka berkata kepada Yesus: “Tuhan, bahkan setan-setan pun tunduk kepada kami, ketika kami memakai nama-Mu”. Keefektifan misi mereka dipastikan oleh Yesus sendiri: “Aku melihat Iblis jatuh seperti kilat dari langit. Sesungguhnya aku telah memberikan kuasa kepada kamu untuk menginjak ular dan kalajengking dan kuasa untuk menahan kekuatan musuh...” (Luk 10:17-19).
Maka kita harus menyimpulkan bahwa Yesus ingin membagikan misi dan kuasa-Nya kepada ke-72 murid, sama seperti juga kepada kedua Rasul untuk memproklamasikan Injil dan melenyapkan kekuatan-kekuatan si jahat.
Ini membuktikan bahwa Yesus bermaksud memilih bersama dengan grup 12, sejumlah besar para murid yang dipercayakan misi yang sama. Lalu Yesus menginginkan bahwa grup 12 seharusnya dilingkungi oleh banyak rekan kerja yang dipercayai dengan tugas imamat yang mirip dengan imamat mereka. Akan tetapi, hanya grup 12 menerima secara langsung dari Yesus kuasa pastoral dan imamat yang dimaksudkan untuk penyelenggaraan masa depan Gereja. Mereka memiliki kepenuhan kuasa yang dipercayakan dan pada gilirannya mereka harus melaksanakan kuasa itu bersama dengan rekan kerja mereka yang mendapat misi dan kuasa mereka.

  1. Struktur Abadi dan Suksesi
Sekarang kita menyelidiki apakah Yesus bermaksud bahwa struktur yang didirikan-Nya seharusnya berlangsung lama. Apakah struktur itu sedemikian hingga memberikan kepada kita alasan-alasan untuk berpikir bahwa mereka yang menerima kuasa imamat harus diganti oleh yang lain? Apakah Yesus sama sekali tidak berbicara tentang suksesi? Telah dipertahankan bahwa grup 12 didirikan untuk memainkan peranan yang unik sebagai rekan kerja Yesus dalam misi-Nya di dunia ini, atau untuk melaksanakan tugas yang diharuskan oleh pendirian Gereja. Oleh kodratnya sendiri, tugas yang demikian tak dapat dihentikan kepada yang lain, hal itu mengecualikan kemungkinan suksesi.
Bagaimana pun isu tentang suksesi ini tak dapat dilepaskan dari ide tentang fondasi Gereja. Memang ada pengarang-pengarang berpendapat bahwa struktur yang didirikan oleh Yesus tidak bersifat permanen. Hal ini didukung oleh fakta, kata mereka, Yesus berkeyakinan bahwa dunia akan berakhir dalam waktu yang singkat. Dan lagi, Yesus tidak memimpikan institusi Gereja yang dimaksudkan untuk berkembang dalam waktu yang lama dalam sejarah atau Ia tidak memiliki maksud sama sekali untuk mendirikan Gereja. Tetapi tidak masuk akal untuk mengenakan kepada Yesus kepercayaan yang keliru tentang akhir dunia yang dekat. Dalam diskursus eskatologis, Yesus mengatakan bahwa Ia tidak tahu kapan akhir itu akan tiba: seorang pun tidak tahu kecuali Bapa (bdk. Mrk 13:32). Lebih lanjut, Yesus memaklumkan bahwa Gereja menikmati perkembangan historis yang lama dan bahwa di tengah hukuman dan penganiayaan Gereja akan menyebar sampai kepada akhir alam semesta melalui proklamasi Injil kepada semua bangsa di dunia (bdk. Mrk 13:9-10). Akhir dunia hanya akan datang setelah evangelisasi universal telah terpenuhi (bdk. Mat 24:14). Perspektif ini konsisten dengan fakta bahwa grup 11 dipercayakan misi untuk mengajar semua bangsa (bdk. Mat 28:18-20). Misi ini yang secara eksplisit ditekan akan meluas ke seluruh dunia (bdk. Mrk 16:15; Luk 24:47; Kis 1:8). Ini berarti bahwa misi itu membawa masa depan yang begitu mendalam yang para Rasul tak mungkin dapat membawa itu hanya oleh diri mereka sendiri. Mereka terikat oleh keterbatasan fisik yang pada saatnya akan hilang (meninggal).
Maka Yesus sadar bahwa Ia sedang memberikan kepada grup 12 dan para murid misi yang mengharuskan suksesi. Diberikan keluasan misi ini dalam waktu dan ruang. Yesus ingin agar mereka yang dipercayakan misi dan kuasa imamat seharusnya diganti oleh banyak yang lain.
Tentulah salah bila melupakan apa yang khas bagi grup Dua Belas. Mereka adalah saksi-saksi khusus kehidupan duniawi Yesus, kematian dan kebangkitan-Nya, dan mereka memainkan bagian yang unik dalam pendirian Gereja. Pengalaman mereka yang begitu khas tak dapat dibagikan oleh yang lain. Dan lagi ada sesuatu yang menurut maksud Yesus dapat dan harus berpartisipasi di dalamnya. Inilah misi imamat yang dipercayakan kepada para Rasul  dan kuasa dilekatkan padanya. Secara khusus mereka tetap memegang untuk selamanya privilese telah hadir pada Perjamuan Terakhir, telah berpartisipasi dalam Ekaristi pertama, dan telah mendengar dengan telinga mereka sendiri perintah: “Lakukanlah ini sebagai kenangan akan daku”. Lagi mereka telah menerima kuasa merayakan Ekaristi dan mewariskannya kepada yang lain sampai pertumbuhan Gereja di dunia akan berakhir.
Tidaklah mengherankan bila Yesus tidak terlalu menekankan suksesi yang ingin didirikan-Nya, Ia mulai dengan mereka yang dipercayakan otoritas hierarkis. Yesus tidak pernah bertindak sebagai seorang pribadi yang cemas dengan tugas untuk membuat draf status-status yuridis berhubungan dengan komunitas yang sedang didirikan-Nya. Ia hanya memberikan prinsip-prinsip yang akan menuntun perkembangan Gereja-Nya dan itu kemudian diterjemahkan ke dalam aturan-aturan yang lebih detail. Ia melakukan apa yang diperlukan untuk menunjukkan bahwa Ia sedang mempercayakan kuasa kepada Petrus dan grup Dua Belas. Kepada mereka dan suksesi merekalah Ia mempercayakan perealisasian cita-cita imamat dan prinsip susunannya.
Pentinglah digarisbawahi bahwa Yesus menginginkan suatu suksesi yang ditandai oleh kontinuitas historis dengan diri-Nya dan grup Dua Belas. Kita tidak pernah berpikir tanpa suatu suksesi misi imamat. Kita tidak boleh mengandaikan bahwa ketika Gereja berkembang pada suatu hari dalam model karismatis Roh Kudus masuk ke dalam Gereja memberikan misi imamat yang secara historis tidak memiliki relasi dengan para Rasul yang pertama. Roh Kudus bekerja secara harmonis dengan institusi imamat karena secara historis didirikan oleh Yesus. Ia mencurahkan kuasa imamat hanya melalui suatu rantai suksesi historis dan para Rasul menjadi simpul pertama.



BAB III
PERKEMBANGAN IMAMAT PELAYANAN
DALAM KOMUNITAS-KOMUNITAS KRISTIANI AWAL

Kita telah melihat maksud Yesus tentang imamat pelayanan yang berstruktur. Kepenuhan imamat pelayanan dibagikan kepada grup Dua Belas, tetapi menurut suatu rencana: di satu sisi, Petrus menerima kuasa sebagai kepala seluruh Gereja, dan di sisi lain, para Rasul diberikan banyak rekan kerja dengan misi yang sama. Kita masih memerlukan pemahaman yang lebih akurat tentang perkembangan imamat pelayanan dalam sejarah awal Gereja.
Sehubungan dengan perkembangan ini, hanya sedikit informasi yang tersedia, baik karena tidak ada sumber-sumber, maupun karena sumber-sumber yang tersedia memberikan indikasi-indikasi yang terlalu singkat dan sulit diinterpretasi. Hal ini tidak menguntungkan untuk menyusun sejarah tentang pelayanan dan perkembangan strukturalnya dalam komunitas awal. Kita akan mencoba menjernihkan dan memberikan beberapa ciri dasar yang menandai perkembangan ini.

1.      Para Rasul Pada Awal Gereja
Ketika pelayanan mulai berkembang, ada satu fakta yang menonjol, yakni bahwa pada awal Gereja, para Rasul menempati posisi yang dominan.

1.1  Kedua Belas Rasul
Pentingnya grup 12 dalam komunitas awal didukung oleh fakta bahwa seorang Rasul dipilih untuk menggantikan tempat Yudas. Menurut kata-kata yang diucapkan pada saat pemilihan itu oleh Petrus yang bertindak sebagai kepala tertinggi, pemilihan ini merupakan imperatif karena begitulah rencana Allah tertera dalam Kitab Suci. Kehendak Allah dipertaruhkan. Petrus mengetahui bahwa Yesus bermaksud untuk mendirikan Israel baru melalui perantaraan grup Dua Belas. Kemudian setelah kematian Rasul Yakobus tahun 44 M, tak disebutkan penggantian-penggantian. Mengapa? Karena Pentekosta sedang datang, persekutuan tidak akan kekurangan anggota-anggotanya.
Petrus melukiskan peranan grup Dua Belas dengan menyebut mereka sebagai saksi-saksi kebangkitan (Kis 1:22). Frase ini tidak bermaksud bahwa Kebangkitan adalah hanya obyek  kesaksian mereka, tetapi juga mengalami kebangkitan Kristus. Karena itu juga orang yang mengambil tempat Yudas harus dipilih dari antara mereka yang telah menemani Kristus “mulai dari waktu ketika Yohanes sedang membaptis”, yakni di antara saksi-saksi mata kehidupan publik Yesus. Pengganti Yudas harus termasuk grup yang telah dipercayakan misteri Kerajaan Allah. Maka, grup 12 ialah mereka yang telah mengumpulkan revelasi yang dinyatakan oleh kata-kata dan perbuatan-perbuatan Yesus, dan mereka yang memahami itu secara mendalam. “Saksi” bukanlah pengamat peristiwa-peristiwa Yesus, karena para murid telah dipisahkan dari outsider, penonton.
Penjaringan-penjaringan untuk memilih salah satu dari dua kandidat yang dihadiri oleh orang banyak sangat signifikan. Itu berarti persekutuan menginginkan bahwa pilihan seharusnya menjadi milik Allah sendiri sama seperti pilihan kelompok Dua Belas, yang secara eksplisit dipilih oleh Yesus. Sehubungan dengan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa struktur imamat yang didirikan selama kehidupan publik Yesus merupakan keprihatinan dominan dalam perkumpulan jemaat yang sedang menantikan Pentekosta.

1.2  Relevansi Imamat Pentekosta
Pentekosta merupakan peristiwa yang secara formal Roh Kudus membentuk Gereja. Gereja dibentuk dalam keseluruhannya dan dianugerahi kesatuan, tetapi juga masing-masing individu dilengkapi dengan karunia-karunia. Karunia yang dicurahkan tidak identik untuk setiap orang: karunia itu disesuaikan dengan peranan yang dimainkan dalam pembangunan Gereja. Roh Kudus mengisi dengan kuasa-Nya sendiri dan kehidupan komunitas yang berstruktur dan berbeda seperti yang telah diinginkan dan didirikan oleh Yesus.
Karena itu sekarang kita dapat menjernihkan relevansi Pentekosta untuk imamat dan menjawab pertanyaan para teolog yang bertanya tentang imamat para Rasul: Apakah membentuk kelompok Dua Belas ekuivalen dengan tahbisan imamat?
Pada Pentekosta para Rasul menerima Roh Kudus yang memungkinkan mereka membawa misi Kristus. Kita dapat mengatakan bahwa Roh Kudus menghasilkan di dalam mereka efek yang ekuivalen dengan tahbisan. Dalam hal ini, Pentekosta dapat dilihat, dari sudut pandang grup Dua Belas, sebagai pemberian tahbisan imamat pertama di dalam Gereja. Pentekosta berarti juga bahwa sekarang imamat umum kaum beriman didirikan, imamat yang juga hasil pencurahan Roh Kudus.
Dengan memperhatikan secara khusus kelompok Dua Belas, pentinglah menggarisbawahi bahwa tahbisan mereka terjadi tanpa pengucapan kata-kata dan pelaksanaan gerak-gerik. Roh Kudus diberikan sebagai hasil dari kata-kata dan perbuatan Yesus. Yesus telah melukiskan misi dan kuasa grup Dua Belas. Dalam doa imamat, Ia telah meminta kepada Bapa agar mereka dikonsekrasikan: “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran” (Yoh 17:17). Bahkan penumpangan tangan yang merupakan bagian dari ritus tahbisan, tampak dalam gerak-gerik akhir Yesus. Sebelum naik ke Surga, Ia mengangkat tangan-Nya atas para Rasul untuk memberkati mereka, setelah menjanjikan mereka kuasa dari surga melalui karunia Roh Kudus (bdk. Luk 24:48-50).
Maka, ada ekuivalensi dengan tahbisan imamat untuk grup Dua Belas: penugasan misi, pemberian kuasa-kuasa, doa-doa dan penumpangan tangan untuk memohon karunia Roh Kudus. Sehubungan dengan ekuivalensi tahbisan ini, kita seharusnya mengenal di sana awal menuju tahbisan dan model sempurna tahbisan. Kristus mengucapkan kata-kata manusia, memperagakan gerak-gerik manusiawi, dan Roh Kudus menjawab doa-Nya dengan efektivitas yang mengagumkan. Dalam hal ini, Pentekosta seharusnya dilihat sebagai prototipe tahbisan imamat.
Relevansi imamat Pentekosta dikuatkan oleh fakta lain: para Rasul memulai pelayanan mereka hanya setelah Pentekosta. Sambil mengikuti petunjuk Yesus, mereka menantikan karunia Roh Kudus sebelum menjalankan misi evangelisasi dan sebelum merayakan pemecahan roti.

1.3  Pelayanan Para Rasul
Pada awal para Rasul muncul sebagai orang-orang yang dicurahi kuasa tertinggi. Mereka melaksanakan otoritas ini dalam semangat persekutuan dengan kumpulan Kristen. Grup Dua Belas memanggil perkumpulan untuk memecahkan masalah yang disebabkan oleh pelayanan di antara orang-orang Helenis. Sebagai solusi, mereka menganjurkan pemilihan tujuh pelayan baru. Kumpulan setuju dan memilih calon-calon. Tujuh pelayan kemudian dihadirkan di hadapan para Rasul, dan mereka menumpangkan tangan atas 7 pelayan baru itu. Dengan demikian mereka menerima otoritas atas komunitas termasuk kuasa kultus, dan khususnya kuasa menahbiskan pelayan-pelayan. Kuasa kultus lain dilaksanakan oleh Petrus dan Yohanes: kuasa untuk menumpangkan tangan atas orang yang dibaptis untuk membagikan rahmat Roh Kudus (bdk. Kis 8:14-17).
Otoritas kelompok 12 juga disaksikan oleh fakta mereka yang memiliki posisi dalam komunitas mereka, “menghadirkan” mereka kepada para Rasul (bdk. Kis 4:35-37; 5:2). Setelah pertobatannya, Paulus juga dipresentasikan kepada para Rasul. Untuk menghindari bahaya ia dikucilkan dari komunitas, maka diambil otoritas para Rasul (bdk. Kis 9:26-28). Para Rasul memimpin Konsili di Yerusalem (bdk. Kis 15:2).
Aktivitas yang lebih khusus disebutkan oleh Lukas dalam hubungan dengan para Rasul ialah berkotbah: proklamasi kabar gembira kepada umat (bdk. Kis 2:14-46; 3:12-16; 4:2, 33; 5:20-21), mengajar dalam komunitas (bdk. Kis 2:42), memberikan kesaksian di hadapan Sanhedrin (bdk. Kis 4:5-31; 5:27-41). Seperti kotbah Yesus sendiri, kotbah ini juga disertai oleh tanda-tanda dan mukjizat-mukjizat (bdk. Kis 2:14-21,43; 3:1-11,16; 4:8-12; dst.).
Grup Dua Belas menyertakan sesuatu yang penting dalam misi evangelisasi mereka: ketika memilih para pelayan untuk pendistribusian makanan, mereka mengatakan bahwa mereka tidak boleh mengabaikan Sabda Allah (bdk. Kis 6:2). Doa berdampingan dengan pelayanan Sabda: “Kami terus-menerus mengabdikan diri kepada doa dan pelayanan Sabda” (bdk. Kis 6:4). Mereka melihat diri mereka bertanggung jawab untuk memajukan doa dalam komunitas.
Di antara dua belas Rasul, Petrus memainkan peranan utama. Dialah yang pertama berkotbah pada Pentekosta dan berbicara atas nama dua belas Rasul (bdk. Kis 2:13-17; 5:29). Dialah yang membuat keputusan untuk mengakui pembaptisan orang-orang kafir (bdk. Kis 10:48). Pada Konsili Yerusalem, posisinya diterima bahwa Gereja harus membukakan pintunya kepada orang-orang Kafir, dan ucapannya diterima dalam keheningan yang hikmat (bdk. Kis 15:7-12).
Meskipun pada awal Gereja, grup 12 memainkan peranan otoritatif di Yerusalem, tak ada teritorial tertentu bagi mereka, tak ada satu Gereja khusus. Mereka bertugas bagi Gereja universal. Di Yerusalem, satu otoritas lokal tampaknya hanya berpindah kepada Yakobus, Saudara Tuhan, dan ia tidak termasuk grup Dua Belas (bdk. Kis 12:17; 21:8). Karena itu, kita tidak harus kembali ke belakang dengan mengenakan kepada kelompok Dua Belas otoritas episkopal yang kemudian berlaku di mana-mana, yakni otoritas yang dikaitkan dengan komunitas tertentu. Kita mengetahui bahwa Petrus mengadakan berbagai perjalanan dan di mana-mana ia dipandang sebagai kepala Gereja. Kelompok Dua Belas juga dipercayakan dengan otoritas universal bukan terbatas pada tempat tertentu.

1.4  Perluasan GelarRasul
Rupanya gelar rasul dengan segera diperluas kepada yang lain di samping kelompok Dua Belas. Dalam surat kepada jemaat di Galatia, Paulus menyebut kunjungannya ke Yerusalem tiga hari setelah pertobatannya. Dalam hubungan ini, ia memberikan gelar rasul kepada Yakobus, Saudara Tuhan. “Aku tidak melihat rasul-rasul lain, aku hanya melihat Yakobus, Saudara Tuhan” (Gal 1:19). Beberapa orang telah mencoba mengidentifikasi Yakobus ini dengan Putra Alfeus, salah satu dari dua belas Rasul, tetapi identifikasi ini tidak lagi diterima. Tidak ada saudara Tuhan di antara dua belas Rasul.
Gelar yang diberikan kepada Yakobus menunjukkan bahwa ia melaksanakan otoritas dari tingkatan yang sama dengan grup Dua Belas. Pada perjalanan berikutnya, Paulus menyebut Yakobus, Kefas dan Yohanes sebagai soko guru atau pilar jemaat (bdk. Gal 2:9). Ini mau mengatakan bahwa jika Yakobus disebut rasul, itu karena otoritasnya. Ia terkemuka karena senioritasnya, dan tak ada keraguan ia telah mengenal Yesus, dan salah satu dari mereka yang menantikan kedatangan Roh Kudus pada Pentekosta. Tambahan lagi, ia dipandang sebagai salah satu pemimpin Gereja.
Gelar rasul ini mengalami perluasan dalam komunitas Yahudi Kristen. Perluasan yang lain terjadi di antara orang-orang Helenis. Barnabas dan Paulus akan juga disebut rasul. Lukas memberi gelar ini kepada mereka setelah mengisahkan bagaimana mereka menerima penumpangan tangan di Antiokia (bdk. Kis 13:1-3; 14:4,14).
Apakah penumpangan tangan itu ditafsirkan sebagai tahbisan? Sejak Barnabas dan Paulus memainkan peranan memimpin di Gereja Antiokia, tampak aneh bahwa mereka masih harus perlu ditahbiskan untuk menjalankan misi mereka. Bagi Paulus kebutuhan ini lebih mengherankan lagi, karena dalam surat-suratnya ia memandang dirinya sebagai seorang rasul atas kekuatan panggilan khusus oleh Kristus yang telah mentobatkannya dalam perjalanan menuju Damaskus. Karena alasan-alasan ini beberapa komentator berpendapat bahwa penumpangan tangan menjadi bukan suatu gerakan yang dimaksudkan untuk memberikan kuasa, tetapi suatu jabatan atau penghargaan semata dari panggilan yang dialamatkan kepada mereka oleh Roh Kudus.
Namun puasa dan doa yang mendahului penumpangan tangan merupakan ciri khas ritus tahbisan. Tujuan yang hendak dicapai ialah “untuk memisahkan”, untuk menguduskan Barnabas dan Paulus bagi misi pendirian komunitas-komunitas Kristen di antara orang-orang kafir. Maka sangat mungkin bahwa mereka ditahbiskan untuk suatu misi yang amat mulia dalam Gereja, misi yang dihubungkan dengan gelar rasul.
Setelah penumpangan tangan, Lukas menyebut Barnabas dan Paulus sebagai rasul, yang menjamin ritus ini. Tambahan, ia memberi nama Paulus kepada orang yang tak lama sebelumnya, ia panggil Saulus. Melalui konsekrasi Paulus diberi personalitas baru. Nama baru memberikan direksi ke arah mana misinya, yakni kepada dunia Yunani.
Dari Yesus yang telah dianiayanya, Saulus menerima panggilan langsung kepada pertobatan dan misi. Dalam hal ini dia adalah seorang rasul atas dasar kekuatan kehendak eksplisit Kristus. Akan tetapi kerasulan ini harus disertai oleh penahbisan dari pihak Gereja. Melalui penumpangan tangan, ia menerima karunia Roh Kudus dan dipercayakan misi sebagai rasul di antara orang-orang kafir, suatu misi yang meminta secara khusus pemilihan para presbiter dalam komunitas-komunitas baru (Kis 14:23).
Penumpangan tangan ini dilakukan oleh para nabi dan guru. Ritus ini bagaikan pemberian karisma, karena Lukas mengatakan bahwa inspirasi, yang mengkhususkan Barnabas dan Paulus, telah menjadi nabi dan guru dari Roh Kudus. Dan lagi, inspirasi ini terjadi selama perayaan liturgis. Selanjutnya mereka memainkan peranan kultus yang esensial. Mereka adalah tipe para nabi-liturgis yang disebutkan dalam Didache (15:1-2), di mana mereka juga dihubungkan dengan “imam agung” (13:3). Menurut 1Kor 12:28, “Allah telah menetapkan beberapa orang dalam jemaat: pertama sebagai rasul, kedua sebagai nabi, ketiga pengajar”. Para nabi pada tempat kedua, seperti dalam Efesus (4:11). Dalam komunitas Antiokia, para nabi adalah kepala komunitas; mereka dicurahi dengan kepenuhan kuasa imamat. Kepenuhan inilah yang mereka bagikan kepada Barnabas dan Paulus melalui penumpangan tangan untuk misi yang lebih luas.
Gelar rasul mengharuskan suatu makna yang lebih luas dalam penggunaan Paulus dalam surat-suratnya. Sambil mendaftarkan penampakan-penampakan Kristus yang bangkit, ia mencatat penampakan kepada grup Dua Belas, lalu kepada Yakobus, dan kemudian kepada semua rasul (1Kor 15:7). Gelar rasul kemudian diklaim oleh “saudara-saudara yang lebih tua” atau para presbiter komunitas Yerusalem, semua mereka yang telah menyaksikan kebangkitan Yesus. Dalam 2Kor 8:23 Paulus berbicara tentang “saudara-saudara kita, para rasul dari Gereja-gereja”.
Kesimpulan yang mengikutinya ialah bahwa ketika Gereja berkembang, fungsi apostel tidak lagi secara ketat dikenakan kepada grup Dua Belas. Gelar itu dikenakan baik kepada mereka yang telah menerima misi untuk berevangelisasi dari Yesus maupun kepada mereka yang bertindak sebagai misionaris penjelajah demi perluasan Gereja. Kasus Barnabas dan Paulus menunjukkan bahwa penumpangan tangan berarti membagikan kepada para misionaris konsekrasi dan karunia Roh Kudus untuk misi yang mereka laksanakan.

2.      Imamat Pelayanan
2.1  Tahbisan Kelompok Tujuh
Penahbisan kelompok Tujuh yang dikisahkan dalam Kis 6:1-6 merupakan tahbisan pertama yang dilaporkan dalam kehidupan Gereja. Dasar laporan ini ialah tradisi panjang yang berpendapat bahwa tahbisan ini menandakan awal diakonat sebagai institusi. Jadi, kelompok Tujuh diidentifikasi sebagai diakon-diakon pertama. Tetapi arah interpretasi lain dengan mengacu kepada Yohanes Krisostomus, menolak identifikasi itu. Kita dapat memahami dengan baik bagaimana diakonia dan diakonein, istilah-istilah yang digunakan dalam kisah, menghantar para pembaca untuk percaya bahwa kisah itu berhubungan dengan pemilihan diakon. Sementara istilah-istilah ini mengacu kepada “pelayanan harian” dan pendistribusian makanan, tidak ada di sini istilah teknis yang menunjuk kepada fungsi diakon. Lukas, yang secara eksplisit mencatat dalam Injilnya bahwa grup Dua Belas dinamai para Rasul (bdk. 6:13) tidak berani mempresentasikan kelompok Tujuh sebagai diakon. Eksegese sekarang segan menginterpretasikan diakon teks ini.
Untuk dapat menentukan apa arti pemilihan ini, kita harus memahami secara persis apa yang dimaksud dengan pendistribusian makanan/pelayanan harian. Pelayanan ini telah dilihat sebagai model pelayanan kepada orang miskin, tetapi ada banyak indikasi yang menyeimbangi interpretasi ini. Karena bagi orang Yahudi jalan untuk membantu orang miskin adalah memberikan mereka upah mingguan untuk membayar empat belas kali makan, apa yang termasuk dalam pelayanan harian mungkin lebih baik menjadi uang sokongan daripada distribusi makanan. Di samping itu kita diberi tahu bahwa tiga orang cukup untuk menjalankan tugas ini untuk seluruh kota Yerusalem. Jika demikian, pemilihan tujuh orang Helenis untuk menjalankan pelayanan ini untuk suatu minoritas dalam kota tampak seperti sesuatu yang berlebihan. Tetapi pantas dicatat bahwa sebagian besar keseluruhan komunitas Kristen itu dipanggil dalam pemilihan itu dan dilaksanakan seremoni penumpangan tangan. Ini berbeda jika menyangkut masalah yang hendak dikoreksi dalam komunitas. Ketika janda-janda Helenis mengeluh bahwa ada diskriminasi dan pengabaian dalam tugas yang dijalankan, situasi dapat dikoreksi tanpa memanggil perkumpulan umum para Rasul.
Di samping itu, mengapa dimohonkan kepada orang-orang itu “dipenuhi dengan Roh Kudus dan kebijaksanaan” jikalau tugas mereka hanya memberikan makanan kepada orang miskin? Dalam waktu-waktu kemudian, baik Tradisi dalam Gereja Yerusalem maupun Tradisi di mana saja, kita sungguh tidak menemukan bukti praktek tersebut. Seperti untuk kelompok Tujuh, kita lihat bahwa Stefanus membaktikan dirinya secara intensif untuk berkotbah, dan Filipus mengadakan perjalanan-perjalanan untuk memberitakan khabar gembira. Apakah mereka telah dipilih untuk melayani orang miskin, kita hampir tidak dapat mengerti mengapa mereka mengambil direksi ini ketika mereka berangkat untuk melakukan tugas mereka. Catatan khusus bahwa Stefanus adalah seorang Ahli Kitab Suci dan ditugaskan untuk menyelami refleksi-refleksi doktrinal. Ia juga memperlihatkan “mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda besar” (Kis 6:8). Ini menganjurkan bahwa ketika para Rasul menumpangkan tangan atas mereka, mereka tidak hanya dipercayakan tugas untuk melayani orang miskin. Catatan juga bahwa kita gagal menemukan referensi kemudian aktivitas karitatif yang menurut kata orang dipercayakan kepada kelompok Tujuh. Sebaliknya, kita menemukan lukisan tentang usaha-usaha evangelisasi yang dijalankan oleh Stefanus, kemudian oleh Filipus, tepat setelah tahbisan.
Maka benar melihat dalam arah lain interpretasi ungkapan “memberikan makanan”, yang arti harfiahnya “melayani meja” dalam Kis 6:2. Frase ini telah ditafsirkan dengan buru-buru dalam makna sosial, sementara konteks menginginkan arti religius. Bahkan istilah “janda-janda” terlalu cepat telah diandaikan wanita-wanita yang memiliki kebutuhan mendesak. Seperti dalam 1Tim 5:5, “janda-janda” mengacu kepada wanita-wanita yang mengabdikan diri mereka kepada hidup bakti dan membaktikan diri kepada hidup doa.
Frase “pelayanan sehari-hari” dalam Kis 6:1 dapat diklarifikasi dengan bantuan teks terdahulu yang di dalamnya Lukas melukiskan komunitas pertama: “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis 2:42). Di satu sisi, mereka mengunjungi Bait Allah untuk berdoa bersama dan tetap setia pada pengajaran para Rasul, di sisi lain mereka mengambil makanan di rumah masing-masing dan merayakan Ekaristi, termasuk proklamasi berita gembira (Kis 5:42). Jikalau makanan ini telah menjadi makanan, hal itu hampir tak mungkin disebut. Pemecahan roti, makanan yang dibagikan dengan suka cita (Kis 16:34), dan kesederhanaan hati menganjurkan makanan ucapan syukur ditemani oleh Ekaristi.
Ketika jumlah orang-orang beriman bertumbuh semakin besar, pelayanan sehari-hari pada meja-meja di rumah-rumah menimbulkan masalah: para Rasul tidak lagi hadir di mana-mana untuk menjamin pelayanan ekaristis. Keluhan datang dari “janda-janda”, yaitu, mungkin dari para wanita yang menganut hidup bakti. Mereka dihubungkan secara erat dengan pelayanan ini dan berperan aktif dalam persiapan perjamuan. Mereka Helenis dan berbicara bahasa Yunani. Mereka mengeluh diabaikan oleh orang-orang Yahudi yang berbicara bahasa Aram. Untuk pertama kalinya, di sini tampak masalah bahasa liturgis: orang-orang Kristen berbahasa Yunani merasa dilupakan dalam perjamuan Ekaristi berbahasa Aram.
Situasi-situasi menjelaskan mengapa para Rasul memanggil komunitas. Mereka bermaksud membuat pengumuman tentang keputusan yang telah mereka ambil untuk memulihkan kekurangan para pelayan: “Kami tidak puas, karena kami melalaikan Firman Allah untuk melayani meja”. Para Rasul harus mengejar misi evangelisasi mereka; mereka harus “memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman” secara khusus di Bait Allah (Kis 6:2, 4). Mereka tidak mengizinkan diri mereka sendiri dimonopoli oleh pelayanan banyak perjamuan Ekaristi di rumah-rumah pribadi. Di samping itu mereka setuju bahwa komunitas Helenis harus memiliki pelayan-pelayan sendiri demi otonomi yang lebih besar.
Maka jelaslah, institusi kelompok Tujuh bukan semata-mata pemilihan administratif atau hanya delegasi wewenang. Perkumpulan menghadirkan kandidat yang memiliki kualifikasi-kualifikasi yang diperlukan, tetapi rasullah yang “membentuk” mereka dalam fungsi-fungsi baru mereka: “Kami akan menyerahkan kewajiban ini kepada mereka”. Grup Tujuh tidak bertindak sebagai delegasi-delegasi komunitas. Ritus institusi yang dilaksanakan oleh para Rasul terdiri dari sebuah doa yang diikuti oleh penumpangan tangan. Doa umum memohon aksi Roh Kudus dan penumpangan tangan melambangkan pembagian kuasa suci yang diberikan oleh gerakan ini dalam tradisi Yahudi (bdk. Bil 27:18 dst; Ul 34:9).
Karena itu, bagaimana kita melukiskan kelompok tujuh? Lukas abstain untuk memberikan mereka gelar, yang berarti bahwa tak ada gelar diberikan kepada mereka pada saat institusi. Institusi baru dan tak ada nama. Kisah menunjukkan bahwa grup 7 diberikan kuasa oleh para Rasul untuk memimpin pelayanan meja, yakni perjamuan yang ditutup dengan Ekaristi. Kuasa ini diperluas kepada proklamasi berita gembira, proklamasi yang, seperti dicatat secara eksplisit oleh Lukas, terjadi sehari-hari baik di rumah-rumah pribadi maupun di Bait Allah (bdk. Kis 5:42). Maka kita mungkin menjelaskan bagaimana beberapa calon dipilih, Stefanus dan Filipus sebagai contoh: mereka adalah pengkotbah-pengkotbah yang baik. Itulah sebabnya, mereka kemudian membaktikan diri untuk berevangelisasi.
P. Gaechter berpendapat bahwa institusi itu mewakili konsekrasi episkopal pertama. Grup 7 ia percayai adalah para uskup yang dicurahi dengan semua kuasa untuk mengatur. Benar, kuasa imamat yang diberikan kepada mereka sangat ekstensif karena mereka ditugaskan pada komunitas Helenis. Tetapi di sini bersifat anakronistis berbicara tentang institusi para uskup, karena fungsi episkopal belum dibedakan dari fungsi para presbiter sebagaimana terjadi kemudian. Di sisi lain, kita tidak dapat juga mengatakan bahwa menurut indikasi yang diberikan oleh kisah, grup 7 secara sederhana diangkat ke tingkat para Rasul. Ketika Filipus mengevangelisasi Samaria, para Rasul mengirim Petrus dan Yohanes untuk mencurahkan Roh Kudus kepada mereka yang dibaptis (bdk. Kis 8:14-15). Di samping itu grup Dua Belas ingin melanjutkan pembaktian diri kepada pelayanan Sabda dan doa, khususnya di Bait Allah. Ini berarti bahwa mereka bermaksud memelihara tingkatan agung dalam misi evangelisasi dan dalam peribadatan. Apa yang mereka ingin bagikan kepada grup Tujuh adalah kuasa untuk memimpin meja ekaristis, dengan segala sesuatu yang melekat dengan pelayanan ini, yakni proklamasi Sabda dan kepemimpinan komunitas yang dikumpulkan.
Maka tampak bahwa tingkatan grup Tujuh seharusnya dilihat sebagai tingkatan presbiter. Tetapi harus tinggal dalam ingatan kita bahwa pada awal istilah “presbyter” digunakan tanpa arti yang persis. Benar, bahwa grup Tujuh tidak dinamai presbyter. Lebih baik dikatakan bahwa gelar ini tidak cocok untuk mereka, karena mereka milik komunitas Helenis. Indikasi-indikasi tertentu membawa kita untuk percaya bahwa mereka kemudian ditempatkan pada level yang sama kurang lebih seperti presbiter. Pada Konsili Yerusalem, grup 7 tidak disebut, hanya para Rasul dan presbiter (bdk. Kis 15:4,6,23). Para presbiter Yerusalem jugalah yang menerima sumbangan-sumbangan yang ditujukan kepada mereka melalui Barnabas dan Paulus (bdk. Kis 11:30). Jikalau presbiter adalah hanya otoritas-otoritas yang disebutkan terlepas dari para Rasul, maka grup itu termasuk di antara anggota-anggota dari mereka yang masih tertinggal dari grup Tujuh yang telah ditahbiskan.
Dari uraian di atas kita dapat menarik beberapa kesimpulan: 1) para Rasul mengetahui bahwa mereka diberi kuasa untuk membagikan kepada yang lain tugas imamat yang telah mereka terima dari Kristus. Segera setelah situasi menuntut, mereka juga berbuat demikian. 2) Untuk pelayanan meja, yaitu Ekaristi, tidaklah cukup penunjukan komunitas tugas-tugas kepemimpinan. Diperlukan tahbisan. Sejak awal tahbisan ini mengikuti apa yang selanjutnya menjadi ritus dasar tahbisan imamat, yaitu doa dan penumpangan tangan. 3) Peranan komunitas adalah menemukan orang-orang yang cocok untuk pelayanan ini. Baik jemaat maupun para Rasul tidak dikatakan memanggil para kandidat. Komunitas mempresentasikan mereka yang dikenal memiliki kepantasan spiritual, pribadi-pribadi yang “dipenuhi dengan Roh Kudus dan kebijaksanaan”. Persiapan esensial atau bakat/kecerdasan untuk pelayanan ialah tindakan Allah. Ini berarti bahwa panggilan berasal dari Allah. Kita dipanggil untuk mendeteksi panggilan itu dalam mereka yang menerimanya.

2.2  Asal-usul Presbiter
Apakah ada para presbiter di Yerusalem sebelum tahbisan grup Tujuh? Tampaknya demikian, karena keluhan-keluhan orang Helenis diarahkan kepada orang-orang Yahudi. Maka mungkin ada di Yerusalem pelayan-pelayan Yahudi yang tunduk kepada para Rasul. Mereka menjamin pelayanan meja-meja, pelayanan ekaristis di rumah-rumah. Para presbiter yang kemudian disebut pada Konsili Yerusalem di samping (setelah) para Rasul telah menjadi rekan kerja para Rasul sejak awal. Normallah bahwa untuk menjamin perayaan Ekaristi, grup Dua Belas dibantu oleh para presbiter.
Bagaimana para presbiter ini telah dipilih untuk tugas mereka? Tak tersedia informasi yang dapat dipercayai untuk menjawab pertanyaan ini. Sangat mungkin para presbiter pertama adalah orang-orang yang telah mengikuti Yesus dan secara khusus para murid, yang seperti para Rasul, telah diutus demi suatu misi selama pelayanan publik Yesus. Seandainya misi yang diberikan kepada grup Dua Belas selama kehidupan duniawi Yesus adalah awal misi mereka dalam Gereja, yang sama haruslah benar mengenai misi yang diberikan kepada ketujuh puluh dua murid. Dari grup inilah seorang rasul dipilih untuk mengganti Yudas. Para anggotanya tanpa diragukan lagi dilihat sebagai panggilan definitif oleh Yesus. Mereka ditugaskan untuk pelayanan Gereja dan memiliki misi yang sama dengan para Rasul, tetapi mereka tidak memiliki otoritas tertinggi seperti yang dimiliki para Rasul.
Karena panggilan ini mereka tak perlu dipilih secara khusus oleh para Rasul, karena Yesus secara personal telah mempercayakan tugas kepada mereka. Untuk menjalankan tugas ini mereka menerima karunia Roh Kudus pada Pentekosta. Bagi mereka, seperti juga bagi para Rasul, tetapi dalam suatu tingkatan yang lebih kurang, karunia Roh Kudus ekuivalen dengan tahbisan imamat.
Apakah mereka memegang gelar presbiter sejak awal? Tentang hal ini kita memiliki keraguan, karena dalam kisahnya tentang tahbisan grup Tujuh, Lukas hanya berbicara tentang orang-orang Yahudi. Sangat mungkin mereka dihubungkan sebagai saudara-saudara. “Seratus dua puluh saudara” yang berkumpul untuk memilih pengganti Yudas (Kis 1:15) tampak menjadi orang-orang yang telah mengikuti Yesus, telah mengabdikan diri untuk tugas-Nya dan telah melaksanakan suatu takaran otoritas di bawah direksi para Rasul. Di waktu kemudian istilah “saudara” ini dikenakan kepada mereka yang membantu para Rasul dalam misi mereka. Kita memilik “para Rasul dan para saudara di Yudea” (Kis 11:1), lalu “Yakobus dan para saudara” yang diberi tahu bahwa Petrus telah dibebaskan dari penjara (Kis 12:17), dan “saudara-saudara” yang menerima dengan hangat Paulus pada kedatangannya di Yerusalem (Kis 21:17).
Pada saat Konsili Yerusalem berjalan para saudara ini disebut “penatua-penatua” yang secara harfiah berarti “yang senior” atau “lebih tua” (Kis 15:23). Telah dikatakan bahwa gelar “yang dituakan” atau “presbiter” diadopsi setelah tahbisan kelompok tujuh oleh orang-orang yang dimaksudkan untuk menekankan senioritas mereka dalam pelayanan, yakni senioritas yang dibawa kepada hari-hari pelayanan Yesus sendiri. Mereka yang telah dipanggil oleh Kristus mengklaim privilese mereka sebagai “penatua” atas mereka yang baru saja ditahbiskan.
Akan tetapi perlu dicatat bahwa yang baru ditahbiskan dan yang ditahbiskan lebih dulu tidak berbeda dalam otoritas, hanya dalam asal. Grup 7 yang bertugas di komunitas Helenis menerima dari para Rasul dengan penumpangan tangan kuasa pelayanan yang telah dilaksanakan oleh mereka yang telah sedang melayani orang-orang Yahudi. Berikutnya, ketika gelar presbiter diterapkan kepada pelayanan ini, hal itu menunjuk pada fungsi, yang adalah alasan mengapa itu dapat diperluas kepada orang yang menerima penumpangan tangan.
Para presbiter yang telah dibentuk secara tetap dalam komunitas-komunitas baru muncul dari karya evangelisasi. Selama misi yang mengikuti tahbisan mereka, Paulus dan Barnabas “dalam setiap jemaat ini...dipilih para penatua” (Kis 14:23). Kata yang digunakan untuk menunjuk “pilihan” ini kemudian akan menjadi istilah teknis untuk tahbisan. Titus juga diberi tugas untuk “memilih para penatua di setiap kota” (Tit 1:5).
Dalam surat pertama kepada Timotius akses kepada pelayanan secara eksplisit dikaitkan dengan penumpangan tangan: “Janganlah lalai dalam mempergunakan karunia yang ada padamu, yang telah diberikan kepadamu oleh nubuat dan dengan penumpangan tangan sidang penatua” (4:14). Menurut surat kedua kepada Timotius, Pauluslah yang menumpangkan tangan: “Karena itulah kuperingatkan engkau untuk mengobarkan karunia Allah yang ada padamu oleh penumpangan tanganku atasmu” (1:6). Pada pandangan pertama tampak ada dua ritus yang berbeda, tetapi sebenarnya satu dan sama entah dilaksanakan oleh para Rasul ataupun oleh kumpulan presbiter. Dalam 1 Tim 4:14 tekanan diletakkan pada kolegialitas para presbiter untuk mengingatkan Timotius akan tanggung jawabnya di hadapan seluruh Gereja dan menasihatinya agar memiliki kemajuan yang akan terbukti pada setiap orang. Dalam 2 Tim 1:6 tekanan jatuh pada hubungan pribadi antara Timotius dan Paulus, nilai yang telah dinaikkan dengan tahbisan, dan yang harus diikat dalam kesatuan roh.
Kedua teks memberikan petunjuk yang persis tentang fakta bahwa pelayanan merupakan karisma Allah yang diberikan melalui penumpangan tangan. Dalam hal Timotius penumpangan tangan dilaksanakan baik oleh Rasul maupun kumpulan presbiteral. Catatan khusus bahwa istilah “karisma”, yang digunakan untuk menunjuk kuasa pelayanan Timotius, tidak mengecualikan pembagian ritual kuasa tersebut melalui tahbisan. Dengan demikian, karisma dan tahbisan tidak harus diperlawankan satu dengan yang lain. Jadi, pemberian karisma dihubungkan dengan suatu institusi ritual.

2.3  Fungsi-Fungsi Para Pelayan
a)      Fungsi gembala
 Para presbiter menjalankan otoritas dalam Gereja-gereja lokal (bdk. Kis 11:30; 20:28-36). Secara lebih tepat mereka lakukan ini sebagai gembala. Kepada para presbiter di Efesus Paulus membuat rekomendasi ini: “Jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik [uskup] untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri” (Kis 20:28). Perhatikanlah universalisme misi pastoral ini: jemaat Allah diperoleh Yesus dengan darah-Nya sendiri. Gereja universal dimaksudkan bukan hanya suatu komunitas lokal. Mereka ditentukan untuk melayani komunitas Efesus, tetapi peranan pastoral mereka meluas kepada seluruh Gereja.
Peranan universal yang digabungkan dengan penugasan kepada tempat tertentu disaksikan juga oleh peranan yang ditunjukkan oleh para presbiter pada Konsili Yerusalem. Konsili membuat keputusan yang valid untuk seluruh Gereja. Presbiter disebutkan sebagai otoritas di samping para Rasul (bdk. 15:2, 4, 22, 23).
Juga tanggung jawab kegembalaan diwariskan kepada para presbiter dalam surat pertama Petrus. Petrus melukiskan dirinya sebagai seorang penatua: “Aku sebagai penatua”. Lalu ia lanjutkan dengan rekomendasi ini: “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan suka rela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri” (1Pet 5:2-3). Misi mereka adalah gambaran dari misi Kristus sendiri, “Gembala Agung” (1Pet 5:4). Maka kontinuitas antara tugas para presbiter dan para Rasul diungkapkan, karena Petrus menyebut dirinya sendiri presbiter dan juga kontinuitas dengan misi Kristus yang bertitel gembala berpindah kepada mereka yang disebut “penjaga” atau “uskup”. Ini berhubungan dengan imamat pelayanan Kristus, Sang Gembala, yang dibagikan kepada para Rasul dan para presbiter.
Sebelum akhir abad pertama, Klemens dari Roma mengatakan bahwa tugas kegembalaan telah dibagikan efeknya karena Kristus dan Allah telah menghendaki demikian. Tuhan Yesus yang diutus oleh Allah pada gilirannya mengutus para Rasul untuk memberitakan kabar gembira. Klemens menulis: “dari antara pentobat-pentobat pertama ditentukan orang-orang yang diteguhkan oleh Roh Kudus bertindak sebagai uskup dan diakon untuk orang-orang percaya kemudian” (1Kor 42:2). Lagi: “...dilengkapi dengan kesempurnaan pengetahuan, mereka memilih orang-orang yang disebut sebelumnya, dan setelah itu diberikan suatu hukum sekali untuk semua untuk efek ini: ketika orang-orang ini meninggal, orang-orang yang teruji lainnya akan mengganti dalam pelayanan suci ini” (1Kor 42:44). Dalam surat ini mereka yang disebut “uskup dan diakon” identik dengan presbiter yang disebutkan sebelumnya.
Dinamisme evangelisasi menandai tugas kegembalaan. Karena mereka adalah “uskup dan diakon untuk orang-orang beriman di masa yang akan datang” para gembala dipanggil untuk membentuk kawanan mereka. Mereka tidak membatasi diri untuk mengawasi jemaat beriman yang telah ada di sana.
Dalam surat-surat pastoral, kualifikasi-kualifikasi yang diwajibkan untuk dipilih uskup atau presbiter dan juga keutamaan-keutamaan uskup dan presbiter untuk mempraktekkan (bdk. 1Tim 5:1-7; Tit 1:5-9) adalah mereka yang diharapkan dari umat memiliki tanggung jawab untuk Gereja Allah (bdk. 1Tim 3:5). Uskup harus “memahami bagaimana mengatur keluarganya” (1Tim 3:5), dan “penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali, terutama mereka yang dengan jerih payah berkotbah dan mengajar” (1Tim 5:17).
Sebagai kesimpulan, ada tiga dimensi yang menandai kepemimpinan yang dipercayakan kepada para presbiter dan uskup. Misi pastoral mengikutsertakan mereka dalam melayani Gereja universal, meskipun mereka dipercayai untuk memelihara komunitas lokal. Misi ini memberikan kepada mereka tanggung jawab penuh untuk kehidupan kawanan. Konsekuensinya, fungsi mereka menjalar ke berbagai aspek yang perlu yang tercakup dalam kehidupan itu. Misi yang sama memanggil mereka untuk mempersiapkan masa depan Gereja  yang berkembang oleh penyebaran benih iman. Sebagai akibatnya, para presbiter dan uskup tidak hanya harus pemelihara masa lampau, juga bukan semata penjaga kawanan yang telah ada.

b) Fungsi guru
Tugas pastoral presbiter termasuk juga tanggung jawab mengajar. Karena itu dalam Gereja apostolik, evangelisasi adalah suatu tugas yang dilaksanakan terutama oleh para pelayan yang berpindah-pindah dengan para Rasul dan rekan kerja mereka di garis terdepan. Lagi, surat pastoral menunjukkan bahwa para uskup dan presbiter dipercayai dengan misi untuk berkotbah. Menurut surat pertama kepada Timotius para presbiter adalah mereka yang terutama berjerih payah dalam berkotbah dan mengajar (5:17). Kandidat untuk tugas presbiter atau uskup harus memiliki pemahaman yang kuat tentang pesan yang tak dapat diubah (bdk. 1Tim 1:9) dan “seorang guru yang baik” (1Tim 3:2). Para presbiter di Efesus harus menolak guru-guru palsu (1Tim 6:5).
Partisipasi para presbiter dalam Konsili Yerusalem mengatakan bahwa di samping para Rasul, para presbiter memerintahkan pembagian otoritas yang diharuskan untuk memecahkan persoalan-persoalan doktrinal dan membuat keputusan-keputusan yang mempengaruhi kelakuan orang-orang beriman.

c) Fungsi-fungsi Kultus
Fungsi pastoral presbiter digabungkan tugas-tugas kultus dan sakramental. Menurut surat pertama kepada Timotius, kolegialitas para presbiter melakukan penumpangan tangan yang menyatakan partisipasi para presbiter dalam tahbisan presbiteral (4:14). Menurut surat Yakobus, para presbiter mengurapi orang sakit dan berdoa untuk mereka (5:14).
Surat Klemens dari Roma berbicara tentang “para uskup” yang telah “melayani kawanan Kristus tanpa cacat dan dengan saleh telah mempersembahkan persembahan-persembahan yang sesuai dengan uskup” (1Kor 44:3-4). Persembahan ini yang menjadi ciri uskup mungkin mengacu kepada Ekaristi (bdk. 1Kor 21:6; 49:6).
Hubungan antara episkopal dan Ekaristi menemukan konfirmasinya dalam Ignasius dari Antiokia: “...satu Tubuh Tuhan kita Yesus Kristus, dan satu piala yang menyatukan kita dengan Darah-Nya, dan satu altar, sama seperti ada satu uskup yang dibantu oleh presbiter dan diakon-diakon, sahabat pelayan-pelayanku”[2]. Kesatuan Ekaristi menghendaki kesatuan imamat pelayanan, yang menyatakan bahwa pelayanan memainkan peranan yang desesif dalam perayaan Ekaristi.



3.      Evolusi Struktur Pelayanan
3.1  Otoritas Pada Awal
Perkembangan pelayanan struktural dipahami pada saat mempertentangkan antara karisma dan organisasi. Perbedaan yang dibela oleh A. Harnack antara pelayanan karismatis dan pelayanan fungsional atau administratif dibuat untuk menekankan  secara khusus fakta bahwa beberapa komunitas Paulus memperlihatkan perkembangan karisma-karisma. Korintus merupakan satu contoh. Akan tetapi pertentangan antara aspek karismatis dan aspek fungsional dari pelayanan itu tak dapat dipertahankan, karena pelayanan itu sendiri dilihat sebagai karisma. Seperti telah dikatakan, menurut surat pertama Paulus kepada Timotius, karunia Allah diberikan dengan penumpangan tangan (bdk. 1:6; 4:14). Jadi, antara karisma dan tahbisan ritual tidak ada persaingan.
Memang ada yang berpendapat seperti  Hans Küng bahwa komunitas-komunitas Paulus awalnya karismatis dan tak ada kepemimpinan hierarkis. Dalam komunitas Korintus, menurutnya tak ada fungsi otoritas seperti presbiter atau uskup monarkis di waktu-waktu kemudian. Küng cenderung menggeneralisasi posisi ini dengan memperluasnya kepada komunitas-komunitas lain Paulus. Paulus, dia berargumen, tidak pernah menyebut baik para presbiter maupun tahbisan. Satu referensi pada para uskup dalam Filipi 1:1 dilihat sebagai perkembangan kemudian.
Tetapi konsep komunitas-komunitas ini yang eksis terpisah dari struktur otoritas bertentangan dengan beberapa fakta. Pada tempat yang pertama, ada referensi kepada “para uskup dan diakon” dalam salam Paulus kepada jemaat di Filipi. Nilai dari petunjuk ini tidak boleh dikurangi. Dalam komunitas Filipi terdapat para pelayan yang disebut “uskup-uskup dan diakon-diakon”, suatu petunjuk yang ekuivalen tentang para presbiter. Mereka bertanggung jawab atas Gereja lokal. Aneh jika para pelayan yang dipercayai dengan suatu tanggung jawab memiliki suatu kekecualian yang terbatas pada satu komunitas di Filipi.
Menurut Kis, Paulus mengalamatkan salam kepada para presbiter dari Efesus: ia memanggil mereka para penilik (para uskup) dan memberikan mereka tanggung jawab untuk memelihara Gereja Allah (20:17,28). Seperti kepada komunitas di Korintus, kita tidak boleh mengabaikan pernyataan Paus Klemens. Ia mengingatkan bahwa para presbiter atau uskup dan diakon telah dipilih oleh para Rasul. Ia menjawab pemberontakan orang-orang Korintus melawan para pelayan yang bertanggung jawab atas mereka dengan memakai argumen yang tepat bahwa para pelayan ini telah dipilih oleh para Rasul. Ini berarti bahwa otoritas mereka telah ada di tempat itu selama zaman apostolik dan bahwa orang-orang Korintus tidak menyangkal fakta ini. Kalau begitu otoritas lokal sudah eksis juga sangat awal dalam komunitas Korintus.

3.2  Terminologi
Dalam tulisan-tulisan Perjanjian Baru, istilah uskup, presbiter dan diakon belum memiliki arti persis seperti kemudian hari. Presbiter dan uskup kurang lebih istilah yang sama. Lihatlah bagaimana para presbiter Efesus disebut para uskup dalam Kis 20:28. Istilah diakon dapat diterapkan pada tingkatan pelayanan yang berbeda. Paulus menyebut dirinya dengan istilah ini (bdk. 2Kor 3:6; 11:23; Ef 3:7), tetapi ia memakai istilah yang sama untuk menentukan pelayan-pelayan lain yang lebih rendah dari tingkatan para Rasul.
Presbyter berarti yang lebih tua, penatua, yang dituakan. Dalam dunia Yahudi, istilah ini memiliki arti yang lebih teknis. Istilah ini mengacu kepada umat yang diberi kuasa untuk menjalankan otoritas tertentu dalam komunitas. Jadi, penatua Yahudi ialah salah satu anggota dari kolegialitas yang bertanggung jawab atas suatu komunitas lokal atau nasional, khususnya berhubungan dengan pengajaran Taurat.
Lahir dalam lingkungan Yahudi, Gereja meminjam dari lingkungan tersebut istilah presbiter, tetapi mengapa atau apa sebab peminjaman ini merupakan suatu hal yang didiskusikan. Beberapa orang percaya bahwa orang-orang Kristen secara sederhana mengambil alih istilah ini ke dalam komunitas-komunitas mereka. Bagi yang lain, faktor yang desesif dipengaruhi oleh teks Bil 11:16 yang mengisahkan institusi 72 penatua atau presbiter yang melingkungi Musa. Dalam pandangan ini, Gereja sebagai suatu keseluruhan dilihat sebagai Israel baru yang mengharuskan kehadiran para presbiter, bukan hanya komunitas lokal.
Kita harus mengakui bahwa para presbiter dipresentasikan sebagai pelayan bagi suatu komunitas khusus. Mereka berbeda dari para pelayan yang berpindah-pindah atau para pengkhotbah. Institusi para presbiter yang disebutkan dalam Perjanjian Lama tak dapat diragukan memiliki beberapa pengaruh pada institusi para presbiter dalam Gereja. Sekali pun begitu, pelayanan yang diberikan kepada para presbiter Kristen tidak ditentukan baik oleh peranan para presbiter dalam komunitas-komunitas Yahudi maupun oleh prefigurasi profetis. Dalam dunia Yahudi presbiter bukanlah imam. Sebaliknya dalam Gereja pelayanan para presbiter adalah pelayanan imamat dalam arti imamat lebih luas yang didirikan oleh Kristus.
Maka, “presbiter” menuntut suatu arti baru. Istilah ini, yang menunjuk kepada pelayan, terutama dihubungkan dengan suatu fungsi yang memerlukan otoritas dalam komunitas, sementara fungsi imam Yahudi adalah kultus. Kemudian presbiter memenuhi syarat sebagai seorang gembala, karakter yang berbeda dari imam dalam Gereja.
Secara literal, “uskup” berarti penilik atau inspektur. Kata ini digunakan untuk menunjuk orang-orang yang dipercayakan dengan berbagai fungsi. Bagaimana itu sampai digunakan dalam Gereja? Apakah itu dipinjam dari institusi-institusi Yunani? Beberapa mengambil pandangan ini. Yang lain menekankan pentingnya peranan yang diwariskan kepada mebaqqer dalam komunitas Eseni. Mebaqqer adalah seorang petugas yang menjalankan fungsi-fungsi yang dihubungkan dengan administrasi keadilan dan pemerintahan.
Tetapi pantas dicatat bahwa fungsi uskup Kristen tidak ditentukan dalam isi baik oleh  institusi dunia Helenis maupun oleh fungsi penilik di antara orang-orang Esensi. Isi ini dapat ditelusuri dalam imamat pelayanan yang didirikan oleh Kristus dan dihidupi dalam Gereja. Menurut terminologi surat-surat pastoral dan surat pertama Petrus, komunitas-komunitas lokal dipimpin oleh kolegialitas para presbiter-uskup, tetapi kita tidak dapat membedakan secara jelas antara dua istilah ini.
Perbedaan hanya akan tampak ketika tingkatan-tingkatan pelayanan hierarkis mendapat bentuknya yang cocok seperti dalam surat-surat Ignasius dari Antiokia. Surat-surat ini adalah kesaksian pertama yang tersedia tentang episkopat monarkis. Surat-surat itu menghadirkan suatu struktur ministerial termasuk uskup, satu dewan presbiter, dan diakon-diakon dalam suatu peranan yang lebih rendah. Selanjutnya, ketika struktur ini menyebar di dalam Gereja, istilah uskup, presbiter, dan diakon memiliki arti yang berbeda hingga sekarang, khususnya telah dibuat perbedaan yang jelas antara peranan uskup dan presbiter.

3.3  Perkembangan Struktural
Bagaimana kita memahami perkembangan struktural pelayanan-pelayanan dalam Gereja awal? Pada awalnya, pelayanan menyebar secara universal bersamaan dengan penyebaran Gereja itu sendiri. Pelayanan yang pertama ialah pelayanan kelompok Dua Belas, yang dibantu oleh “saudara-saudara” atau para murid yang telah mengikuti Yesus dan mereka yang telah diutus oleh-Nya untuk suatu misi. Dalam fase pertama, pelayanan dipusatkan di Yerusalem, kemudian berkembang ke tempat lain, karena perpisahan yang disebabkan oleh penganiayaan. Para misionaris membawa berita gembira ke tempat-tempat yang jauh. Misi mereka adalah pelayanan yang berpindah-pindah. Para misionaris ini dapat disebut sebagai rasul seperti Paulus dan Barnabas, atau sebagai presbiter dan guru.
Dalam fase berikutnya, pelayanan menjadi dilokalisasi. Para Rasul dan rekan kerja mereka mendirikan presbiter atau uskup-uskup dan diakon-diakon dalam komunitas yang tumbuh karena pemberitaan Injil. Ketika komunitas-komunitas ini bertumbuh semakin besar organisasi pelayanan lokal memperoleh kompleksitas dan kesatuan yang lebih besar. Pelaksanaan otoritas dalam komunitas membutuhkan satu sumber orientasi dan keputusan. Di antara para presbiter atau uskup salah seorang harus menjamin koordinasi aktivitas-aktivitas mereka.
Contoh komunitas Yerusalem membenarkan perkembangan ini. Di antara pelayan-pelayan lokal, Yakobus, Saudara Tuhan, menjadi yang utama. Dengan segera ia tampak sebagai kepala komunitas (bdk. Kis 12:17; 15:13; 21:18).
Dalam abad pertama, kita memiliki contoh-contoh lain tentang pelayan yang bertugas dalam komunitas. Di samping Filipus dari Kaisarea (Kis 21:8), ada juga Yohanes presbiter. Dalam surat kedua dan ketiga Yohanes, seorang yang mengklaim pengarang dengan gelar “presbiter” bertindak seolah-olah ia memiliki otoritas atas komunitas, dan juga hak supervisi atas komunitas-komunitas bertetangga. Sikapnya ini konsisten dengan sikap yang dilukiskan dalam rekomendasi yang tampak dalam surat pertama Yohanes. Rekomendasi-rekomendasi ini berasal dari seorang gembala yang memegang tanggung jawab komunitas Kristen. Dalam hal ini fakta bahwa ia dipanggil “presbiter” tampaknya menunjuk kepada seorang presbiter yang berkualitas tertinggi, jadi, suatu otoritas tingkat tertinggi.
Episkopat monarkis dengan jelas disebut untuk pertama kali dalam komunitas di Antiokia. Antiokia adalah suatu pusat komunitas yang sangat aktif dan berkembang dengan cepat. Dapat dimengerti bahwa komunitas harus mengorganisasikan dirinya sedemikian sehingga memiliki pelayanan yang cocok untuk menyelenggarakan kepemimpinan bagi komunitas Kristen dan mengarahkan banyak aktivitas atau usaha yang berbeda. Dengan penggunaan istilah-istilah yang berbeda untuk tingkatan-tingkatan hierarki (uskup, presbiter, diakon), mau ditekankan lebih jelas fungsi-fungsi dan kuasa-kuasa. Selanjutnya, “uskup” akan menunjuk kepala kolegialitas para presbiter.
Dengan melihat perkembangan ini, penting untuk diingat bahwa tingkatan-tingkatan eksis dalam otoritas para imam dari awal, yakni, tingkatan-tingkatan yang didirikan oleh Yesus sendiri ketika Ia memilih dua belas Rasul di bawah primat Petrus dan yang mempercayakan kepada ke-72 murid satu misi yang sama. Dalam Gereja awal grup Dua Belas melaksanakan otoritas tertinggi dan dibantu oleh para pelayan yang lebih rendah tingkatannya. Perkembangan kemudian dalam Gereja lokal meniru dua tingkatan ini: seorang uskup dan sekelompok presbiter.
Baik dicatat juga bahwa mereka yang telah dipilih oleh Kristus selama kehidupan-Nya dan mereka yang tidak termasuk grup pertama yang datang bersama pada Pentekosta menerima tahbisan dari Gereja melalui penumpangan tangan. Setiap waktu tulisan-tulisan Perjanjian Baru memberikan lebih detail-detail tentang institusi para pelayan atau ekspedisi misi mereka, tulisan-tulisan menyebutkan ritus ini termasuk tahbisan. Paulus dan Barnabas menerima itu ketika mereka pergi mendirikan Gereja-gereja. Kedua belas Rasul menumpangkan tangan atas grup Tujuh, yang menunjuk suatu ritus yang diharuskan untuk membagikan kuasa-kuasa mereka. Sebagai konklusi, pembagian secara ritual (artinya: dalam suatu perayaan) fungsi-fungsi imamat telah tampak sejak awal[3].
















BAB IV
IMAMAT UMUM DAN IMAMAT PELAYANAN

  1. Latar Belakang Doktrin
Mengapa perlu kita singgung topik imamat umum dan imamat pelayanan? Sebab, langsung setelah Konsili Vatikan II muncul krisis identitas para imam. Imamat yang hampir dua ribu tahun dihidupi dengan tenang tanpa banyak persoalan, kini ia didiskusikan. Krisis ini telah dinyatakan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Sinode Para Uskup thn. 1990 di Roma: “Krisis itu muncul dalam tahun-tahun langsung seusai Konsili [Vatikan II]. Dasarnya ialah: salah pengertian tentang ... ajaran Magisterium Konsili. Tak ayal lagi, itulah salah satu alasannya, mengapa Gereja mengalami banyak imam yang meninggalkan panggilan mereka. Kepergian mereka amat merugikan pelayanan pastoral serta panggilan imam...”[4].
Jadi, krisis identitas ini memiliki hubungan dengan doktrin imamat Konsili Vatikan II. Dikatakan bahwa para Bapa Konsili berkemauan kuat untuk memikirkan kembali konsep tentang imamat. Mereka mau kembali ke semangat biblis dengan melihatnya secara luas dan jujur, dengan maksud untuk mendekatkan “saudara-saudara terpisah” ke dalam Gereja Katolik. Karena itu mereka memunculkan konsep imamat umum kaum beriman dengan berdasar pada Sakramen Baptisan, yang sampai saat itu konsep ini kurang mendapat perhatian Gereja Katolik selama berabad-abad. Akan tetapi para Bapa Konsili tetap juga mempertahankan konsep tradisional tentang imamat pelayanan. Mereka mempertahankan hubungan yang harmonis di antara dua bentuk partisipasi dalam imamat Kristus ini (bdk. LG 10 dan 11)[5]. Tentu saja pembaharuan doktrinal ini mendatangkan banyak keuntungan bagi kehidupan Gereja, tetapi pada saat yang sama menimbulkan beberapa kesulitan dan sikap tidak bijaksana. Banyak para imam bertanya tentang elemen khas pelayanan imamat mereka di antara imamat kaum beriman dan tidak sedikit dari mereka yang meninggalkan imamatnya[6].
Sebenarnya ide imamat umum lahir dari kesaksian biblis sendiri, sehingga tak perlu dibingungkan olehnya. Dalam dua tulisan Perjanjian Baru secara eksplisit dinyatakan bahwa imamat terbagikan secara umum kepada umat Kristen. Afirmasi ini meminta pembedaan antara imamat umum ini dan imamat yang diberikan kepada kelompok Dua Belas. Maka perlulah sekarang  diusahakan suatu pemahaman yang lebih baik mengenai arti imamat umum semua orang Kristen yang dibaptis.

  1. Afirmasi-afirmasi Eksplisit Imamat Umum
Pernyataan-pernyataan yang termuat dalam Surat Pertama Rasul Petrus dan dalam Kitab Wahyu diterapkan kepada orang-orang Kristen janji yang dibuat oleh Yahwe kepada Bangsa Israel dalam Kel 19:6: “Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus”. Dalam Perjanjian Baru pernyataan ini digemakan kembali dan memiliki arti yang mendalam.

2.1 Kitab Wahyu
Kitab Wahyu memuat tiga teks yang mengafirmasikan partisipasi orang beriman dalam Kerajaan Mesianis di dunia sini: Yesus Kristus “telah membuat kita menjadi suatu kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, Bapa-Nya” (1:6). Setelah premis ini berikutnya dinyatakan bahwa mereka yang telah dibuat “menjadi suatu kerajaan dan menjadi imam-imam bagi Allah kita” akan “memerintah sebagai raja di bumi” (5:10). Mereka yang mendapat bagian dalam kebangkitan Kristus “akan menjadi imam-imam Allah dan Kristus, dan mereka akan memerintah sebagai raja bersama-sama dengan Dia, seribu tahun lamanya” (20:6). Di sini digarisbawahi baik partisipasi dalam imamat Kristus maupun pengudusan kepada Kristus, karena dalam tindakan menjadi imam Kristus seseorang menjadi imam Allah. Apa yang paling menonjol dari semuanya ialah kualitas rajawi imamat itu. Jadi, tekanan Kitab Wahyu jatuh pada kerajaan. Tak ada referensi kepada sikap atau aktivitas lain, selain sebutan bahwa orang-orang beriman memerintah bersama Kristus.
Bila dibandingkan dengan pandangan Kitab Keluaran, afirmasi-afirmasi Kitab Wahyu merupakan afirmasi baru yang maknanya sangat ditentukan oleh Kristus. Tekanan kodrat rajawi pada imamat muncul pada awal Kitab dalam gelar yang secara eksplisit diberikan kepada Kristus, “yang berkuasa atas raja-raja bumi” (Wahyu 1:5). Atas dasar ini imamat umum tidak lagi dipahami hanya dalam hubungan dengan Allah dan perjanjian-Nya, tetapi seluruhnya didasarkan pada Kristus sebagai imam dan raja.
Apa persis kodrat imamat ini? Didukung oleh konteks tiga pernyataan tadi, kodrat imamat tersebut menyangkut kekudusan yang dibagikan oleh Penyelamat. Yesus Kristus “telah melepaskan kita dari dosa kita oleh darah-Nya” (Wahyu 1:5). Oleh darah-Nya, Ia telah mengangkat orang-orang dari setiap ras, bahasa, kaum dan bangsa bagi Allah (5:9). “Berbahagialah dan kuduslah ia, yang mendapat bagian dalam kebangkitan pertama itu; kematian kedua tidak berkuasa lagi atas mereka” (20:6). Kekudusan ekuivalen dengan pembebasan dari dosa dan kematian. Maka pada konsekrasi yang merupakan salah satu aspek dari imamat, ditambahkan kuasa, yang merupakan hak prerogatif kerajaan.
Oleh sebab itu di sini “imam” mengacu kepada cara hidup yang tersedia bagi umat manusia oleh Penyelamat, yakni partisipasi dalam kekudusan dan kehidupan mulia Kristus Yang Bangkit. Itu tidak termasuk pelayanan; tidak menganjurkan fungsi-fungsi imamat.

2.2  Surat Pertama Petrus
Surat Pertama Petrus memperluas konsep imamat rajawi dari Kel 19:6: “Dan biarlah kamu juga dipergunakan sebagai batu hidup untuk pembangunan suatu rumah rohani, bagi suatu imamat kudus, untuk mempersembahkan persembahan rohani, karena Yesus Kristus berkenan kepada Allah” (1Pet 2:5); “... kamulah bangsa terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (2:9).
Di sini imamat juga dihubungkan dengan kerajaan, tetapi tekanannya tidak lagi jatuh pada kerajaan itu sendiri, seperti dalam Kitab Wahyu. Sekarang sang pengarang berbicara tentang mempersembahkan persembahan spiritual. Itu berarti penulis surat mengadopsi suatu sudut pandang yang lebih bersifat imami. Ia memilih satu aktivitas imamat yang lebih mendasar, yakni mempersembahkan persembahan-persembahan.
Akan tetapi fungsi imamat di sini tidak berkaitan dengan peningkatan kekudusan personal, juga tidak berhubungan dengan pelayanan yang dilaksanakan dalam komunitas untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan spiritualnya. Imamat di sini mencakup pengudusan seluruh umat kristiani  (universal) yang telah menerima rahmat Allah dan yang adalah “suku bangsa terpilih”, “suatu umat yang dikhususkan”, “suatu bangsa yang dikuduskan”. Pada umumnya, frase-frase ini sinonim dengan ungkapan “organ imam-imam”, dan mengacu kepada kekudusan yang diterima sebagai hasil kasih Allah dan tindakan penebusan.
Konsep imamat universal ini bersandar pada konsep Gereja sebagai Israel baru. Gerejalah yang memverifikasi janji-janji yang terekam dalam Kel 19:6 dan juga dalam Yes 61:6: “... kamu akan disebut imam Tuhan dan akan dinamai pelayan Allah kita”. Gereja memenuhi gambaran-gambaran Perjanjian Lama ini dengan cara mempertentangkan perjanjian lama, karena imamat Gereja bersandar pada Kristus, “batu sendi yang dibuang oleh manusia”, dan persembahan-persembahan disampaikan dengan perantaraan-Nya. Imamat dan persembahan diletakkan pada level roh; “imamat yang kudus” adalah “suatu rumah spiritual”, dan korban-korban bukan lagi binatang-binatang sembelihan dalam Bait Allah. Persembahan-persembahan ini tidak lagi mengharuskan intervensi seorang imam untuk mempersembahkannya. Karena persembahan-persembahan itu adalah rohani, semua orang beriman dapat mempersembahkannya dalam pribadi mereka.
Lebih tepatnya, “persembahan-persembahan rohani” dapat dilukiskan sebagai “tiruan suka rela orang-orang Kristen pada persembahan-persembahan korban Kristus, Hamba Yang Menderita yang harus meninggal dan mendapat kemuliaan”. Kemudian dalam Surat, pengarang menganjurkan alasan mengapa orang-orang Kristen harus menerima penderitaan-penderitaan dengan mengingat contoh tertinggi Kristus yang mati untuk dosa-dosa kita (bdk. 1Pet 3:17-18). Prinsip ini ia terapkan tidak hanya pada penganiayaan-penganiayaan, tetapi juga perlakuan kasar, seperti menderita oleh karena tuan-tuan perhambaan: “...karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung... Sebab untuk itulah kamu dipanggil, karena Kristus  pun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya” (1Pet 2:19.21).
Sehubungan dengan karakteristik komunal imamat ini, pentinglah dicatat bahwa yang termasuk di dalamnya bukan hanya komunitas lokal. Ekspresi “imamat rajani” mengacu kepada realitas seluruh Gereja. Gereja dapat dilihat dalam totalitasnya karena pengarang Surat tidak berpikir tentang Gereja yang hanya dibentuk oleh sejumlah komunitas lokal, tetapi didasarkan pada Kristus. Karakter komunal imamat umum ini menghindari kebingungan dengan imamat pelayanan. Teks tidak memberikan petunjuk tentang pelayanan yang dilaksanakan dalam komunitas. Teks hanya berbicara tentang imamat keseluruhan tubuh orang-orang Kristen.

3.      Refleksi Teologis Atas Dua Imamat: Perbedaan dan Saling Berhubungan[7]
Pernyataan partisipasi semua orang Kristen dalam imamat yang dipresentasikan dalam Surat Pertama Petrus dan Kitab Wahyu merupakan kepenuhan ramalan tentang kerajaan para imam dalam Kitab Keluaran. Sekalipun begitu pernyataan itu lebih dari sekedar kepenuhan ramalan profetis. Pernyataan itu sesungguhnya lahir dari pengajaran Yesus[8] yang gemanya kita temukan dalam surat-surat Paulus[9].
Dalam tindakan menghendaki ibadat dalam roh dan kebenaran, ibadat yang dimulai dengan kelahiran baru dari air dan Roh Kudus, Kristus menampakkan maksud-Nya mendirikan imamat universal melalui pembaptisan. Tanpa menggunakan kata, Ia mengumumkan imamat yang benar, yakni kekudusan baru, yang dibentuk oleh Roh Kudus dan memungkinkan seorang pribadi untuk menyembah.
Sekarang kita dapat menentukan yang mana ciri-ciri distingtif imamat ini untuk memahami dengan baik bagaimana tradisi telah memahaminya, dan bagaimana ia mencapai suatu ekspresi doktrinal dalam Vatikan II.
3.1 Perbedaan Imamat Umum dan Imamat Pelayanan
Frase “imamat umum” dan “imamat pelayanan” dapat menimbulkan kebingungan. Kata “imamat” dapat diambil untuk menunjuk suatu realitas yang keduanya identik, dengan sedikit diselipkan perbedaan. Tetapi jika kita memperhatikan data yang tersedia dalam Injil-injil, kita menyadari bahwa terdapat perbedaan yang mendalam antara dua realitas itu.
Ada perbedaan misi yang diberikan kepada dua imamat itu dalam Gereja. Grup Dua Belas yang menerima imamat pelayanan dipercayakan misi pastoral. Mereka diberi suatu otoritas yang memampukan mereka untuk mewartakan Injil, merayakan Ekaristi, mengampuni dosa-dosa, dan memimpin komunitas. Agar pasti, otoritas ini harus dilaksanakan dengan meniru Putra Manusia yang datang untuk melayani. Itulah sebabnya, pelaksanaan atasnya disebut pelayanan, yang secara persis dimaksudkan oleh Injil ialah imamat. Akan tetapi pelayanan ini sungguh khusus: ia tidak dilihat sebagai salah satu di antara yang banyak. Misi kegembalaan merupakan hal yang tak terperikan dalam kehidupan dan perkembangan komunitas, dan misi itu dihadirkan lewat kuasa-kuasa yang unik untuk bertindak atas nama Kristus.
Imamat umum memiliki peranan untuk dimainkan dalam Gereja, yakni, peribadatan dalam roh dan kebenaran, dengan mempersembahkan persembahan-persembahan spiritual. Peranan ini juga sangat penting dalam eksistensi orang Kristen, tetapi itu tidak disertai dengan otoritas yang sebanding dengan otoritas yang diberikan kepada grup Dua Belas dan juga tidak menuntut misi pastoral. Peranan ini memiliki nilai tersendiri, dan itu merupakan suatu misi yang berguna bagi orang Kristen dan non-Kristen, meskipun kita tak boleh menempatkannya dalam posisi yang sama dengan pelayanan pastoral.
Perbedaan antara dua imamat meluas melampaui misi yang diberikan kepada masing-masing, yakni menyangkut cara hidup (konsekrasi). Yesus meminta kepada grup Dua Belas menolak segala sesuatu untuk mengikuti Dia. Dengan memanggil mereka untuk melepaskan keluarga mereka, milik duniawi mereka, dan pencarian akan profesi, Ia mendirikan suatu cara hidup yang dikonsekrasikan yang tidak diharuskan kepada mereka yang dipanggil untuk mempercayai Dia dan menyatu dengan Gereja. Cara hidup melepaskan segala sesuatu diwajibkan kepada semua yang disebut “murid-murid” dalam Injil-injil dan mereka diundang untuk membaktikan seluruh energi mereka demi peningkatan Kerajaan Allah. Bahkan itu dihidupi oleh para wanita yang mengikuti Yesus. Tetapi cara hidup konsekrasi hanya diwajibkan kepada mereka yang melaksanakan imamat pelayanan. Konsekrasi imamat diungkapkan dalam cara hidup selibat, kemiskinan injili, dan penolakan profesi sekuler.
Sebagai kesimpulan, perbedaan antara imamat umum dan pelayanan merupakan perbedaan yang radikal baik dari sudut pandang konsekrasi maupun misi. Kita dapat memahami mengapa Konsili Vatikan II mengatakan bahwa imamat itu satu dalam kodrat, bukan tingkatannya. Tentu saja benar bahwa Kristus menjadi sumber kedua imamat itu. Meskipun asalnya sama, kedua berbeda secara esensial: “Sebab keduanya dengan cara khasnya masing-masing mengambil bagian dalam satu imamat Kristus” (LG 10). Dalam Yesus kita telah memilih dua karakter imam, yaitu orang yang dikuduskan dan pelayan. Dalam kedua hal ini, Yesus adalah prototipe imamat pelayanan, karena seluruh hidup-Nya dikonsekrasikan, dan misi-Nya adalah kegembalaan. Keadaan kekudusan yang diterima pada pembaptisan memperlihatkan partisipasi awal dan terbatas dalam konsekrasi Kristus. Peribadatan rohani dengan mempersembahkan persembahan-persembahan personal menghasilkan, bukan dedikasi pastoral Kristus dalam arti sempit, tetapi sikap devosi filial-Nya kepada Bapa. Fakta bahwa dua imamat berasal dari sumber yang sama menjamin kesatuan dan keharmonisan di antara mereka. Itu tidak meniadakan perbedaan yang muncul dari mereka.
3.2 Hubungan Imamat Umum dan Imamat Pelayanan
Dua imamat berhubungan bukan dalam arti bahwa yang satu menyebabkan yang lain. Sah untuk ditanyakan apakah imamat pelayanan merupakan hasil perkembangan atau spesifikasi imamat umum. Menurut pemahaman, imamat pelayanan yang dapat berdiri atas dasar imamatnya sendiri merupakan suatu pelayanan yang ditujukan untuk mempertemukan kebutuhan-kebutuhan hidup dan perkembangannya sendiri.
Tetapi hubungan antara imamat umum dan imamat pelayanan tidak didirikan oleh Kristus. Yesus tidak pertama mendirikan suatu komunitas yang diberikan suatu imamat umum yang kepadanya Ia mempercayakan tugas mendirikan pelayanannya sendiri dan memilih pelayan-pelayannya. Kepada semua yang mendengarkan pesan yang diajukan-Nya, melalui iman, mereka masuk Kerajaan-Nya. Pada saat yang sama, Ia mendirikan suatu imamat pelayanan dengan memilih grup Dua Belas dan mempercayakan mereka kuasa untuk memimpin Gereja-Nya. Pendirian yang eksplisit imamat pelayanan ini sama buktinya dengan kehendak Yesus membiarkan seluruh tubuh orang Kristen berpartisipasi dalam imamat-Nya. Yesus memberikan cukup bukti yang menunjukkan bahwa laki-laki yang dipanggil-Nya untuk pelayanan imamat menerima misi dan kuasa langsung dari Yesus.
Maka setiap kali kita mencoba untuk melihat imamat umum sebagai sumber imamat pelayanan atau sebagai realitas fundamental yang berasal dari pelayanan, kita mengambil suatu posisi yang tidak sesuai dengan kehendak Kristus seperti dilukiskan dalam Injil-injil. Dua imamat sama-sama didirikan oleh Kristus seperti dua segi kehidupan Gereja. Keduanya langsung berasal dari Yesus. Karena keduanya berasal dari sumber yang sama, dan bertujuan untuk kebaikan Gereja, dua imamat terikat satu sama lain, memiliki suatu relasi partikular, yang kita sebut koordinasi. Vatikan II menjelaskan hal itu dengan istilah “saling berhubungan” (LG 10).
Ketika kita berusaha memberi definisi yang lebih persis, dan dihubungkan dengan kata-kata Yesus sendiri, arti relasi ini kita temukan pada deklarasi Putra Manusia yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani, yang dijadikan model bagi mereka yang menjalankan otoritas dalam Gereja (bdk. 10:45; Mat 20:28). Karena imamat pelayanan dimaksudkan untuk melayani setiap orang, ia diberi tugas untuk meningkatkan pelaksanaan imamat universal. Imamat pelayanan tak pernah berakhir di dalam dirinya sendiri dan tak pernah juga imamat umum dimaksudkan selalu kepada imamat pelayanan. Konsili berkata: “Dengan kekuasaan kudus yang ada padanya imam pejabat membentuk dan memimpin umat keimaman. Ia menyelenggarakan korban Ekaristi atas nama Kristus [in persona Christi], dan mempersembahkannya kepada Allah atas nama segenap umat [in persona ecclesiae]” (LG 10). Lagi: “Sebab para pelayan, yang mempunyai kekuasaan kudus, melayani saudara-saudara mereka, supaya semua yang termasuk umat Allah, dan karena itu mempunyai martabat kristiani sejati, dengan bebas dan teratur bekerja sama untuk mencapai tujuan tadi, dan dengan demikian mencapai keselamatan” (LG 18).
Dalam arti apa benar bila dikatakan bahwa imamat universal “dihubungkan” kepada imamat pelayanan? Dalam arti bahwa imamat umum dilaksanakan hanya dalam kerja sama dengannya. Ini secara khusus terbukti dalam hubungan dengan Ekaristi: “Sedangkan umat beriman berkat imamat rajawi mereka ikut serta dalam persembahan Ekaristi. Imamat itu mereka laksanakan dalam menyambut sakramen-sakramen, dalam berdoa dan bersyukur, dengan memberi kesaksian hidup suci, dengan pengingkaran diri serta cinta kasih yang aktif” (LG 10).
Dalam perayaan Ekaristi, orang-orang Kristen secara pribadi mempersembahkan diri mereka sendiri dengan menyatukan diri mereka dengan persembahan Kristus, tetapi persembahan ini berbuah dengan perantaraan imam. Kerja sama yang mirip dinyatakan dalam seluruh kehidupan sakramental. Itu juga didapat dalam praktek iman, karena iman mengungkapkan dirinya dalam kesatuan dengan otoritas pengajaran Gereja. Maka, praktek hukum cinta kasih dan kesaksian apostolik, pelayanan imamat di bawah bimbingan imamat pelayanan membuka suatu pelayanan kesatuan dan rekonsiliasi.
Imamat universal tak dapat mengisi dirinya sendiri secara independen dari imamat pelayanan. Bahkan dalam perayaan perkawinan, di mana para pengantin adalah pelayan sakramen, hubungan dengan imamat pelayanan masih sangat diperlukan. Karena baptisan, para pengantin  berhak melayankan sakramen satu kepada yang lain, tetapi berkat imam diharuskan atas pertukaran janji mereka. Berbicara lebih umum, imamat universal dapat dilaksanakan hanya dalam kesatuan dengan struktur Kristus yang ingin memeteraikan Gereja-Nya. Fungsi profetis, kultis, dan apostolik orang-orang awam yang didasarkan atas sakramen Baptis dan Krisma, tak dapat berkembang kecuali bila berjalan bersama dengan pelayanan pastoral. Kondisi ini tidak membatasi orang-orang melaksanakan otonominya, juga itu tidak mematikan inisiatif-inisiatif. Jauh dari membatasi vitalitas imamat umum, kehadiran imamat pelayanan berusaha meningkatkan vitalitas itu. Ia memberikan arahan agar berbuah.



















BAB V
KODRAT PELAYANAN IMAMAT

Kita telah mencatat bahwa perbedaan esensial antara imamat universal dan imamat pelayanan terletak pada misi dan pada cara hidup. Karena perbedaan mendasar itu, maka kodrat pelayanan harus diklarifikasi. Dalam hal ini fokus kita ialah  pelayanan imam: cakupan dan kekhususannya. Kita mau menjabarkan lebih mendalam karakter pelayanan imamat hierarkis dari apa yang telah disinggung sebelumnya. 
Dalam KHK 1983 dengan eksplisit dikatakan: “Sakramen imamat meliputi episkopat, presbiterat, dan diakonat” (kan. 1009 § 1). Berbicara tentang pelayanan imamat tidak lain berarti berbicara perihal fungsi-fungsi imamat menurut tingkatannya dalam hierarki yang lahir dari tahbisan yang diterima: uskup, imam dan diakon. Tahbisan menjadi otoritas untuk menjalankan fungsi masing-masing. Fungsi ini disebut juga tugas. Tugas ini “sungguh-sungguh merupakan pengabdian, yang dalam Kitab Suci dengan tepat disebut diakonia atau pelayanan” (LG 24).

1.      Persoalan Tentang Kualitas Khusus Pelayanan
Karena tiga fungsi secara tradisional dikenakan kepada imamat, usaha untuk memilih karakter khusus imamat membawa hasil yang berbeda tergantung pada fungsi mana yang diberi prioritas: pewartaan Sabda atau fungsi sakramental dengan Ekaristi sebagai puncak, atau fungsi pastoral. Dalam hubungan dengan fungsi-fungsi inilah para teolog telah berusaha untuk memahami arti paling dasar pelayanan. Kita tidak puas dengan suatu definisi pelayanan yang memuat tiga fungsi. Refleksi teologis dipanggil untuk memastikan apa yang memberi kesatuan pada fungsi-fungsi ini dan membuat suatu sintesis  yang berhubungan dengan prinsip yang mencahayai keseluruhan aktivitas imamat.

1.1  Konsili Trente
Cukup banyak teolog yang melihat bahwa Konsili Trente membatasi pelayanan imam hanya pada pelayanan persembahan. Mereka melihat bahwa imam dari Konsili Trente hanya mempersembahkan Ekaristi. Pertanyaan kita ialah apakah memang demikian maksud Konsili Trente? Apakah memang Konsili Trente memberikan sintesis doktrinal seperti itu? Apakah Konsili menyamakan imamat dengan mengkonsekrasikan Ekaristi?
Konsili Trente memberikan definisi bahwa imamat Perjanjian Baru ialah suatu “kekuasaan untuk mengkonsekrasikan dan mempersembahkan sungguh tubuh dan darah Tuhan dan mengampuni dan menahan dosa-dosa”. Konsili mengajukan prinsip bahwa “persembahan dan imamat disatukan oleh ordonansi ilahi” dan prinsip ini diterapkan oleh Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama. Yesus Penebus kita mendirikan imamat dan memberikan “kepada para Rasul dan para pengganti mereka dalam imamat...kekuasaan untuk menguduskan, mempersembahkan, dan melayankan tubuh dan darah-Nya...seperti ditampakkan oleh Kitab Suci dan telah selalu diajarkan oleh Tradisi Gereja Katolik” [10].
Dalam doktrin tentang Sakramen Imamat, Konsili tidak menyebutkan kuasa imamat untuk berkotbah dan mengajar. Dalam kanon, Konsili membatasi diri pada pernyataan bahwa imamat bukan hanya sebagai pelayanan pewartaan Injil. Konsili menyangkal pandangan bahwa mereka yang tidak berkotbah bukan imam. Pelayanan kotbah tidak dikecualikan dari imamat oleh Konsili, tetapi Konsili sekaligus menegaskan bahwa imamat tidak diperoleh dari pelayanan kotbah itu sendiri. Imamat berasal dari Yesus sendiri.
Selama Konsili persoalan dimunculkan apakah perlu pernyataan yang lebih positif bahwa berkotbah juga termasuk pelayanan imamat. Hal ini dapat dilihat dari beberapa tahap perumusan doktrin Konsili. Dalam tahun 1547, draf kanon tentang imamat dimaksudkan untuk menghukum pandangan Lutheran yang mereduksikan imamat kepada kotbah. Jadi, Konsili tidak berbicara tentang berkotbah, kecuali komisi berkotbah.
Dalam tahun 1562, sebuah komisi menulis dalam draf pertama mengenai bab doktrin imam bahwa “pelayanan Sabda juga termasuk pelayanan imam” dan menambahkan bahwa para imam yang gagal menjalankan pelayanan ini tidak berhenti menjadi imam. Ini  digarisbawahi karena imam dianugerahi karakter imamat yang tidak dapat mengembalikannya kepada status hidup awam.
Para teolog dan para Bapa Konsili melihat pelayanan Sabda sebagai bagian dari fungsi imamat dan mengungkapkan keyakinan mereka dalam kanon yang menetapkan bahwa imamat tidak boleh direduksikan hanya pada pelayanan ini. Tetapi perhatian dominan mereka ialah reaksi melawan penyangkalan-penyangkalan Lutheran. Seluruh penjelasan doktrinal terpusat ke arah ini.
Konsili tidak bermaksud menyusun suatu daftar mengenai fungsi-fungsi imamat dan juga tidak memberikan suatu sintesis doktrinal tentang imamat. Karena itu kita tidak dapat menggambarkan dari Konsili suatu definisi tentang imamat dipandang dari segi fungsi persembahan saja. Khususnya Konsili tidak punya maksud untuk menyamakan imamat dengan kuasa mengkonsekrasikan Ekaristi. Problem penyatuan fungsi-fungsi imamat di bawah satu rubrik tunggal bukan tujuan dari doktrin Konsili yang hanya menegaskan kembali pengajaran tradisional. Karena itu Konsili sama sekali tidak mengabaikan pelayanan Sabda. Deklarasi Konsili bermaksud untuk melayani atau menjawab penyangkalan-penyangkalan pada masa itu.
Para teolog yang berusaha melukiskan dari jawaban-jawaban ini suatu doktrin yang lengkap tentang imamat, dapat diterima karena mereka ingin mendapatkan suatu validitas yang lebih luas perihal definisi itu. Kita pun akan mencari validitas yang lebih luas, tidak tinggal pada keputusan-keputusan yang tertulis. Namun kita harus mempertahankan elemen-elemen doktrinal khususnya yang bersifat mendefinisikan dan mengintegrasikan elemen-elemen ini ke dalam suatu kerangka yang lebih luas yang tidak dikemukakan oleh Konsili ke hadapan kita.
1.2  Imamat sebagai Fungsi Korban
Tadi telah ditegaskan bahwa Konsili Trente memberikan definisi tentang imamat pelayanan dalam hubungan dengan fungsi korban. Menurut Y. Congar, definisi ini dianggap lebih memadai ketimbang mendefinisikan imamat sebagai mediasi. Mengapa? Karena ia berpandangan bahwa belum tentu setiap imamat perlu mengacu pada suatu mediasi. Ia mempertahankan bahwa “mediasi” tidak cukup untuk mendefinisikan imamat, karena ada banyak mediasi dan mediasi-mediasi itu berkaitan dengan kepemimpinan dan pemerintahan. Dalam pandangannya, makna korban lebih memadai. Jika ada suatu mediasi, di sana ada suatu kualitas korban.
Untuk mempertahankan posisi ini, Congar mengambil bukti-bukti biblis. Karakter imamat Yesus dilukiskan dalam hubungan dengan fungsi-Nya sebagai korban. Surat Ibrani secara eksplisit mendefinisikan imamat dengan fungsi korban. Dalam tradisi, Agustinus menghubungkan imamat dengan korban: “karena ada korban di situ ada imamat”, dan “jika tidak ada korban di situ tak ada imamat”. Dalam Summa, Thomas mengatakan bahwa tugas utama imamat ialah mempersembahkan korban. Dalam kuliah-kuliahnya tentang Surat Ibrani, ia bahkan menegaskan lebih empati bahwa Yesus adalah seorang imam karena Ia mempersembahkan diri-Nya kepada Allah Bapa.
Keterangan-keterangan di atas menghasilkan definisi berikut. Imamat adalah “kualitas yang memungkinkan seseorang hadir di hadapan Allah untuk menjamin kehendak-Nya dan dengan demikian membangun persekutuan dengan-Nya melalui korban yang berkenan kepada-Nya”. “Karena, membangun persekutuan berarti mendamaikan para pendosa dan mengatakan bahwa dosa-dosa telah dibebaskan atau ditebus”. Maka yang menentukan fungsi imamat ialah korban penebusan.

1.3  Imamat sebagai Pelayanan Sabda
Sebelum Konsili Vatikan II terdapat suatu tendensi yang kuat di antara para teolog untuk menekankan nilai pelayanan Sabda. Dalam lukisannya tentang fungsi-fungsi imamat, C. Dillenschneider menempatkan pelayanan Sabda pada tempat utama. Ide ini kemudian diikuti oleh A. George dan J. Lécuyer.
Dalam studi atas Perjanjian Baru, George menyebut dua fungsi imamat Yahudi pada zaman Yesus dan fungsi ini berkembang juga pada Gereja awal, yaitu fungsi pelayanan Ibadat dan Sabda. Bagaimana dipahami keharmonisan antara dua fungsi ini? Lécuyer mendasarkannya pada dualitas episkopat dan presbiterat. Dalam pandangannya, rahmat khas episkopat, yakni rahmat yang diberikan kepada para Rasul pada Pentekosta dan disimbolkan oleh lidah-lidah api, tinggal dalam Sabda. “Kesaksian-kesaksian resmi, mediator-mediator perjanjian, kepala dan guru jemaat Allah, ini adalah fungsi-fungsi yang tak dapat dilaksanakan kecuali melalui pelayanan Sabda para Rasul”. Namun, sebelum pengurapan episkopat pada Pentekosta, sudah ada sebelumnya pengurapan imamat yang dihubungkan dengan misteri Paska. Rahmat khas yang berkaitan dengan imamat ialah kuasa untuk mempersembahkan Ekaristi dan pengampunan dosa-dosa, karena memperpanjang misteri Paska sebagai wakil Kristus. Lécuyer menyimpulkan bahwa esensi imamat para imam ialah persembahan korban.
Jadi posisi Lécuyer berusaha mendamaikan dua orientasi yang muncul ke permukaan, yakni orientasi kepada presbiterat yang dipandang sebagai kuasa untuk mempersembahkan korban dan orientasi kepada episkopat yang dilihat sebagai pelayanan Sabda. Mengenai dasar dua tingkatan  imamat ini, Lécuyer mengacu kepada dua pengurapan imamat Kristus, satu pada saat inkarnasi, yang lain pada saat pembaptisan Yesus di Yordan.
Cara pembedaan presbiterat dari episkopat dilihat dari dua misteri yang berbeda, inkarnasi dan baptisan, Paska dan Pentekosta, telah mendapat kritikan. Dualitas seperti itu perlu diatasi. Salah satunya diusulkan oleh K. Rahner. Ia pertama mengakui dua fungsi: “Imamat resmi dalam Gereja adalah kultis dan profetis dengan suatu kesatuan inti karena dua elemen ini menyatakan satu sama lain dalam cara yang esensial. Elemen profetis dilahirkan dari elemen kultis dan dapat direalisasikan hanya melalui elemen ini”. Tetapi Rahner juga menambahkan bahwa kualitas eksistensial imamat tergantung bukan pada kultis tetapi pada elemen profetis. Hanya melalui elemen inilah dapat diklaim seluruh eksistensi seseorang.
Dalam tulisan berikutnya, Rahner memberikan suatu definisi yang menentukan, bukan hanya apakah eksistensi imamat itu, tetapi juga kodrat imamat itu sendiri. Ia menentukan bahwa definisi imamat harus didasarkan pada “suatu ide yang tidak kompleks, suatu makna yang dapat dipahami dengan membaca Kitab Suci, dan memperhatikan sensitivitas umat sebagaimana mereka ada kini”. Titik berangkat ini berdiam dalam Sabda yang dipercayakan kepada Gereja, Sabda yang karakter fundamentalnya menjadi suatu peristiwa. Dalam Sabda ini kita dapat membedakan berbagai tingkatan intensitas dan ada sakramen tingkatan tertinggi.
Karena itu ia mendefinisikan imamat sebagai berikut: imam adalah bentara Sabda Allah, tetapi dengan spesifikasi ini: ia dihubungkan dengan komunitas dan pelayanan ini disertai dengan semua kuasa Gereja. Maka ia menjadi bentara resmi Sabda Allah, sedemikian sehingga Sabda ini dipercayakan kepadanya dengan tingkat intensitas tertinggi, tingkatan yang diperoleh dalam tata-susunan sakramental. Dalam kata-kata yang sederhana, imam memiliki misi untuk mengkotbahkan Injil atas nama Gereja. Ia melakukan ini dalam tingkat tertinggi yang padanya Sabda dapat beroperasi, dalam anamnesis kematian dan kebangkitan Kristus melalui perayaan Ekaristi.
Posisi yang lebih radikal diadopsi oleh D. Olivier. Dalam pandangannya, “gambaran tentang imamat yang dibentuk oleh Trente telah usang pada saat ini”. Ia mengakui bahwa sahlah  kritik Luther tentang teologi klasik mengenai imamat pelayanan serta ia menyuarakan keinginan dan harapan bahwa imam mesti dilihat sebagai pelayan Sabda. Ia membela “suatu pilihan yang jelas dan terang-terangan pada pelayanan Sabda”. Sesungguhnya sejak Konsili Vatikan II Gereja Katolik mensharingkan dengan komunitas-komunitas Reformasi suatu dasar umum yakni konsep tentang imam sebagai pelayan Sabda. Dalam teologi pelayanan keselamatan, altar tidak lagi menjadi batu sendiri. Dalam suatu zaman yang didominasi oleh komunikasi mass media, sabda – Sabda Allah – adalah realitas yang atasnya dibangun sesuatu. Hanyalah Sabda dapat menyediakan dasar pelayanan yang dipercayai dalam suatu masyarakat yang membanggakan dirinya sendiri.
Olivier berusaha membuang doktrin tentang imamat pelayanan dan mendukung sepenuhnya pelayanan tanpa imamat. Pelayan, ia menegaskan, tidak memiliki “surplus-ada-imamat”. Maka dalam teorinya tekanan pada Sabda sejalan dengan doktrin Lutheran yang menegaskan bahwa imamat para imam hanyalah suatu pelayanan Sabda.

1.4  Imamat sebagai Kepemimpinan
W. Kasper memberikan arah yang berlainan. Demi pemahaman baru tentang pelayanan imamat, Kasper mencari titik berangkat dalam karunia kepemimpinan yang didaftarkan oleh Paulus di antara karisma-karisma yang diterima oleh Gereja (bdk. 1Kor 12:28). Tidak ada karisma-karisma lain dapat menjadi karisma kepemimpinan yang menandai pelayanan Gereja.
Dengan mengambil karisma kepemimpinan sebagai titik berangkat pemahaman sama artinya mendefinisikan imamat pelayanan bukan lagi sebagai fungsi kultus, fungsi sakral dan pengudusan, tetapi berhubungan dengan fungsi sosial yang dijalankannya dalam Gereja. Untuk itu kita perlu melihat bagaimana Kitab Suci berbicara tentang pelayanan dalam Gereja awal. Istilah-istilah yang dipakai berhubungan dengan fungsi pelayanan dan fungsi kepemimpinan.
Fungsi dasar kepemimpinan adalah untuk menjamin kesatuan sosial dan teologis di dalam Gereja. Karena kesatuan ini diperoleh melalui pengakuan iman dalam perayaan Ekaristi yang adalah titik referensi bagi semua sakramen yang lain dan dalam pelayanan cinta kasih, maka tugas imamat secara khusus berorientasi pada pelayanan Sabda, pelayanan sakramen-sakramen khususnya Ekaristi dan pelayanan fraternal.
Kasper menghilangkan konsep imamat yang kudus dan yang memitoskan imamat itu. Ia berpendapat bahwa konsep imamat pelayanan seperti ini penting bagi orang muda zaman kita ini. Jika kita mereduksikan kodrat khusus tugas ini kepada kuasa untuk mengucapkan kata-kata konsekrasi, maka tugas imamat hampir bukan suatu panggilan manusiawi yang dapat memuaskan hati orang muda kita. Sebaliknya, jika imamat mencakup tugas memimpin komunitas Kristen, maka imamat merupakan karisma manusiawi yang amat real. Ini mudah dipahami kaum muda kini.
Kasper menghubungkan juga pelayanan kepemimpinan ini dengan imamat universal umat beriman. Umat Allah adalah umat rajawi dan imami yang dipanggil untuk mewartakan Sabda, mempersembahkan korban, menjalankan kepemimpinan rajawi. Imamat ini  bukan suatu partisipasi dalam imamat pelayanan, tetapi menunjukkan bahwa semua orang Kristen dipercayai misi untuk menyelamatkan. Karisma kepemimpinan menunjuk apa yang khas dalam imamat pelayanan. Pelayanan ini dimaksudkan untuk memelihara kesatuan dalam komunitas lokal, dalam Gereja sebagai suatu keseluruhan.




2.      Esensi Pelayanan Dalam Cahaya Konsili Vatikan II
2.1  Multiplisitas Dan Sintesis
Kita mau mencari suatu sintesis atas fungsi-fungsi imamat. Mereduksikan pelayanan imamat hanya kepada salah satu dari tiga fungsi tradisional dapat memiskinkan fungsi imamat itu sendiri serta meniadakan sumbangan-sumbangan khas dari masing-masing fungsi itu.
Seluruh pelayanan imamat tidak harus direduksikan dalam pelayanan Ekaristi. Sekalipun tak dapat disangkal ini merupakan suatu fungsi yang penting dalam kehidupan Gereja. Fungsi korban tidak mewakili seluruh fungsi kultis dan sakramental imam. Misi untuk mengampuni dosa-dosa, dan melayankan sakramen-sakramen yang lain tidak secara sempurna dapat direduksikan kepada pelayanan ekaristis. Hubungan antara imamat dan korban sungguh eksis, tetapi pelayanan imamat tidak hanya ditentukan oleh fungsi korban. Dalam kata-kata Agustinus, di mana ada korban Ekaristi di situ perlu imamat untuk mempersembahkan korban atas nama Kristus. Sekalipun demikian, tugas imam melampaui persembahan korban.
Juga pelayanan Sabda tak dapat mendefinisikan kekayaan imamat pelayanan. Pewartaan dan pengajaran Injil tidak selalu berkaitkan dengan pelayanan kultis dan sakramental. Tugas-tugas ini tidak dapat direduksikan ke dalam pewartaan dengan segala efikaksnya. Bahkan kurang dapat diterima suatu usaha untuk memasukkan paham Gereja Lutheran tentang pelayanan Sabda yang didasarkan pada imamat universal umat beriman ke Gereja Kudus. D. Olivier berusaha mengesampingkan doktrin Konsili Trente dan menerima kritik Luther atas imamat tradisional. Ia mengklaim bahwa kegiatan utama Kristus adalah pelayan Sabda. Tetapi Oliver keliru. Injil-injil memberi kesaksian bahwa Yesus bukan hanya pelayan Sabda. Doktrin perihal imamat dalam Surat Ibrani menguatkan kesaksian ini. Ibrani menekankan nilai korban dari imamat.
Tentang fungsi kepemimpinan juga terlalu terbatas pada pelayanan yang berhubungan dengan pemerintahan dan pelayanan biasa. Ini tak dapat diterima, sebab pelayanan Sabda dan sakramental menuntut adanya imamat.
Karena itu keterbatasan-keterbatasan tiga fungsi harus dilampaui untuk  diharmoniskan ke dalam suatu sintesis yang di dalamnya setiap fungsi menemukan tempatnya masing-masing. Ketiga fungsi tradisional itu harus ditempatkan dalam porsinya masing-masing. Jadi, kalau begitu kita harus menerima multiplisitas fungsi imamat. Pandangan ini kita sesuaikan dengan data revelasi seperti kita tampakkan dalam pokok berikut ini.

2.2  Misi Gembala Dan Otoritas
Dengan menelusuri kembali asal-usul pelayanan imamat, kita dapat menemukan dalam kata-kata Yesus suatu prinsip kesatuan semua fungsi imamat. Apa itu? Itulah kualitas kegembalaan. Yesus mendefinisikan diri-Nya sebagai gembala. Karena imamat-Nya adalah suatu ciptaan baru dan asli, dan lebih tinggi daripada imamat Yahudi, maka kualitas kegembalaan merupakan gambaran terbaik tentang fungsi-fungsi imamat. Imam adalah pastor bonus.
Kristus gembala memimpin kawanan melalui kata-kata dan tindakan. Ia mempersembahkan diri-Nya sebagai korban untuk memberikan kehidupan yang melimpah kepada kawanan-Nya khususnya melalui Ekaristi. Dengan memimpin kawanan, Ia menjadikan mereka satu. Tiga fungsi (kotbah, ibadat dan bimbingan) menjadi ungkapan kasih kegembalaan (caritas pastoralis), dan dari kasih itulah ketiga fungsi imamat mendapatkan inspirasinya.
Dengan “memberikan” Kerajaan kepada kedua belas Rasul seperti Bapa telah melakukan kepada-Nya, Yesus memberikan kepada mereka kuasa-Nya. Dengan menjadikan mereka kepala umat Allah yang baru, Ia mewajibkan mereka menjalankan kepemimpinan dengan cara seperti yang telah dilakukan-Nya, yakni sebagai gembala. Konfirmasi tentang hal ini kita temukan dalam kata-kata yang ditujukan kepada Petrus: “Gembalakanlah domba-domba-Ku” (Yoh 21:16-17). Esensi otoritas Petrus ini tidak berbeda dari sebelas Rasul yang lain. Otoritas itu berbeda hanya dalam tingkatan. Tetapi semua mereka diberi otoritas sebagai gembala.
Tugas gembala yang dipercayakan kepada kedua belas Rasul tidak harus dipahami sebagai bimbingan kepada komunitas yang sedang eksis pada masa mereka. Sudah sejak awal pada saat Yesus menyerahkan Kerajaan kepada para Rasul, komunitas Kristen telah mulai ada. Pada peristiwa Pentekosta, Gereja didirikan dan melengkapinya dengan misi untuk membawa semua orang kepada iman yang baru. Konsekuensinya, tugas Gereja harus dipahami sebagai yang dinamis dan terbuka. Tugas itu menuntut usaha apostolik bagi orang-orang luar. Dalam arti yang fundamental, semua orang adalah “anak domba” atau “kawanan” Tuhan. Menjadi gembala mereka berarti memimpin mereka kepada Kristus dan menyatukan mereka di sekitar-Nya.
Otoritas yang dimiliki gembala atas kawanan merupakan ciri khas. Inilah unsur khusus yang terdapat pada imamat pelayanan. Imamat umum orang-orang Kristen menuntut fungsi profetis dan kultis. Sedangkan kepada para pelayan (para uskup dan imam) dikhususkan otoritas pastoral, karena tahbisan imamat para imam dapat “bertindak atas nama Kristus Kepala”, in persona Christi capitis, (bdk. PO 2).
Lalu, dapatkah tugas gembala secara simpel disejajarkan dengan “karisma kepemimpinan”? Tidak! Memang kepemimpinan merupakan salah satu karisma seperti ditegaskan oleh Paulus (1Kor 12:28), tetapi tidak setiap karisma kepemimpinan merupakan perluasan dari kepemimpinan yang hanya dimiliki oleh imamat hierarkis. Otoritas imanen dalam imamat tidak berasal dari karisma tetapi dari fakta bahwa Kristus mendirikan imamat dan membagikan tanggung jawab pastoral-Nya. Memang beberapa karisma diberikan untuk membantu pelaksanaan tugas ini, namun tugas itu sendiri tidak melulu tergantung pada inspirasi karismatis. Dasarnya ialah kehendak Kristus seperti dinyatakan dalam pemilihan grup Dua Belas dan dalam misi pastoral personal-Nya yang dibagikan kepada rekan kerja-Nya.
Jadi misi gembala memperlihatkan otoritas memimpin dengan tujuan tertentu yakni membimbing kawanan yang adalah komunitas gerejani. Konsekuensinya muncullah peranan yang berstruktur dari Gereja itu sendiri. Namun otoritas memimpin ini harus dilaksanakan dalam semangat pelayanan dan kasih seperti telah ditunjukkan oleh Kristus dan diwariskan kepada para Rasul. Dengan demikian, otoritas memimpin lebih dari sekedar memerintah. Memerintah dan memimpin kawanan jelas merupakan dua hal yang berbeda. Perbedaan itu dapat kita lihat dalam cara otoritas biasa dipahami dalam masyarakat sipil dan cara bagaimana Kristus memahami otoritas itu dalam Injil-injil.

2.3  Misi Gembala dan Tujuan Komuniter Fungsi Imamat
Sekarang kita lihat bagaimana Konsili Vatikan II menghadirkan fungsi-fungsi imamat dan bagaimana kita memahami kesatuan di antara fungsi-fungsi itu. Konsili memberikan prioritas pada fungsi evangelisasi. Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen Gentium 25 mengatakan: “Di antara tugas-tugas utama para uskup pewartaan Injillah yang terpenting”. Dalam PO 4 dikatakan: “...para imam, sebagai rekan kerja para uskup, pertama-tama wajib mewartakan Injil Allah kepada semua orang”.
Di sisi lain, Konsili menganggap tingkat tertinggi fungsi imamat dilaksanakan dalam Perayaan Ekaristi. Dengan referensi kepada para imam, LG 28 mengatakan: “Tetapi tugas suci mereka terutama mereka laksanakan dalam ibadat Ekaristi atau synaxis”. PO 13 menegaskan: “Para imam memenuhi tugas utama mereka dalam misteri korban Ekaristi”.

Apakah Konsili sengaja menyampaikan doktrin yang saling bertentangan? Tidak. Bagaimana mempersatukan kedua pernyataan ini? Kesatuannya harus dilihat dalam terang ruang lingkup misi gembala. Ruang lingkup misi kegembalaan ialah pembentukan dan perkembangan komunitas. Jadi, jikalau fungsi berkotbah datang pertama dalam susunan kronologis, maka liturgi Ekaristi harus dilihat sebagai kulminasi tindakan imamat. PO berhasil mempertahankan kesatuan fungsi-fungsi imamat dan itu dilakukan dengan memperhatikan manfaatnya bagi umat Allah.
Dalam PO 2 kita membaca:
Karena para imam dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas para Rasul, mereka dikurniai rahmat oleh Allah, untuk menjadi pelayan Kristus Yesus di tengah para bangsa, dengan menunaikan tugas Injil yang suci, supaya persembahan para bangsa, yang disucikan dalam Roh Kudus, berkenan kepada Allah. Sebab melalui warta Rasuli tentang Injil umat Allah dipanggil dan dihimpun, sehingga semua orang yang termasuk umat itu, karena dikuduskan dalam Roh, mempersembahkan diri sebagai “persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada Allah” (Rom 12:1). Melalui pelayanan para imam korban rohani kaum beriman mencapai kepenuhannya dalam persatuan dengan korban Kristus Pengantara tunggal, yang melalui tangan para imam, atas nama seluruh Gereja, dipersembahkan secara tak berdarah dan sakramental dalam Ekaristi, sampai kedatangan Tuhan sendiri. Itulah arah-tujuan pelayanan para imam; di situlah pelayanan itu mencapai pemenuhannya. Sebab pelayanan mereka, yang berawal mula dari warta Injil, menerima daya-kekuatannya dari korban Kristus, dan tujuannya ialah, supaya “seluruh kota yang telah ditebus, yakni persekutuan dan himpunan para kudus, dipersembahkan sebagai korban universal kepada Allah melalui Sang Imam Agung, yang dalam kesengsaraan-Nya telah mempersembahkan Diri-Nya juga bagi kita, supaya kita menjadi Tubuh Kepala yang seagung itu”.

Sekarang kita memahami kontinuitas antara proklamasi Injil dan liturgi Ekaristi. Proklamasi Injil merupakan suatu pelayanan suci, seperti dikatakan Paulus, yang dimaksudkan untuk membuat persembahan berkenan kepada Allah bagi mereka yang menerima Sabda. Persembahan spiritual ini diwujudkan dalam korban Ekaristi. Seperti dikatakan Dekrit PO di tempat lain, Ekaristi “tampil sebagai sumber dan puncak seluruh pewartaan Injil” (no. 5).
Begitulah Vatikan II melukiskan kontinuitas antara pelayanan Sabda dan peribadatan dengan memusatkan perhatian pada umat Allah. Atas cara yang sama dapat dipahami kontinuitas antara kepemimpinan pastoral dan dua fungsi yang lain. Umat Allah menjadi satu berkat pewartaan Injil; umat memperoleh pengudusan karena pelayanan sakramen-sakramen yang dipersembahkan oleh sang gembala dalam Ekaristi, dan umat itu dituntun oleh para gembala:
Sementara para imam, sesuai dengan tingkat partisipasi mereka dalam kewibawaan, menunaikan tugas Kristus sebagai Kepala dan Gembala, mereka atas nama Uskup menghimpun keluarga Allah sebagai rukun persaudaraan yang sehati sejiwa, dan melalui Kristus mengantarnya dalam Roh menghadap Allah Bapa. Untuk menjalankan pelayanan itu, seperti juga untuk tugas-tugas imam lainnya, dikurniakan kuasa rohani, yang berikan untuk membangun umat” (PO 6).

Jadi, kepemimpinan pastoral dimaksudkan untuk membangun komunitas. Dengan demikian fungsi ini berhubungan erat dengan evangelisasi dan peribadatan, yang juga bertujuan membangun komunitas. Inilah esensi pelayanan imamat. Dalam arti ini pula, kita merumuskan pelayanan imamat sebagai pelayanan gembala. Gembala di sini memiliki arti yang luas, bukan hanya mengacu kepada kepemimpinan atau pemerintahan. Vatikan II menggunakan istilah ini untuk menunjukkan keseluruhan misi uskup dan imam: “Mereka di antara umat beriman yang ditandai dengan tahbisan suci, diangkat untuk atas nama Kristus menggembalakan Gereja dengan sabda dan rahmat Allah” (LG 11). Pelayanan-pelayanan itu “tujuannya kesejahteraan seluruh tubuh” (LG 18). Uskup sebagai wakil Allah “memimpin kawanan yang mereka gembalakan, sebagai guru dalam ajaran, imam dalam ibadat suci, pelayan dalam bimbingan” (LG 20). Judul “Dekrit tentang Tugas Pastoral Para Uskup dalam Gereja” mengonfirmasikan makna yang lebih luas dari istilah gembala.
Para imam berpartisipasi dalam tugas pastoral ini melalui semua aktivitas yang diberikan kepada mereka: “Karena fungsi para imam tergabung pada tingkat para Uskup, fungsi itu ikut menyandang kewibawaan Kristus sendiri, untuk membangun, menguduskan dan membimbing Tubuh-Nya” (PO 2).
Ketika fungsi kepemimpinan diberi makna pastoral, maka administrasi kurang diberi perhatian dan hubungan-hubungan personal lebih diperhatikan. Gembala adalah seorang yang mengetahui domba-dombanya, dan domba-domba mengenalnya juga; gembala ialah seorang yang memanggil domba-dombanya dengan nama mereka masing-masing. Mengenal umat secara pribadi, dan berelasi dengan mereka sama seperti satu keluarga memperlihatkan udara keramah-tamahan ketika gembala berkunjung dan bercakap-cakap dengan mereka. Memimpin komunitas secara pastoral berarti memeteraikan pada komunitas itu suatu roh yang menentukan, menganimasinya dengan cara pikir tertentu, atau lebih tepat memberinya animasi dalam tangan Roh Kudus.




3.      Sifat-sifat Esensial Pelayanan
1.      Imamat yang misioner dan dinamis.
            Vatikan II berbicara tentang hal ini ketika Konsili menekankan tugas misioner dalam imamat. LG 24 mendeklarasikan: “Para Uskup selaku pengganti para Rasul menerima perutusan [dari Tuhan] untuk mengajar semua bangsa dan mewartakan Injil kepada segenap makhluk”. Sebagai “pewarta iman” mereka “mengantar murid-murid baru kepada Kristus” (LG 25).
            Dalam PO 4 terbaca: “Para imam mempunyai kewajiban terhadap semua orang, untuk menyampaikan kebenaran Injil kepada mereka...Entah para imam mempunyai cara hidup yang baik di tengah bangsa-bangsa, dan mengajak mereka memuliakan Allah, atau dengan pewartaan yang terbuka menyiarkan misteri Kristus kepada kaum tak beriman, atau memberikan katekese kristiani atau menguraikan ajaran Gereja, atau mereka berusaha mengkaji persoalan-persoalan aktual dalam terang Kristus, ...dan tiada jemunya mengundang semua orang untuk bertobat dan menuju kesucian”. Kita lihat di sini bahwa Konsili Vatikan II hanya mengulangi kembali dan menerapkan apa yang diberikan oleh Injil-injil tentang misi yang dipercayakan Yesus kepada para murid-Nya (bdk. Mat 28:19).

2.      Penggembalaan Komunitas.
 Dinamisme pastoral imam tidak hanya ditunjukkan dalam kerasulan keluar kepada orang-orang tak beriman, tetapi itu juga dinyatakan ke dalam komunitas kristiani sendiri. Imam tidak hanya dipanggil sebagai penjaga komunitas, tetapi jiwa dari komunitas itu. Seperti Kristus sendiri, pada dasarnya imam adalah animator sendiri.
Kita telah menggarisbawahi bahwa gembala menjalankan otoritas, tetapi dengan kasih. Otoritas ini berusaha menegakkan semangat orang Kristen dari dalam melalui kontak-kontak persaudaraan. Kristus mengklaim kuasa tertinggi sebagai pemberi hukum dan membagikan kuasa ini kepada Dua Belas Rasul. Sebagai konsekuensinya, ada suatu hierarki yang diberi kuasa untuk menegakkan hukum-hukum yang bertujuan untuk mengonkretkan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Kristus. Tetapi Yesus lebih menekankan spirit/semangat daripada huruf-huruf. Untuk mengatur Gereja-Nya, Kristus lebih berharap pada kelimpahan kasih daripada peraturan-peraturan. Kita telah mencatat sikap kritis-Nya melawan imamat yang sungguh bertindak hanya berdasarkan aturan-aturan hukum dan sangat sedikit memiliki semangat belas kasih. Untuk menyebarluaskan Kristus, imam harus berjuang di atas segalanya menyebarkan suatu iklim iman dalam komunitas yang dipercayakan kepadanya.
Dekrit Christus Dominus melukiskan tugas pastoral para uskup: “Dalam menunaikan tugas mereka sebagai bapa dan gembala hendaklah para Uskup hadir di tengah Umat mereka selaku pelayan, sebagai gembala baik yang mengenal domba-domba mereka dan dikenal oleh para domba; sebagai bapa sejati, yang unggul karena semangat cinta kasih dan keprihatinan mereka terhadap semua orang...Hendaklah mereka menghimpun dan membina segenap keluarga kawanan mereka sedemikian rupa, sehingga semua menyadari tugas-tugas masing-masing, dan hidup serta bekerja dalam persekutuan cinta kasih” (no. 16). Pemimpin yang berusaha menciptakan persekutuan cinta kasih merupakan tujuan yang dikejar bukan hanya oleh uskup, tetapi juga oleh imam. Setiap tugas pastoral harus dijalankan dalam cara ini.
Animator tidak menolak otoritas yang dipercayakan kepadanya tetapi menjauhkan apa saja yang dapat membuat otoritas ini menjadi gangguan dan ketakutan bagi umat. Ia menampakkan itu dalam dorongan kasih yang lebih tinggi dan dalam pelayanan yang berasal dari Allah serta berjuang untuk menciptakan suatu iklim persaudaraan yang tidak pernah akan muncul dari agama yang legalis.
Dalam tugas kepemimpinan ini, sumber-sumber pribadi imam dapat digunakan[11]. Orang yang menganimasi komunitas Kristen melibatkan pertama sekali iman dan cinta kasihnya sendiri. Ia tidak dapat berjuang menguatkan iman dan cinta kasih yang lain kecuali kalau ia sendiri memilikinya. Ia juga tidak dapat menyemangati dan menghibur orang-orang Kristen kalau ia sendiri tidak memiliki harapan yang kuat.
Untuk memelihara penilaian yang baik dengan anggota-anggota komunitas dan mencip-takan relasi-relasi dengan orang-orang luar, “pentinglah peranan keutamaan-keutamaan, yang dalam persekutuan antar manusia memang sudah selayaknya dihargai; misalnya kebaikan hati, kejujuran, keteguhan hati dan ketabahan, semangat mengusahakan keadilan, sopan santun dan lain-lain, yang dianjurkan oleh Rasul Paulus dengan pesannya:’...Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu’ (Flp 4:18)” (PO 3).
Animasi komunitas Kristen juga menuntut inovasi dan kreativitas. Komunitas selamanya membutuhkan reformasi. Harus diciptakan sesuatu yang baru. Komunitas tidak dapat harus tetap statis seperti sedia kala, sebab dunia terus berkembang dan Gereja juga demikian. Karena itu komunitas memerlukan kemajuan dan pembaharuan. Situasi-situasi yang mempengaruhi kerasulan menuntut perubahan, masalah-masalah muncul dalam cara yang berbeda, solusi-solusi baru harus ditemukan.

3.      Promosi Kesatuan
Dalam deklarasi Kristus tentang kesatuan domba-domba dan gembala, kita melihat betapa pentingnya usaha peningkatan kesatuan yang diperjuangkan oleh imam melalui kepemimpinannya. Dengan menghadirkan Kristus dalam pelaksanaan tugasnya, gembala menghadirkan secara khusus kesatuan-Nya dan menjalankan misi penyatuan atas nama-Nya.
Inilah penegasan Lumen Gentium tentang para uskup: “Masing-masing uskup menjadi asas dan dasar kelihatan bagi kesatuan dalam Gereja khususnya [diosesnya], yang terbentuk menurut citra Gereja semesta” (no. 23)[12]. Para uskup tidak hanya menandakan atau menjadi simbol kesatuan gerejani, tetapi juga “prinsip dan dasar” kesatuan itu, karena mereka menjalankan suatu peranan untuk membawa umat secara bersama-sama dan  meluaskan serta mengaktualkan peranan Kristus sendiri. Apa yang dikatakan kepada Petrus (batu karang yang di atasnya Yesus ingin mendirikan Gereja-Nya) diterapkan secara analogis kepada gembala dalam hubungan dengan komunitas yang dipimpinnya. Dalam kata-kata Dekrit PO para imam “menghimpun keluarga Allah sebagai rukun [kesatuan] persaudaraan yang sehati sejiwa” (no. 6).
Karena itu setiap imam harus melihat promosi kesatuan sebagai tanggung jawabnya sendiri. Tugas ini tidak pernah menyebabkan perpecahan-perpecahan, tetapi dalam setiap kesempatan meningkatkan keharmonisan, rekonsiliasi, damai, dan permufakatan persaudaraan. Tugas ini sungguh mulia dan menginspirasikan, karena sesuai dengan kebutuhan yang mendalam dan semakin kuat di dunia dewasa ini.
Tetapi kita harus menghindari kebingungan. Kesatuan yang diperjuangkan imam bukan hanya kesatuan begitu saja, suatu kesatuan “sekuler”. Kesatuan yang dimaksud ialah kesatuan spiritual yang datang menjadi satu mengelilingi Kristus karena adanya kesetiaan iman dan perkembangan kasih. Di masa-masa lalu, kesatuan ini dipahami secara keliru, karena kesatuan dimengerti sebagai kesatuan Gereja yang kelihatan. Kesatuan Gereja adalah ungkapan dari kesatuan yang lain. Kesatuan Gereja tidak identik dengan kesatuan yang kelihatan. Kesatuan fundamental mempertahankan kualitas yang tak kelihatan dan tersembunyi yang melampaui manifestasi-manifestasi luarnya.

4.      Kolegialitas
Dari kisah yang menceritakan pemilihan kedua belas Rasul, kita memahami bahwa “kolegial” para Rasullah yang menerima kuasa atas Kerajaan dan itulah alasannya mengapa misi pastoral lahir dari kolegialitas para uskup. Dan kolegialitas para imam bergantung  pada kolegialitas para uskup ini.
Seperti kita tahu Vatikan II telah menekankan kolegialitas episkopal (bdk. LG 22). Di sini kita tidak bermaksud memperluas doktrin tentang kolegialitas, tetapi beberapa aplikasi yang relevan dengan konsep tentang imamat pelayanan.
Kolegialitas misi pastoral menjamin bahwa dalam kesatuan terdapat macam-macam tugas dalam pelayanan Kerajaan Allah. Kolegialitas memungkinkan pembagian kerja dan memfasilitasi distribusi anggota-anggota, bukan hanya berdasarkan tempat-tempat dan komunitas-komunitas geografis, tetapi juga menurut tugas-tugas atau aktivitas-aktivitas yang diharuskan. Jika satu tipe imam mencerminkan satu wajah Kristus, kolegialitas memungkinkan ciri-ciri lain wajah Kristus yang berbeda satu sama lain, yang tergantung pada pribadi-pribadi, kompetensi-kompetensi, dan tugas-tugas yang diberikan.
Ketika kita berbicara tentang seorang pastor, kita cenderung untuk berpikir hanya seorang imam yang menjalankan tanggung jawab total bagi sebuah paroki. Sesungguhnya banyak paroki lebih suka dilayani oleh suatu tim para imam. Kelompok imam-imam dapat juga bertugas untuk beberapa paroki. Apalagi, Gereja dipanggil menjawab masalah-masalah kolektif dan tak perlu dibatasi pada satu paroki. Inilah sebabnya mengapa misi pastoral harus dijalankan selalu lebih secara kolegial, dan mengapa misi itu juga harus termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan khusus yang melampaui kerangka kerja parokial.
Kolegialitas imamat bukan inovasi yang diperkenalkan Yesus, bagi suatu organ para imam, suatu kasta yang ditemukan dalam bangsa Yahudi. Tetapi, ketika Ia menghapus ikatan keanggotaan yang berdasarkan suku dan meminta para Rasul meninggalkan segala sesuatu untuk membangun keluarga baru dengan Dia, Yesus menghendaki bahwa kolegialitas harus merupakan suatu ikatan baru. Ikatan kolegial yang baru harus loyal kepada Kristus dan komitmen untuk misi bagi semua. Persaudaraan para imam terjadi secara natural di dalam Kristus yang adalah saudara dari semua.
Persaudaraan yang menandai komunitas para imam merupakan suatu inovasi yang dibawa oleh Injil yang menjadi sumber kekaguman sepanjang sejarah dunia. Untuk mengizinkan berseminya persaudaraan dalam komunitas Kristen, para imam harus tampak di hadapannya sebagai pribadi-pribadi yang dianimasi oleh persaudaraan itu.





















BAB VI
TINGKATAN-TINGKATAN DALAM SAKRAMEN TAHBISAN

  1. Munculnya Tingkatan-tingkatan Dalam Sakramen Tahbisan
Ketika pelayanan-pelayanan berkembang dan berbeda, maka tingkatan-tingkatan lebih rendah ditambahkan untuk melengkapi hierarki yang terdiri dari uskup, imam dan diakon. Tradisi Apostolik dari Hippolitus (± 200 M) menyebutkan tingkatan-tingkatan lektor dan subdiakon. Sebuah surat Paus Kornelius kepada Uskup Fabius (252 M) mendaftar 7 tingkatan dalam Gereja Roma: imam, diakon, subdiakon, akolit, eksorsis, lektor dan portir. Bila di Gereja Timur hanya dikenal subdiakonat dan lektorat sebagai ordo[13] di bawah diakonat dan tugas-tugas yang lain seperti penyanyi, portir, eksorsis tidak dilihat sebagai ordo, maka tradisi Gereja Latin mengakui tujuh tahbisan, yaitu: tiga tahbisan meriah (imamat, diakonat, subdiakonat) dan empat tahbisan minor (akolit, eksorsis, lektor dan portir). Ini tampak juga dalam Konsili Trente.
Para teolog Skolastik pada Abad Pertengahan umumnya berpendapat bahwa 7 tahbisan memiliki nilai sakramental dan memberikan karakter sakramental. Tetapi mereka juga membela bahwa tujuh karakter membentuk suatu kesatuan. Sehubungan dengan tahbisan tertinggi yakni imamat, Petrus Lombardus mengikuti pendapat Hugo dari St. Viktor yang membedakan imamat dalam dua martabat: presbiterat dan episkopat. Ini berarti bahwa episkopat dibedakan dari presbiterat, tetapi episkopat itu tidak dilihat sebagai satu ordo. Alasannya ialah bahwa episkopat tidak memberikan kuasa khusus dalam hubungan dengan Ekaristi. Menurut Albertus Agung, episkopat hanyalah kuasa yurisdiksi.
St. Bonaventura dan St. Thomas Aquinas mengambil posisi moderat. Santo Bonaventura berpendapat episkopat bukanlah satu ordo. Episkopat hanyalah memperluas kuasa yang telah diberikan kepada imam. Akan tetapi ada sesuatu yang lebih pada episkopat, lebih daripada hanya sekedar yurisdiksi. Ada suatu eminentia (keutamaan, keunggulan, nilai tinggi) yang tetap ada sekalipun yurisdiksinya dicabut. Eminentia merupakan suatu martabat yang dapat dibandingkan dengan imam agung, patriarkat atau paus.
Dalam Commentary on the Sentences, Thomas mempertahankan bahwa episkopat bukan satu ordo, jika “ordo” di sini dimaksudkan sebagai sakramen tahbisan. Tetapi “ordo” bisa juga mengacu kepada tugas yang berhubungan dengan pelaksanaan fungsi suci tertentu. Dalam hal ini, episkopat adalah satu ordo, karena pemberian kuasa uskup berhubungan dengan Tubuh Mistik lebih tinggi daripada imam. Dalam Treatise on the Perfection of the Spiritual Life, Thomas mengambil posisi yang lebih eksplisit: “Uskup memiliki satu ordo dalam hubungan dengan Tubuh Mistik, yaitu Gereja. Dalam kaitannya dengan Gereja, uskup dipercayakan dengan tanggung jawab utama dan rajawi yang lebih baik”. Sehubungan dengan Tubuh Ekaristik ordo uskup bukanlah tingkatan di atas imam. Bahwa ia satu ordo dan bukan hanya yurisdiksi, dibuktikan oleh fakta bahwa uskup diberi kuasa untuk melakukan banyak hal yang tak mungkin dipercayakannya kepada yang lain.
Kemudian beberapa teolog melanjutkan diskusi dengan berpendapat bahwa episkopat bukan satu ordo sakramental yang berbeda dari presbiterat. Di antara mereka ini dapat disebut: Yohanes Capreolus, Silvester Ferrara, Dominikus Soto, dan kemudian Gonet, Billuart, Billot, Hugon dan Battifol. Mereka kurang lebih mengikuti pendapat yang telah dikemukakan oleh Thomas sebelumnya.
Akan tetapi kita juga menemukan posisi lain. Dekrit Gratianus membedakan 9 ordo klerikus, ordo tertinggi ialah uskup. Kita melihat di sini bahwa uskup merupakan satu ordo. Pandangan ini kemudian diadopsi oleh William Auxerre. Dan pada akhir abad ke-13 Petrus Yohanes Olivi berpendapat bahwa hanya imamat dan episkopat termasuk ordo sakramental yang memberikan karakter.
Duns Scotus menegaskan bahwa episkopat adalah satu ordo yang berbeda, ordo yang memberikan semua ordo dengan konsekuensi suatu nilai yang unggul. Durandus dari St. Pourcain mempertahankan bahwa subdiakonat dan ordo-ordo minor bukanlah sakramen, sementara episkopat adalah suatu ordo dan sakramen.
Dari semua pendapat tersebut ada dua posisi yang dianut akhir-akhir ini. Pertama, subdiakon dan ordo-ordo minor bukanlah sakramen. Kedua, episkopat memiliki nilai sakramental tersendiri. Skolastisisme Abad Pertengahan tidak melihat episkopat sebagai satu sakramen. Nilai sakramental diwariskan kepadanya tetapi  tetap termasuk imamat. Jadi, episkopat adalah ordo sakramental yang berbeda dari presbiterat.

  1. Deklarasi-deklarasi Konsili Trente
2.1  Hierarki
Setelah perdebatan yang panjang, Konsili Trente mendefinisikan eksistensi hierarki. Kanon 6 tentang Sakramen Tahbisan menegaskan bahwa “dalam Gereja Katolik ... didirikan satu hierarki oleh peraturan ilahi yang terdiri dari: uskup, imam dan pelayan-pelayan”.
Meskipun Konsili mengakui eksistensi hierarki, namun kekaburan muncul ketika Konsili melukiskan asal-usulnya. Sebenarnya para uskup Spanyol dan Kardinal Lorraine telah memasukkan suatu usul yang lebih persis dengan mengatakan bahwa “hierarki didirikan oleh Kristus Tuhan”. Tetapi mayoritas menolak usul ini. Menurut mereka, jika hierarki dikatakan didirikan oleh Kristus, maka Konsili seolah-olah mengakui bahwa para uskup menerima yurisdiksi dari Allah. Grup Spanyol mempertahankan bahwa memang yurisdiksi uskup berasal secara langsung dari Allah, dan Paus hanya membagikan kepercayaan kepada uskup-uskup melalui yurisdiksi. Memang mayoritas Bapa Konsili mempertahankan bahwa para uskup menerima yurisdiksi hanya melalui perantaraan Paus. Akan tetapi dalam rumusan akhir, Konsili berkompromi dan menerima rumusan: “satu hierarki didirikan oleh peraturan ilahi”. Rumusan ini tetap membuka pertanyaan apakah uskup didirikan oleh Kristus. Frase “peraturan ilahi” mengacu kepada keinginan atau ketetapan dari pihak ilahi, tetapi tidak mengandung isi konkret yang lain tentang kodrat peraturan itu. Bagi kita sekarang, jika kita mau menafsirkan teks Konsili ini, kita harus memperhatikan maksud Konsili yang berusaha menghindar dari afirmasi yang jelas tentang institusi ilahi atau institusi yang didirikan oleh Kristus dalam hubungan dengan para uskup.
Selain itu, deklarasi Trente juga kabur dalam hubungan dengan tingkatan dalam hierarki. Konsili tidak mengatakan bahwa tiga tingkatan yang didaftar dalam kanon 6 diinstitusikan oleh peraturan ilahi. Kanon hanya mengatakan mengenai hierarki itu sendiri. Kata “pelayan-pelayan” juga menimbulkan suatu pertanyaan. Apakah itu hanya mengacu kepada diakon, atau kepada semua ordo yang berada di bawah imamat? Karena frase dalam rumusan sebelumnya “dan pelayan-pelayan lain” secara eksplisit diubah menjadi “dan pelayan-pelayan”, maka “pelayan-pelayan” di sini sangat mungkin hanya mengacu kepada diakon. Tetapi fakta tetap tinggal bahwa diakon tidak disebut secara eksplisit oleh Konsili.

2.2  Superioritas Uskup atas Imam-imam
Konsili Trente mendefinisikan bahwa dalam hierarki tingkatan uskup berada di atas imam-imam. Anathema (terkutuklah/laknat) orang yang berpendapat bahwa “para uskup bukan berada di atas para imam, atau bahwa mereka tidak memiliki kuasa untuk mengurapi dan menahbiskan, atau bahwa kuasa yang mereka miliki adalah umum bagi mereka dan bagi para imam...”.
Sejak 4 Juli 1562 Konsili memutuskan bahwa diskusi tentang superioritas uskup dibatasi secara khusus pada ordo dan bukan pada persoalan yurisdiksi. Superioritas ini dijelaskan dalam kaitannya dengan kuasa untuk memberikan Krisma dan menahbiskan. Bab 4 menunjukkan bahwa kuasa uskup melampaui Krisma dan Tahbisan: “mereka melayani sakramen Krisma dan dapat melaksanakan banyak fungsi yang tidak dapat dilakukan oleh ordo yang memiliki kuasa lebih rendah”. Ini berarti bahwa daftar kuasa-kuasa uskup tidak dimaksudkan lengkap.
Satu draf terdahulu tentang bab 4 mengatakan bahwa “hanya” uskup memiliki kuasa untuk menahbiskan dan memberikan Krisma. Namun pemilihan kata-kata ini diubah, sehingga rumusannya berbunyi para uskup memiliki kuasa-kuasa ini “sebagai pelayan biasa” dan dalam kasus khusus para imam diizinkan sebagai “pelayan luar biasa” Krisma. Pada akhirnya, kata “hanya” dihapus untuk menghindari perbedaan antara pelayan biasa dan pelayan luar biasa. Apa yang dapat dipetik dari kenyataan ini? Ketika bab 4 menegaskan bahwa pelayan-pelayan dari tingkat yang lebih rendah tidak memiliki kuasa yang dilekatkan pada fungsi-fungsi yang dilaksanakan oleh para uskup, maka bab itu sesungguhnya berbicara tentang pemberian kuasa imam yang diterima pada waktu tahbisan. Bab tersebut tidak bermaksud mengatakan bahwa para imam tidak diberi kuasa oleh Paus untuk bertindak sebagai pelayan luar biasa Krisma atau bahkan tahbisan, yang adalah posisi minoritas dalam konsili. Dengan kata lain, minoritas dalam Konsili Trente memungkinkan kuasa imam untuk melayankan Sakramen Krisma dan Tahbisan.
Lalu, Konsili tidak memutuskan apakah superioritas para uskup atas para imam dikehendaki oleh Kristus. Menurut kanon 6 superioritas ini harus ditelusuri asal-usulnya pada “peraturan ilahi”, tetapi seperti telah dicatat, frase ini tidak langsung mengacu kepada Kristus.
Dari deklarasi Trente kita dapat mengambil beberapa kesimpulan. 1) Dalam kuasa tahbisan terdapat suatu hierarki yang terdiri dari beberapa tingkatan tetapi tanpa merusak kesatuan sakramen. Karena hanya ada tujuh sakramen, sakramen tahbisan harus dihitung satu. 2) Hierarki telah didirikan oleh karena “peraturan ilahi” atau ketetapan. 3) Didefinisikan bahwa dalam hierarki ini tingkat para uskup di atas para imam. Mereka memiliki kuasanya sendiri khususnya kuasa untuk Krisma dan Tahbisan, sekalipun tidak mengecualikan kemungkinan para imam diberi kuasa oleh Paus sebagai pelayan-pelayan istimewa. 4) Di samping para uskup dan imam, hierarki termasuk juga para pelayan, tetapi arti istilah “pelayan” tidak ditentukan dengan persis. Konsili berfokus pada kuasa para uskup. Konsili tidak meniadakan tingkat-tingkat yang lebih rendah.

  1. Konstitusi Apostolik Sacramentum Ordinis[14]
Konstitusi Saramentum Ordinis dikeluarkan oleh Paus Pius XII tanggal 30 November 1947 dan dipublikasikan 28 Januari 1948. Judulnya terbaca: “Tentang Tahbisan-tahbisan Suci Diakonat, Presbiterat dan Episkopat”. Bila melihat judulnya, kita berkesan bahwa konstitusi ini berbicara tentang tingkatan-tingkatan dalam sakramen Tahbisan. Namun Konstitusi tidak menjelaskan isu tentang tingkatan-tingkatan itu. Konstitusi hanya bermaksud menentukan mana ritus yang valid dalam pelayanan sakramen. Melalui dokumen ini Paus mau menjawab keraguan-keraguan dan debat-debat yang muncul dalam Gereja Latin.
Dalam abad ke-10 penyerahan peralatan Misa menjadi bagian integral sakramen tahbisan imamat. Sejak itu sejumlah besar pengarang khususnya kaum Thomis berpendapat bahwa tindakan ini merupakan ritus esensial, sementara pengarang lain memilih penumpangan tangan. Konstitusi menetapkan bahwa validnya sakramen Tahbisan ditentukan oleh ritus yang memuat substansi sakramen  yakni penumpangan tangan dan kata-kata (doa tahbisan) yang menyertainya yang menandakan efek-efek sakramen, yaitu kuasa tahbisan dan rahmat Roh Kudus. Dokumen Kepausan tidak menyelesaikan isu-isu masa lampau yang mungkin dimunculkan di masa yang akan datang. Apakah penyerahan instrumen-instrumen menjadi legitim atau tidaknya tahbisan yang ditetapkan di masa lampau, “setidaknya di masa yang akan datang, itu tidak lagi menjadi keharusan untuk validitas tahbisan-tahbisan suci diakonat, presbiterat dan episkopat”.
Konstitusi menetapkan secara persis ritus konstitutif dalam setiap tiga tahbisan (diakonat, presbiterat, episkopat) dan khususnya tentang kata-kata yang menyertai penumpangan tangan. Kita dapat mengumpulkan dari dokumen ini suatu orientasi sakramental yang melihat setiap tahbisan sebagai tingkatan sakramental dan memberikan tiga tingkatan dalam sakramen tahbisan: diakonat, presbiterat, episkopat. Dokumen tidak membicarakan subdiakon  atau ordo-ordo minor. Di atas segalanya pantaslah lebih diperhatikan posisi ini, karena sebelumnya Hukum Gereja (thn. 1917) kan. 949 telah menetapkan bahwa subdiakonat, diakonat dan presbiterat merupakan tahbisan suci atau tahbisan mayor.
Dalam penilaian kita, diversitas tingkatan tidak cocok dengan kesatuan. Pembukaan dokumen menegaskan bahwa menurut iman Katolik, “sakramen tahbisan yang diinstitusikan oleh Yesus Kristus, dan melaluinya dibagikan kuasa spiritual dan rahmat untuk dengan tepat melaksanakan fungsi-fungsi gerejani, adalah satu dan identik untuk Gereja universal”. Kita melihat dalam dokumen ini ketidakselarasan antara tingkatan sakramen dan kesatuan.

  1. Pengajaran Konsili Vatikan II
Konsili Vatikan II tidak berbicara perihal definisi yang sempurna, dan lagi pengajarannya tentang imamat menjelaskan deklarasi-deklarasi yang dibicarakan pada Konsili Trente dan berusaha melampaui hal-hal itu. Sementara keprihatinan dasar Konsili Trente melawan kesalahan-kesalahan Reformasi dan menyensornya, Vatikan II berusaha menjelaskan secara tenang dan komplit mengenai arti dan nilai imamat dalam kehidupan Gereja.

4.1  Pelbagai Tahbisan dan Asal-usulnya
Vatikan II menentukan dengan lebih jelas tingkatan dalam hierarki: “...Demikianlah pelayanan gerejani yang ditetapkan oleh Allah dijalankan dalam berbagai pangkat oleh mereka, yang sejak kuno disebut uskup, imam dan diakon” (LG 28). Hanya ada tiga tingkatan pelayanan yang dibicarakan dalam Lumen Gentium. Pada level yang lebih rendah hanya disebutkan diakon, tak ada yang lain.
Konsili Vatikan secara khusus memberi perhatian pada asal-usul pelayanan yang berbeda ini. Konsili tidak memakai frase yang kabur “ordonansi ilahi” yang digunakan oleh Trente tentang institusi hierarki. Sebelum kalimat tentang pelbagai tingkatan yang dicatat di atas, Vatikan II menegaskan: “Kristus, yang dikuduskan oleh Bapa dan diutus ke dunia (Yoh 10:36), melalui para Rasul-Nya mengikutsertakan para pengganti mereka, yakni uskup-uskup, dalam kekudusan dan perutusan-Nya. Para uskup dengan sah menyerahkan tugas pelayanan mereka kepada pelbagai orang dalam Gereja dalam tingkat yang berbeda-beda” (LG 28).
Lebih awal, dalam baris-baris pembukaan LG bab 3, Konsili telah membuat pernyataan umum bahwa institusi pelbagai pelayanan berasal dari Kristus: “Untuk menggembalakan dan senantiasa mengembangkan Umat Allah, Kristus Tuhan mengadakan dalam Gereja-Nya aneka pelayanan, yang tujuannya kesejahteraan seluruh Tubuh” (no. 18). Pelayan-pelayan ini  dianugerahi kuasa suci.
Kemudian Konsili mengarah pada institusi para uskup bersama dengan Paus, dan menambahkan secara lebih persis: “Mengikuti Konsili Vatikan I, Konsili Suci ini mengajarkan dan menyatakan, bahwa Yesus Kristus Gembala kekal telah mendirikan Gereja kudus, dengan mengutus para Rasul seperti Ia sendiri diutus oleh Bapa (lih. Yoh 20:21). Para pengganti mereka, yakni para uskup, dikehendaki-Nya untuk menjadi gembala dalam Gereja-Nya hingga akhir zaman. Namun supaya episkopat itu sendiri tetap satu dan tak terbagi, Ia mengangkat Santo Petrus menjadi ketua para Rasul lainnya. Dan dalam diri Petrus itu Ia menetapkan adanya asas dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap dan kelihatan” (LG 18).
Konsili menambahkan bahwa ia bermaksud untuk mendeklarasikan secara lebih eksplisit doktrin tentang para uskup. Jadi, Konsili mengemukakan secara lebih detail mengenai asal-usul pelayanan episkopat. Setelah mengingatkan institusi kedua belas Rasul, Konsili menyatakan bahwa misi yang dipercayakan oleh Kristus kepada para Rasul dimaksudkan berlangsung sampai akhir zaman dan atas alasan tersebut “dalam himpunan yang tersusun secara hierarkis itu para Rasul telah berusaha mengangkat para pengganti mereka” (LG 20).
Maka doktrin Konsili Vatikan II memperjelas apa yang tetap tinggal kabur dalam Konsili Trente: uskup diinginkan oleh Kristus. Kehendak ini dinyatakan dalam tindakan mempercayakan kepada para Rasul misi yang mengharuskan banyak pengganti. Sebaliknya tentang para imam Konsili hanya menyebutkan bahwa mereka menerima fungsi-fungsi mereka dari uskup. Dengan ini Konsili tidak memutuskan bagaimana Kristus menginginkan para imam pada awalnya. Konsili menyatakan bahwa para uskup secara legitimasi memberikan kepada pelbagai orang tingkatan yang berbeda partisipasi dalam pelayanan mereka (bdk. LG 28). Dalam Dekrit PO menggunakan bahasa yang sama, yakni bahwa peran pelayanan para uskup dalam tingkatan yang terbatas telah “diserahkan kepada para imam, supaya mereka, sesudah tahbisan imam, menjadi rekan-rekan kerja bagi tingkat para uskup, untuk sebagaimana mestinya melaksanakan misi kerasulan yang mereka terima dari Kristus” (no. 2).
Dekrit PO menekankan peranan Kristus dalam pelaksanaan pelayanan imamat: “Karena fungsi para imam tergabung pada tingkat para uskup, fungsi itu ikut menyandang kewibawaan Kristus sendiri, untuk membangun, menguduskan dan membimbing Tubuh-Nya” (no.2). Karena melalui Sakramen Tahbisan, para imam disatukan dengan Kristus Imam bahwa mereka dapat bertindak atas nama Kristus sebagai kepala (in persona Christi capitis).
Mengafermasikan bahwa otoritas Kristus dilaksanakan dalam fungsi presbiterat tidak ekuivalen memutuskan dengan persis mana peranan Kristus yang dimainkan dalam sumber historis presbiterat. Konsili hanya mengatakan bahwa para Rasul memiliki banyak rekan kerja dalam pelayanan mereka (bdk. LG 20) dan bahwa di waktu kemudian para uskup memberikan tugas pelayanan kepada para imam. Pertanyaan tetap terbuka apakah kehendak khusus dari pihak Kristus termasuk juga institusi presbiterat. Akan tetapi, seperti Trente menahan diri dari  dekrit bahwa Kristus mendirikan episkopat tidak harus bermaksud bahwa Ia tidak berbuat demikian, juga tidak perlu bungkam atas Vatikan II yang mengatakan bahwa Kristus tidak mendirikan imamat. Kebungkaman ini hanya menunjukkan bahwa tingkat kejelasan penelitian dan refleksi Gereja belum cukup menyelesaikan masalah yang ada: apakah Kristus menginginkan para imam.




4.2  Sakramentalitas Episkopat
a.      Kepenuhan Sakramen Tahbisan
Kemajuan yang sangat signifikan dalam pengajaran doktrinal Vatikan II terletak pada pernyataan bahwa episkopat ialah suatu sakramen: “Ada pun Konsili suci mengajarkan bahwa, dengan tahbisan uskup diterimakan kepenuhan sakramen imamat, yakni yang dalam kebiasaan liturgi Gereja maupun melalui suara para Bapa Suci disebut imamat tertinggi, keseluruhan pelayanan suci” (LG 21).
Ekspresi “Konsili suci mengajarkan” menunjukkan bahwa Konsili bermaksud untuk mengafermasikan kebenaran yang dipertanyakan tentang otoritas pastoralnya, tetapi tanpa memakai infalibilitas doktrinalnya. Konsili bermaksud mengakhiri debat tentang sakramentalitas episkopat sebagai ordo yang berbeda dari presbiterat. Sakramentalitas  ini tidak dipertanyakan ketika seorang diakon dan seorang awam langsung dikonsekrasikan menjadi uskup[15]. Dalam pandangan beberapa teolog, sakramentalitas episkopat bukan sebagai bukti kepenuhan imamat ketika konsekrasi episkopat diberikan setelah tahbisan presbiterat. Dalam hal ini beberapa teolog memilih posisi negatif atas keberatan-keberatan yang dimunculkan oleh para teolog skolastik terhadap episkopat sebagai satu ordo di atas imamat. Vatikan II mengambil posisi yang jelas tentang sakramentalitas penahbisan episkopal.
Memperhatikan pilihan kata-kata, karakter spesifik yang membedakan konsekrasi episkopal dari konsekrasi imamat ialah bahwa konsekrasi memberikan kepenuhan sakramen. Ketika teks dalam persiapan, kepada Konsili dipertanyakan: “Apakah Bapa-bapa [Konsili] mengambil pendirian bahwa ... konsekrasi episkopal membentuk tingkatan tertinggi sakramen Tahbisan?” Pertanyaan dijawab dalam afirmatif. Teks final sendiri melampaui jawaban afirmatif. Teks mengafermasikan bahwa konsekrasi episkopat menjadi tingkat tertinggi dan juga memberikan kepenuhan sakramen tahbisan.
Konsili mengungkapkan dasar-dasar sakramentalitas episkopat: “Adapun dengan tahbisan uskup diberikan tugas menyucikan, selain itu tugas mengajar dan membimbing. Namun menurut hakikatnya tugas-tugas itu hanya dapat dilaksanakan dalam persekutuan hierarkis dengan kepala serta para anggota dewan. Sebab menurut tradisi, yang dinyatakan terutama dalam upacara-upacara liturgis dan kebiasaan Gereja Timur maupun Barat, cukup jelaslah, bahwa dengan penumpangan tangan dan kata-kata tahbisan diberikan rahmat Roh Kudus serta meterai suci sedemikian rupa, sehingga para uskup secara mulia dan kelihatan mengemban peran Kristus sebagai Guru, Gembala dan Imam Agung, dan bertindak atas nama-Nya. Adalah wewenang para uskup untuk dengan sakramen tahbisan mengangkat para terpilih baru ke dalam dewan para uskup” (LG 21).
Jadi, episkopat merupakan kepenuhan sakramen Tahbisan didasarkan atas dua alasan, yakni alasan fungsi-fungsi yang dijalankannya dan cara sakramen itu diberikan kepadanya. Fungsi-fungsi uskup adalah seperti yang dimiliki oleh sakramen tahbisan. Fungsinya bukan hanya terbatas pada pengudusan dan pelayanan sakramen-sakramen tetapi juga pengajaran dan bimbingan. Fungsi-fungsi ini diberikan melalui ritus sakramental, yakni: penumpangan tangan dan kata-kata konsekrasi (doa tahbisan). Ritus ini menghasilkan akibat ganda: rahmat dan karakter. Ini memungkinkan uskup bertindak atas nama Kristus dengan melaksanakan dalam cara yang unggul tiga fungsi imamat.
Untuk menyimpulkan pemaparan kekhususan fungsi-fungsi uskup, Konsili menetapkan bahwa kuasa untuk mengkonsekrasikan uskup hanya dimiliki oleh para uskup. Peringatan ini menjawab keraguan yang ditimbulkan oleh beberapa teolog yang mengatakan bahwa pada abad-abad pertama Gereja di Aleksandria memungkinkan konsekrasi episkopat oleh para presbiter. Jadi, Vatikan II menggarisbawahi bahwa hanya uskuplah yang dapat menahbiskan uskup.

  1. Kolegialitas Para Uskup
Konsili mengajarkan kolegialitas para uskup dan itu lahir dari tahbisan episkopal: “Seseorang menjadi anggota Dewan para Uskup dengan menerima tahbisan sakramental dan berdasarkan persekutuan hierarkis dengan kepala maupun para anggota dewan” (LG 22).
Kolegialitas berasal dari tindakan Yesus Kristus: “Para Rasul itu dibentuk-Nya menjadi semacam dewan atau badan yang tetap. Sebagai ketua dewan diangkat-Nya Petrus, yang dipilih dari antara mereka” (LG 19). “Seperti Santo Petrus dan para Rasul lainnya atas penetapan Tuhan merupakan satu dewan para Rasul, begitu pula Imam Agung di Roma, pengganti Petrus, bersama para Uskup, pengganti para Rasul, merupakan himpunan yang serupa” (LG 22). Lalu kumpulan episkopat memegang kuasa atas Gereja universal: “Badan para uskup, yang menggantikan dewan para Rasul dalam tugas mengajar dan bimbingan pastoral, bahkan yang melestarikan badan para Rasul, bersama dengan Imam Agung di Roma selaku kepalanya, dan tidak pernah tanpa kepala itu, merupakan subyek kuasa tertinggi dan penuh juga terhadap seluruh Gereja” (LG 22).
Dengan demikian kita sampai kepada pemahaman yang lebih baik tentang kepenuhan imamat uskup. Termasuk di dalam kepenuhan imamat itu ialah kodratnya yang kolegial dalam melaksanakan kuasa atas Gereja universal dan  tunduk kepada otoritas Paus.

  1. Kuasa Tahbisan dan Pelaksanaannya
Baiklah dipahami perbedaan yang dibuat oleh Konsili antara tugas-tugas yang diberikan melalui tahbisan uskup dan pelaksanaan tugas-tugas itu. Tugas-tugas ini harus dilaksanakan “dalam persekutuan hierarkis dengan kepala dan para anggota tubuh” (LG 22). Catatan penjelasan oleh komisi doktrinal mengkhususkan arti perbedaan ini: “Dalam pentakdisan diberikan partisipasi ontologis dalam tugas (munera) kudus, seperti jelas sekali ternyata dari Tradisi, juga Tradisi liturgi. Dengan sengaja digunakan istilah “munerum” (tugas-tugas), bukan “potestatum” (kuasa), karena istilah terakhir dapat dimengerti sebagai kuasa yang langsung siap untuk bertindak. Tetapi supaya ada kuasa yang langsung siap untuk bertindak itu, masih juga diperlukan penentuan kanonik atau yuridis oleh kewibawaan hierarkis” (no.2)[16].
Dengan penjelasan itu Konsili menunjukkan bagaimana kita memahami perbedaan antara kuasa tahbisan dan kuasa yurisdiksi. Sesungguhnya tak ada dua kuasa. Di satu sisi ada kuasa tahbisan dan di sisi lain ada undang-undang yang konkret tentang asal-usul kuasa yang dijalankan itu. Undang-undang ini merupakan hak prerogatif dari kepala kolegial para uskup. Itulah kodrat kuasa tahbisan. Itu mengimplikasikan persekutuan hierarkis. Karena itu apa yang kita sebut yurisdiksi menunjuk tempat di mana kuasa tahbisan dilaksanakan. Itu mengacu baik kepada suatu tugas khusus yang diberikan kepada seorang uskup maupun kepada seorang uskup dengan  ditentukan subyeknya. Untuk yang terakhir ini, misalnya ada uskup yang ditahbiskan untuk menjadi diplomat atau duta Vatikan di salah satu negara.

  1. Kuasa Menahbiskan Yang Didelegasikan Kepada Para Imam
Deklarasi Konsili tentang sakramentalitas episkopat gagal menyelesaikan kesulitan yang lahir dari fakta bahwa para imam telah diberi delegasi pontifikal untuk melaksanakan tahbisan. Dalam beberapa contoh, Paus-Paus telah memberikan kepala-kepala biara atau para misionaris privilese untuk memberikan tahbisan termasuk imamat. Kita mengacu secara khusus sebuah Bulla dari Paus Bonifasius  IX yang dialamatkan kepada Abbas Ordo Agustinian di Dioses London pada tahun 1400[17] dan sebuah Bulla dari Martinus V kepada Abbas Cistersian di Altzelle di Saxon pada tahun 1427[18]. Yang pertama dari bulla-bulla ini ditarik kembali, bukan karena alasan doktrinal, tetapi untuk menyelesaikan konflik dengan Uskup London. Itu berarti secara doktrinal bulla itu masih berlaku. Maka bulla tersebut memberikan privilese yang menimbulkan persoalan bagi Abbas dan para penggantinya secara tak terbatas[19].
Bagaimana menjelaskan konsesi-konsesi ini? Beberapa orang percaya bahwa keputusan-keputusan itu mungkin disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh para Paus. Kita diingatkan bahwa para Paus yang menahbiskan kembali para uskup heretik atau simoni adalah keliru sehubungan dengan validitas tahbisan pertama mereka. Ini berarti bahwa kesalahan-kesalahan lain oleh para Paus tidak dapat dikecualikan, termasuk sakramen tahbisan.
Tentu saja benar bahwa bulla-bulla Kepausan yang memberikan privilese tahbisan adalah dokumen-dokumen yang dapat keliru. Karena itu kita tidak dapat berapriori bahwa kesalahan-kesalahan dalam hal ini tak mungkin dilakukan para Paus. Kita berhak untuk menduga bahwa kemungkinan besar para Paus tidak melakukan kesalahan, karena banyak keputusan jenis ini tercatat dan tak ada bukti untuk menunjukkan bahwa beberapa kesalahan selalu diakui.
Para teolog lain berpendapat bahwa bulla-bulla itu berfungsi memberi kuasa tahbisan. Jikalau demikian, kita harus menyimpulkan bahwa Paus memberikan kuasa untuk menahbiskan tanpa ritus tahbisan. Tetapi kita tak mungkin mengakui bahwa sebuah bulla pontifikal yang memberi kuasa kepada seorang Abbas dan para penggantinya untuk menahbiskan anggotanya berarti pemberian sakramental dari kuasa tahbisan. Para Paus menyingkapkan ketidaksadaran bahwa ketika mereka mengeluarkan bulla-bulla ini, mereka sedang melaksanakan kuasa tahbisan. Di samping itu tahbisan sakramental hanya dapat dipahami dalam hubungan dengan persona tertentu, bukan berhubungan dengan garis suksesi yang belum tentu. Dari kodratnya bulla-bulla adalah tindakan yuridis.
Karena itu satu pengandaian tetap ttinggal bahwa bulla-bulla di atas menyatakan kuasa imam untuk menahbiskan. Normalnya, kuasa ini dikendalikan dan tidak dapat dilaksanakan secara valid kecuali oleh suatu tindakan yurisdiksi, otoritas yang kompeten memberikan konsesi. Demikian juga kita mempertahankan secara radikal bahwa imam memiliki kuasa untuk memberikan Krisma. Ini mengizinkannya sebagai pelayan istimewa sakramen ini.
Sekalipun demikian hal itu tidak berarti bahwa kuasa imam sama dengan kuasa uskup. Imam hanya dapat menjadi pelayan istimewa tahbisan. Kuasanya untuk menahbiskan dilaksanakan di bawah kendali otoritas Gereja. Konsesi hanya diberikan karena pengecualian dan selalu dapat ditarik kembali. Uskup sebaliknya pelayan biasa tahbisan presbiteral. 
Lukisan Konsili tentang fungsi uskup dalam LG dengan jelas menunjukkan bahwa superioritas uskup tidak harus dibatasi pada kuasanya untuk menahbiskan dan memberi Krisma. Benar bahwa Konsili Trente memberikan suatu garis antara superioritas para uskup dan kuasa ganda, tetapi ini hanya satu posisi parsial. Vatikan II, yang beralamat keseluruhan keluasan fungsi pastoral para uskup, telah melampaui posisi tersebut.

4.3  Diakonat
  1. Restorasi Diakonat Permanen
Gerakan yang telah terjadi sebelum Konsili Vatikan II untuk mempromosikan restorasi diakonat permanen diinspirasi oleh dua sumber. Pertama, keinginan untuk memberikan status eklesial pada pelayanan permanen jemaat awam yang sedang berlangsung dalam Gereja. Sudah dalam tahun 1934, diakonat yang demikian telah didiskusikan dalam lingkungan Caritas Jerman. Kedua, yang lebih menentukan ialah keinginan untuk mengatasi kekurangan para imam. Dalam Kamp Konsentrasi Dachau, P. Otto Pies dan Rm. Wilhelm Schamoni merenungkan bahwa diakon-menikah yang bertugas dalam profesi sekuler dapat memberikan kontribusi dalam katekese, liturgi, dan kotbah. Pengalaman dunia dekristianisasi memaksa guru J. Hornef untuk bekerja sebagai sakristan, lektor dan katekis. Ini mendorongnya untuk berharap mengenai pembaharuan diakonat setengah waktu atau penuh waktu. Jadi, gerakan ini dituntut oleh situasi di Jerman, kemudian meluas ke negeri-negeri lain.
Pada tgl. 3 Oktober 1963 dilaksanakan sebuah konsultasi pendahuluan tentang “kepantasan mendirikan diakonat sebagai suatu tingkatan yang berbeda dan permanen dari pelayanan suci untuk menjawab kebutuhan Gereja di berbagai negeri”. Suatu pemungutan suara pendahuluan diambil dan para Bapa Konsili menjawab setuju 1.588 dan 525 menolak. Pertama sekali secara prinsip disetujui bahwa diakonat harus direstorasi, masalah selibat harus dipecahkan. Penyokong-penyokong restorasi menyetujui diakonat-menikah. Dalam jawaban atas dua pertanyaan yang diajukan, kemudian Konsili menyetujui bahwa laki-laki yang berumur matang, termasuk laki-laki yang menikah dapat ditahbiskan menjadi diakon. Ditolak menjadi diakon pemuda-pemuda yang tidak menikah kecuali kalau mereka ingin berjanji untuk menepati kewajiban selibat.
Di Gereja Barat, diakonat telah lama hanya menjadi salah satu tahap menuju imamat. Vatikan II mengizinkan diakonat direstorasi “sebagai tingkat tersendiri dan permanen dari hierarki” (LG 29). Keputusan untuk tahbisan demikian diserahkan kepada konferensi-konferensi teritorial para uskup, untuk memohon persetujuan dari Paus. Konsili mendaftar fungsi-fungsi diakon: melayankan pembaptisan secara meriah, menyimpan dan membagikan Ekaristi, membantu pada dan memberkati pernikahan atas nama Gereja, membawakan viaticum kepada mereka yang menghadapi ajalnya, membacakan Kitab Suci kepada umat beriman, mengajar dan menasihati mereka, memimpin peribadatan dan doa bagi jemaat, melayani sakramentalia, memimpin upacara jenazah dan penguburan. Konsili juga menyebutkan dedikasi para diakon kepada tugas-tugas karitatif dan asistensi. Maka, karena rahmat sakramental diakon “dalam persekutuan dengan uskup dan kumpulan para imamnya” melayani umat Allah “dalam pelayanan liturgi, kotbah dan cinta kasih” (LG 29).

  1. Peringatan Doktrinal
Meskipun Vatikan II bermaksud untuk merestorasi nilai diakonat, dalam konsep dan presentasi tentangnya terpelihara kebijaksanaan doktrinal. Sehubungan dengan pelayanan-pelayanan para uskup dan imam, Konsili berusaha sekeras-kerasnya untuk memperjelas asal-usul historisnya; Konsili mengingatkan kita bahwa Kristus menghendaki mereka. Berkaitan dengan diakonat, Konsili menahan diri dari sebuah interpretasi data biblis. Khususnya, Konsili menahan diri dari pertimbangan Kis 6:1-6, teks yang merekam pemilihan kelompok tujuh. Karena asal-usul diakonat tidak tentu, maka Konsili tidak menghubungkannya dengan penetapan dari pihak Kristus atau pun para Rasul.
Konsili bahkan menahan diri dari pernyataan bahwa diakonat berkaitan dengan imamat pelayanan, karena pada baris-baris pembukaan presentasinya terbaca: “Pada tingkat hierarki yang lebih rendah terdapat para diakon, yang ditumpangi tangan ‘bukan untuk imamat, melainkan untuk pelayanan’” (LG 29). Pemilihan kata-kata ini dipinjam dari satu teks yang sangat tua, tetapi dengan perspektif yang lebih luas. Dokumen Ordonansi Eklesiastik mengacu kepada “pelayanan yang disumbangkan kepada uskup”, sementara Konsili Vatikan II berbicara tentang pelayanan yang disumbangkan kepada umat Allah. Semua pernyataan ini bermaksud sama: diakon tidak ditahbiskan untuk imamat.
Di satu sisi Vatikan II menyetujui sakramentalitas diakonat, karena, dalam hubungan dengan penumpangan tangan, disebutkan “rahmat sakramental”. Pernyataan ini tidak bermaksud mengingkari para teolog yang menyangkal sakramentalitas diakonat. Juga pernyataan ini tidak memecahkan isu diakonat sekali untuk selamanya. 
Di sisi lain, dengan mengatakan bahwa diakon ditahbiskan bukan untuk imamat, tetapi untuk pelayanan, Konsili mengemukakan isu mengenai kodrat diakonat. Isu ini berakhir menjadi lebih jelas jika kita memikirkan bahwa jarak antara fungsi-fungsi yang diberikan kepada diakon dan yang dilaksanakan oleh beberapa awam sama sekali tidak besar. Sekalipun demikian apresiasi yang diperbaharui tentang orang-orang awam yang membantu, oleh Konsili cenderung menyemangati mereka untuk menyumbangkan secara lebih efektif pada pelayanan para imam, dan itu membuat mungkin beberapa tingkat pertolongan karena kekurangan para imam.
Meskipun fakta bahwa beberapa persoalan doktrinal tak dapat cukup diklarifikasi, restorasi diakonat permanen menunjukkan usaha Gereja untuk membuka semua kemungkinan imanen di dalam sakramen tahbisan. Gereja membuka jalan bagi pelayanan sakramental yang bukan imamat dan dipanggil untuk berkolaborasi dalam pelaksanaan fungsi-fungsi imamat.
Pelayanan diakon secara khusus disemangati oleh Konsili dalam misi-misi. Dalam hubungan dengan perkembangan klerus pribumi, dekrit Ad Gentes menyatakan:
“Bila konferensi-konferensi uskup memandangnya baik, hendaknya diadakan lagi tingkat diakonat sebagai status hidup yang tetap, menurut kaidah Konstitusi ‘tentang Gereja’. Sebab memang berguna bahwa ada orang-orang, yang sungguh-sungguh menjalankan pelayanan diakon, entah dengan mewartakan sabda Allah sebagai katekis, entah dengan memimpin jemaat-jemaat kristiani yang terpencil atas nama pastor paroki dan uskup, atau dengan mengamalkan cinta kasih dalam karya-kegiatan sosial atau amal-kasih. Hendaklah mereka itu diteguhkan dengan penumpangan tangan yang diwaris dari para Rasul, dan dihubungkan lebih erat dengan altar, sehingga mereka secara lebih tepat-guna menunaikan pelayanan mereka berkat rahmat sakramental diakonat” (no.16).

Restorasi praktis diakonat permanen dipercayakan kepada kompetensi konferensi-konferensi episkopal, tetapi beberapa hukum umum tentang hal ini telah diumumkan oleh Paus Paulus VI. Berkaitan dengan restorasi ini, norma-norma juga telah dikeluarkan untuk meningkatkan pembaharuan ordo para lektor dan akolit. Lektorat dan akolit bukan lagi “ordo-ordo”, tetapi pelayan-pelayan. Mereka tidak diberikan melalui tahbisan, tetapi institusi. Hanyalah mereka yang telah menerima diakonat dilihat sebagai klerus. Sekarang seseorang masuk tingkatan-tingkatan klerus setelah menerima diakonat. Para kandidat diakonat dan presbiterat diwajibkan menerima pelayanan-pelayanan lektor dan akolit. Pelayanan-pelayanan ini juga dapat dimasuki oleh laki-laki awam yang tidak membuat komitmen untuk melanjut. Konferensi-konferensi episkopal dapat memohon kepada Tahta Suci untuk institusi pelayanan-pelayanan lain seperti portir, eksorsis, katekis, atau bahkan pelayanan yang didedikasikan untuk karya-karya karitatif, kapan saja pelayanan ini tidak dilakukan oleh para diakon. Deskripsi tentang fungsi para lektor dan akolit menganjurkan suatu kesamaan parsial dengan fungsi-fungsi yang diberikan kepada para diakon. Lektor membacakan Sabda Allah tetapi bukan Injil dan melaksanakan pelbagai fungsi liturgis. Akolit menjadi pelayan istimewa dalam pendistribusian Komuni. Dalam situasi-situasi khusus, ia dapat menahtakan Sakramen Mahakudus, tetapi ia tidak memberkati umat.



BAB VII
NILAI ONTOLOGIS IMAMAT

Ketika kita membicarakan pemilihan Kristus atas kedua belas Rasul, kita mencatat beberapa indikasi nilai ontologis imamat. Dalam maksud Yesus, “tindakan” atau “perbuatan” imam seharusnya berasal dari being imamatnya. Untuk mencahayai nilai “adanya” imamat ini, sekarang kita masuk ke ajaran tentang karakter imamat.

1.      Ajaran Tradisional Tentang Karakter Sakramental
1.1  Debat Tentang Nilai Karakter Imamat
Debat tentang nilai karakter imamat cenderung merelatifkan pernyataan Konsili Trente yang mengatakan bahwa “dalam tiga sakramen, yakni Baptis, Krisma dan Tahbisan, ...termeteraikan pada jiwa suatu karakter, yaitu tanda spiritual tertentu dan tak terhapuskan, oleh karena mereka tak dapat diulangi”. Beberapa pengarang berpendapat bahwa Konsili tidak bermaksud memaksakan suatu definisi iman yang valid selama Gereja masih akan terus eksis. Satu posisi yang lebih radikal berpendapat bahwa pernyataan Konsili harus dibuang, sejauh hal itu bertentangan dengan ribuan tahun tradisi sebelumnya.
Deklarasi Konsili, demikian R. J. Bunnik, memperlihatkan “suatu bias atau prasangka apologetis yang kuat”. Agaknya, deklarasi itu merefleksikan arus praktis pada waktu itu, tetapi bukan suatu dekrit teologis yang kaku. Secara praktis seseorang tidak ditahbiskan dua kali, tetapi tak ada jaminan bahwa kekuatan prinsip-prinsip teologis dapat melarang tahbisan kedua.
P. Schoonenberg salah satu di antara mereka yang berpendapat bahwa ajaran tentang karakter sakramental tidak memerintahkan validitas suatu prinsip yang tak dapat diganggu gugat. Alasannya didasarkan pada imposibilitas pelayanan sakramen tertentu dua kali, dan karena validitas pengajaran ini tergantung pada imposibilitas itu. E. Schillebeeckx berpendapat bahwa Konsili tidak bermaksud untuk menyetujui interpretasi skolastik tentang karakter sakramental, yang memberikan nilai ontologis kepadanya. Ajaran itu hanya mau menegaskan bahwa sungguh ada pelayanan yang dilaksanakan atas nama Kristus demi kebaikan komunitas.
Schoonenberg dan Schillebeeckx memfokuskan perhatian pada imamat yakni pada pokok persoalan ajaran tentang karakter sakramental, sementara Bunnik memberikan perbedaan antara Baptis dan Krisma di satu sisi, dan Tahbisan di sisi lain. Baptis dan Krisma membentuk adanya seorang Kristen. Konsekuensinya mereka menimbulkan efek pada level ada, being, dan karakter yang mereka meteraikan memiliki nilai ontologis. Sakramen tahbisan sebaliknya “hanya memberikan spesialisasi fungsional dalam misi orang Kristen”. Tetapi ketiga penulis menyetujui tentang satu poin esensial: imamat hanyalah suatu fungsi. Pelayanan imamat adalah suatu “profesi seperti fisikawan, insinyur, tukang pipa air”. Karena itu bagi mereka, karakter merupakan hanya suatu kapasitas untuk melaksanakan suatu fungsi. Itu hanya menyebabkan seseorang berada “dalam suatu posisi” untuk melaksanakan pelayanan.
Berkenaan dengan itu, karakter mengizinkan pelayanan part-time, karena nilainya hanyalah parsial, yakni terbatas pada pelaksanaan fungsi. Itu tidak meluas kepada keseluruhan durasi kehidupan si pelayan, juga tidak kepada setiap apa yang dibuatnya. Apa yang Kitab Suci katakan tentang imamat seharusnya tidak diperluas kepada imam. Lagi di sini Bunnik memberikan  perbedaan antara Baptisan dan Imamat. Orang yang dibaptis tetap menjadi seorang Kristen sampai keabadian, sementara imam berhenti menjadi imam pada saat ia masuk ke dunia lain, yaitu pada waktu ia menjadi orang awam lagi. Bunnik menekankan lebih pada durasi terbatas karakter karena ia membela posisi bahwa komunitas Kristenlah yang memanggil pelayan ketika memerlukan seseorang dan memberikan kebebasan pada kehendaknya.
Schillebeeckx menekankan manfaat ekumenis teori tentang karakter. Menurutnya, dengan konsep karakter, Gereja Katolik sebenarnya mau mengakui bahwa perlu bakat untuk melaksanakan fungsi pastoral atas nama Kristus. Baginya, konsep karakter membuka jalan kepada satu tipe baru imam. Imam bukanlah seorang yang dalam gambar Kristus telah dinyatakan sebagai imam untuk selamanya menurut cara Melkisedek, tetapi seorang yang komunitasnya sendiri menentukan sebagai the best untuk memimpin mereka. Ia dipilih untuk sesaat saja, lebih disukai bila ia melaksanakan profesi sekular, kawin, dan membaktikan sebagian waktunya untuk pelayanan imamat. Seorang imam jenis ini akan hidup sebagai seorang awam dan secara kontinu berharap bahwa, karena kedekatannya dengan dunia, ia akan mempengaruhi lebih besar atas dunia ini.
Kita tidak pernah lupa bahwa pertimbangan-pertimbangan teoretis tentang karakter sakramental didorong oleh keinginan untuk meningkatkan jenis baru imamat yang jelas berbeda dari imamat sebelumnya dalam Gereja Katolik. Penyederhanaan karakter imamat hanya akan mereduksikan kepada fungsi.

1.2  Tanda Spiritual dan Tak Terhapuskan
Apakah valid deklarasi Konsili Trente itu? Dengan definisi itu Konsili bermaksud bahwa eksistensi karakter sakramental merupakan kebenaran integral bagi iman. Debat-debat dalam Konsili menampakkan maksud tersebut. Secara lebih khusus debat-debat itu menunjukkan bahwa para Bapa Konsili bermaksud untuk melampaui keraguan-keraguan para teolog yang hanya mengakui sebagai posibilitas doktrinal. Penyangkalan akan karakter dihukum sebagai heretik.
Validitas argumen-argumen biblis mengenai eksistensi karakter sakramental didiskusikan di antara para Bapa Konsili. Konsensus dicapai dengan pernyataan kesetiaan pada apa yang telah dinyatakan oleh Magisterium Gereja, khususnya dekrit Maiores Paus Inosensius III[20], dan Konsili Florensia. Dalam pilihan kata-katanya, Konsili memproduksi kembali, tanpa menjelaskan secara persis, apa yang telah dinyatakan dalam Dekrit untuk orang-orang Armenia itu[21].
Konsili tidak bermaksud mendukung salah satu teori skolastik. Abad-abad Pertengahan telah memiliki pelbagai pendapat tentang kodrat karakter sakramental. Dari William Auvergne sampai kepada St. Thomas dan Duns Scotus, para teolog telah mencoba menentukan dengan persis kodrat karakter sakramental dengan atau tanpa bantuan kategori-kategori Aristoteles. Karakter dipahami sebagai suatu kekudusan, kapasitas untuk bertindak, disposisi, figur, tanda yang menandakan rahmat, habitus, tanda partisipasi dalam sakramen-sakramen, tanda profesi iman, relasi, pemberian kuasa kultis. Pemberian kuasa kultis, teori St. Thomas, diterima dengan wibawa besar dan diadopsi seolah-olah tiada teori lain. Sesungguhnya teori ini representatif, tetapi itu merupakan suatu pandangan yang khusus, karena ia membatasi karakter sakramental pada pemberian kuasa, empowerment, dan khususnya memberi kuasa mempersembahkan persembahan. Bagaimana pun Konsili Trente tidak menyetujui pandangan ini.
Konsili membatasi diri pada afirmasi dasar tentang tanda spiritual dan tak terhapuskan tanpa bermaksud menentukan secara lebih persis kodrat tanda ini. Dengan cara demikian Konsili mengarahkan kita untuk memahami suatu realitas ontologis dalam karakter sakramental: realitas itu merupakan tanda yang dimeteraikan pada jiwa. Karena itu kita tidak harus melihat karakter sebagai sesuatu yang kurang lebih bukan tanda ekstrinsik yang disebabkan oleh ritus sakramental, atau sebagai hanya bakat atau ketangkasan untuk menjalankan fungsi, atau sebagai hanya pemberian kuasa yuridis oleh suatu otoritas untuk menyeleksi orang-orang bagi tugas-tugas pelayanan. Kita sedang berbicara tentang tanda nyata yang hidup di dalam jiwa. Itu bukanlah “sesuatu” yang tanpa arti. “Sesuatu” adalah hal yang terpisah, sementara “tanda” dimeteraikan pada jiwa, yang sungguh karena alasan ini tak dapat dipisahkan daripadanya dan bersama dengan jiwa membentuk suatu realitas. Dan lagi, meskipun tanda bukan sesuatu “hal”, karakter itu nyata. Ia merupakan suatu tanda yang sungguh telah dipengaruhi dan membawa perubahan yang murni dalam pribadi sendiri. Jadi, karakter diinterpretasikan sebagai “ada dalam suatu posisi”, suatu posisi yang telah ditransformasi secara ontologis.
Tanda itu “tak terhapuskan”. Permanennya tidak tergantung apakah engkau atau aku memiliki aktivitas yang dibawa oleh karakter itu. Tak ada sesuatu pun dapat menghapusnya. Indelibilitas yang diafermasikan Konsili diterapkan sekurang-kurangnya pada kehidupan duniawi kita. Tentang permanennya dalam kehidupan yang akan datang, sama sekali tak dinyatakan secara eksplisit. Deklarasi Konsili sendiri tidak bermaksud menjawab persoalan ini, yang agak spekulatif dan tanpa relevansi langsung pada kehidupan Gereja di sini dan sekarang. Tetapi karena karakter merupakan tanda spiritual, sulitlah melihat bagaimana kematian berlaku atasnya. Seperti Baptisan dan Krisma tetap berlangsung bahkan setelah aktivitas dunia berhenti, demikian jugalah Tahbisan. Dari sebab itu, tidaklah kebetulan jika pada saat tahbisan kita diingatkan akan kata-kata Surat kepada Orang-orang Ibrani: “Engkaulah imam menurut cara Melkisedek untuk selama-lamanya”. Imamat diberikan untuk selama-lamanya. Pelaksanaannya akan berhenti, tetapi tandanya tak terhapuskan baik di dunia ini maupun dunia yang akan datang. 

1.3  Karakter Imamat Dalam Perkembangan Tradisi
Dalam hubungan dengan inisiasi, Paulus berbicara tentang mereka yang telah ditandai dengan suatu meterai (bdk. 2Kor 1:22; Ef 1:13; 4:30). Bagi yang dibaptis, tanda ini menandakan bahwa mereka milik Allah. Meterai itu membentuk tanda yang membedakan pada hari penghakiman; tanda yang memberikan akses kepada keselamatan kekal.
Tanda ini termasuk dalam realitas yang tak kelihatan. Para Bapa Gereja berbicara tentang sphragis spiritual yang melaluinya Allah mengenal mereka yang telah menjadi milik-Nya sendiri. Dalam abad ke-4 mereka menegaskan permanensinya yang tak terhapuskan. St. Sirilus dari Yerusalem menyebut Baptisan “satu sphragis yang tak terhapuskan dari Roh Kudus”, “satu sphragis suci yang tak terceraikan”. Pernyataan bahwa tanda itu permanen sekalipun dalam situasi yang tak layak, memberikan perbedaan antara sphragis dan rahmat.
Sehubungan dengan tahbisan imamat, St. Agustinus adalah yang pertama menegaskan bahwa Tahbisan memberikan karakter permanen. Ia mempertahankan keyakinan ini berdasarkan tradisi sebelumnya yang memberikan paralelisme antara konsekrasi Tahbisan dan konsekrasi Baptisan. Dalam karakter inilah ia menemukan alasan mengapa Tahbisan tak dapat diulangi.
St. Agustinus menggunakan kata character untuk menerjemahkan konsep sphragis. Ia  menggunakan istilah “karakter” sebagai suatu perbandingan. Ia membandingkan tanda yang dimeteraikan oleh Baptisan dengan tanda yang dibawa oleh para tentara (mengacu kepada “karakter kaisar”). Jadi, di satu sisi, ia menerapkan gambaran karakter ini kepada orang yang telah ditahbiskan uskup (karakter Kristus). Tetapi di sisi lain ketika ia berbicara secara langsung tanpa perbandingan mengenai segel yang dimeteraikan, ia lebih memilih istilah “sakramen”. Dengan cara itu ia maksudkan elemen permanen yang berlangsung tak bercacat bahkan dalam orang yang lemah dan tak dapat hilang, bahkan juga orang-orang yang memutuskan dirinya dari kesatuan dengan Gereja. Dalam Tahbisan, seperti dalam Baptisan, ada konsekrasi final yang menghalangi repetisi.
Dalam pertimbangannya, Agustinus secara keras menegaskan paralel antara Baptisan dan Tahbisan: keduanya “Sakramen Baptis dan sakramen untuk pelayanan Baptisan” adalah konsekrasi. Mengusahakan perbedaan antara nilai karakter Baptisan dan Imamat bertentangan dengan doktrin Agustinus. Doktrin ini didasarkan pada tradisi Gereja. Sudah dalam hari-hari awal literatur Kristen Latin, kita mendeteksi dalam Tertulianus suatu paralel antara pengudusan pada Baptisan dan pengudusan pada Tahbisan.
St. Siprianus mengafermasikan bahwa tahbisan para imam dan diakon harus terjadi dalam keselarasan dengan kehendak Allah. Ia menekankan perbedaan antara umat awam dan klerikus sedemikian sehingga menganjurkan bahwa status hidup awam dan imamat berakar dalam suatu konsekrasi yang dibuat oleh Allah. Tak dapat disangkal bahwa pengajaran sakramental Siprianus ini belum sempurna, yang disempurnakan oleh Agustinus.
Posisi Agustinus yang mempertahankan kesejajaran antara Baptisan dan Tahbisan dalam hal karakter diterima dengan baik pada akhir abad ke-12, ketika teologi berusaha mengembangkan makna karakter pada Tahbisan, Baptisan dan Krisma. Hal ini dilakukan secara khusus dengan peralihan dari arti tanda eksternal kepada arti tanda spiritual yang ditimbulkan oleh ritus ini. Jadi, pada abad ini sudah ada kematangan keyakinan teologis bahwa ritus Tahbisan (juga Baptisan dan Krisma), bukan memberikan tanda lahiriah, tetapi tanda spiritual. Tanda seperti ini tak dapat hilang.
Perkembangan historis ini menganjurkan bahwa, menurut Tradisi, Tahbisan tak terpisahkan dari Baptisan sejauh berhubungan dengan doktrin mengenai karakter. Ketika Konsili Trente menahan diri untuk memberikan pembedaan di antara tiga sakramen berkaitan dengan karakternya masing-masing, sikap itu mengungkapkan bahwa Gereja telah mempercayai dan mempraktekkan dalam perjalanan sejarah sejak awal.
Catatan juga bahwa jauh dari memberikan karakter Tahbisan lebih penting daripada karakter Baptisan dan Krisma, beberapa teolog Abad Pertengahan melihat karakter Tahbisan sebagai yang paling sempurna dari karakter-karakter, dan juga sebagai dasar dari yang lain. Bagi Filipus Chancellor, setiap karakter sakramental menerima kuasa dan efektivitasnya dari karakter Tahbisan. Thomas Aquinas mempertahankan bahwa karakter sakramental memperoleh ekspresinya yang tertinggi dalam karakter imamat dan ini memang esensi karakter imamat Kristus.
Pencahayaan di atas meyakinkan kita bahwa mereduksikan karakter imamat sebagai tiruan dari karakter Baptisan berarti mengasingkan diri dari pemikiran Gereja. Karakter imamat merupakan karakter tertinggi,  realisasi paling penuh, partisipasi yang paling intens dalam imamat Kristus. Maka tanda-tanda yang berbeda dari karakter sakramental, yaitu konsekrasi pribadi yang bersifat total dan definitif, harus menjadi lebih jelas atau nyata dalam imamat daripada dalam Baptisan dan Krisma.

2.      Arti dan Nilai Karakter Imamat
2.1  “Misteri” Karakter Imamat
Sekarang kita berusaha untuk menemukan arti mistik yang dikandung oleh karakter imamat, dengan memperluas istilah “mistik” sebagai kehadiran misteri yakni rencana keselamatan Allah yang menguasai kehidupan manusia.
Sudah dalam Pembaptisan dan Krisma, rencana ilahi ini memperoleh jalan masuk ke kedalaman diri manusia dan menyegelkan padanya keseluruhan rencana kehidupan kristiani. Para teolog Kristen mengatakan bahwa karakter sakramental memberikan disposisi kepada rahmat: karakter membentuk struktur dasar yang di atasnya berkembang kehidupan rahmat. Proyek Allah membuat sketsa eksistensi seorang pribadi tidak terbatas hanya pada keinginan pribadi. Rencana itu menyegelkan dirinya pada diri pribadi manusia, pertama melalui karakter baptisan, lalu melalui Krisma, sehingga rencana itu direalisir dari dalam.
Demi persisnya, karakter imamat tidak ditambahkan pada Baptisan dan Krisma. Karakter menyegel dirinya pada being pribadi yang telah dibaptis dan diurapi, namun tetap terpisah membentuk realitas tersendiri untuk melibatkan seluruh diri kepada misi imam. Maka, misi ini dilaksanakan tanpa diutus oleh yang lain untuk mengungkapkan keinginan atau membawa suatu susunan. Allah sungguh mengukir misi itu dalam diri pribadi. Ia membuatnya tak terpisahkan dari being personal.
Dengan demikian kita dapat memahami dengan baik bagaimana nilai karakter imamat baik bersifat ontologis maupun dinamis. “Ontologis” karena karakter imamat mempengaruhi being personal tidak lagi superfisial, yakni hanya melaksanakan fungsi, tetapi sepenuhnya membawa diri personal, melahirkan perasaan-perasaan pribadi yang terdalam. Ia berusaha menyerahkan diri kepada Allah, bukan hanya perbuatan, tetapi sungguh menjadi sumber munculnya perbuatan-perbuatan manusia itu sendiri dengan semua kemampuan dan kemungkinannya.
Maka dalam karakter tahbisan seperti juga dalam Baptisan dan Krisma terkandunglah suatu ciptaan baru. Melalui tanda, tahbisan membentuk suatu ada yang baru. Sudah dalam Injil kita mencatat tanda yang membiarkan ada baru muncul dalam imam. Yesus menurunkan nama baru kepada Simon. Ia menyebutnya Kefas untuk menunjukkan misi yang diberikan kepadanya. Karena pikiran Yahudi menyamakan nama dengan realitas yang dinamai, memberikan nama baru kepada seseorang berarti memberikan being kepada suatu persona.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar